BAB II
TINJAUAN UMUM TERHADAP PERAYAAN HINAMATSURI BAGI
MASYARAKAT JEPANG MODERN
2.1 Definisi Kebudayaan
Kata kebudayaan berasal dari kata budh dalam bahasa sanskerta yang bararti akal, kemudian menjadi kata budhi (tunggal) atau budhaya (majemuk), sehingga kebudayaan dapat diartikan sebagai hasil pemikiran atau akal manusia.
Ada pendapat mengatakan bahwa kebudayaan berasal dari kata budi dan daya.
Budi adalah akal yang merupakan unsur rohani dalam kebudayaan, sedangkan
daya berarti perbuatan atau ikhtiar sebagai unsur jasmani, sehingga kebudayaan
diartikan sebagai hasil dari akal dan ikhtiar manusia. (Supartono, 2001:34)
Kebudayaan menurut Ki Hajar Dewantara dalam Supartono (2001:34)
berarti buah budi manusia adalah hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh
kuat, yakni alam dan zaman (kodrat dan masyarakat) yang merupakan bukti
kejayaan hidup dan penghidupannya guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan
yang pada akhirya bersifat tertib dan damai.
Koentjaraningrat dalam Supartono (2001:35) mengatakan bahwa
kebudayaan berarti keseluruan gagasan dan karya manusia yang harus
Malinowski dalam Supartono (2001:35) menyebutkan bahwa kebudayaan
pada prinsipnya berdasarkan atas berbagai sistem kebutuhan manusia. Tiap
tingkat kebutuhan itu menghadirkan corak budaya yang khas. Misalnya, guna
memenuhi kebutuhan manusia akan keselamatannya maka timbul kebudayaan
yang berupa perlindungan, yakni seperangkat budaya dalam bentuk tertentu
seperti lembaga kemasyarakatan.
Terjadinya suatu kebudayaan dipengaruhi oleh sejumlah faktor, yaitu
hal-hal yang menggerakkan manusia untuk melakukan kebudayaan. Oleh karena itu,
kebudayaan merupakan produk kekuatan jiwa manusia sebagai mahluk Tuhan
yang tertinggi. Walaupun manusia memiliki tubuh yang lemah jika dibandingkan
dengan binatang seperti gajah, harimau dan kerbau, tetapi dengan akalnya
manusia mampu menciptakan alat (sebagai homo faber) sehingga akhirnya dapat menjadi penguasa dunia. Oleh karena itu, manusia dikatakan sebagai insan budaya
(Supartono, 2001:35).
Kebudayaan selalu dibedakan dengan budaya. Kalau ditanya apa contoh
kebudayaan Jepang, maka mungkin akan dijawab dengan Chanoyu, ikebana, masakan sukiyaki atau pakaian kimono. Tetapi kalau ditanya apa contoh budaya Jepang, maka akan dijawab dengan budaya rasa malu, budaya kelompok atau
budaya menkoujoretsu (senioritas) dan sebagainya. Contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa kebudayaan adalah suatu yang konkrit. Sedangkan budaya
adalah suatu yang semiotik, tidak nampak atau bersifat laten (Situmorang, 2009:2).
Ienaga Saburo dalam Situmorang (2009:2) membedakan pengertian
adalah seluruh cara hidup manusia. Dia juga menjelaskan bahwa kebudayaan ialah
keseluruhan hal yang bukan alamiah. Misalnya ikan adalah suatu benda alamiah,
tetapi dalam suatu masyarakat ikan tersebut dibakar atau dipepes atau shashimi
tersebut adalah kebudayaan.
Sedangkan pengertian kebudayaan dalam arti sempit menurut Ienaga
dalam Situmorang (2009:3) adalah terdiri dari ilmu pengetahuan, sistem
kepercayaan dan seni. Oleh karena itu Ienaga mengatakan kebudayaan dalam arti
luas adalah segala sesuatu yang bersifat konkrit yang diolah manusia untuk
memenuhi kebutuhannya. Sedangkan kebudayaan dalam arti sempit adalah sama
dengan pengertian budaya yang diuraikan di atas. Yaitu kebudayaan dalam arti
sempit menurut Ienaga Saburo adalah sama dengan budaya yang berisikan sesuatu
yang tidak nampak atau yang bersifat semiotik.
