• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV TEMUAN DATA DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN

4.4 Temuan Data Dan Interpretasi Data

4.4.2 Nilai Dan Norma Sebagai Modal Sosial Dalam Pelestarian Hutan

 

mengerjakannya itu berbeda – beda ukurannya. Contohnya aja, kalo ada salah satu dari kami ada tanahnya yang dirampas pemerintah untuk dikasih ke pengusaha, disitulah kami bersama – sama mempertahankan karna tanah ini identitas kami sebagai masyarakat adat.” Amang kersi sihite

Seperti yang telah disampaikan informan diatas, tanah adat memiliki peran yang penting dalam masyarakat. Tidak hanya sebagai sumber pendapatan masyarakat adat, tetapi tanah juga sebagai identitas msyarakat yang perlu dijaga kelestariannya serta dipertahankan keberadaannya. Seperti semboyan yang sering dikemukakan suku batak yang menyatakan bahwa kampung halaman merupakan tempat yang

paling berharga “ arga do bona ni pinasa”. ini lah juga yang gunakan masyarakat

pandumaan sebagai alasan untuk terus mempertahankan keberadaan tanah adat mereka.

4.4.2 Nilai Dan Norma Sebagai Modal Sosial Dalam Pelestarian Hutan

Hubungan antaran manusia dan lingkungannya melahirkan budaya manusia. Budaya ini lahir sebagai bentuk usaha manusia untuk mensiasati lingkungannya agar layak di jadikan tempat tinggal dan menetap. kebudayaan ini juga berfungsi untuk mempertahankan sesuatu yang dianggap penting seperti usaha dalam pelestarian lingkungan. nilai - nilai kebudayaan yang masih kuat dalam suatu masyarakat dapat dimanfaatkan seperti , mitos, upacara adat, hukum adat untuk menjaga keberadaan tombak hamijon

4.4.2.1 Mitos

Perempuan Berbaju Putih

   

Karena jarak tombak haminjon lumayan jauh dari desa, sekitar 7-10 km, mereka harus bermalam di dalam hutan yang ditumbuhi berbagai jenis kayu alam, dengan membawa bekal, beras dan ubi jalar, mereka pun berangkat. Setelah tiba di hutan, mereka terlebih dulu mencari tempat yang ada airnya, baru membuat sopo (rumah kecil). Sementara asyik mencari rotan dan haminjon jalangan, tiba-tiba mereka melihat seorang perempuan berbaju putih. Kadang-kadang dia muncul di balik pepohonan dan selalu membuntuti mereka dengan gambaran ketakutan dan malu-malu. Setiap kali mereka menarik rotan, perempuan tersebut sembunyi di pohon besar seperti menangis. Hari pun senja, mereka pulang ke sopo untuk makan dan istirahat. Perempuan itu pun masih kerap menampakkan dirinya, tetapi tetap dengan air mata yang mengalir di wajahnya.

Malam hari, antara tidur dan tidak, perempuan berbaju putih itu kembali hadir

dalam mimpi mereka, dan berpesan: ”Hamu ompung, nunga loja mangalului

haminjon jalangan na sinuan ni ompunta simula jadi nabolon, molo tusi au annong lao mangunsande, ima na liluluan muna i. Alai molo laho mangula i hamu, ingkon boanan muna do itak gurgur dohot itak nabottar. Jala ingkon satumba do bahenonmuna. Jala ingkon sulangkononmu mai tu ahu. Jala itak gurgur i baen hamu ma sada na balga, baen hamu dua hadengganassa, di tonga ma nabalga, itak na bottar pitu pohul. Sulanghon hamu na mai tu pamanganhu. Dongkon hamu ma dipaborhat inanta sian huta, boan hamu na ma tu tombak on. Sidung di sulang hamu ahu, bohan ma muse mulak tu huta, pangan hamu ma dohot inanta parsonduk bolon na parborhatton hamu tu tombak on ” . Artinya: ”Kakek, kalian sudah capek

