• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fungsi dan Nilai Moral Perayaan Hinamatsuri Bagi Masyarakat Jepang Modern

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Fungsi dan Nilai Moral Perayaan Hinamatsuri Bagi Masyarakat Jepang Modern"

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

FUNGSI DAN NILAI MORAL PERAYAAN HINAMATSURI BAGI MASYARAKAT JEPANG MODERN

GENZAI NIHON SHAKAI NO TAME NO HINAMATSURI NO OIWAI NO

KINOU TO DOUTOKU KACHI

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan Kepada Panitia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana dalam

Bidang Ilmu Sastra Jepang

OLEH:

RIKA NOVITA SARI 100708046

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)
(3)
(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah

memberikan rahmat beserta kasih karunia yang tak berkesudahan sehingga

penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Fungsi Dan Nilai Moral Perayaan Hinamatsuri Bagi Masyarakat Jepang Modern”, disusun untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar kesarjanaan Departemen

Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara. Dalam

kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum, selaku Ketua Departemen Sastra

Jepang Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Drs. Hamzon Sittumorang, M.S, Ph.D, selaku Dosen

Pembimbing I, yang telah banyak menyisihkan waktu, pikiran, dan

masukan-masukan selama dalam penulisan skripsi ini.

4. Bapak Drs. Nandi S, selaku Dosen Pembimbing II, yang telah memberikan

banyak bimbingan dalam penulisan skripsi ini.

5. Seluruh staff pengajar Departemen Sastra Jepang, yang telah banyak

memberikan penulis bayak masukan dan ilmu.

6. Dosen Penguji Ujian Seminar Proposal dan Penguji Ujian Skripsi, yang telah

menyediakan waktu untuk membaca dan menguji skripsi ini.

7. Teristimewa penulis sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada

(5)

sayang, doa, kesabaran, moril, dukungan semangat, keringat, air mata, serta

dukungan materil yang tidak terhingga demi kebahagiaan, pendidikan, serta

keberhasilan anak-anaknya. Semoga Tuhan Yesus senantiasa memberi

kesehatan, rejeki, dan umur yang panjang sehingga penulis dapat

membahagiakan dan membalas semua kebaikan ibu dan ayah. Terima kasih

juga untuk adik-adik penulis, Tuya dan Dion yang telah banyak memberikan

hiburan, dukungan dan semangat.

8. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman seperjuangan:

Andha, Ola, April, Lina, Fitri yang menemani penulis dalam suka dan duka

dalam perkuliahan. Terima kasih atas hiburan, dukungan dan kepedulian yang

telah diberikan kepada penulis. Terima kasih juga kepada seluruh

teman-teman sekelas yang tidak bisa disebutkan satu persatu atas kebersamaan dan

dukungannya. Juga untuk senior-senior, terima kasih atas nasehat, dukungan

masukannya, Tuhan Yesus memberkati.

Penulis berupaya semaksimal mungkin dalam menyelesaikan skripsi ini.

Namun masih banyak kesalahan, baik dari segi sisi maupun tata bahasa, untuk itu

penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun demi perbaikan

dan penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca.

Medan, 2014

Penulis,

(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan Massalah ... 4

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan ... 6

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori ... 6

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 11

1.6 Metode Penelitian ... 12

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP PERAYAAN HINAMATSURI BAGI MASYARAKAT JEPANG MODERN ... 14

2.1 Definisi Kebudayaan ... 14

2.2 Definisi Matsuri ... 17

2.3 Definisi Hinamatsuri ... 19

2.3.1 Perayaan Hinamatsuri ... 19

2.3.2 Sejarah Hinamatsuri ... 21

2.3.3 Susunan Boneka ... 23

2.4 Teori Fungsional Budaya Bronislaw Mallinowski ... 26

(7)

BAB III ANALISIS FUNGSI DAN NILAI MORAL PERAYAAN HINAMATSURI BAGI MASYARAKAT JEPANG

MODERN ... 34

3.1 Fungsi Hinamatsuri ... 34

3.2. Nilai-nilai Moral Hinamatsuri ... 37

3.2.1 Nilai Keteraturan ... 37

3.2.2 Nilai Senioritas ... 38

3.3.3 Nilai Keindahan ... 40

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 42

4.1 Kesimpulan ... 42

4.2 Saran ... 44

(8)

ABSTRAK  

Matsuri adalah salah satu dari kebudayaan Jepang. Matsuri merupakan

foklor Jepang asli yang berhubungan dengan agama Shinto, yang dilakukan setiap

tahun pada tanggal-tanggal tertentu. Matsuri pada dasarnya adalah festival suci.

Istilah matsuri mencakup pesta rakyat dan ritus-ritus yang dipraktekkan dalam

agama Shinto. Matsuri adalah suatu perbuatan simbolik, dimana pesertanya

memasuki komunikasi aktif dengan para dewa (Kami). Upacara ini juga disertai

dengan komunikasi di antara para peserta sendiri, dalam betuk pesta dan pesta

rakyat.

Salah satu matsuri yang ada di Jepang adalah hinamatsuri. Hinamatsuri

adalah sebuah festival atau perayaan yang ditujukan bagi anak perempuan yang

diadakan setiap tanggal 3 maret. Penulis ingin menganalisis fungsi dan nilai moral

dari perayaan hinamatsuri bagi masayarakat Jepang dewasa ini.

Penulis memilih menganalisis fungsi dan nilai moral dari perayaan

hinamatsuri bagi masayarakat Jepang dewasa ini karena penulis tertarik dengan

perayaan bagi anak perempuan dengan boneka yang unik. Boneka diletakkan di

atas panggungbertingkat yang disebut dankazari(tangga untuk memajang).

Jumlah anak tangga pada dankazari ditentukan berdasarkan jumlah boneka yang

ada. Masing-masing boneka diletakkan pada posisi yang sudah ditentukan

berdasarkan tradisi turun temurun. Dankazari diberi alas selimut tebal atatu karpet

berwarna merah yang disebut hi-mōsen. Keunikan festival ini memiliki fungsi

(9)

membuat penulis tertarik untuk mengambil judul “Fungsi Dan Nilai Moral

Perayaan Hinamatsuri Bagi Masyarakat Jepang Modern”.

Tujuan penelitian adalah:

1. Untuk mengetahui perayaan hinamatsuri bagi masyarakat Jepang

2. Untuk mengetahui seperti apa nilai-nilai moral yang terdapat dalam

hinamatsuri.

Hinamatsuri memiliki 4 fungsi pendidikan dalam keluarga,

1. Menghormati dan Mematuhi Dewa

Penempatan hina ningyou yang dianggap sebagai dewa di tempat tinggi

mendidik supaya anak-anak menghormati dan mematuhi dewa. Penghormatan

terhadap dewa juga ditunjukan dengan sikap serius anak-anak ketika berdoa di

depan hina ningyou.

2. Menumbuhkan Ketaatan Anak

Fungsi perayaan hinamatsuri adalah menumbuhkan ketaatan atau

kepatuhan pada orangtua dalam diri anak-anak sejak dini. Saat anak-anak

memandangi keindahan hina ningyou, saat itulah orang tua memberika

nasihat-nasihat yang harus dipatuhi anak-anak agar kelak menjadi orang yang sukses.

3. Keharmonisan Dalam Keluarga

Dengan memajang hina ningyou, orang tua mengharapkan agar anak

perempuan mereka dapat menikah di usia yang tepat, sehingga pernikahan

(10)

berkumpulnya anggota keluarga untuk menghias hina ningyou yang merupakan

suami istri mencerminkan pendidikan dalam bentuk lingkungan keluarga yang

harmonis.

4. Menumbuhkan Rasa Cinta Pada Budaya

Hina ningyou yang dipasang dari tahun ke tahun dimaksudkan agar

anak-anak belajar mengenai nilai-nilai berharga yang merupakan kekayaan negeri dan

anak diharapkan tumbuh sesuai dengan harapan keluarga.

Hinamatsuri memiliki nilai-nilai moral, yaitu:

1. Nilai Keteraturan

Hina ningyou yang disusun secara teratur dalam hina dan diletakkan pada

tangga sesuai dengan tempatnya. Hal ini mengajarkan pada anak-anak bahwa

manusia harus mengambil sikap yang sesuai dengan posisinya dalam suatu

kelompok.

2. Nilai Senioritas

Hina ningyou dalam hina dan disusun bertingkat. Satu set hina ningyou

adalah melambangkan suatu kelompok. Dari tangga teratas sampai tangga

terbawah disusun sesuai kedudukan masing-masing boneka dalam kelompoknya.

Pada tingkat teratas ada dua buah boneka yang dikenal sebagai kaisar (dairi bina)

dan permaisuri (ohina-sama) yang melambangkan pemimpin dalam kelompok.

(11)

mengajarkan pada anak-anak pentingnya suatu kelompok bagi masyarakat Jepang

dan dalam kelompok tidak luput dari pentingnya senioritas.

3. Nilai Keindahan

Hina ningyou dalam hina dan yang disusun bertingkat mengajarkan pada

anak-anak bahwa setiap orang dalam kelompok harus menyadari dimana posisi

mereka berada dan melaksanakan tugas sesuai posisi mereka, dengan begitu akan

tercipta suatu keteraturan dalam kelompok dan keteraturan itu akan menciptakan

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kata kebudayaan berasal dari kata budh dalam bahasa Sanskerta yang

berarti akal, kemudian menjadi kata budhi (tunggal) atau budhaya (majemuk),

sehingga kebudayaan diartikan sebagai hasil pemikiran atau akal manusia. Dalam

bahasa Inggris, kebudayaan adalah culture, berasal dari kata culere (bahasa

Yunani) yang berarti mengerjakan tanah. Dengan mengerjakan tanah, manusia

mulai hidup sebagai penghasil makanan (food producing). Hal ini berarti manusia

telah berbudi daya mengerjakan tanah karena telah meninggalkan kehidupan yang

hanya memungut hasil alam saja (food gathering) (Supartono, 2001:34).