Kemudian hubungan dari kebudayaan yang bersifat semiotik/abstrak atau
yang bersifat ideologi dengan kebudayaan yang bersifat konkrit adalah berada
dalam satu lapisan struktur. Kebudayaan dalam arti konkrit berada dalam struktur
luar dan budaya, yang bersifat semiotik berada dalam struktur dalam.
Dalam mempelajari kebudayaan, ada tiga poin yang menjadi pusat
perhatian kita, yaitu masyarakat penghasil kebudayaan tersebut (sejarah lahirnya
kebudayaan tersebut), objek kebudayaan itu sendiri dan masyarakat pengguna
2.2 Definisi Matsuri
Matsuri (festival/perayaan) adalah salah satu dari kebudayaan Jepang. Menurut Danandjaja (1997:300) matsuri merupakan foklor Jepang asli yang berhubungan dengan agama Shinto, yang dilakukan setiap tahun pada
tanggal-tanggal tertentu. Matsuri pada dasarnya adalah festival suci. Istilah matsuri
mencakup pesta rakyat dan ritus-ritus yang dipraktekkan dalam agama Shinto.
Matsuri adalah suatu perbuatan simbolik, dimana pesertanya memasuki komunikasi aktif dengan para dewa (Kami). Upacara ini juga disertai dengan komunikasi di antara para peserta sendiri, dalam betuk pesta (feast) dan pesta rakyat (festival).
Matsuri merupakan ekspresi keyakinan keagamaan orang Jepang yang berfungsi memantapkan kayakinan bahwa dunia terdiri dari dunia nyata dan dunia
gaib, ada manusia dan ada yang gaib, berinterkasi sebagai sebuah truktur
(Lawanda, 2004:16).
Matsuri merupakan upacara yang dilakukan berangkat dari kenyataan logis dengan memanfaatkan wahyu-wahyu yang bertentangan dengan yang
sekuler dan diilhami oleh kompleks simbol-simbol khusus dari metafisika yang
dirumuskan dan gaya hidup yang disarankan dengan otoritas persuasif
sebagaimana diungkapkan oleh Geertz dalam Lawanda (2004:16).
Menurut Lawanda (2004:35) matsuri bermakna sebagai sarana penghubung manusia dengan dewa-dewa yang berada di dunia lain, diyakini
orang Jepang. Dengan demikian, matsuri memiliki kategori-kategori yang sakral-yang profit, kami (dewa)-hito (manusia), sairei (upacara)-saigi (perayaan), pusat-pinggir, keagamaan-sosial, kelompok-individu, laki-laki-perempuan,
atasan-bawahan. Berdasarkan kategori ini, matsuri dilakukan orang Jepang didalam menjalankan kehidupan sehari-hari.
Di Jepang. Terdapat beberapa tipe matsuri, misalnya matsuri untuk memohon kepada para dewa (seperti memohon keberhasilan panen). Tipe lainnya
yaitu matsuri untuk mengucapkan terima kasih kepada para dewa, dan tipe lain lagi untuk mengusir penyakit menular dan bencana-bencana alam. Ada matsuri
yang bersifat serius dan khusyuk, tetapi ada pula yang meriah, disertai permainan
bertanding dan pertunjukan-pertunjukan.
Menurut Danandjaja (1997:302) matsuri memiliki unsur-unsur penting seperti:
1. Monoimi atau pertapaan penyucian diri, secara simbolik, monoimi
merupakan “pintu gerbang” untuk memasuki kawasan khusus (hare) dari
matsuri. Ritus-ritus penyucian diri pada beberapa tahun terakhir ini telah banyak disederhanakan. Pada masa sebelum periode sebelum modern
penduduk Jepang tidak diperkenankan mengambil bagian dalam suatu
matsuri sebelum melalui proses penyucian diri.
2. Persembahan sesajian adalah unsur kedua yang penting dalam suatu
paling umum yaitu kue mochi, arak sake, ganggang laut, sayur-sayuran serta buah-buahan.
3. Komuni atau naorai adalah unsur ketiga yang juga penting yaitu acara santap bersama di antara para peserta; yang disantap yaitu sesajian yang
telah disediakan bagi para dewa. Pada beberapa tahun terakhir ini, naorai
juga menyantap makanan di tempat lain (bukan di tempat matsuri), yang diadakan setelah upacara selesai.
