• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV TEMUAN DATA DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN

4.4 Temuan Data Dan Interpretasi Data

4.4.1 Sejarah Asal Muasal Pohon Hamijon Di Tombak Hamijon

 

6. Non Diskriminatif :Tidak membeda-bedakan orang satu sama lain karena

perbedaan, suku, ras, agama dan golongan.

7. Kolektivitas :Kebersamaan membangun nilai-nilai hidup dan cita-cita

bersama berdasarkan pada peletakan kepentingan bersama diatas kepentingan pribadi.

Http://bakumsu.or.id/news/index.php?Option=com_content&view=article&id =52&Itemid=66, diakses 19 september 201, pukul 17:00).

4.4. Temuan Data Dan Interpretasi Data

4.4.1. Sejarah asal muasal pohon hamijon di tombak hamijon

Berdasarkan data di lapangan yang didapatkan dari hasil wawancara dengan para informan, keberadaan pohon kemenyan di Desa Pandumaan, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan memiliki cerita yang hampir semua masyarakat Desa Pandumaan mengetahuinya dan sampai saat ini cerita rakyat ini masih di yakini kerena bila dibandingkan dengan kondisi saat ini masih relevan.

Seperti yang dituturkan salah satu informan yang merupakan tokoh adat di Desa Pandumaan yang telah lama menetap didesa ini.

“ Dulu ada seorang raja, ia meminjamkan uangnya kepada sebuah keluarga miskin yang mempunyai satu orang perempuan yang sangat cantik. Karena kecantikkannya, banyak laki – laki yang mengaguminya dan ingin meminjadikannya istri. Bukan Cuma laki – laki disekitarnya aja yang suka sama perempuan ini, raja juga ingin bertunangan (mangoro) dengan perempuan ini. raja ini menyampaikan isi hatinya pada orang tua perempuan ini meskipun pada saat itu umumnya raja mempunya 4-6 orang isrti. pada waktu bapaknya menyampaikan maksud sang raja untuk bertunangan dengan perempuan ini, ia pun menolak dengan berkata,” dang olo au, manang sakkalan pe di toru, piso diginjang”. Yang artinya, perempuan ini tetap tak mau jadi istri raja ini walaupun dia harus

   

mati. Mendengar itu sedihlah hati bapaknya, apabila anaknya menolak permintaan raja maka ia akan dibunuh karena tidak dapat melunasi hutangnya. Akhirnya bapaknya pun membawa perempuan ini ke tombak dan mengikat tangan dan kaki anak perempuannya di sebuah pohon , setelah itu ia pun meninggalkannya. 7 hari kemudian bapak itu mencari anaknya ke tombak, saat ia melihat anak perempuannya masih terikat dipohon. Setelah melihat dengan jelas terkejutlah bapaknya karena ada daun yang tumbuh di hidungnya tetapi perempuan ini masih bisa menangis. 2 minggu kemudian bapak ini kembali melihat keadaan anaknya ternyata hampir seluruh tubuh perempuan ini tumbuh cabang pohon dan dedaunan. Dan dari hidung dan badan perempuan itu mengeluarkan getah yang harum yang ukurannya sebesar tiung. Kerena kecapekan, bapaknya pun tertidur. Lalu ia bermimpi anak perempuannya berkata padanya, “ pak, jangan cemas. Ambil dan juallah getah yang ada ditubuhku ini dan pakai uangnya untuk melunaskan hutang sama raja”. Setelah terbangun, bapak inipun mengerjakan yang diperintahkan anaknya dan getah kemenyan yang didapatnya sebanyak 1 tandok kecil.

Saat ia dirumah, raja pun datang untuk meminta piutangnya pada bapak perempuan cantik itu. Pada saat itu setiap rumah punya tempat perapian atau tataring gunangya yang di buat ditengah- tengah rumah gunanya untuk menghangatkan tubuh karena daerah tempat tinggalnya sangat dingin. Waktu ia melihat raja datang, bapak ini pun langsung melemparkan segenggam hamijon keperapian tersebut. Sehingga mengeluarkan aroma harum yang membuat raja tertarik untuk memilikinya. Ketika raja bertanya aroma apa itu, bapak ini pun menjawabnya dan akhirnya raja memilih untuk menukarkan uang yang dipinjamkannya pada bapak ini dengan setandok kemenyan. Keputusan raja membuat bapak ini menyadari bahwa hamijon yang ia miliki ini merupakan getah yang mahal harganya.