Menurut Koentjaraningrat dalam Supartono (2001:35) kebudayaan berarti

keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakannya dengan belajar

serta keseluruhan dari budi pekertinya. Menurut Malinowski dalam Supartono

(2001:35) kebudayaan pada prinsipnya berdasarkan atas berbagai sistem

kebutuhan manusia. Tiap tingkatan kebutuhan itu menghadirkan corak budaya

yang khas. Misalnya, guna memenuhi kebutuhan manusia akan keselamatannya

maka timbul kebudayaan yang berupa perlindungan, yakni seperangkat budaya

dalam bentuk tertentu.

Kebudayaan selalu dibedakan dengan budaya. Jikalau ditanya apa contoh

(13)

masakan sukiyaki atau pakaian kimono. Tetapi kalau ditanya apa contoh budaya

Jepang, maka akan dijawab dengan budaya rasa malu, budaya kelompok atau

budaya menkoujoretsu (senioritas) dan sebagainya. Contoh-contoh di atas

menunjukkan bahwa kebudayaan adalah suatu yang konkrit. Sedangkan budaya

adalah suatu yang semiotik, tidak nampak atau bersifat laten (Situmorang, 2009:2).

Ienaga Saburo dalam Situmorang (2009:2) membedakan pengertian

kebudayaan (bunka) dalam arti luas dan arti sempit. Dalam arti luas kebudayaan

adalah seluruh cara hidup manusia. Dia juga menjelaskan bahwa kebudayaan ialah

keseluruhan hal yang bukan alamiah. Misalnya ikan adalah suatu benda alamiah,

tetapi dalam suatu masyarakat ikan tersebut dibakar atau dipepes atau shashimi

tersebut adalah kebudayaan.

Sedangkan pengertian kebudayaan dalam arti sempit menurut Ienaga

adalah terdiri dari ilmu pengetahuan, sistem kepercayaan dan seni. Oleh karena itu

Ienaga mengatakan kebudayaan dalam arti luas adalah segala sesuatu yang

bersifat konkrit yang diolah manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Sedangkan

kebudayaan dalam arti sempit adalah sama dengan pengertian budaya yang

diuraikan di atas. Yaitu kebudayaan dalam arti sempit menurut Ienaga Saburo

adalah sama dengan budaya yang berisikan sesuatu yang tidak nampak atau yang

bersifat semiotik.

Kemudian hubungan dari kebudayaan yang bersifat semiotik/abstrak atau

yang bersifat ideologi dengan kebudayaan yang bersifat konkrit adalah berada

dalam satu lapisan struktur. Kebudayaan dalam arti konkrit berada dalam struktur

(14)

Dalam mempelajari kebudayaan, ada tiga poin yang menjadi pusat

perhatian kita, yaitu masyarakat penghasil kebudayaan tersebut (sejarah lahirnya

kebudayaan tersebut), objek kebudayaan itu sendiri dan masyarakat pengguna

kebudayaan atau fungsi kebudayaan tersebut dalam masyarakat pengguna.

Matsuri (festival/perayaan) adalah salah satu dari kebudayaan Jepang.

Menurut Danandjaja (1997:300) matsuri merupakan foklor Jepang asli yang

berhubungan dengan agama Shinto, yang dilakukan setiap tahun pada

tanggal-tanggal tertentu. Matsuri pada dasarnya adalah festival suci. Istilah matsuri

mencakup pesta rakyat dan ritus-ritus yang dipraktekkan dalam agama Shinto.

Matsuri adalah suatu perbuatan simbolik, dimana pesertanya memasuki

komunikasi aktif dengan para dewa (Kami). Upacara ini juga disertai dengan

komunikasi di antara para peserta sendiri, dalam betuk pesta (feast) dan pesta

rakyat (festival).

Matsuri merupakan upacara yang dilakukan berangkat dari kenyataan

logis dengan memanfaatkan wahyu-wahyu yang bertentangan dengan yang

sekuler dan diilhami oleh kompleks simbol-simbol khusus dari metafisika yang

dirumuskan dan gaya hidup yang disarankan dengan otoritas persuasif

sebagaimana diungkapkan oleh Geertz dalam Lawanda (2004:16). Dengan

menerapkan teori Malinowski (Lessa dalam Lawanda 2004:17), matsuri dapat

dimasukkan kedalam magi dan mengandung sifat artistik berdasar tampilannya.

Salah satu matsuri yang akan dianalisis oleh penulis adalah hinamatsuri.

Hinamatsuri adalah sebuah festival atau perayaan yang ditujukan bagi anak

(15)

fungsi dan nilai moral dari perayaan hinamatsuri bagi masayarakat Jepang dewasa

ini.

Penulis memilih menganalisis fungsi dan nilai moral dari perayaan

hinamatsuri bagi masayarakat Jepang dewasa ini karena penulis tertarik dengan

perayaan bagi anak perempuan dengan boneka yang unik. Boneka diletakkan di

atas panggungbertingkat yang disebut dankazari(tangga untuk memajang).

Jumlah anak tangga pada dankazari ditentukan berdasarkan jumlah boneka yang

ada. Masing-masing boneka diletakkan pada posisi yang sudah ditentukan

berdasarkan tradisi turun temurun. Dankazari diberi alas selimut tebal atatu karpet

berwarna merah yang disebut hi-mōsen. Keunikan festival ini memiliki fungsi

pendidikan dan nilai moral bagi keluarga yang merayakannya. Hal inilah yang

membuat penulis tertarik untuk mengambil judul “Fungsi Dan Nilai Moral Perayaan Hinamatsuri Bagi Masyarakat Jepang Modern”.

1.2 Perumusan Masalah

Suatu ritual berfungsi untuk memantapkan solidaritas sosial. Dan

solidaritas ini dipertahankan untuk memungkinkan warga masyarakat memainkan

peranannya yang telah disepakati bersama, yakni memelihara kadar kebersamaan

yang menjadi landasan bagi berlangsungnya sistem sosial.

Setiap perayaan yang dilakukan memiliki fungsi dan nilai yang

berbeda-beda. Begitu pula dengan perayaan hinamatsuri. Matsuri berasal dari

kata matsuru ( 祭 ) yang berarti pemujaan terhadap Kami atau ritual yang terkait.

(16)

para dewa dengan manusia, sedangkan aspek kedua yaitu komunikasi antar

peserta sendiri. Unsur-unsur dalam matsuri yaitu monoimi atau pertapaan

penyucian diri, persembahan sesajian, dan komuni (communion) (Danandjaja

1997:301).

Hinamatsuri adalah sebuah festival atau perayaan yang ditujukan bagi

anak perempuan yang diadakan setiap tanggal 3 Maret. Satu set boneka terdiri

dari boneka kaisar, permaisuri, puteri istana (dayang-dayang), dan pemusik istana

yang menggambarkan upacara perkawinan tradisional di Jepang. Pakaian yang

dikenakan boneka adalah kimono gaya zaman Heian. Boneka diletakkan di

atas panggungbertingkat yang disebut dankazari (tangga untuk memajang).

Jumlah anak tangga pada dankazari ditentukan berdasarkan jumlah boneka yang

ada. Masing-masing boneka diletakkan pada posisi yang sudah ditentukan

berdasarkan tradisi turun temurun. Perayaan hinamatsuri yang dirayakan tiap

tahun memiliki fungsi pendidikan dan nilai moral bagi yang merayakannya.

Dengan menggunakan teori fungsional kebudayaan serta teori orientasi nilai

budaya sebagai acuan penulis untuk menganalisa fungsi dan nilai moral

hinamatsuri bagi masyarakat Jepang modern.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis mengangkat permasalahan yang

akan dibahas dalam skripsi ini, yaitu:

1. Apa fungsi perayaan hinamatsuri bagi masyarakat Jepang?

(17)

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

Dari permasalahan-permasalahan yang ada, perlu adanya ruang lingkup

dalam pembatasan masalah tersebut. Hal ini bertujuan agar penelitian ini tidak

menjadi luas dan tetap terfokus pada masalah yang ingin diteliti.

Dalam analisis ini, penulis hanya fokus pada fungsi pendidikan dalam

keluarga dan nilai moral yang terkandung dalam perayaan hinamatsuri bagi

masyarakat Jepang. Penulis menganalisis penelitian ini dengan menggunakan

pendekatan fungsional dari teori Bronislaw Malinowski dan teori orientasi nilai

budaya sebagai acuan.

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori

1.4.1 Tinjauan Pustaka

Inti dari teori fungsional Malinowski adalah bahwa segala aktivitas

kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah

kebutuhan naluri mahluk manusiayang berhubungan dengan seluruh

kehidupannya.

Menurut Malinowski dalam Ihromi (2006:60), fungsi dari satu unsur

budaya adalah kemampuannya untuk memenuhi beberapa kebutuhan dasar atau

yang timbul dari kebutuhan dasar yaitu kebutuhan sekunder dari para warga suatu

masyarakat. Kebutuhan pokok adalah seperti makanan, reproduksi (melahirkan

(18)

pertumbuhan. Dalam pemenuhan kebutuhan dasar itu, muncul kebutuhan jenis

kedua, kebutuhan sekunder yang juga harus dipenuhi oleh kebudayaan.

