• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN TEORITIS

WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA DAKWAH

B. Nilai-nilai Dakwah dalam Pementasan

2. Nilai-nilai Syari’ah

Selain Akidah, aspek lain dari Islam yang tak kalah penting adalah syariah merupakan wujud nyata dari ketundukan seorang muslim kepada Tuhannya. Syari’ah mewujud dalam ibadah dan mu’amalah. Ibadah adalah ritual yang syarat akan symbol-simbol takbir kepada Allah, sedangkan mu’amalah adalah interaksi social yang diberikan batasan dan aturannya dalam agama Islam.

Ki Sudardi, sebagaimana di singgung di atas, melakukan pentas wayang menurut event-event social-keagamaan tertentu, seperti kelahiran, perkawinan, ‘aqiqah anak, dan lain sebagainya. Pada momen-momen tersebut, ia menyampaikan wayang dengan pesan-pesan yang syarat akan nilai-nilai syari’at

5

ketika pernikahan dilangsungkan dan wayang digelar, maka nilai-nilai pernikalhan menurut Islam disampaikan melalui pementasan wayang kulit tersebut.

Cerita wayang kulit yang disampaikan sarat akan nilai-nilai syari’ah dan merupakan perumusan yang telah dilakukan oleh Sunan Kalijaga pada masa lalu. Tokoh-tokoh yang muncul dalam cerita wayang melambangkan nilai-nilai syari’at yang mudah dicerna untuk masyarakat jawa khusnya di desa Pringapus Semarang. Di dalam cerita wayang kulit, sifat-sifat Puntadewa sebagai raja (Syahadat bagaikan rajanya rajanya Rukun Islam) dan saudara-saudaranya merupakan symbol rukun Islam. Puntadewa memiliki sifat ”berbudi bawa leksana, berbudi luhur dan penuh kewibawaan. Seorang raja yang arif bijaksana, adil dalam ucapan dan perbuatan (al-adlu), sebagai pengajawantahan dari kalimat syahadat yang selamanya mengilhami kearifan dan keadilan. Puntawa memimpin ke-4 adiknya atau biasa dikatakan keempat saudaranya dalam suka duka dan penuh kasih sayang. Demikian pula dalam rukun Islam yang kedua, ketiga, keempat, dan kelima namun tidak menjalankan rukun Islam yang pertama maka seluruh amalnya akan sia-sia. Terlebih orang yang akan menyebutnua sebagai orang yang munafik (hipokrit). Prabu Puntadewa tidak pernah mati selama ia memiliki azimat “Kalimaosodo” (kalimat syahadat atau stayadatain), senantiasa unggul dalam setiap perjuangan dan selalu ikhlas dan menyayangi rakyarnya.

Tokoh Bima atau Werkudara, dipersonifikasikan sebagai rukun Islam yang kedua yaitu Shalat lima waktu. Dalam kisah pewayangan, Bima terkenal sebagai penegak Pandawa. Ia hanya bias berdiri saja, Karena memang tidak bias

duduk, konon menurut Ki dalang Sudardi “tidurpun Bima dengan berdiri.” Seperti halnya hadist Nabi Muhammad SAW yang artinya :

“Shalat adalah tiang agama, barang siapa yang menjalankannya maka ia menegakkan Islam dan barang siapa yang meninggalkannya maka ia merobohkan Islam “

Dalam kehidupannya sehari-hari Bima selalu menggunakan “Bahasa Ngoko” atau bahasa jawa kasar baik itu kepada dewa, pendeta, kyai, dan lain sebagainya lambing rukun yang kedua rukun Islam yang kedua shalat lima waktu, maka shalat berlaku terhadap siapapun, kapanpun, dan dimanapun.

Arjuna atau Janoko, dia di personifikasikan sebagai rukun Islam yang ketiga yaitu Zakat. dalam cerita pewayangan dia disebut sebagai “lelanganing jagad” (lelaki pilihan). Nama Arjuna berasal dari kata “Jun” yang artinya Jambangan. Benda ini merupakan symbol jiwa yang bersih. Banyak wanita yang “nandhang gandrung kapirangu lan kapilayu” (tergila-gila) kepadanya. Arjuna memiliki sifat yang sangat lemah lembut, terlebih kaum wanita, dia sangat tidak bias mengatakan “tidak” (seperti orang jawa pada umumnya diluar mengatakan tidak padahal batinnya meng’iyakan). Dengan kehalusan dan kelembutan Arjuna maka ia terlihat lemah dan tidak berdaya, namun sebenarnya dibalik kehalusanya terdapat kekuatan yang sangat luar biasa. Terbukti Arjuna selalu unggul di dalam setiap petempuran. Maka demikianlah zakat sebagai rukun Islam yang kertiga yang kewajiban bagi setiap muslim disini juga mengandung arti agar setiap muslim dimanapun berada agar beerjuang untuk mendapatkan rizqi dan kekayaan. Setiap oaring pasti menginginkan “mas peci raja brana “ (harta kekayaan dan lain-lainnya). Maka agar harta itu berfungsi social dan pembersih maka harus di zakati agar suci dan bersih lahir batinnya.

Nakula dan Sadewa, dia dipersonifikasikan sebagai rukun Islam yang keempat dan kelima yaitu Puasa di bulan Ramadhan dan Haji. Kedua tokoh ini hanya bertemu pada saat-saat tertentu saja. Demikian juga dengan puasa ramadhan dan haji tidak setiap hari dikerjakan. Hanya dikerjakan dalam waktu tertentu saja misalnya, puasa setahun sekali pada bulan ramadhan, dan haji juga setahun sekali pada bulan dzulhijah di mekkah al-Mukaromah. Pandawa bukanlah Pandawa tanpa si kembar nakula sadewa, meskipun mereka ini lahir dari ibu yang lain, Dewi Madrim yang ikut “labuh geni” (menceburkan diri kedalam api bila suaminya meninggal menurut tradisi Hindu) dengan suaminya Pandu Dewanata. Memang dengan demikian Puasa Ramadhan dan Haji lahir pada bulan-bulan tertentu (Ramadhan dan Zhulhijah).

Persoalan keagamaan yang disampaikan melalui cerita wayang di atas merupakan ritual keagamaan yang disebut dengan ibadah. Pada parakteknya yang lain. Ki Sudardi juga mengajarkan syari’at yang berbentuk ibadah sosial, seperti pemberdayaan masyarakat dengan zakat dan sedekah, pernikahan yang mawaddah, sakinah, wa rahmah, dan lain-lain. Ia mengatakan :

Secara spiritual, saya akan menyampaikan ke masyarakat sesuai dengan tema wayangan, misalnya pada waktu hajatan nikah maka saya akan memberikan materi ayat-ayat yang berhubungan dengan rumah tangga di dalam membentuk keluarga sakinah mawaddah dan warahmah, pada waktu aqiqah maka saya membawakan ajaran yang berhubungan dengan bakti anak dengan orang tua, atau pada waktu peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW maka saya akan membawakan bagaimana sejarah beliau di dalam memperjuangkan agama Islam dan lain-lain. Intinya adalah sampaikanlah walau satu ayat (Balighu ‘ani walau ayat).6

6

Dokumen terkait