2.3 Definisi Hinamatsuri
2.3.1 Perayaan Hinamatsuri
Hinamatsuri (雛祭り, ひなまつり) adalah festival boneka atau festival
anak perempuan yang dirayakan setiap tanggal 3 Maret di Jepang yang bertujuan
untuk mendoakan pertumbuhan dan keselamatan anak perempuan serta mengusir
roh-roh jahat. Perayaan ini sering disebut festival boneka atau festival anak
perempuan karena berawal dari permainan boneka di kalangan
putri bangsawan yang disebut hiina asobi (bermain boneka puteri). Hina berarti gadis atau puteri. Keluarga yang memiliki anak perempuan memajang satu
set boneka yang disebut hina-ningyou (雛人形).
Hina-ningyou di pajang di atas tangga yang ditutupi oleh karpet berwarna merah. Satu set boneka tradisional ini mewakili kaisar, permaisuri,
Walaupun disebut matsuri, perayaan ini lebih merupakan acara keluarga di
rumah, dan hanya dirayakan keluarga yang memiliki anak perempuan. Sebelum
hari perayaan tiba, anak-anak membantu orang tua mengeluarkan boneka dari
kotak penyimpanan untuk dipajang. Sehari sesudah hinamatsuri, boneka harus segera disimpan karena dipercaya sudah menyerap roh-roh jahat dan nasib sial.
Keluarga-keluarga di Jepang secara umum memulai memajang boneka
pada Febuari dan segera menyimpannya setelah festival. Ada kepercayaan yang
mengatakan bahwa membiarkan boneka setelah tanggal 4 maret akan
menyebabkan anak perempuan terlambat menikah.
Pada saat perayaan, anak perempuan memakai kimono dan mengunjungi
rumah temannya atau mengundang teman-temannya, berdoa, bermain, dan
menyantap hidangan di depan hina ningyo. Tangga yang bertingkat untuk hina-ningyou dipajang di rumah dan keluarga merayakan dengan makanan spesial. Hidangan istimewa untuk anak perempuan yang merayakan hinamatsuri antara lain: kue hishimochi, kue hikigiri, makanan ringan hina arare, sup bening dari
kaldu ikan tai atau kerang (hamaguri), serta chirashizushi. Minumannya adalah sake putih (shirozake) yang dibuat dari fermentasi beras ketan dengan mirin atau shōchū, dan kōji. Minuman lain yang disajikan adalah
2.3.2 Sejarah Hinamatsuri
Sebelum kalender Gregorian digunakan di Jepang, hinamatsuri dirayakan setiap hari ke-3 bulan 3 menurut kalender lunisolar. Menurut kalender lunisolar,
hari ke-3 bulan 3 disebut momo no sekku (perayaan bunga persik), karena bertepatan dengan mekarnya bunga persik. Kalender Gregorian mulai digunakan
di Jepang sejak 1 Januari1873 sehingga perayaan hinamatsuri berubah menjadi tanggal 3 Maret.
Dalam sejumlah literatur klasik ditulis tentang kebiasaan bermain boneka
di kalangan anak perempuan bangsawan istana dari zaman Heian (sekitar abad
ke-8). Menurut perkiraan, boneka dimainkan bersama rumah boneka yang berbentuk
istana. Permainan di kalangan anak perempuan tersebut dikenal sebagai hina asobi (bermain boneka puteri). Pada prinsipnya, hina asobi adalah permainan dan bukan suatu ritual.
Sejak abad ke-19 (zaman Edo), hina asobi mulai dikaitkan dengan perayaan musim (sekku) untuk bulan 3 kalender lunisolar. Sama halnya dengan perayaan musim lainnya yang disebut "matsuri", sebutan hina asobi juga berubah menjadi hinamatsuri dan perayaannya meluas di kalangan rakyat.
Orang Jepang di zaman Edo terus mempertahankan cara memajang boneka
seperti tradisi yang diwariskan turun temurun sejak zaman Heian. Boneka
dipercaya memiliki kekuatan untuk menyerap roh-roh jahat ke dalam tubuh
boneka, dan karena itu menyelamatkan sang pemilik dari segala hal-hal yang
boneka). Boneka diletakkan di wadah berbentuk sampan, dan dikirim dalam
perjalanan menyusuri sungai hingga ke laut dengan membawa serta roh-roh jahat.
Kalangan bangsawan dan samurai dari zaman Edo menghargai boneka
hinamatsuri sebagai modal penting untuk wanita yang ingin menikah, dan sekaligus sebagai pembawa keberuntungan. Sebagai lambang status dan
kemakmuran, orang tua berlomba-lomba membelikan boneka yang terbaik dan
termahal bagi putrinya yang ingin menjadi pengantin.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Hinamatsuri).