   

mencari kemenyan yang diciptakan oleh Mula Jadi Nabolon. Ke mana nanti aku

bersandar, itulah pohon yang kalian cari. Tetapi kalau kalian ingin mengusahainya, kalian harus membawa itak nabottar dan itak gurgur . Itak gurgur tersebut harus dibuat dari satu tumba beras, satu yang besar ditaruh di tengah dan dua pendampingnya lebih kecil.Sedangkan itak nabottar- nya dibuat tujuh genggam. Penganan ini harus dibuat dan diberangkatkan oleh istri dari rumah. Suaplah

penganan tersebut ke mulutku. Setelah itu bawalah pulang kembali itak gurgur

tersebut dan makanlah bersama istri dan keluarga yang sudah menyediakannya.” Setelah itu mereka terbangun, dan bergegas pulang menyampaikan pesan tersebut ke warga masyarakat lainnya. Esoknya mereka berangkat kembali ke hutan untuk menjalankan permintaan perempuan tersebut. Selain membawa persembahan,

mereka sudah membawa alat-alat yang diperlukan, berupa guris (alat untuk

menggores), panuttuk (palu) dan arit (pisau) Sesampainya di hutan, mereka pun

mengatakan: ”Nungga di son be hami ompung, namaringan di tombak on. Huboan

hami itak gurgur dohot itak nabottar. Pangidoan nami asa gurgur gota ni haminjon jalangan na dijadion omputta mula jadi nabolon.” (Wahai penghuni hutan ini, kami sudah datang membawa itak nabontar dan itak gurgur. Permintaan kami supaya getah kemenyan melimpah keluar dari pohon kemenyan ciptaan Tuhan ini.)

Setelah itu mereka mengambil itak gurgur yang ditata di atas pansa-pansa , dimasukkan ke guris, dan disuapkan ke pohon kemenyan tersebut. Setelah itu,

terdengarlah suara perempuan tersebut, ”Dung songoni, manarus ma ho, nunga

disulangkon ho be ahu.” (Setelah itu, menyusulah padaku, karena kamu sudah

   

memenuhi permintaanku).Lanjut perempuan itu:”Alai ingot hamu ma muse

pangidoanku, naso jadi segaon muna angka parlinggomanhu na adong di tombak on, ai parila do ahu, molo disegai hamuna parlinggomanhi na so jadi au margota.”(Tetapi kalian harus ingat permintaanku, jangan sekali-sekali merusak pohon-pohon yang ada di hutan ini, itu adalah tempatku berlindung, karena aku pemalu. Jika kalian merusaknya maka aku tidak akan menghasilkan getah kemenyan). http://de5ku.wordpress.com/2009/12/01/49/

Dalam masyarakat adat, terdapat beberapa larangan – larangan yang berguna untuk mencapai ketertiban dan keharmonisan lingkungan. Pada masyarakat tertentu

disebut pamali yang digunakan sebagai acuan dalam bertingkah laku baik tindakan

yang diperbolehkan maupun tindakan – tindakan yang dianggap tabu (Rachmat, 2008: 163).

Dengan kata yang berbeda namun bermakna sama, kata tokka ini menjadi

suatu pengendali dalam bertindak. Misalnya, tindakan pencurian tidak dibenarkan di desa tersebut, termasuk ketika mereka berada di tombak hamijon. Barangsiapa yang mencuri akan dimakan harimau. Hingga sekarang mitos ini masih diingat bahkan dipatuhi oleh masyarakat setempat.

Seperti yang disampaikan oleh seorang petani kemenyan yang telah 40 tahun mengerjakan lahannya.