Menyadari bahwa hamijon yang berasal dari anak perempuannya itu adalah getah yang sangat berharga. Ia pun mengusahakan haminjon itu dengan menanam biji pohon hamijon di sekitaran tombak. Dan membawa hamijon ke daerah Barus karena disana banyak pedagang Arab yang sudah mengenal hamijon sebelumnya. Hamijon dipakai untuk upacara agama dan obat – obatan. maka hingga saat ini hamijon yang ditanami ataupun tumbuh sendiri di kawasan tombak hamijon ini lah yang masih dikerjakan oleh petani hamijon di desa pandumaan” (pdt. Haposan Sinambela)

Data yang sama juga di diperoleh dari hasil wawancara dengan ketua patik

atau raja huta di desa pandumaan yang mengatakan bahwa asal – muasalnya

   

kemenyan ialah akibat ketidakpatuhan anak kepada orang tuanya sehingga mengakibatkan anak perempuan yang cantik itu menjadi sebuah pohon kemenyan.

“ Diboto amanta i ma na arga do hamijon ni, di gadis ma tu halak na asing jala, boi dibahen gabe ubat ma i laho pamuli sibolis, alani i lam i suan ma hamijon.. I ma na ni ula nami sahat tu sadari on.” (opung jusuf)

“ Bapak itu mengetahui bahwa kemenyan itu berharga maka dijuallah sama orang arab dan dapat juga dijadikan obat bagi orang yang kerasukan roh jahat. Oleh karena itulah kemenyan semakin banyak ditanami dan yang kami kerjakan sampai saat ini.” (opung jusup)

Jika dihubungkan antara sejarah asal – muasalnya kemenyan ini dengan tehnik perawatan atau pelestariannya, memang terjadi hubungan yang berimbang.

Yakni dalam mengelola pohon hamijon dibutuhkan ketelitian, kesabaran dan

ketulusan hati. Apa bila salah satunya dilanggar maka hasil panen tidak akan

meksimal bahkan hamijon pun tidak menghasilkan getah. Seperti yang disampaikan

informan yang merupakan salah seorang petani kemenyan di Desa Pandumaan.

“kalo kita bandingkan sejarah kemenyan dengan perawatan kemenyan itu ito, Sejalan. Kayak perempuan jugalah karakternya pohon ini. Harus sering dibersihkan,,kemenyan ini subur kalo ditanam di tempat yang ditutupi pohon lain. Karna kemenyan butuh tempat yang lembab. Sama halnya dengan perempuan , kemenyan juga sensitip dia,. harus sopan kita bicara dan bertingkah laku selama di tombak..”(ama bachtiar lumban batu)

Senada dengan yang disampaikan informan lainnya yang merupakan tokoh adat di Desa Pandumaan.

Pada waktu mengambil getah kemenyan, petani kemenyan harus menyanyikan lagu – lagu sedih, karena mengingat asal – muasal pohon kemenyan ini pun sedih kisahnya” amang K sihite.

   

Bila dilihat berdasarkan penuturan ketiga informan di atas sejarah asal – muasalnya kemenyan di desa pandumaan merupakan suatu sejarah yang memiliki pesan khas bagi komunitas petani kemenyan seperti tanah yang ditumbuhi pohon kemenyan bukanlah tumbuh dengan sendiri tetapi merupakan sebuah hasil perjuangan dan keberadaan pohon kemenyan ini merupakan berkat yang diberikan Tuhan kepada masyarakat desa Pandumaan terkhusus komunitas petani kemenyan.

4.4.1.1. Bertani kemenyan sebagai mata pencaharian masyarakat

adat desa Pandumaan

Hasil dari wawancara terhadap para informan, terlihat nyata bahwa marga yang awalnya datang ke Pollung adalah anak dari toga marbun yakni lumban batu dan lumban gaol. Seperti yang dikemukakan oleh salah seorang nara sumber yang

merupakan raja huta dan ketua patik.

“ opung sian bakara anak ni toga marbun ro tu pollung, i ma lumban Batu dohot Lumban Gaol. Ro tu tombak laho marsihotang manang na marsisulpi. Tikki I dang dope dilului hamijon alani dang diboto dope hamijon” opung jusup lumban batu.

“ nenek moyang, anak dari toga marbun datang ke Pollung, itulah Lumban Batu dan Lumban Gaol. Datang ke hutan untuk mencari rotan dan mencari rotan besar. waktu itu mereka belum mengenal kemenyan, oleh karena itu belum dicari – cari. ”(opung jusup Lumban Batu).

Hal senada juga disampaikan oleh seorang sekretaris kelompok tani kemenyan di desa Pandumaan.

“ tombak hamijon ini ito, udah dikerjakan opung kita marbun dan lumban batu selama 13 generasi, kalo turunan dari siraja oloan itu ada marga sinambela, sihite, simanullang udah 13

   

keturunan juga mengusahakan tombak hamijon ini ”(amang K Sihite).