Contohnya: unsur kebudayaan yang memenuhi kebutuhan akan makanan

menimbulkan kebutuhan sekunder yaitu kebutuhan untuk kerjasama dalam

pengumpulan makanan atau untuk produksi; untuk ini masyarakat mengadakan

bentuk-bentuk organisasi politik dan pengawasan sosial yang akan menjamin

kelangsungan kewajiban kerjasama tersebut. Jadi menurut pandangan Malinowski

tentang kebudayaan, semua unsur kebudayaan akhirnya dapat dipandang sebagai

hal yang memenuhi kebutuhan dasar para masyarakat.

Kesenian misalnya yang merupakan salah satu unsur kebudayaan, terjadi

karena mula-mula manusia ingin memuaskan kebutuhan nalurinya akan

keindahan. Ilmu pengetahuan juga timbul karena kebutuhan naluri manusia untuk

tahu. Di samping itu, masih banyak aktivitas kebudayaan terjadi karena kombinasi

dari beberapa kebutuhan masyarakat. Misalnya budaya yang muncul akibat

kepentingan kelompok masyarakat tertentu, umpamanya kelompok masyarakat

petani, nelayan, atau para politikus, akademisi dan lain-lain. Masing-masing dari

kelompok tersebut akan selalu berusaha menjaga eksistensinya agar dapat

menjalankan fungsinya untuk memenuhi kebutuhan dari kelompoknya sendiri.

(

http://teologihindu.blogspot.com/2011/03/aplikasi-teori-pungsional-struktural.html)

Manusia, melalui instrumentalisasi kebudayaan, maka di dalam

mengembangkan maupun memenuhi kebutuhannya, ia harus mengorganisasi

(19)

pengetahuan, dengan kata lain yaitu melalui proses belajar manusia dapat

meningkatkan eksistensinya. Jadi kebutuhan akan ilmu dalam proses belajar

adalah mutlak. Dan di samping itu tindakan manusia juga harus dibimbing oleh

keyakinan, demikian pula magik. Karena tatkala manusia mengembangkan sistem

pengetahuan ia akan terikat dan dituntut untuk meneliti asal mula kemanusiaan,

nasib, kehidupan, kematian dan alam semesta. Jadi, sebagai hasil langsung

kebutuhan manusia untuk membangun sistem dan mengorganisasi pengetahuan,

timbul pula kebutuhan akan agama.

Konsep kebudayaan terintegarasi secara menyeluruh dalam upaya

pemenuhan kebutuhan manusia. Kebudayaan sebagai seperangkat sarana adalah

masalah mendasar. Kepercayaan, dan magik sekalipun, harus mengandung inti

utilitarian, karena ia memenuhi fungsi psikologis. Aturan-aturan dan ritual magik

dan agama tertentu dapat memantapkan kerjasama yang diperlukan, di samping

juga untuk memenuhi kepuasan pribadi sesorang.

Magik bagi sebagian masyarakat manusia di dunia ini diyakini memiliki

daya kerja, meredam kecemasan terhadap masa depan yang tak dikendalikan. Dan

dengan agama, magik dikembangkan dan berfungsi dalam situasi-situasi stress

emosional, dan fungsi magik adalah “ritualisasi optimisme manusia, melancarkan

keyakinannya dalam kemenangan harapan atas ketakutan”, dan ketakutan manusia

itu meliputi ketakutan akan bencana alam, akan penyakit dan lain-lain, dan semua

ketakutan itu berpangkal dari ketakutan manusia akan kematian.

Apa yang diuraikan di atas adalah teori fungsional kebudayaan sesuai

(20)

dari kebutuhan kebutuhan dasar dan kebutuhan sampingan. Sedangkan menurut

Maslows Hierarchy of Needs (

http://teologihindu.blogspot.com/2011/03/aplikasi-teori-pungsional-struktural.html), menguraikan tingkat kebutuhan yang

dibutuhkan manusia ada lima tingkatan yaitu dari kebutuhan tingkat terendah

sampai tingkat kebutuhan tertinggi meliputi :

1. Physiologi, kebutuhan faal tubuh meliputi pemenuhan kebutuhan akan rasa

haus, lapar, istirahat dan aktivitas.

2. Safety –Scurity, yaitu kebutuhan akan rasa aman yang bebas dari takut dan

cemas atau kekhawatiran.

3. Belongings and love, manusia membutuhkan harta benda dan kasih sayang

untuk mendukung eksistensinya

4. Esteem – self and others, kebutuhan manusia akan penghargaan pribadi dan

orang lain.

5. Self actualization, personal self fulfillment, kebutuhan akan aktualisasi diri,

pemenuhan diri pribadi.

Teori orientasi nilai budaya atau theory oreantation value of culture

menurut Kluckhon dan Strodberck, soal-soal yang paling tinggi nilainya dalam

kehidupan manusia dan yang ada dalam tiap kebudayaan di dunia ini menyangkut

paling sedikit lima hal, yakni:

(21)

2. Man nature atau persoalan hubungan manusia dengan alam sekitarnya;

3. Persoalan waktu, atau persepsepsi manusia terhadap waktu;

4. Persoalan aktivitas ‘activity’, persoalan mengenai pekerjaan, karya dan amal

perbuatan manusia; dan

5. Persoalan relasi ‘relationality’ atau hubungan manusia dengan manusia lainnya.

(

http://walidrahmanto.blogspot.com/2011/06/teori-teori-budaya-perspektif-dampak.html).

1.4.2 Kerangka Teori

Dalam meneliti suatu kebudayaan diperlukan suatu pendekatan yang

berfungsi sebagai titik tolak atau acuan penulis dalam menganalisis karya tersebut.

Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan pendekatan fungsional karena

hinamatsuri adalah kebutuhan sekunder yang timbul dari kebutuhan dasar dan

pendekatan nilai orientasi karena hinamatsuri mengandung nilai-nilai dalam

kehidupan masyarakat Jepang.

Menurut Malinowski dalam Ihromi (2006:59) pandangan fungsionalisme

terhadap kebudayaan mempertahankan bahwa setiap pola kelakuan yang sudah

menjadi kebiasaan, setiap kepercayaan dan sikap yang merupakan bagian dari

kebudayaan dalam suatu masyarakat, memenuhi beberapa fungsi mendasar dalam

kebudayaan bersangkutan. Fungsi dari satu unsur budaya adalah kemampuannya

untuk memenuhi beberapa kebutuhan dasar atau beberapa kebutuhan yang timbul

(22)

Pendekatan yang fungsional mempunyai suatu nilai praktis yang penting.

Pendekatan teori fungsionalisme dapat secara bermanfaat diterapkan dalam

analisa mekanisme-mekanisme kebudayaan-kebudayaan secara tersendiri.

Menurut Kluckhohn yang menentukan perilaku individu bukan dari faktor

genetik, namun pengaruh budaya dalam pola pengasuhan. Kluckhohn berpendapat

bahwa mengapa suatu individu berperilaku demikian karena “mereka dibesarkan

seperti itu”. Budaya di tempat seseorang dibesarkan mencerminkan nilai-nilai

mereka, sikap dan perilaku. Memahami akar dari psikologi manusia adalah kunci

untuk memahami mengapa manusia menampilkan perilaku tertentu, sikap tertentu,

dan bereaksi terhadap situasi dengan emosi tertentu. Kluckhohn menggunakan

beberapa paradigma untuk menggambarkan pengaruh budaya terhadap perilaku.

(http://kedaibunga.wordpress.com/2010/03/18/teori-clyde-kluckhohn-kay-maben/).

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.5.1 Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka penulis

merangkum tujuan dari penelitian sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui fungsi perayaan hinamatsuri bagi masyarakat Jepang

(23)

1.5.2 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini:

1. Bagi peneliti dan pembaca, dapat menambah wawasan mengenai fungsi dan

nilai hinamatsuri bagi masyarakat modern.

2. Bagi pembaca, dapat menambah bahan bacaan dan sumber penelitian untuk

Departemen Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya.

1.6 Metode Penelitian

Dalam penelitian sangat dibutuhkan metode penelitian sebagai bahan

penunjang dalam penulisan. Metode adalah cara pelaksanaan penelitian. Di dalam

penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode deskriptif analisis.

Menurut Nyoman Kutha Ratna (2003:53) metode deskriptif analisis

dilakukan dengan cara mendeskripsikan, dengan maksud untuk menemukan

unsur-unsurnya, kemudian dianalisis, bahkan juga diperbandingkan. Di dalam

metode ini, penulis tidak hanya menguraikan, namun juga memberikan

pemahaman dan penjelasan.

Dalam penulisan ini, penulis menjelaskan dengan secermat mungkin apa

saja yang menjadi fungsi dan nilai yang terdapat pada hinamatsuri bagi

masyarakat Jepang modern dengan menggunakan teori yang ada. Teori tersebut

(24)

Teknik pengumpulan data menggunakan metode pustaka (library research).

Untuk mengumpulkan data-data yang berguna untuk mendukung teori, penulis

mengumpulkannya dari kepustakaan yang berhubungan dengan penelitian.

Sumber-sumber kepustakaan tersebut bersumber dari buku, majalah, hasil-hasil

(25)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP PERAYAAN HINAMATSURI BAGI MASYARAKAT JEPANG MODERN

2.1 Definisi Kebudayaan

Kata kebudayaan berasal dari kata budh dalam bahasa sanskerta yang

bararti akal, kemudian menjadi kata budhi (tunggal) atau budhaya (majemuk),

sehingga kebudayaan dapat diartikan sebagai hasil pemikiran atau akal manusia.

Ada pendapat mengatakan bahwa kebudayaan berasal dari kata budi dan daya.

Budi adalah akal yang merupakan unsur rohani dalam kebudayaan, sedangkan

daya berarti perbuatan atau ikhtiar sebagai unsur jasmani, sehingga kebudayaan

diartikan sebagai hasil dari akal dan ikhtiar manusia. (Supartono, 2001:34)

Kebudayaan menurut Ki Hajar Dewantara dalam Supartono (2001:34)

berarti buah budi manusia adalah hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh

kuat, yakni alam dan zaman (kodrat dan masyarakat) yang merupakan bukti

kejayaan hidup dan penghidupannya guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan

yang pada akhirya bersifat tertib dan damai.

