• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nilai-Nilai Moral dalam Masyarakat Jepang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG NOVEL, NILAI MORAL

2.2 Nilai-Nilai Moral dalam Masyarakat Jepang

mengharuskan mereka untuk berinteraksi sepantasnya terhadap satu sama lain. Sedangkan konsep ninjō menjadi nilai yang menggambarkan pertentangan antara keinginan manusiawi seseorang yang tidak melihat norma-norma yang mengikat mereka, dengan konsep giri yang mengharuskan mereka bertindak sebagaimana diinginkan oleh masyarakat. Apabila giri bersifat moral dan sosial, maka ninjō

bersifat psikologis dan personal.

Giri dan ninjō merupakan satu kesatuan dalam kebudayaan orang Jepang. Namun ada yang berpendapat bahwa giri sebagai konsep umum ditempatkan lebih tinggi daripada ninjō.

2.2 Nilai-nilai Moral dalam Masyarakat Jepang 2.2.1 Giri

Kata giri mempunyai bermacam-macam arti. Dilihat dari huruf kanjinya (義 理) giri terdiri dari dua karakter kanji yaitu gi (義) yang memiliki arti “keadilan”, “kewajiban”, atau “perasaan terhormat”, dan ri (理) yang memiliki arti “alasan”, “logika”, atau “teori”. Apabila digabungkan kata giri berarti rasa tanggung jawab atau kehormatan, atau hutang budi. Giri lebih menekankan kepada hutang budi seseorang terhadap orang lain. Hutang budi yang dimaksud adalah jika seseorang telah menerima sesuatu kebaikan dari orang lain, maka ia harus membalas kebaikan itu dengan memberikan kebaikan kepadanya. Kebaikan

25

yang akan dibalas bias dalam bentuk jasa, materi, atau bahkan harga diri dan sebagainya.

Giri menurut Ruth Benedict (1982:125) adalah utang-utang yang wajib dibayar dalam jumlah yang tepat sama dengan kebaikan yang diterima dan ada batas waktunya. Dengan adanya ketentuan-ketentuan pembayaran ini, maka giri menjadi begitu mengikat orang Jepang sehingga pemberian dengan resiko giri ini biasanya sedapat mungkin dihindari oleh orang Jepang. Dalam hal ini, apabila pembayaran ditangguhkan melewati jatuh temponya, maka utang bertambah besar seakan-akan terkena bunga.

Giri pada dasarnya, dirasakan sebagai beban yang berat bagi orang Jepang, maksudnya giri merupakan suatu tindakan yang terpaksa harus dikerjakannya atau dilakukannya karena ia telah menerima bantuan orang lain.

Ruth Benedict (1982:125) menjelaskan bahwa giri berdasarkan tujuan kepada siapa akan diberikan balasan dapat dibagi menjadi dua, yaitu :

a. Giri terhadap dunia

1. Kewajiban terhadap tuan pelindung 2. Kewajiban terhadap sanak keluarga

3. Kewajiban terhadap orang-orang yang bukan keluarga karena kebaikan yang diterima oleh mereka misalnya hadiah atau uang

4. Kewajiban terhadap keluarga tidak begitu dekat, seperti paman, bibi dan kemanakan.

Giri terhadap dunia adalah suatu kewajiban untuk membayar kembali kebaikan-kebaikan. Secara umum, giri kepada dunia dapat digambarkan dalam

26

hubungan-hubungan yang bersifat kontrak. Pernikahan di Jepang merupakan kontrak antara dua keluarga dan melaksanakan kewajiban-kewajiban kontrak tersebut terhadap keluarga mertua selama hidup seseorang adalah ‘bekerja untuk giri’ sehingga bagi seorang istri yang tinggal dengan mertuanya maka hal tersebut dirasakan paling berat.

b. Giri terhadap nama

1. Kewajiban seseorang untuk membersihkan reputasinya dari penghinaan, atau tuduhan atas kegagalannya. Dapat juga berupa pembalas dendam.

2. Kewajiban seseorang untuk tidak menunjukkan atau mengakui kegagalan atau ketidaktahuannya dalam melaksanakan jabatannya. 3. Kewajiban untuk mengindahkan sopan santun Jepang, misalnya

mengekang emosi.

Giri terhadap nama seseorang adalah kewajiban untuk menjaga agar reputasinya tidak ternoda. Giri terhadap nama juga menuntut tindakan-tindakan yang menghilangkan noda yang telah mengotori nama seseorang dan karena itu harus dihilangkan. Giri terhadap nama lebih cenderung mancakup masalah pembalasan dendam.

Giri terhadap nama juga mewajibkan seseorang untuk hidup sesuai kedudukan atau tempatnya di dalam bermasyarakat. Jika ada orang gagal dalam giri tersebut maka ia tidak berhak untuk menghormati dirinya sendiri. Dapat dikatakan bahwa konsep harga diri orang Jepang, merupakan salah satu manifestasi dari giri terhadap nama. Giri ini banyak mencakup tingkah laku yang tenang dan terkendali. Orang Jepang berusaha untuk tidak memperlihatkan

27

perasaan, pengendalian diri yang diharuskan dari seorang Jepang yang mempunyai hal ini merupakan bagian dari giri terhadap nama. Sebagai contoh, ketika terjadi gempa maka orang Jepang yang mempunyai harga diri ia tidak akan sibuk atau panik, tetapi ia akan berusaha membereskan barang-barang miliknya dengan sikap yang tenang.