“ mencuri di hutan itu dilarang keras, nanti dimakan harimau. Ceritanya itu sebenarnya gini ito, adalah 2 orang opung-opung yang ribut sampe berkelahi gara- gara rebut – rebutan perbatasan tanah. Jadi, salah satu disini pasti ada yang bohong. Keluar sumpah “ kalo ada yang mencuri tanah atau yang lainnya biarlah harimau yang jadi

   

hakimnya , siapapun yang mencuri harus mati dimakan harimau”.opung bachtiar

Selain mitos tentang sanksi atas tindakan pencurian, terdapat juga mitos yang berkenaan dengan haril panen. Seperti yang disampaikan oleh seorang aktifis lingkungan ini .

“ molo marnipi hami tikki modom di tombak, ro anak boru marbaju na bottar, manang na adong boru – boru na denggan pamatang na. olo do denggan gota ni hamijon nami i. alai molo adong ro ina – ina namatua molo i lapatan na dang adong gota ni hamijuon nami, olo do koring na ni tullang nami I” amang kersi sihite

“ kalau kami mimpi waktu tidur di hutan, adalah datang anak gadis pake baju putih, atau ada datang anak perempuan yang sedang hamil. Mau nanti pas panen banyak getah kemenyan itu. Tapi kalo kita mimpi jumpa sama nenek – nenek tua yang udah keriput artinya itu panen pasti sedikit mau juga gak ada sama sekali getahnya” Amang Kersi Sihite

Hal yang sama juga disampaikan oleh seorang pendeta sekaligus petani kemenyan. “ kalau kami jumpa ular waktu dijalan mau ke tombak, itu artinya getah kemenyan kita pasti berhasil ito” pendeta Haposan Sinambela.

Ketiga mitos ini merupakan modal yang kuat untuk mempertahankan kelestarian hutan. ketaatan akan mitos ini akan memunculkan penghormatan akan alama dan mensejajarkan dirinya dengan alam. Sehingga muncul siap yang berimbang antara pemakaian sumber daya alam dengan usaha pelestarian alam tersebut.

4.4.2.2. Upacara Adat ( Marottas)

Marottas adalah upacara yang dikerjakan olehn petani kemenyan secara bersama – sama dengan keluarga. Atau teman – teman yang memiliki lahan kemenyan saling berdekatan. Marottas merupakan acara makan bersama di tombak,

   

dengan membawa itak gurgur dan ayam panggang. Sesampainya di tombak mereka berdoa memohon kepada Tuhan agar hasil panennya berlimpah. Kegiatan marottas ini berkaitan dengan mitos yang hingga saat ini masih dipercayai.

Sama halnya dengan yang dituturkan oleh seorang aktivis pelestarian hutan adat, “ marottas itu kami kerjakan sekali setahun, biasanya di bulan 5 sampe bulan 7. Ada 2 masa manige, satu manige suksang (waktu manige yang tidak serentak/ 3 banding 10 lah kalo kita liat pohon yang siap di panen), yang ke dua manige takkasan ( waktu manige takkasan ini kerjakan secara serempak / kalo dibuat perbandingannya itu 7 :10). Jadi, marottas ini dibuat waktu kita masuk masa manige takkasan. Gak cuma satu keluarga , marottas juga bisa kita buat sama – sama dengan petani kemenyan yang satu jalur dengan tom\bak kita” amang Kersi sihite.

Seperti yang disampaikan oleh petani kemenyan yang juga masih mengerjakan kebiasaan ini.

“Setelah marottas kami menggores dan melobangi pohon kemenyan, terus di percikkan itak nabontar itu, dan harus bilang,”Asa bontar so haliapan, bontar sohapurpuran”. Kami juga bilang” Parung marsidagul-dagul, sahali mamarung gok bangkul dohot bahul-bahul” sambil manuktuk batang yang disige. Maksudnya supaya kemenyan yang sudah disige (gores) menghasilkan getah yang bagus dan banyak”. Pendeta haposan sinambela

Tradisi di atas masih dilakukan sampai dengan hari ini. Setiap kali hendak

marhontas atau mamungka manige , mereka terlebih dahulu menyajikan itak

nabontar dan itak gurgur. Itak gurgur tersebut dibungkus dengan bulung sungkit .