Koentjaraningrat dalam Supartono (2001:35) mengatakan bahwa

kebudayaan berarti keseluruan gagasan dan karya manusia yang harus

(26)

Malinowski dalam Supartono (2001:35) menyebutkan bahwa kebudayaan

pada prinsipnya berdasarkan atas berbagai sistem kebutuhan manusia. Tiap

tingkat kebutuhan itu menghadirkan corak budaya yang khas. Misalnya, guna

memenuhi kebutuhan manusia akan keselamatannya maka timbul kebudayaan

yang berupa perlindungan, yakni seperangkat budaya dalam bentuk tertentu

seperti lembaga kemasyarakatan.

Terjadinya suatu kebudayaan dipengaruhi oleh sejumlah faktor, yaitu

hal-hal yang menggerakkan manusia untuk melakukan kebudayaan. Oleh karena itu,

kebudayaan merupakan produk kekuatan jiwa manusia sebagai mahluk Tuhan

yang tertinggi. Walaupun manusia memiliki tubuh yang lemah jika dibandingkan

dengan binatang seperti gajah, harimau dan kerbau, tetapi dengan akalnya

manusia mampu menciptakan alat (sebagai homo faber) sehingga akhirnya dapat

menjadi penguasa dunia. Oleh karena itu, manusia dikatakan sebagai insan budaya

(Supartono, 2001:35).

Kebudayaan selalu dibedakan dengan budaya. Kalau ditanya apa contoh

kebudayaan Jepang, maka mungkin akan dijawab dengan Chanoyu, ikebana,

masakan sukiyaki atau pakaian kimono. Tetapi kalau ditanya apa contoh budaya

Jepang, maka akan dijawab dengan budaya rasa malu, budaya kelompok atau

budaya menkoujoretsu (senioritas) dan sebagainya. Contoh-contoh di atas

menunjukkan bahwa kebudayaan adalah suatu yang konkrit. Sedangkan budaya

adalah suatu yang semiotik, tidak nampak atau bersifat laten (Situmorang, 2009:2).

Ienaga Saburo dalam Situmorang (2009:2) membedakan pengertian

(27)

adalah seluruh cara hidup manusia. Dia juga menjelaskan bahwa kebudayaan ialah

keseluruhan hal yang bukan alamiah. Misalnya ikan adalah suatu benda alamiah,

tetapi dalam suatu masyarakat ikan tersebut dibakar atau dipepes atau shashimi

tersebut adalah kebudayaan.

Sedangkan pengertian kebudayaan dalam arti sempit menurut Ienaga

dalam Situmorang (2009:3) adalah terdiri dari ilmu pengetahuan, sistem

kepercayaan dan seni. Oleh karena itu Ienaga mengatakan kebudayaan dalam arti

luas adalah segala sesuatu yang bersifat konkrit yang diolah manusia untuk

memenuhi kebutuhannya. Sedangkan kebudayaan dalam arti sempit adalah sama

dengan pengertian budaya yang diuraikan di atas. Yaitu kebudayaan dalam arti

sempit menurut Ienaga Saburo adalah sama dengan budaya yang berisikan sesuatu

yang tidak nampak atau yang bersifat semiotik.

Kemudian hubungan dari kebudayaan yang bersifat semiotik/abstrak atau

yang bersifat ideologi dengan kebudayaan yang bersifat konkrit adalah berada

dalam satu lapisan struktur. Kebudayaan dalam arti konkrit berada dalam struktur

luar dan budaya, yang bersifat semiotik berada dalam struktur dalam.

Dalam mempelajari kebudayaan, ada tiga poin yang menjadi pusat

perhatian kita, yaitu masyarakat penghasil kebudayaan tersebut (sejarah lahirnya

kebudayaan tersebut), objek kebudayaan itu sendiri dan masyarakat pengguna

(28)

2.2 Definisi Matsuri

Matsuri (festival/perayaan) adalah salah satu dari kebudayaan Jepang.

Menurut Danandjaja (1997:300) matsuri merupakan foklor Jepang asli yang

berhubungan dengan agama Shinto, yang dilakukan setiap tahun pada

tanggal-tanggal tertentu. Matsuri pada dasarnya adalah festival suci. Istilah matsuri

mencakup pesta rakyat dan ritus-ritus yang dipraktekkan dalam agama Shinto.

Matsuri adalah suatu perbuatan simbolik, dimana pesertanya memasuki

komunikasi aktif dengan para dewa (Kami). Upacara ini juga disertai dengan

komunikasi di antara para peserta sendiri, dalam betuk pesta (feast) dan pesta

rakyat (festival).

Matsuri merupakan ekspresi keyakinan keagamaan orang Jepang yang

berfungsi memantapkan kayakinan bahwa dunia terdiri dari dunia nyata dan dunia

gaib, ada manusia dan ada yang gaib, berinterkasi sebagai sebuah truktur

(Lawanda, 2004:16).

Matsuri merupakan upacara yang dilakukan berangkat dari kenyataan

logis dengan memanfaatkan wahyu-wahyu yang bertentangan dengan yang

sekuler dan diilhami oleh kompleks simbol-simbol khusus dari metafisika yang

dirumuskan dan gaya hidup yang disarankan dengan otoritas persuasif

sebagaimana diungkapkan oleh Geertz dalam Lawanda (2004:16).

Menurut Lawanda (2004:35) matsuri bermakna sebagai sarana

penghubung manusia dengan dewa-dewa yang berada di dunia lain, diyakini

(29)

orang Jepang. Dengan demikian, matsuri memiliki kategori-kategori yang

sakral-yang profit, kami (dewa)-hito (manusia), sairei (upacara)-saigi (perayaan),

pusat-pinggir, keagamaan-sosial, kelompok-individu, laki-laki-perempuan,

atasan-bawahan. Berdasarkan kategori ini, matsuri dilakukan orang Jepang didalam

menjalankan kehidupan sehari-hari.

Di Jepang. Terdapat beberapa tipe matsuri, misalnya matsuri untuk

memohon kepada para dewa (seperti memohon keberhasilan panen). Tipe lainnya

yaitu matsuri untuk mengucapkan terima kasih kepada para dewa, dan tipe lain

lagi untuk mengusir penyakit menular dan bencana-bencana alam. Ada matsuri

yang bersifat serius dan khusyuk, tetapi ada pula yang meriah, disertai permainan

bertanding dan pertunjukan-pertunjukan.

Menurut Danandjaja (1997:302) matsuri memiliki unsur-unsur penting

seperti:

1. Monoimi atau pertapaan penyucian diri, secara simbolik, monoimi

merupakan “pintu gerbang” untuk memasuki kawasan khusus (hare) dari

matsuri. Ritus-ritus penyucian diri pada beberapa tahun terakhir ini telah

banyak disederhanakan. Pada masa sebelum periode sebelum modern

penduduk Jepang tidak diperkenankan mengambil bagian dalam suatu

matsuri sebelum melalui proses penyucian diri.

2. Persembahan sesajian adalah unsur kedua yang penting dalam suatu

(30)

paling umum yaitu kue mochi, arak sake, ganggang laut, sayur-sayuran

serta buah-buahan.

3. Komuni atau naorai adalah unsur ketiga yang juga penting yaitu acara

santap bersama di antara para peserta; yang disantap yaitu sesajian yang

telah disediakan bagi para dewa. Pada beberapa tahun terakhir ini, naorai

juga menyantap makanan di tempat lain (bukan di tempat matsuri), yang

diadakan setelah upacara selesai.

2.3 Definisi Hinamatsuri

2.3.1 Perayaan Hinamatsuri

Hinamatsuri (雛祭 , ひなまつ ) adalah festival boneka atau festival

anak perempuan yang dirayakan setiap tanggal 3 Maret di Jepang yang bertujuan

untuk mendoakan pertumbuhan dan keselamatan anak perempuan serta mengusir

roh-roh jahat. Perayaan ini sering disebut festival boneka atau festival anak

perempuan karena berawal dari permainan boneka di kalangan

putri bangsawan yang disebut hiina asobi (bermain boneka puteri). Hina berarti

gadis atau puteri. Keluarga yang memiliki anak perempuan memajang satu

set boneka yang disebut hina-ningyou (雛人形).

Hina-ningyou di pajang di atas tangga yang ditutupi oleh karpet berwarna

merah. Satu set boneka tradisional ini mewakili kaisar, permaisuri,

(31)

Walaupun disebut matsuri, perayaan ini lebih merupakan acara keluarga di

rumah, dan hanya dirayakan keluarga yang memiliki anak perempuan. Sebelum

hari perayaan tiba, anak-anak membantu orang tua mengeluarkan boneka dari

kotak penyimpanan untuk dipajang. Sehari sesudah hinamatsuri, boneka harus

segera disimpan karena dipercaya sudah menyerap roh-roh jahat dan nasib sial.

Keluarga-keluarga di Jepang secara umum memulai memajang boneka

pada Febuari dan segera menyimpannya setelah festival. Ada kepercayaan yang

mengatakan bahwa membiarkan boneka setelah tanggal 4 maret akan

menyebabkan anak perempuan terlambat menikah.

Pada saat perayaan, anak perempuan memakai kimono dan mengunjungi

rumah temannya atau mengundang teman-temannya, berdoa, bermain, dan

menyantap hidangan di depan hina ningyo. Tangga yang bertingkat untuk

hina-ningyou dipajang di rumah dan keluarga merayakan dengan makanan spesial.