Kuil Shimogamo (bagian dari kompleks kuil Kamo di Kyoto) merayakan
hinanagashi dengan menghanyutkan boneka antara sungai Takano dan sungai Kamo untuk mendoakan keselamatan anak perempuan. Masyarakat Jepang kini
sudah berhenti melakukannya karena banyak boneka-boneka yang dihanyutkan
tersangkut di jaring nelayan selain itu boneka hina saat ini relatif mahal dan sayang untuk dibuang (Russell, 2012:5).
Boneka yang digunakan pada awal zaman Edo disebut tachibina (boneka berdiri) karena boneka berada dalam posisi tegak, dan bukan duduk seperti
sekarang ini. Pada waktu itu, satu set boneka hanya terdiri sepasang boneka yang
keduanya bisa dalam posisi duduk maupun berdiri. Sejalan dengan perkembangan
zaman, boneka menjadi semakin rumit dan mewah. Pada zaman Genroku, orang
mengenal boneka genrokubina(boneka zaman Genroku) yang dipakaikan
belakang genrokubina dan kyōhōbina sewaktu dipajang. Tidak semua dankazari
bbertingkat sama, ada dankazari 3 tingkat, ada yang tujuh tingkat dan sebagainya.
Mulai sekitar akhir zaman Edo hingga awal zaman Meiji, boneka
hinamatsuri yang mulanya hanya terdiri dari sepasang kaisar dan permaisuri berkembang menjadi satu set boneka lengkap berikut boneka puteri istana,
pemusik, serta miniatur istana, perabot rumah tangga dan dapur. Dan sejak itu
pula, boneka dipajang di atas dankazari (tangga untuk memajang), dan orang di seluruh Jepang mulai merayakan hinamatsuri secara besar-besaran. (http://id.wikipedia.org/wiki/Hinamatsuri).
2.3.3 Susunan Boneka
Istilah untuk tangga memajang di Jepang disebut hina dan atau dankazari, lapisan yang menutupinya disebut dankakke atau hi-mosen yaitu kain tebal atau karpet berwarna merah dengan garis pelangi di bagian bawah.
Wilayah Kanto dan Kansai memiliki urutan penempatan boneka dari kiri
ke kanan yang berbeda tetapi urutan boneka pertingkat sama. Berikut adalah
susunan boneka pertingkat menurut Russell (2012:6) :
1. Tangga Pertama atau Tangga Teratas
Pada tingkat teratas ada dua buah boneka yang dikenal sebagai kaisar
(dairi bina) dan permaisuri (ohina-sama). Boneka kaisar (odairi-sama) memegang tongkat ritual (shaku) dan permaisuri memegang kipas. Kata dairi
ditempatkan di depan layar lipat emas (byoubu) dan ditengah diletakkan pohon taman hijau Jepang. Di kedua sisi ada lampu atau lampion yang disebut bonbori
dan lentera sutra yang disebut hibikuro, biasanya dihiasi dengan pola bunga sakura. Set yang lengkap akan mencakup aksesori ditempatkan diantara dua
boneka yang disebut sanbo kazari. Untuk pengaturan tradisional kaisar diletakkan di sebelah kanan sementara pengaturan modern kaisar diletakkan di kiri (menurut
pandangan yang melihat).
2. Tangga Kedua
Di tingkat kedua ada tiga boneka dayang-dayang (sannin kanjo) yang masing-masing memegang peralatan sake. Dari pandangan yang melihat, gadis
yang berada di sebelah kanan adalah pembawa sake yang bergagang panjang
(nagae no chosi), gadis yang berada di sebelah kiri adalah pembawa sake yang di belakang (kuwae no chosi), dan gadis yang di tengah adalah pembawa sake yang duduk (sanpo).
3. Tangga Ketiga
Pada tangga ketiga ada lima boneka pemusik (gonin bayashi). Masing-masing memegan alat musik, kecuali penyanyi yang memegang kipas. Dari kiri ke
kanan dari pandangan yang melihat, paling kiri adalah pemain gendang kecil
duduk dan yang paling kanan adalah penyanyi (utaikata) yang memegang kipas dengan posisi berdiri.
