• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP PERAYAAN

3.2. Nilai-nilai Moral Hinamatsuri

3.2.1 Nilai Keteraturan

Hina ningyou yang disusun secara teratur dalam hina dan diletakkan pada tangga sesuai dengan tempatnya, seperti boneka kaisar dan boneka permaisuri yang berada di tingkat teratas karena berada di kelas yang paling terhormat. Menurut Benedict (1982: 50) setiap usaha untuk memahami bangsa Jepang harus dimulai dari pengertian mereka tentang apa yang dimaksud dengan “sesorang harus mengambil tempatnya yang sesuai”.

Setiap salam dalam masyarakat Jepang, setiap kontak harus menunjukkan jenis dan tingkat jarak sosial antara manusia. Setiap tingkah laku itu diatur oleh aturan-aturan dan konvensi-konvensi yang sangat cermat. Bukan hanya perbedaan kelas saja yang selalu dinyatakan dalam tingkah laku yang sepadan, meskipun ini penting. Jenis kelamin dan usia, ikatan keluarga dan hubungan-hubungan sebelumnya antar dua orang, semua ini perlu diperhitungkan. Istri membungkukkan badan kepada suaminya, anak membungkukkan badan kepada

perempuan membungkukkan badan kepada saudara laki-lakinya, tanpa memandang umur. Ini bukanlah suatu sikap yang tak bermakna. Ini berarti yang membungkukkan badan mengakui hak yang lain untuk bertindak sesuai dengan kemauannya dalam hal-hal yang ia rasa baik untuk dirinya, dan yang menerima pembungkukkan badan mengakui tanggung jawab tertentu yang harus dipikulnya di dalam posisinya. Hirarki yang berlandaskan jenis kelamin, generasi dan usia merupakan bagian yang mendasar dan sangat penting bagi kehidupan keluarga (Benedict, 1982: 54-56).

Suami mempunyai peranan untuk mencari nafkah dan menjamin posisi keluarga dalam masyarakat, sedangkan istri bertanggungjawab atas rumah tangga dan pendidikan anak-anak. Menjaga kehormatan keluarga adalah hal yang dirasakan amat penting oleh seluruh keluarga. Saat manusia mengambil tempatnya yang sesuai dan melaksanakan tugas sesuai posisinya, maka terciptalah suatu keteraturan dan keharmonisan.

3.2.2 Nilai Senioritas

Hina ningyou dalam hina dan disusun bertingkat. Satu set hina ningyou adalah melambangkan suatu kelompok. Dari tangga teratas sampai tangga terbawah disusun sesuai kedudukan masing-masing boneka dalam kelompoknya. Pada tingkat teratas ada dua buah boneka yang dikenal sebagai kaisar (dairi bina) dan permaisuri (ohina-sama) yang melambangkan pemimpin dalam kelompok. Boneka-boneka dari tangga selanjutnya melambangkan anggota-angota dalam kelompok. Satu set hina ningyou yang disusun bertingkat dalam hina dan

mengajarkan pada anak-anak pentingnya suatu kelompok bagi masyarakat Jepang dan dalam kelompok tidak luput dari pentingnya senioritas.

Sifat masyarakat Jepang yang menonjol adalah peranan kelompok dalam kehidupan masyarakat. Nikabe Chie dalam Suryohadripojo (1982:43) membedakan antara kerangka (frame) dengan atribut dalam posisi individu di dalam masyarakat. Yang dimaksud dengan “ kerangka” adalah lingkungan di mana individu itu berada atau dalam kelompoknya, sedangkan “atribut” adalah tempat individu berada. Di Jepang, kerangka lebih penting daripada atribut. Sebagai contoh: suatu rumah tangga merupakan satu kerangka kehidupan bersama, sedangkan ayah, ibu, anak laki-laki, menantu, dan sebagainya adalah atribut dalam rumah tangga itu. Jadi, bagi masyarakat Jepang, kehidupan rumah tangga adalah lebih penting daripada kehidupan masing-masing anggota rumah tangga tersebut dan peranan kelompok jauh lebih penting daripada peranan individu.

Hubungan antar anggota kementrian atau perusahaan tidak pernah lepas dari ukuran senioritas. Hubungan antara kohai (junior) dengan senpai (senior) amat penting. Semua orang yang masuk lebih dulu dalam kelompok itu adalah senior dan yang masuk belakangan adalah juniornya. Senioritas ini mempengaruhi hidup anggota hingga pada hal-hal kecil seperti tempat duduk dalam pertemuan atau makan-makan, kesempatan berbicara dan lain-lain (Suryohadiprojo, 1982:173). Di samping itu ada douryou, yaitu anggota dengan senioritas yang sama. Setiap orang dalam kelompok tahu di mana posisinya terhadap orang lain, dan kapan ia meningkat dalam tingkatan kelompok.

Di dalam kelompok, fungsi anggota tidak ditentukan secara tegas, karena yang harus tegas adalah tujuan dan fungsi kelompok. Oleh sebab itu, seorang anggota dapat diminta untuk mengerjakan apapun yang diperlukan oleh kelompok. Melihat pentingnya senioritas dalam kehidupan, maka mudah dipahami bahwa penghormatan dan penghargaan kepada orang tua adalah besar. Tetapi tidak berarti bahwa yang muda tidak diperhatikan. Karena semua orang terikat pada kelompok, maka demi kepentingan kontinuitas kelompok, orang tua juga amat memeperhatikan orang muda.

3.2.3 Nilai Keindahan

Karena masyarakat Jepang hidup dalam lingkungan alam berupa kepulauan dan pegunungan yang masing-masing menunjukkan kekuatan di satu pihak, dan juga keindahan di lain pihak, maka rakyat Jepang dibawa kepada keharusan untuk memperhatikan harmoni kehidupan.

Hina ningyou yang disusun secara teratur dalam hina dan diletakkan pada tangga sesuai dengan tempatnya, seperti boneka kaisar dan boneka permaisuri yang berada di tingkat teratas karena berada di kelas yang paling terhormat. Hina

ningyou dalam hina dan disusun bertingkat. Satu set hina ningyou adalah

melambangkan suatu kelompok. Dari tangga teratas sampai tangga terbawah disusun sesuai kedudukan masing-masing boneka dalam kelompoknya. Hina ningyou yang seperti ini mengajarkan pada anak-anak bahwa setiap orang dalam kelompok harus menyadari dimana posisi mereka berada dan melaksanakan tugas sesuai posisi mereka, dengan begitu akan tercipta suatu keteraturan dalam

kelompok dan keteraturan itu akan menciptakan keharmonisan. Keharmonisan dalam suatu kelompok adalah suatu keindahan.

Bagi masyarakat Jepang yang penting adalah konsep Wabi-Sabi dari Zen Budddhisme. Konsep estetika Jepang yang berpusat pada penerimaan akan ketidak kekalan dan ketidak sempurnaan sebagai sifat kehidupan. Maksudnya bahwa hidup itu tidak kekal, selalu berubah dan harus diterima. Dalam paham ini, keindahan sering dianggap berisfat “tidak sempurna, tidak kekal, dan tidak komplit”. Konsep Wabi-Sabi ini berkembang dari ajaran Zen Buddhisme, mengenal 3 ciri khas kehidupan, yaitu ketidak kekalan, penderitaan dan keksongan atau kehampaan atas diri kita yang sejatinya (http://josephinesgradiana.blogspot.com/2013/12/estetika-zen-buddhisme.html).

Dokumen terkait