Hidangan istimewa untuk anak perempuan yang merayakan hinamatsuri antara

lain: kue hishimochi, kue hikigiri, makanan ringan hina arare, sup bening dari

kaldu ikan tai atau kerang (hamaguri), serta chirashizushi. Minumannya adalah

sake putih (shirozake) yang dibuat dari fermentasi beras

ketan dengan mirin atau shōchū, dan kōji. Minuman lain yang disajikan adalah

sake manis (amazake) yang dibuat dari ampas sake (sakekasu) yang diencerkan

(32)

2.3.2 Sejarah Hinamatsuri

Sebelum kalender Gregorian digunakan di Jepang, hinamatsuri dirayakan

setiap hari ke-3 bulan 3 menurut kalender lunisolar. Menurut kalender lunisolar,

hari ke-3 bulan 3 disebut momo no sekku (perayaan bunga persik), karena

bertepatan dengan mekarnya bunga persik. Kalender Gregorian mulai digunakan

di Jepang sejak 1 Januari1873 sehingga perayaan hinamatsuri berubah menjadi

tanggal 3 Maret.

Dalam sejumlah literatur klasik ditulis tentang kebiasaan bermain boneka

di kalangan anak perempuan bangsawan istana dari zaman Heian (sekitar abad

ke-8). Menurut perkiraan, boneka dimainkan bersama rumah boneka yang berbentuk

istana. Permainan di kalangan anak perempuan tersebut dikenal sebagai hina

asobi (bermain boneka puteri). Pada prinsipnya, hina asobi adalah permainan dan

bukan suatu ritual.

Sejak abad ke-19 (zaman Edo), hina asobi mulai dikaitkan dengan

perayaan musim (sekku) untuk bulan 3 kalender lunisolar. Sama halnya dengan

perayaan musim lainnya yang disebut "matsuri", sebutan hina asobi juga berubah

menjadi hinamatsuri dan perayaannya meluas di kalangan rakyat.

Orang Jepang di zaman Edo terus mempertahankan cara memajang boneka

seperti tradisi yang diwariskan turun temurun sejak zaman Heian. Boneka

dipercaya memiliki kekuatan untuk menyerap roh-roh jahat ke dalam tubuh

boneka, dan karena itu menyelamatkan sang pemilik dari segala hal-hal yang

(33)

boneka). Boneka diletakkan di wadah berbentuk sampan, dan dikirim dalam

perjalanan menyusuri sungai hingga ke laut dengan membawa serta roh-roh jahat.

Kalangan bangsawan dan samurai dari zaman Edo menghargai boneka

hinamatsuri sebagai modal penting untuk wanita yang ingin menikah, dan

sekaligus sebagai pembawa keberuntungan. Sebagai lambang status dan

kemakmuran, orang tua berlomba-lomba membelikan boneka yang terbaik dan

termahal bagi putrinya yang ingin menjadi pengantin.

(http://id.wikipedia.org/wiki/Hinamatsuri).

Kuil Shimogamo (bagian dari kompleks kuil Kamo di Kyoto) merayakan

hinanagashi dengan menghanyutkan boneka antara sungai Takano dan sungai

Kamo untuk mendoakan keselamatan anak perempuan. Masyarakat Jepang kini

sudah berhenti melakukannya karena banyak boneka-boneka yang dihanyutkan

tersangkut di jaring nelayan selain itu boneka hina saat ini relatif mahal dan

sayang untuk dibuang (Russell, 2012:5).

Boneka yang digunakan pada awal zaman Edo disebut tachibina (boneka

berdiri) karena boneka berada dalam posisi tegak, dan bukan duduk seperti

sekarang ini. Pada waktu itu, satu set boneka hanya terdiri sepasang boneka yang

keduanya bisa dalam posisi duduk maupun berdiri. Sejalan dengan perkembangan

zaman, boneka menjadi semakin rumit dan mewah. Pada zaman Genroku, orang

mengenal boneka genrokubina(boneka zaman Genroku) yang dipakaikan

kimono dua belas lapis (jūnihitoe). Pada zaman Kyōhō, orang mengenal boneka

ukuran besar yang disebut kyōhōbina (boneka zaman Kyōhō). Perkembangan

(34)

belakang genrokubina dan kyōhōbina sewaktu dipajang. Tidak semua dankazari

bbertingkat sama, ada dankazari 3 tingkat, ada yang tujuh tingkat dan sebagainya.

Mulai sekitar akhir zaman Edo hingga awal zaman Meiji, boneka

hinamatsuri yang mulanya hanya terdiri dari sepasang kaisar dan permaisuri

berkembang menjadi satu set boneka lengkap berikut boneka puteri istana,

pemusik, serta miniatur istana, perabot rumah tangga dan dapur. Dan sejak itu

pula, boneka dipajang di atas dankazari (tangga untuk memajang), dan orang di

seluruh Jepang mulai merayakan hinamatsuri secara besar-besaran.

(http://id.wikipedia.org/wiki/Hinamatsuri).

2.3.3 Susunan Boneka

Istilah untuk tangga memajang di Jepang disebut hina dan atau dankazari,

lapisan yang menutupinya disebut dankakke atau hi-mosen yaitu kain tebal atau

karpet berwarna merah dengan garis pelangi di bagian bawah.

Wilayah Kanto dan Kansai memiliki urutan penempatan boneka dari kiri

ke kanan yang berbeda tetapi urutan boneka pertingkat sama. Berikut adalah

susunan boneka pertingkat menurut Russell (2012:6) :

1. Tangga Pertama atau Tangga Teratas

Pada tingkat teratas ada dua buah boneka yang dikenal sebagai kaisar

(dairi bina) dan permaisuri (ohina-sama). Boneka kaisar (odairi-sama)

memegang tongkat ritual (shaku) dan permaisuri memegang kipas. Kata dairi

(35)

ditempatkan di depan layar lipat emas (byoubu) dan ditengah diletakkan pohon

taman hijau Jepang. Di kedua sisi ada lampu atau lampion yang disebut bonbori

dan lentera sutra yang disebut hibikuro, biasanya dihiasi dengan pola bunga

sakura. Set yang lengkap akan mencakup aksesori ditempatkan diantara dua

boneka yang disebut sanbo kazari. Untuk pengaturan tradisional kaisar diletakkan

di sebelah kanan sementara pengaturan modern kaisar diletakkan di kiri (menurut

pandangan yang melihat).

2. Tangga Kedua

Di tingkat kedua ada tiga boneka dayang-dayang (sannin kanjo) yang

masing-masing memegang peralatan sake. Dari pandangan yang melihat, gadis

yang berada di sebelah kanan adalah pembawa sake yang bergagang panjang

(nagae no chosi), gadis yang berada di sebelah kiri adalah pembawa sake yang di

belakang (kuwae no chosi), dan gadis yang di tengah adalah pembawa sake yang

duduk (sanpo).

3. Tangga Ketiga

Pada tangga ketiga ada lima boneka pemusik (gonin bayashi).

Masing-masing memegan alat musik, kecuali penyanyi yang memegang kipas. Dari kiri ke

kanan dari pandangan yang melihat, paling kiri adalah pemain gendang kecil

(taiko) dengan posisi duduk, di sebelahnya ada pemain gendang besar dengan

posisi berdiri (otsuzumi), di sebelahnya pemaing gendang tangan (kotsuzumi)

(36)

duduk dan yang paling kanan adalah penyanyi (utaikata) yang memegang kipas

dengan posisi berdiri.

4. Tangga Keempat

Pada tangga keempat terdapat dua mentri (daijin). Mentri yang dibelah

kanan (udaijin) dan mentri yang disebalh kiri (sadaijin). Mentri yang di sebelah

kanan digambarkan sebagai orang yang muda, sedangkan mentri yang di sebelah

kiri jauh lebih tua dan keduanya lengkap dengan busur dan anak panah. Dari

pandangan yang melihat, menteri kanan berada di sebelah kiri, sedangkan menteri

kiri berada di sebelah kanan.

5. Tangga Kelima

Pada tangga yang kelima, diantara tanaman-tanaman, ada tiga boneka

pembantu atau samurai sebagai pelindung kaisar dan permaisuri. Dari kiri ke

kanan: peminum yang cengeng (nakijogo), peminum yang membantah

(okorijogo) dan peminum yang riang (waraijogo).

6. Tangga yang Lain

Pada tangga keenam dan ketujuh, ada berbagai miniatur perabotan,

(37)

2.4 Teori Fungsional Budaya Bronislaw Malinowski

Bronislaw Malinowski (1884-1942) dididik di Polandia sebagai seorang

ahli matematika, kemudian mempelajari antropologi di Inggris selama 4 tahun dan

selama Perang Dunia I tinggal di antara penduduk asli Pulau Trobiand, sambil

mengamati cara hidup penduduk asli kepulauan tersebut. Dengan sama sekali

mengasingkan dirinya dari orang-orang Eropa lainnya yang ada di kepulauan

tersebut dan juga menyelami bahasa serta kebiasaan-kebiasaan dari penduduk asli.

Cara yang ditempuh Malinowski ini dinamakan pendekatan penelitian lapangan

melalui pengamatan keikutsertaan (participant obeserver) (Ihromi, 2006:59).