4. Tangga Keempat
Pada tangga keempat terdapat dua mentri (daijin). Mentri yang dibelah kanan (udaijin) dan mentri yang disebalh kiri (sadaijin). Mentri yang di sebelah
kanan digambarkan sebagai orang yang muda, sedangkan mentri yang di sebelah
kiri jauh lebih tua dan keduanya lengkap dengan busur dan anak panah. Dari
pandangan yang melihat, menteri kanan berada di sebelah kiri, sedangkan menteri
kiri berada di sebelah kanan.
5. Tangga Kelima
Pada tangga yang kelima, diantara tanaman-tanaman, ada tiga boneka
pembantu atau samurai sebagai pelindung kaisar dan permaisuri. Dari kiri ke
kanan: peminum yang cengeng (nakijogo), peminum yang membantah (okorijogo) dan peminum yang riang (waraijogo).
6. Tangga yang Lain
Pada tangga keenam dan ketujuh, ada berbagai miniatur perabotan,
2.4 Teori Fungsional Budaya Bronislaw Malinowski
Bronislaw Malinowski (1884-1942) dididik di Polandia sebagai seorang
ahli matematika, kemudian mempelajari antropologi di Inggris selama 4 tahun dan
selama Perang Dunia I tinggal di antara penduduk asli Pulau Trobiand, sambil
mengamati cara hidup penduduk asli kepulauan tersebut. Dengan sama sekali
mengasingkan dirinya dari orang-orang Eropa lainnya yang ada di kepulauan
tersebut dan juga menyelami bahasa serta kebiasaan-kebiasaan dari penduduk asli.
Cara yang ditempuh Malinowski ini dinamakan pendekatan penelitian lapangan
melalui pengamatan keikutsertaan (participant obeserver) (Ihromi, 2006:59).
Malinowski mengajukan sebuah orientasi teori yang dinamakan
fungsionalisme, yang beranggapan atau berasumsi bahwa semua unsur
kebudayaan bermanfaat bagi di mana unsur itu terdapat. Dengan kata lain,
pandangan fungsionalisme terhadap kebudayaan mempertahankan bahwa setiap
pola kelakuan yang sudah menjadi kebiasaan, setiap kepercayaan dan sikap yang
merupakan bagian dari kebudayaan dalam suatu masyarakat, memenuhi beberapa
fungsi mendasar dalam kebudayaan bersangkutan. Menurut Malinowski, fungsi
dari satu unsur budaya adalah kemampuannya untuk memenuhi beberapa
kebutuhan dasar atau yang timbul dari kebutuhan dasar yaitu kebutuhan sekunder
dari para warga suatu masyarakat. Kebutuhan pokok adalah seperti makanan,
reproduksi (melahirkan keturunan), merasa enak badan (bodily comfort), kemanan, kesantaian, gerak dan pertumbuhan. Dalam pemenuhan kebutuhan dasar itu,
muncul kebutuhan jenis kedua, kebutuhan sekunder yang juga harus dipenuhi oleh
makanan menimbulkan kebutuhan sekunder yaitu kebutuhan untuk kerjasama
dalam pengumpulan makanan atau untuk produksi; untuk ini masyarakat
mengadakan bentuk-bentuk organisasi politik dan pengawasan sosial yang akan
menjamin kelangsungan kewajiban kerjasama tersebut. Jadi menurut pandangan
Malinowski tentang kebudayaan, semua unsur kebudayaan akhirnya dapat
dipandang sebagai hal yang memenuhi kebutuhan dasar para masyarakat (Ihromi,
2006:60).
Kesenian misalnya yang merupakan salah satu unsur kebudayaan, terjadi
karena mula-mula manusia ingin memuaskan kebutuhan nalurinya akan
keindahan. Ilmu pengetahuan juga timbul karena kebutuhan naluri manusia untuk
tahu. Di samping itu, masih banyak aktivitas kebudayaan terjadi karena kombinasi
dari beberapa kebutuhan masyarakat. Misalnya budaya yang muncul akibat
kepentingan kelompok masyarakat tertentu, umpamanya kelompok masyarakat
petani, nelayan, atau para politikus, akademisi dan lain-lain. Masing-masing dari
kelompok tersebut akan selalu berusaha menjaga eksistensinya agar dapat
menjalankan fungsinya untuk memenuhi kebutuhan dari kelompoknya sendiri.