Disiapkan oleh istri di rumah, suami membawanya ke hutan, dan tidak boleh memakannya atau memberikan kepada siapa pun di hutan. Itak gurgur tersebut di

masukan ke alat guris, kemudian disuapkan ke pohon kemenyan yang akan disige.

Setelah itu proses manige pohon kemenyan pun dilakukan. Dalam satu hari itu hanya

   

tiga pohon yang bisa disige. Tidak bisa bermalam, harus langsung pulang ke rumah, bersama istri dan anak-anak memakan itak gurgur tersebut.

(http://de5ku.wordpress.com/2009/12/01/49/)

4.4.2.3 Gotong Royong ( Marsirippa)

Bebarapa ciri umum desa yang universal sifatnya (1) desa pada umumnya terletak di atau sangat dekat dengan wilayah usaha tanah., (2) dalam wilayah itu, pertanian merupakan kegiatan ekonomi yang dominan, (3)karenanya, faktor penguasaan tanah menentukkan corak kehidupan masyarakatnyabenar - , (4) tidak seperti kota yang umumnya penduduknya adalah pendatang. Didesa ini terdiri atas marga – marga yang merupakan penduduk asli dan sebagian kecil adalah marga lain. (5) kontrol sosial bersifat personal atau pribadi dalam bentuk tatap muka, jika terjadi

konflik antar warga maka raja huta ikut serta menjadi penengah dalam

penyelesaiannya , dan (6) desa mempunyai ikatan sosial yang relatif lebih ketat dari pada di kota (elly, 2010: 383).

Sutardjo Kartohadikusuma mendefenisikan desa sebagai suatu kesatuan hukum dimana bertempat tinggal suatu masyarakat “pemerintahan sendiri.” Adapun Bintaro memberikan batasan desa sebagai perwujudan atas kesatuan geografi, sosial, ekonomi, politik, dan kultural yang terdapat disitu (suatu daerah) dalam hubungannya dan pengaruhnya secara timbal-balik dengan daerah lain (elly, 2010: 383).

Dengan ciri – ciri sebagai berikut :

   

1. Mempunyai pergaulan hidup yang saling kenal mengenal antara ribuan

jiwa.

2. Ada pertalian perasaan yang sama tentang kesukaan terhadap kebiasaan.

3. Cara berusaha (ekonomi)adalah agraris yang paling umum yang sangat

dipengaruhi alam. Seperti : iklim, kekayaan alam, sedangkan pekerjaan yang bukan agraris yaitu bersifat sambilan.

Menurut Ferdinand Tonnies, masyarakat pedesaan adalah kelompok gemeinchaft yaitu kelompok paguyupan, sebagai bentuk kehidupan sosial yang tiap – tiap anggota kelompok diikat oleh hubungan batin yang murni dan bersifat alamiah serta bersifat kekal. Dasar hubungan anggota – anggota adalah rasa cinta dan kesatuan batin yang sudah dikodratkan, sehingga kehidupan ini bersifat organis dan nyata tanpa pamrih, sebagaimana diumpamakan dengan organ tubuh manusia. Gambaran kelompok sosial yang paling mudah ditemui adalah kelompok keluarga, kekerabatan, dan rukun tetangga (Elly, 2010: 850).

Desa Pandumaan juga memiliki ciri khas sebagai masyarakat pedesaan yang

memiliki ikatan batin yang kuat antara yang satu dengan yang lain. Dapat kita lihat melalui kebiasaan – kebiasaan yang mereka kerjakan secara bersama – sama.

Seperti yang disampaikan oleh seorang petani kemenyan,

“ ada juga orang didesa ini yang anak – anaknya pigi meranto semua. Jadi gak ada lagi yang bisa ngerjain tombak hamijon bapaknya. Bapaknya pun udah tua, gak tolap lagi ke tombak sangkin jauhnya. Jadi diusahakan lah nyari keluarga dekat atau orang yang dipercaya yang bisa ngerjain tombak itu. Kalo bicara upah itu kesepakatan bersama” Juspen Lumban Batu.