Malinowski mengajukan sebuah orientasi teori yang dinamakan

fungsionalisme, yang beranggapan atau berasumsi bahwa semua unsur

kebudayaan bermanfaat bagi di mana unsur itu terdapat. Dengan kata lain,

pandangan fungsionalisme terhadap kebudayaan mempertahankan bahwa setiap

pola kelakuan yang sudah menjadi kebiasaan, setiap kepercayaan dan sikap yang

merupakan bagian dari kebudayaan dalam suatu masyarakat, memenuhi beberapa

fungsi mendasar dalam kebudayaan bersangkutan. Menurut Malinowski, fungsi

dari satu unsur budaya adalah kemampuannya untuk memenuhi beberapa

kebutuhan dasar atau yang timbul dari kebutuhan dasar yaitu kebutuhan sekunder

dari para warga suatu masyarakat. Kebutuhan pokok adalah seperti makanan,

reproduksi (melahirkan keturunan), merasa enak badan (bodily comfort), kemanan,

kesantaian, gerak dan pertumbuhan. Dalam pemenuhan kebutuhan dasar itu,

muncul kebutuhan jenis kedua, kebutuhan sekunder yang juga harus dipenuhi oleh

(38)

makanan menimbulkan kebutuhan sekunder yaitu kebutuhan untuk kerjasama

dalam pengumpulan makanan atau untuk produksi; untuk ini masyarakat

mengadakan bentuk-bentuk organisasi politik dan pengawasan sosial yang akan

menjamin kelangsungan kewajiban kerjasama tersebut. Jadi menurut pandangan

Malinowski tentang kebudayaan, semua unsur kebudayaan akhirnya dapat

dipandang sebagai hal yang memenuhi kebutuhan dasar para masyarakat (Ihromi,

2006:60).

Kesenian misalnya yang merupakan salah satu unsur kebudayaan, terjadi

karena mula-mula manusia ingin memuaskan kebutuhan nalurinya akan

keindahan. Ilmu pengetahuan juga timbul karena kebutuhan naluri manusia untuk

tahu. Di samping itu, masih banyak aktivitas kebudayaan terjadi karena kombinasi

dari beberapa kebutuhan masyarakat. Misalnya budaya yang muncul akibat

kepentingan kelompok masyarakat tertentu, umpamanya kelompok masyarakat

petani, nelayan, atau para politikus, akademisi dan lain-lain. Masing-masing dari

kelompok tersebut akan selalu berusaha menjaga eksistensinya agar dapat

menjalankan fungsinya untuk memenuhi kebutuhan dari kelompoknya sendiri.

(

http://teologihindu.blogspot.com/2011/03/aplikasi-teori-pungsional-struktural.html)

Manusia, melalui instrumentalisasi kebudayaan, maka di dalam

mengembangkan maupun memenuhi kebutuhannya, ia harus mengorganisasi

peralatan, artefak, dan kegiatan menghasilkan makna melalui bimbingan

pengetahuan, dengan kata lain yaitu melalui proses belajar manusia dapat

(39)

adalah mutlak. Dan di samping itu tindakan manusia juga harus dibimbing oleh

keyakinan, demikian pula magik. Karena tatkala manusia mengembangkan sistem

pengetahuan ia akan terikat dan dituntut untuk meneliti asal mula kemanusiaan,

nasib, kehidupan, kematian dan alam semesta. Jadi, sebagai hasil langsung

kebutuhan manusia untuk membangun sistem dan mengorganisasi pengetahuan,

timbul pula kebutuhan akan agama.

Konsep kebudayaan terintegarasi secara menyeluruh dalam upaya

pemenuhan kebutuhan manusia. Kebudayaan sebagai seperangkat sarana adalah

masalah mendasar. Kepercayaan, dan magik sekalipun, harus mengandung inti

utilitarian, karena ia memenuhi fungsi psikologis. Aturan-aturan dan ritual magik

dan agama tertentu dapat memantapkan kerjasama yang diperlukan, di samping

juga untuk memenuhi kepuasan pribadi sesorang.

Magik bagi sebagian masyarakat manusia di dunia ini diyakini memiliki

daya kerja, meredam kecemasan terhadap masa depan yang tak dikendalikan. Dan

dengan agama, magik dikembangkan dan berfungsi dalam situasi-situasi stress

emosional, dan fungsi magik adalah “ritualisasi optimisme manusia, melancarkan

keyakinannya dalam kemenangan harapan atas ketakutan”, dan ketakutan manusia

itu meliputi ketakutan akan bencana alam, akan penyakit dan lain-lain, dan semua

ketakutan itu berpangkal dari ketakutan manusia akan kematian.

Apa yang diuraikan di atas adalah teori fungsional kebudayaan sesuai

dengan pemikiran Bronislaw Malinowski tentang kebutuhan manusia yang terdiri

dari kebutuhan kebutuhan dasar dan kebutuhan sampingan. Sedangkan menurut

(40)

http://teologihindu.blogspot.com/2011/03/aplikasi-teori-pungsional-struktural.html), menguraikan tingkat kebutuhan yang

dibutuhkan manusia ada lima tingkatan yaitu dari kebutuhan tingkat terendah

sampai tingkat kebutuhan tertinggi meliputi :

1. Physiologi, kebutuhan faal tubuh meliputi pemenuhan kebutuhan akan rasa

haus, lapar, istirahat dan aktivitas.

2. Safety –Scurity, yaitu kebutuhan akan rasa aman yang bebas dari takut dan

cemas atau kekhawatiran.

3. Belongings and love, manusia membutuhkan harta benda dan kasih sayang

untuk mendukung eksistensinya

4. Esteem – self and others, kebutuhan manusia akan penghargaan pribadi dan

orang lain.

5. Self actualization, personal self fulfillment, kebutuhan akan aktualisasi diri,

pemenuhan diri pribadi.

2.5 Teori Orientasi Nilai Budaya Kluckhohn

Clyde Kluckhohn Kay Maben lahir pada 11 Januari 1905, di Le Mars,

Iowa, anak dari pasangan Clyde Clofford dan Caroline Mabem. Ia sekolah

menengah di Le Mars lalu pindah di Culver Military Academy dan di tahun

1921-1922 di Lawrenceville School (New Jersey). Karena kesehatannya yang buruk

(41)

kering. Akhirnya ia tinggal di peternakan domba milik bibinya di tepi sebuah

reservasi Navajo di Mexico.

Setelah tujuh bulan di peternakan dan setelah ulang tahunnya yang

kedelapan belas, Kluckhohn berkelana sendirian menggunakan kuda sejauh 3000

mil di Negara Amerika bagian selatan. Selama berminggu-minggu ia tidak

bertemu dengan bangsa Inggris, hanya Spanyol-Amerika, Zuni dan Navajo Indian.

Dibulan Desember 1922 Kluckhohn menerbitkan makalah pertama

berbahasa Navajo berjudul El Palacio, jurnal untuk New Mexico State Musium.

Perhatian Kluckhohn terhadap bidang penyelidikan Culture and Personality mulai

sewaktu ia menulis buku berjudul Navaho Witchcraft dimana ia membuat

gambaran yang sangat baik tentang ilmu dukun dan ilmu sihir orang Navajo

dengan menganalisa secara psikoanalisa dalam berbagai gejala dan unsur-unsur

dalam ilmu sihir tersebut untuk mencapai pengertian yang mendalam tentang

berbagai unsur kebudayaan tertentu.

Konsep dalam bidang penyelidikan kebudayaan dan watak manusia

dikembangkan Kluckhohn bersama dengan ahli psikologi O.H. Mowrer untuk

mempertajam pengertian mengenai pengaruh kebudayaan terhadap watak manusia

dan sebaliknya dan konsep itu diumumkan kepada dunia ilmiah melalui sebuah

karangan yang berjudul Culture and Personality, A Conceptual Scheme (1941) , ia

menyimpulkan bahwa watak manusia merupakan suatu rangkaian dari

proses-proses fungsional yang berpusat kepada alam rohani yang letaknya di daerah otak

dan saraf dari individu tersebut. Proses-proses fungsional tersebut dipengaruhi

(42)

gejala-gejala fisik sekitarnya), wilayah sekitar sosialnya (sesama manusia dan

kelompok-kelompok manusia sekitarnya), wilayah sekitar kebudayaannya (nilai-nilai, adat

istiadat dan benda-benda kebudayaan sekitarnya) dan juga alam rohani sub-sadar

individu tersebut).

Menurut Kluckhohn yang menentukan perilaku individu bukan dari faktor

genetik, namun pengaruh budaya dalam pola pengasuhan. Kluckhohn berpendapat

bahwa mengapa suatu individu berperilaku demikian karena “mereka dibesarkan

seperti itu”. Budaya di tempat seseorang dibesarkan mencerminkan nilai-nilai

mereka, sikap dan perilaku. Memahami akar dari psikologi manusia adalah kunci

untuk memahami mengapa manusia menampilkan perilaku tertentu, sikap tertentu,

dan bereaksi terhadap situasi dengan emosi tertentu. Kluckhohn menggunakan

beberapa paradigma untuk menggambarkan pengaruh budaya terhadap perilaku.

(http://kedaibunga.wordpress.com/2010/03/18/teori-clyde-kluckhohn-kay-maben/).

Kebudayaan sebagai karya manusia memiliki system nilai. Menurut

C.Kluckhohn dalam karyanya Variations in Value Orientation (1961) sistem nilai

budaya dalam semua kebudayaan di dunia, secara Universal menyangkut 5

masalah pokok kehidupan manusia, yaitu:

1. Hakekat Hidup Manusia

Hakekat hidup untuk setiap kebudayaan berbeda secara ekstern; ada yang

berusaha untuk memadamkan hidup, ada pula yang dengan pola-pola kelakuan

(43)

2. Hakekat Karya Manusia

Setiap kebudayaan hakekatnya berbeda-beda, diantaranya ada yang

beranggapan bahwa karya bertujuan untuk hidup, karya memberikan kedudukan

atau kehormatan, karya merupakan gerak hidup untuk menambah karya lagi.

3. Hakekat Waktu Manusia (WM)

Hakekat waktu untuk setiap kebudayaan berbeda; ada yang berpandangan

mementingan orientasi masa lampau, ada pula yang berpandangan untuk masa

kini atau masa yang akan datang.