(
http://teologihindu.blogspot.com/2011/03/aplikasi-teori-pungsional-struktural.html)
Manusia, melalui instrumentalisasi kebudayaan, maka di dalam
mengembangkan maupun memenuhi kebutuhannya, ia harus mengorganisasi
peralatan, artefak, dan kegiatan menghasilkan makna melalui bimbingan
pengetahuan, dengan kata lain yaitu melalui proses belajar manusia dapat
adalah mutlak. Dan di samping itu tindakan manusia juga harus dibimbing oleh
keyakinan, demikian pula magik. Karena tatkala manusia mengembangkan sistem
pengetahuan ia akan terikat dan dituntut untuk meneliti asal mula kemanusiaan,
nasib, kehidupan, kematian dan alam semesta. Jadi, sebagai hasil langsung
kebutuhan manusia untuk membangun sistem dan mengorganisasi pengetahuan,
timbul pula kebutuhan akan agama.
Konsep kebudayaan terintegarasi secara menyeluruh dalam upaya
pemenuhan kebutuhan manusia. Kebudayaan sebagai seperangkat sarana adalah
masalah mendasar. Kepercayaan, dan magik sekalipun, harus mengandung inti
utilitarian, karena ia memenuhi fungsi psikologis. Aturan-aturan dan ritual magik
dan agama tertentu dapat memantapkan kerjasama yang diperlukan, di samping
juga untuk memenuhi kepuasan pribadi sesorang.
Magik bagi sebagian masyarakat manusia di dunia ini diyakini memiliki
daya kerja, meredam kecemasan terhadap masa depan yang tak dikendalikan. Dan
dengan agama, magik dikembangkan dan berfungsi dalam situasi-situasi stress
emosional, dan fungsi magik adalah “ritualisasi optimisme manusia, melancarkan
keyakinannya dalam kemenangan harapan atas ketakutan”, dan ketakutan manusia
itu meliputi ketakutan akan bencana alam, akan penyakit dan lain-lain, dan semua
ketakutan itu berpangkal dari ketakutan manusia akan kematian.
Apa yang diuraikan di atas adalah teori fungsional kebudayaan sesuai
dengan pemikiran Bronislaw Malinowski tentang kebutuhan manusia yang terdiri
dari kebutuhan kebutuhan dasar dan kebutuhan sampingan. Sedangkan menurut
http://teologihindu.blogspot.com/2011/03/aplikasi-teori-pungsional-struktural.html), menguraikan tingkat kebutuhan yang
dibutuhkan manusia ada lima tingkatan yaitu dari kebutuhan tingkat terendah
sampai tingkat kebutuhan tertinggi meliputi :
1. Physiologi, kebutuhan faal tubuh meliputi pemenuhan kebutuhan akan rasa haus, lapar, istirahat dan aktivitas.
2. Safety –Scurity, yaitu kebutuhan akan rasa aman yang bebas dari takut dan cemas atau kekhawatiran.
3. Belongings and love, manusia membutuhkan harta benda dan kasih sayang untuk mendukung eksistensinya
4. Esteem – self and others, kebutuhan manusia akan penghargaan pribadi dan orang lain.
5. Self actualization, personal self fulfillment, kebutuhan akan aktualisasi diri, pemenuhan diri pribadi.
2.5 Teori Orientasi Nilai Budaya Kluckhohn
Clyde Kluckhohn Kay Maben lahir pada 11 Januari 1905, di Le Mars,
Iowa, anak dari pasangan Clyde Clofford dan Caroline Mabem. Ia sekolah
menengah di Le Mars lalu pindah di Culver Military Academy dan di tahun
1921-1922 di Lawrenceville School (New Jersey). Karena kesehatannya yang buruk
kering. Akhirnya ia tinggal di peternakan domba milik bibinya di tepi sebuah
reservasi Navajo di Mexico.
Setelah tujuh bulan di peternakan dan setelah ulang tahunnya yang
kedelapan belas, Kluckhohn berkelana sendirian menggunakan kuda sejauh 3000
mil di Negara Amerika bagian selatan. Selama berminggu-minggu ia tidak
bertemu dengan bangsa Inggris, hanya Spanyol-Amerika, Zuni dan Navajo Indian.