   

Informasi diatas memperlihatkan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat adat

didesa Pandumaan ini tinggi. Sehingga untuk menghindari terbengkalainya tombak

hamijon ini, masyarakat petani kemenyan mengambil keputusan untuk mempercayakan lahan dikerjakan oleh kerabat dekat atau orang lain yang dipercaya.

Seperti yang dituturkan salah seorang petani kemenyan.

“ kalo bahasa indonesianya itu gotong royong, di desa ini namanya marsirippa, marsirippa ini pake modal kepercayaanlah. Kalo kita sama – sama ngerjainnya lahan itu pastilah harapan kita itu semuanya berhasil pula “ amang kersi sihite.

Istilah gotong royong didesa ini dikenal dengan kata “marsirippa”.

Marsirippa ini dikerjakan untuk membantu petani yang lain dalam mengerjakan lahan tombak hamijonnya. Biasanya marsirippa ini dikerjakan saat musim manige takkasan berlangsung. Dalam pelaksanaannya bisa saja petani ikut mengerjakan tombak hamijon masyarakat pandumaan adalah petani dari desa yang lain.

4.4.2.4 Hukum Adat ( Patik )

Kebijakan menhut atas pemberian konsesi dianggap kurang memperhatikan kondisi lapangan. Sebagian besar hutan di humbang hasundutan merupakan tanah adat yang telah dikelola dalam jangka waktu yang lama seperti masyarakat adat di desa pandumaan mengelola tombak hamijon selama 13 generasi. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan masyarakat adat perlu diperhitungkan ketika pemerintah mengambil keputusan yang melibatkan hayat hidup mereka. Karena , ketika permerintah salah mengambil keputusanam inilah pencetus munculnya konflik. Seperti yang kita ketahui bahwa syarat suatu masyarakat. Boleh dikatakan masyarakat adat ialah, memiliki ikatan marga atau kekeluargaan dalam desa tersebut.

   

Contoh, di desa pandumaan merupakan desa yang mayoritas penduduknya marga lumban batu, lumban gaol, marbun, sihite, sinambela, nainggolan dan marga - marga yang masuk melalui ikatan pernikahan. Seluruh masyarakat. Di desa ini saling memiliki ikatan kekeluargaan. Syarat yang kedua ialah, masyarakat adat harus memiliki hukum adat. Syarat ini juga terdapat didesa pandumaan. Contoh, mereka memiliki patik (hukum), hukum ini berlaku di lingkungan desa pandumaan dan hukum ini pun merupakan warisan turun - temurun guna untuk mengatur keharmonisan dan keamanan desa tersebut.

Seperti yang dituturkan oleh ketua patik di desa pandumaan,

"Di kampung kami ada patik (hukum) yang berlaku. Seperti hukum jangan mencuri. Kalo kedapatan mencuri,maka dia harus mengembalikan barang curiannya, ikut juga sanksi. Yang harus dibayarkan seperti 100 kg babi timbang meja, beras 100 kaling beras" opung jusup lumban batu.

Hal senada juga dituturkan oleh seorang petani kemenyan.

"Patik itu, semacam hukum yang gunanya untuk mengatur ketertiban kampung ini. Comtohnya aja, karna ada patik inilah makanya orang di kampung ini gak mau mencuri. Karna kalo dia mencuri trus gak bisa bayar denda dalam jangka waktu yang kita sepakati. Dia harus keluar dari desa ini. Itu pun gak cuma untuk kasus mencuri aja, ada juga yang kerbaunya merusak ladang orang. Kalo gitu dendanya disesuaikan dengan kerugian yang punya ladang. Trus tetap harus bayar 100 kilo babi timbang meja sama beras 10 kaling" pdt haposan sinambela.