4. Hakekat Alam Manusia (MA)

Ada kebudayaan yang menganggap manusia harus mengeksploitasi alam

atau memanfaatkan alam semaksimal mungkin, ada pula kebudayaan yang

beranggapan manusia harus harmonis dengan alam dan manusia harus menyerah

kepada alam.

5. Hakekat Hubungan Manusia (MN)

Dalam hal ini ada yang mementingkan hubungan manusia dengan manusia,

baik secara horizontal (sesamanya) maupun secara vertikal (orientasi kepada

tokoh-tokoh). Ada pula yang berpandangan individualistis ( menilai tinggi

kekuatan sendiri ).

Dalam essainya yang berjudul “A Mirror for Man” Kluckhohn

(44)

namun pengaruh budaya dalam pola pengasuhan. Kluckhohn berpendapat bahwa

mengapa suatu individu berperilaku demikian karena “mereka dibesarkan seperti

itu”. Budaya ditempat seseorang dibesarkan mencerminkan nilai-nilai mereka,

sikap dan perilaku. Dalam sebuah pencarian terus-menerus untuk lebih memahami

perilaku manusia, orang ditantang untuk melihat ke dalam.

(45)

BAB III

ANALISIS FUNGSI DAN NILAI MORAL PERAYAAN HINAMATSURI BAGI MASYARAKAT JEPANG MODERN

3.1 Fungsi Hinamatsuri

Dalam pembahasan Fungsi Hinamatsuri, akan difokuskan pada “Fungsi

Pendidikan dalam Keluarga”. Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama

bagi seorang anak, di mana dalam keluarga seorang anak dibesarkan dan

mempelajari cara-cara pergaulan di lingkungan kehidupan sosial yang ada di

sekitarnya. Dalam keluarga seorang anak dapat memenuhi

kebutuhan-kebutuhannya, baik kebutuhan fisik, psikis maupun sosial, sehingga mereka dapat

tumbuh dan berkembang dengan baik. Seorang anak juga memperoleh pendidikan

nilai-nilai maupun norma-norma yang ada dan berlaku di masyarakat ataupun

dalam keluarganya sendiri serta cara-cara untuk menyesuaikan diri dengan

lingkungannya. Hinamatsuri memiliki fungsi pendidikan dalam keluarga yaitu:

1. Menghormati dan Mematuhi Dewa

Penempatan hina ningyou yang dianggap sebagai dewa di tempat tinggi

mendidik supaya anak-anak menghormati dan mematuhi dewa. Penghormatan

terhadap dewa juga ditunjukan dengan sikap serius anak-anak ketika berdoa di

(46)

2. Menumbuhkan Ketaatan Anak

Fungsi perayaan hinamatsuri adalah menumbuhkan ketaatan atau

kepatuhan pada orangtua dalam diri anak-anak sejak dini. Saat anak-anak

memandangi keindahan hina ningyou, saat itulah orang tua memberika

nasihat-nasihat yang harus dipatuhi anak-anak agar kelak menjadi orang yang sukses.

Kepatuhan atau ketaatan orang Jepang ditanamkan sejak kecil dalam keluarga.

Ketaatan bermula kepada orangtua, kemudian diikuti ketaatan kepada atasan dan

pemerintah. Mereka patuh atau taat kepada orangtua dan pemerintah bukan

karena takut, melainkan karena rasa percaya.

Salah satu hal yang sangat mengesankan dari rakyat Jepang adalah tingkat

kepatuhan mereka kepada pimpinan dan pemerintahnya. Profesor Yamamoto

Nobuto, dari Keio University, mengatakan “pemerintah Jepang sebenarnya tak

siap dan terlambat mengatasi bencana ini. Penyaluran bantuan kurang baik.

Sepekan setelah bencana, distribusi bantuan masih tersendat. Namun, warga

Jepang di pengungsian sangat kuat dan tidak mengeluh. Mereka yakin bahwa

bantuan pemerintah akan segera datang dan mereka tidak perlu melakukan

protes-protes justru sebaliknya mereka sangat mematuhi kepala-kepala di tenda-tenda

pengungsian”.

(http://www.eramuslim.com/suara-kita/pemuda-

mahasiswa/mukhamad-najib-mahasiswa-s3-universitas-tokyo-belajar-kepatuhan-dari-bangsa-jepang.htm#.U29dKvmSz-s).

Kepatuhan masyarakat Jepang tidak hanya ditunjukkan di tenda-tenda

pengungsian, tapi juga oleh masyarakat yang relatif jauh dari pusat bencana

(47)

pemerintah menghimbau masyarakat Tokyo untuk melakukan penghematan listrik.

Himbauan ini langsung berefek. Misalnya di kampus-kampus yang biasanya

terang benderang bahkan nyaris 24 jam, saat ini tampak redup tanpa mengurangi

aktivitas sama sekali. Di stasiun, di gedung-gendung pemerintah, dan di

pusat-pusat perbelanjaan elevator berhenti berjalan. Bahkan toko-toko, yang notabe

adalah entitas bisnis yang biasanya hanya mementingkan keuntungan sendiri,

dengan patuh melaksanakan himbauan tersebut, malah sebagian besar

mini-market menutup toko mereka setelah jam 6 sore demi penghematan listrik

nasional.

3. Keharmonisan Dalam Keluarga

Menjelang perayaan hinamatsuri, seluruh anggota keluarga bersama-sama

memajang hina ningyou. Dengan memajang hina ningyou, orang tua

mengharapkan agar anak perempuan mereka dapat menikah di usia yang tepat,

sehingga pernikahan dijadikan simbol penting dalam pemajangan hina ningyou.

Kesempatan berkumpulnya anggota keluarga untuk menghias hina ningyou yang

merupakan suami istri mencerminkan pendidikan dalam bentuk lingkungan

keluarga yang harmonis

(http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/127187-RB08W432h-Hina%20matsuri-Analisis.pdf).

4. Menumbuhkan Rasa Cinta Pada Budaya

Tepat pada tanggal 3 Maret, anak-anak duduk di dekat hina dan,

memandang hina ningyou, mengagumi dan menikmati keindahannya sambil

(48)

mereka dapat mencontoh kehidupan kalangan istana yang terhormat, kaya dan

bahagia, yang dipresentasikan oleh hina ningyou. Hina hingyou yang dipasang

dari tahun ke tahun dimaksudkan agar anak-anak belajar mengenai nilai-nilai

berharga yang merupakan kekayaan negeri dan anak diharapkan tumbuh sesuai

dengan harapan keluarga.

3.2 Nilai-nilai Moral Hinamatsuri

3.2.1 Nilai Keteraturan

Hina ningyou yang disusun secara teratur dalam hina dan diletakkan pada

tangga sesuai dengan tempatnya, seperti boneka kaisar dan boneka permaisuri

yang berada di tingkat teratas karena berada di kelas yang paling terhormat.

Menurut Benedict (1982: 50) setiap usaha untuk memahami bangsa Jepang harus

dimulai dari pengertian mereka tentang apa yang dimaksud dengan “sesorang

harus mengambil tempatnya yang sesuai”.

Setiap salam dalam masyarakat Jepang, setiap kontak harus menunjukkan

jenis dan tingkat jarak sosial antara manusia. Setiap tingkah laku itu diatur oleh

aturan-aturan dan konvensi-konvensi yang sangat cermat. Bukan hanya perbedaan

kelas saja yang selalu dinyatakan dalam tingkah laku yang sepadan, meskipun ini

penting. Jenis kelamin dan usia, ikatan keluarga dan hubungan-hubungan

sebelumnya antar dua orang, semua ini perlu diperhitungkan. Istri

(49)

perempuan membungkukkan badan kepada saudara laki-lakinya, tanpa

memandang umur. Ini bukanlah suatu sikap yang tak bermakna. Ini berarti yang

membungkukkan badan mengakui hak yang lain untuk bertindak sesuai dengan

kemauannya dalam hal-hal yang ia rasa baik untuk dirinya, dan yang menerima

pembungkukkan badan mengakui tanggung jawab tertentu yang harus dipikulnya

di dalam posisinya. Hirarki yang berlandaskan jenis kelamin, generasi dan usia

merupakan bagian yang mendasar dan sangat penting bagi kehidupan keluarga

(Benedict, 1982: 54-56).

Suami mempunyai peranan untuk mencari nafkah dan menjamin posisi

keluarga dalam masyarakat, sedangkan istri bertanggungjawab atas rumah tangga

dan pendidikan anak-anak. Menjaga kehormatan keluarga adalah hal yang

dirasakan amat penting oleh seluruh keluarga. Saat manusia mengambil

tempatnya yang sesuai dan melaksanakan tugas sesuai posisinya, maka terciptalah

suatu keteraturan dan keharmonisan.

3.2.2 Nilai Senioritas

Hina ningyou dalam hina dan disusun bertingkat. Satu set hina ningyou

adalah melambangkan suatu kelompok. Dari tangga teratas sampai tangga

terbawah disusun sesuai kedudukan masing-masing boneka dalam kelompoknya.

Pada tingkat teratas ada dua buah boneka yang dikenal sebagai kaisar (dairi bina)

dan permaisuri (ohina-sama) yang melambangkan pemimpin dalam kelompok.

Boneka-boneka dari tangga selanjutnya melambangkan anggota-angota dalam

(50)

mengajarkan pada anak-anak pentingnya suatu kelompok bagi masyarakat Jepang

dan dalam kelompok tidak luput dari pentingnya senioritas.

Sifat masyarakat Jepang yang menonjol adalah peranan kelompok dalam

kehidupan masyarakat. Nikabe Chie dalam Suryohadripojo (1982:43)

membedakan antara kerangka (frame) dengan atribut dalam posisi individu di

dalam masyarakat. Yang dimaksud dengan “ kerangka” adalah lingkungan di

mana individu itu berada atau dalam kelompoknya, sedangkan “atribut” adalah

tempat individu berada. Di Jepang, kerangka lebih penting daripada atribut.