Dibulan Desember 1922 Kluckhohn menerbitkan makalah pertama
berbahasa Navajo berjudul El Palacio, jurnal untuk New Mexico State Musium. Perhatian Kluckhohn terhadap bidang penyelidikan Culture and Personality mulai sewaktu ia menulis buku berjudul Navaho Witchcraft dimana ia membuat gambaran yang sangat baik tentang ilmu dukun dan ilmu sihir orang Navajo
dengan menganalisa secara psikoanalisa dalam berbagai gejala dan unsur-unsur
dalam ilmu sihir tersebut untuk mencapai pengertian yang mendalam tentang
berbagai unsur kebudayaan tertentu.
Konsep dalam bidang penyelidikan kebudayaan dan watak manusia
dikembangkan Kluckhohn bersama dengan ahli psikologi O.H. Mowrer untuk
mempertajam pengertian mengenai pengaruh kebudayaan terhadap watak manusia
dan sebaliknya dan konsep itu diumumkan kepada dunia ilmiah melalui sebuah
karangan yang berjudul Culture and Personality, A Conceptual Scheme (1941) , ia menyimpulkan bahwa watak manusia merupakan suatu rangkaian dari
proses-proses fungsional yang berpusat kepada alam rohani yang letaknya di daerah otak
dan saraf dari individu tersebut. Proses-proses fungsional tersebut dipengaruhi
gejala-gejala fisik sekitarnya), wilayah sekitar sosialnya (sesama manusia dan
kelompok-kelompok manusia sekitarnya), wilayah sekitar kebudayaannya (nilai-nilai, adat
istiadat dan benda-benda kebudayaan sekitarnya) dan juga alam rohani sub-sadar
individu tersebut).
Menurut Kluckhohn yang menentukan perilaku individu bukan dari faktor
genetik, namun pengaruh budaya dalam pola pengasuhan. Kluckhohn berpendapat
bahwa mengapa suatu individu berperilaku demikian karena “mereka dibesarkan
seperti itu”. Budaya di tempat seseorang dibesarkan mencerminkan nilai-nilai
mereka, sikap dan perilaku. Memahami akar dari psikologi manusia adalah kunci
untuk memahami mengapa manusia menampilkan perilaku tertentu, sikap tertentu,
dan bereaksi terhadap situasi dengan emosi tertentu. Kluckhohn menggunakan
beberapa paradigma untuk menggambarkan pengaruh budaya terhadap perilaku.
(http://kedaibunga.wordpress.com/2010/03/18/teori-clyde-kluckhohn-kay-maben/).
Kebudayaan sebagai karya manusia memiliki system nilai. Menurut
C.Kluckhohn dalam karyanya Variations in Value Orientation (1961) sistem nilai budaya dalam semua kebudayaan di dunia, secara Universal menyangkut 5
masalah pokok kehidupan manusia, yaitu:
1. Hakekat Hidup Manusia
Hakekat hidup untuk setiap kebudayaan berbeda secara ekstern; ada yang
berusaha untuk memadamkan hidup, ada pula yang dengan pola-pola kelakuan
2. Hakekat Karya Manusia
Setiap kebudayaan hakekatnya berbeda-beda, diantaranya ada yang
beranggapan bahwa karya bertujuan untuk hidup, karya memberikan kedudukan
atau kehormatan, karya merupakan gerak hidup untuk menambah karya lagi.
3. Hakekat Waktu Manusia (WM)
Hakekat waktu untuk setiap kebudayaan berbeda; ada yang berpandangan
mementingan orientasi masa lampau, ada pula yang berpandangan untuk masa
kini atau masa yang akan datang.
4. Hakekat Alam Manusia (MA)
Ada kebudayaan yang menganggap manusia harus mengeksploitasi alam
atau memanfaatkan alam semaksimal mungkin, ada pula kebudayaan yang
beranggapan manusia harus harmonis dengan alam dan manusia harus menyerah
kepada alam.
5. Hakekat Hubungan Manusia (MN)
Dalam hal ini ada yang mementingkan hubungan manusia dengan manusia,
baik secara horizontal (sesamanya) maupun secara vertikal (orientasi kepada
tokoh-tokoh). Ada pula yang berpandangan individualistis ( menilai tinggi
kekuatan sendiri ).
namun pengaruh budaya dalam pola pengasuhan. Kluckhohn berpendapat bahwa
mengapa suatu individu berperilaku demikian karena “mereka dibesarkan seperti
itu”. Budaya ditempat seseorang dibesarkan mencerminkan nilai-nilai mereka,
sikap dan perilaku. Dalam sebuah pencarian terus-menerus untuk lebih memahami
perilaku manusia, orang ditantang untuk melihat ke dalam.