2.2.2 Ninjō

Ninjō terdiri dari dua karakter kanji yaitu nin (人) yang memiliki arti “orang” atau “manusia”. Dan (情) yang memiliki arti “emosi”, “perasaan”, “cinta kasih”. Sehingga ninjō (人情) berarti kebaikan hati manusia. Ninjō ini timbul dari hati yang paling dalam karena adanya perasaan kemanusiaan itu sendiri sehingga menyebabkan munculnya suatu kebaikan.

Ninjō secara umum merupakan perasaan manusia yang merupakan perasaan kasih sayang, perasaan cinta, perasaan belas kasih, rasa simpati, rasa iba hati yang dirasakan terhadap orang lain seperti hubungan orang tua dengan anaknya atau antara kekasihnya.

Menurut Nobuyuki Honna dalam Wahyuliana (2005:24) bahwa ninjō

merupakan perasaan kemanusiaan dan semua orang Jepang mempercayai bahwa perasaan cinta, kasih sayang, belas kasihan, dan simpati adalah perasaan yang paling penting dalam menjaga hubungan kemanusiaan.

Ninjō merupakan perasaan yang muncul tanpa adanya maksud tertentu dan memperlihatkan adanya ketulusan dari hati manusia itu sendiri. Semua orang di

28

belahan bumi mana pun mempunyai perasaan tersebut, hanya istilahnya saja yang berbeda. Di Jepang perasaan manusiawi tersebut disebut dengan ninjō.

Ninjō ini berlaku bagi setiap orang dalam semua hubungan di berbagai lingkup kehidupan, baik antara ayah dan anaknya, hubungan sepasang kekasih, maupun hubungan antarsesama.

2.2.3 Kejujuran

Kejujuran dalam Bahasa Jepang disebut shoujiki (正直). Sifat jujur adalah sifat yang paling penting dimiliki oleh semua manusia di muka bumi ini. Menurut Izano Nitobe dalam Fatonah (2008:47) mengatakan bahwa :

“jalan lurus ini, jika diumpamakan dengan badan manusia bagaikan tulang punggung yang berperan penting untuk menegakkan tubuh. Oleh karena itu, tanpa jalan lurus, keberaniaan serta kemampuan yang dimiliki seorang samurai akan menjadi tidak berarti.”

Berdasarkan kutipan di atas dikatakan bahwa pentingnya kejujuran dan berada di jalan yang lurus. Seorang samurai Jepang harus memiliki sifat jujur dan senantiasa berada di jalan lurus sebab tanpa adanya kejujuran dan tidak berada di jalur yang seharusnya, maka semua perbuatan akan terasa sia-sia. Dikarenakan Bushido menjadi dasar perilaku masyarakat Jepang, maka sikap jujur pun harus diterapkan dalam kehidupan semua orang Jepang.

Kejujuran merupakan kekuatan untuk menentukan sikap dan perilaku yang akan dijalani tanpa adanya sikap keragu-raguan. Ketika seseorang berlaku jujur,

29

maka orang tersebut akan selalu berada di jalan yang lurus sebab ia berani untuk mengatakan salah atas sesuatu yang salah begitu pun sebaliknya. Menurut Nitobe dalam Fatonah (2008:48) sifat jujur dimiliki seseorang memang bakat dari dalam dirinya, tetapi adapun yang berasal dari pembelajaran. Nitobe menambahkan meskipun seseorang mempunyai kekurangan dalam berkomunikasi dengan orang lain, namun ia selalu berlaku jujur, maka kekurangan tersebut bukanlah suatu masalah.

2.2.4 Kesetiaan

Kesetian berasal dari kata setia. Dalam bahasa Jepang kesetiaan adalah chuugi (忠義). Setia berarti tidak mengkhianati. Nitobe dalam Fatonah (2008:50) mengatakan bahwa nilai kesetiaan dalam masyarakat feodal Jepang dianggap sangat penting. Dalam zaman feodal Jepang yang dipimpin oleh pemerintahan Tokugawa, kesetiaan merupakan salah satu sikap yang harus dimiliki oleh setiap samurai. Kesetiaan seorang samurai diperlihatkan dengan perilaku terhadap atasannya. Para samurai setia terhadap atasannya atas dasar kecintaan mereka terhadap atasan itu sendiri sehingga mereka tidak pernah meminta balasan atas kesetiaan yang telah berikan kepada atasan.

Bagi bangsa Jepang, samurai bukan saja suatu kelas masyarakat yang pernah ada dalam kehidupan lampau negeri Jepang, tetapi golongan ini juga merupakan penyebar benih dari sebuah semangat, yakni semangat Bushido. Bushido sebagai kode etik bangsa Jepang bisa saja lenyap, tetapi kekuatannya tidak akan hilang.

30

Nitobe dalam Fatonah (2008:51) mengatakan bahwa kesetiaan seorang samurai kepada atasannya akan menimbulkan sikap kepatuhan dalam diri individu samurai. Kesetiaan dan kesungguhan hati seorang samurai terhadap atasannnya dapat ditunjukkan dengan sikap berani mati demi atasannya.

Dalam ajaran konfusiusme Cina kesetiaan kepada orang tua menempati posisi teratas sebagai tugas utama manusia. Namun di Jepang, kesetiaan terhadap atasan menempati urutan teratas dibandingkan kesetiaan terhadap siapapun (Nitobe dalam Fatonah, 2008:51).

Nilai kesetiaan merupakan salah satu pedoman moral samurai dalam bertingkah laku yang pada akhirnya harus menembus kepada seluruh lapisan masyarakat Jepang.

Dokumen terkait