Sebagai contoh: suatu rumah tangga merupakan satu kerangka kehidupan bersama,

sedangkan ayah, ibu, anak laki-laki, menantu, dan sebagainya adalah atribut

dalam rumah tangga itu. Jadi, bagi masyarakat Jepang, kehidupan rumah tangga

adalah lebih penting daripada kehidupan masing-masing anggota rumah tangga

tersebut dan peranan kelompok jauh lebih penting daripada peranan individu.

Hubungan antar anggota kementrian atau perusahaan tidak pernah lepas

dari ukuran senioritas. Hubungan antara kohai (junior) dengan senpai (senior)

amat penting. Semua orang yang masuk lebih dulu dalam kelompok itu adalah

senior dan yang masuk belakangan adalah juniornya. Senioritas ini

mempengaruhi hidup anggota hingga pada hal-hal kecil seperti tempat duduk

dalam pertemuan atau makan-makan, kesempatan berbicara dan lain-lain

(Suryohadiprojo, 1982:173). Di samping itu ada douryou, yaitu anggota dengan

senioritas yang sama. Setiap orang dalam kelompok tahu di mana posisinya

(51)

Di dalam kelompok, fungsi anggota tidak ditentukan secara tegas, karena

yang harus tegas adalah tujuan dan fungsi kelompok. Oleh sebab itu, seorang

anggota dapat diminta untuk mengerjakan apapun yang diperlukan oleh kelompok.

Melihat pentingnya senioritas dalam kehidupan, maka mudah dipahami bahwa

penghormatan dan penghargaan kepada orang tua adalah besar. Tetapi tidak

berarti bahwa yang muda tidak diperhatikan. Karena semua orang terikat pada

kelompok, maka demi kepentingan kontinuitas kelompok, orang tua juga amat

memeperhatikan orang muda.

3.2.3 Nilai Keindahan

Karena masyarakat Jepang hidup dalam lingkungan alam berupa

kepulauan dan pegunungan yang masing-masing menunjukkan kekuatan di satu

pihak, dan juga keindahan di lain pihak, maka rakyat Jepang dibawa kepada

keharusan untuk memperhatikan harmoni kehidupan.

Hina ningyou yang disusun secara teratur dalam hina dan diletakkan pada

tangga sesuai dengan tempatnya, seperti boneka kaisar dan boneka permaisuri

yang berada di tingkat teratas karena berada di kelas yang paling terhormat. Hina

ningyou dalam hina dan disusun bertingkat. Satu set hina ningyou adalah

melambangkan suatu kelompok. Dari tangga teratas sampai tangga terbawah

disusun sesuai kedudukan masing-masing boneka dalam kelompoknya. Hina

ningyou yang seperti ini mengajarkan pada anak-anak bahwa setiap orang dalam

kelompok harus menyadari dimana posisi mereka berada dan melaksanakan tugas

(52)

kelompok dan keteraturan itu akan menciptakan keharmonisan. Keharmonisan

dalam suatu kelompok adalah suatu keindahan.

Bagi masyarakat Jepang yang penting adalah konsep Wabi-Sabi dari Zen

Budddhisme. Konsep estetika Jepang yang berpusat pada penerimaan akan

ketidak kekalan dan ketidak sempurnaan sebagai sifat kehidupan. Maksudnya

bahwa hidup itu tidak kekal, selalu berubah dan harus diterima. Dalam paham ini,

keindahan sering dianggap berisfat “tidak sempurna, tidak kekal, dan tidak

komplit”. Konsep Wabi-Sabi ini berkembang dari ajaran Zen Buddhisme,

mengenal 3 ciri khas kehidupan, yaitu ketidak kekalan, penderitaan dan

keksongan atau kehampaan atas diri kita yang sejatinya

(53)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Hinamatsuri yang diselenggarakan setiap tanggal 3 Maret bukan hanya

untuk hiburan semata, tetapi mempunyai fungsi dan nila-nilai bagi keluarga yang

menyelenggarakanya, khususnya untuk anak-anak.

Hinamatsuri memiliki empat fungsi pendidikan dalam keluarga yaitu:

1. Mengajarkan pada anak-anak sejak dini untuk menghormati dan mematuhi

dewa. Penghormatan terhadap dewa ditunjukan dengan sikap serius anak-anak

ketika berdoa di depan hina ningyou.

2. Untuk menumbuhkan ketaatan anak. Saat anak-anak memandangi keindahan

hina ningyou, saat itulah orang tua memberika nasihat-nasihat yang harus

dipatuhi anak-anak agar kelak menjadi orang yang sukses.

3. Mengajarkan pada anak-anak pentingnya keharmonisan dalam keluarga.

Dengan memajang hina ningyou, orang tua mengharapkan agar anak

perempuan mereka dapat menikah di usia yang tepat, sehingga pernikahan

dijadikan simbol penting dalam pemajangan hina ningyou. Kesempatan

berkumpulnya anggota keluarga untuk menghias hina ningyou yang merupakan

suami istri mencerminkan pendidikan dalam bentuk lingkungan keluarga yang

(54)

4. Menumbuhkan rasa cinta anak-anak pada budayanya. Hina hingyou yang

dipasang dari tahun ke tahun dimaksudkan agar anak-anak belajar mengenai

nilai-nilai berharga yang merupakan kekayaan negeri dan anak diharapkan

tumbuh sesuai dengan harapan keluarga.

Selain memiliki fungsi pedidikan, hinamatsuri juga memiliki nilai-nilai

moral. Ada tiga nilai moral hinamatsuri, yaitu:

1. Nilai keteraturan yang dicerminkan oleh hina ningyou yang disusun secara

teratur dalam hina dan dan diletakkan pada tangga sesuai dengan tempatnya.

Seperti boneka kaisar dan boneka permaisuri yang berada di tingkat teratas

karena berada di kelas yang paling terhormat mengajarkan pada anak-anak

bahwa manusia harus mengambil sikap yang sesuai dengan posisinya dalam

suatu kelompok.

2. Nilai senioritas. Satu set hina ningyou adalah melambangkan suatu kelompok.

Dari tangga teratas sampai tangga terbawah disusun sesuai kedudukan

masing-masing boneka dalam kelompoknya. Satu set hina ningyou yang disusun

bertingkat dalam hina dan mengajarkan pada anak-anak pentingnya suatu

kelompok bagi masyarakat Jepang dan dalam kelompok tidak luput dari

pentingnya senioritas.

3. Nilai keindahan. Hina ningyou yang disusun secara teratur dalam hina dan

diletakkan pada tangga sesuai dengan tempatnya, dari tangga teratas sampai

tangga terbawah disusun sesuai kedudukan masing-masing boneka dalam

(55)

bahwa setiap orang dalam kelompok harus menyadari dimana posisi mereka

berada dan melaksanakan tugas sesuai posisi mereka, dengan begitu akan

tercipta suatu keteraturan dalam kelompok dan keteraturan itu akan

menciptakan keharmonisan. Keharmonisan dalam suatu kelompok adalah suatu

keindahan.

4. 2 Saran

Kita sebagai mahasiswa Sastra Jepang yang mempelajari ilmu budaya

diharapkan dapat melestarikan budaya warisan leluhur kita seperti masyarakat

Jepang yang ditengah kehidupan modern masih mempertahankan budaya

tradisional. Negara kita kaya akan budaya dan perlu kita lestarikan dan kita cintai

(56)

DAFTAR PUSTAKA

Akasaka, Moto. 1989. Jepang dewasa Ini. Jakarta : International Society for

Educational Information, Inc.

Aminudin. 1990. Pengembangan Penelitian Kualitatif Dalam Bidang Bahasa dan

Sastra. Malang : Yayasan Kasih Asih Asah Asuh Malang.

Benedict, Ruth. 1982. Pedang Samurai Dan Bunga Seruni: Pola-pola

Kebudayaan Jepang. Jakarta: Sinar Harapan.

Danandjaja, James. 1997. Foklor Jepang Dilihat Dari Sudut Pand

Referensi

Dokumen terkait

Adapun penulisan Hukum/Skripsi ini, disusun guna melengkapi persyaratan dalam menyelesaikan program Strata Satu, Program Studi Ilmu Hukum dengan Program Kekhususan

Secara Teoritis, manfaat yang diperoleh dari hasil penelitian terhadap fungsi dan makna perayaan sembahyang arwah pada upacara penghormatan leluhur masyarakat Tionghoa

Untuk mengkaji fungsi perayaan sembahyang arwah pada penghormatan leluhur dalam kebudayaan masyarakat Tionghoa Kota Pematangsiantar, penulis menggunakan teori fungsionalisme

Skripsi yang berjudul “Fenomena Itasha dalam Kehidupan Masyarakat Jepang Dewasa ini” ini diajukan untuk memenuhi persyaratan dalam mencapai gelar sarjana di Fakultas Ilmu

Dalam penulisan skripsi ini, ruang lingkup pembahasan di fokuskan pada strategi Perang Jepang baik berupa strategi perang tradisional kuno maupun strategi perang Jepang modern

yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga peneliti bisa menyelesaikan skripsi berjudul “Analisis Struktural dan Nilai Moral Geguritan dalam Koran Solopos Edisi

Skripsi yang berjudul Mantra Pengobatan Di Desa Gantang Kecamatan Sawangan Kabupaten Magelang (Kajian Struktur dan Fungsi) ini disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan

Adapun tugas akhir yang diberi judul “Keberadaan dan Fungsi Alat Musik Tradisional Gu Zheng Bagi Masyarakat Tionghoa di Kota Medan” ini disusun sebagai persyaratan untuk memperoleh