Seperti yang dijelaskan oleh kedua informan diatas hukum adat merupakan suatu kekuatan yang mengikat masyarakat pandumaan untuk mencapai hidup yang harmonis dan aman. Hukum - hukum ini hanya berlaku di wilayah desa pandumaan saja. Hukun adat merupakan potensi atau modal yang kuat untuk mempertahankan

   

kelestarian hutan. Misalnya, dilarang menebang pohon sembarangan, tidak boleh mencuri, tidak boleh membunuh binatang saat di hutan dan tidak boleh memperjual belikan tanah adat!.

4.4.2.5. Alih Kepemilikan Tombak Hamijon

Tanah adat berbeda kedudukannya dengan tanah – tanah yang diperjual belikan oleh orang – orang pada umumnya. Tanah adat tidak boleh diperjual belikan dengan siapapun termasuk pada pihak penguasa. Tidak juga memiliki bukti kepemilikan secara tertulis yang dikeluarkan oleh pemerintah. Tanah adat ini juga hanya boleh berpindah kepemilikkan dan dalam prosesnya harus mengikuti aturan – aturan adat yang berlaku.

Sama halnya dengan yang dituturkan oleh seorang Raja Huta di Desa ini. “ tanah adat gak boleh dijual beli, apa lagi sama perusahaan. Tanah adat boleh pindah tangan tapi pake cara adat. Ada syarat – syaratnya, diusahakan di pindahkan kepemilikkannya sama saudara kandung. Misalnya kalo yang punya tanah itu marga lumban gaol trus dia butuh uang untuk sekolah anaknya, harus ditanya abang atao adik kandungnya mana tau ada yang mau mrnduluankan uangnya. Tapi kalo gak ada yang sanggup atau gak ada yang bisa juga. Kita harus cari saudara satu opung atau keluarga dekat yang lainnya. Kalau tidak ada juga, kita boleh orang lain yang kita percaya. Dengan syarat kalo kita udah punya uangnya dia bisa mengembalikan tanak kita itu” opung jusup lumban batu

Hal senada juga di sampaikan oleh seorang petani kemenyan sekaligus pejuang tanah adat.

“ada istilah pago – pago atau makan bersama, pago – pago ini dilakukan bersama – sama keluarga kita gunanya sebagai saksi bahwa tanah kita telah beralih kepemilikkan. Kepemilikkan atas tanah adat boleh berpindah kalo kita ada izin dari keluarga besar. Yang uniknya lagi, alih kepemilikkan ini gak boleh dibilang dangan kata jual. Dan barang penggantinya pun gak boleh dg uang. Kalo

   

laki – laki diganti dengan piso senilai sekian rupiah, kalo perempuan istilahnya tanah diganti dengan ulos senilai sekian rupiah” pdt Haposan Sinambela.

Terdapat nilai positif atas pelaksanaan alih kepemilikkan tanah adat ini. Contohnya, tanah adat tidak diperjual belikan karena mereka menganggap bahwa tanah adat adalah identitas mereka. Mereka menghargai tanah adat sebagai harta yang berharga, sehingga mereka hanya merelakan tanah adat itu dialih kepemilikkan bila sangat membutuhkan biaya misalnya untuk berobat atau sekolah anak. Tetapi ini hanya diperkenankan dilakukan oleh sesama keluarga kandung atau satu keturunan. Dan tanah ini dapat kembali kepemilikkannya.

Jika kita melihat kegunaan dari tata cara pemindahan kepemilikkan tanah adat ini, dapat dikatakan ini sebagai modal dalam melestarikan hutan kemenyan. Hanya dapat dipindahkan kepada keluarga dekat, menunjukkan bahwa ikatan marga juga berperan dalam mempertahankan identitas kepemilikkan tanahnya. Kepemilikkan ini pun tidak dapat diberikkan pada perusahaan karena dinilai akan berdampak buruk . sebab , perusahaan akan meninggalkan tanah adat tersebut sewaktu – waktu karena potensi tanah tersebut telah habis digerus.

4.4.3. Tantangan Dalam Melestarikan Hutan Kemenyan

Dokumen terkait