Dari hasil wawancara diatas dapat dilihat bahwa kepemilikan tanah ini tidak

terlepas dari ikatan marga – marga. Oleh karena itu, dapat kita ketahui tombak

hamijon ini berdiri diatas tanah adat dan dalam pengelolaannya pun dilakukan secara tradisional seperti yang diwariskan nenek moyang bangsa batak yang ada di Desa Pandumaan.

Desa yang terletak di kec. Pollung kab. Humbahas ini, Tombak hamijon

(Hutan Kemenyan) seluas 4100 Ha dimiliki dan diusahai secara turun temurun sejak 300-an tahun yang lalu oleh komunitas marga: turunan dari marga marbun yakni lumban batu sehingga sekarang sudah 13 generasi; lumban gaol (13 generasi); turunan siraja oloan yakni marga sinambela, sihite, simanullang (masing-masing 13 generasi); dan marga-marga yang datang kemudian yakni: munthe dan situmorang (3 generasi). Seperti yang dituturkan oleh informan yang merupakan seorang petani kemenyan yang telah lebih dari 40 tahun mengelola tombak hamijon.

“ tahun 1972, manombang ma au ditombak mangalului hamijon jalangan. Hamijon jalangan tubu sandiri. Dang na sinuani jolma i. jala bulung na i ma tanda na adong di san hamijon jalangan i. molo hamijon jalangan i dang pola denggan gota na ima goarna durame. Molo gotani haminjon na denggan in goarna mata kasar” ( opung bachtiar lumban batu).

“ tahun 1972, opung manombang di tombak mencari kemenyan liar yang tumbuh tanpa campur tangan manusia.Daun – daun yang berserak ditanah jadi tanda bahwa di sana ada pohon kemenyan.. kalau getah kemenyan ini masih kurang bagus kualitasnya disebut durame. Kalau getah kemenyan yang bagus mananya mata kasar” ( opung bachtiar lumban batu).

   

Manombang adalah kegiatan yang dilakukan oleh petani kemenyan untuk mencari pohon kemenyan yang belum diusahakan orang lain, dalam kegiatan ini petani kemenyan mencari hamijon jalangan ( kemenyan liar) yang tumbuh di huta yang belum dijamah manusia. haminjon jalangan tumbuh karena bibit yang dibawa burung yang dibuang di tanah. Atau menurut kepercayaan para nenek moyang jika dihubungkan dengan sejrah keberadaan pohon kemenyan, hamijon jalangan tumbuh sebagai bentuk usaha yang dilakukan oleh bapak yang menanam kemenyan karena ia tahu bahwa pohon kemenyan ini bermanfaaat dan memiliki nilai ekonomi yang tinggi.

4.4.1.2 Pentingnya Tanah Adat Bagi Masyarakat Adat Desa Pandumaan

Pada awalnya manusia sebagai makhluk sosial hidup secara nomaden dengan berpindah-pindah dalam suatu kawasan tertentu secara melingkar. Mereka mengembara secara berkelompok, tergantung pada ketersediaan bahan makanan. Bila bahan makanan di utara habis, mereka bergerak ke timur, terus ke selatan dan barat. Bila di utara telah berbuah lagi mereka kembali ke utara. Pada setiap tempat yang dilalui, mereka selalu memberi tanda dan mengawasi wilayah itu, sehingga orang atau kelompok lain tidak diperkenankan lagi memasuki wilayah itu tanpa izin kelompok mereka.

Pada saat mereka masih mengembara itu, baru ada dan terjalin hubungan

yang bersifat religio-magis antara kelompok dengan tanah-tanah dalam wilayah

pengembaraan. Masing-masing anggota kelompok merasa berhak secara bersama dengan warga kelompoknya yang lain terhadap semua bidang tanah dalam wilayah

   

itu. Saat itu belum ada hak perseorangan dari anggota tertentu terhadap bidang tanah tertentu, yang ada hanya hak kelompok/persekutuan.

Dalam Bachtiar, 2007: 4 ,Menurut Surojo Wignjodipuro, hak persekutuan atas tanah ini disebut hak pertuanan. Hak ini oleh Van Vollenhoven disebut ‘beschikkingsrecht’. Istilah ini dalam bahasa Indonesia merupakan suatu pengertain yang baru, satu dan lain karena dalam bahasa Indonesia (juga dalam bahasa daerah-daerah) istilah yang dipergunakan semuanya pengertiannya adalah lingkungan

kekuasaan, sedangkan ‘beschickkingsrecht’ itu menggambarkan tentang hubungan

antara persekutuan dan tanah itu sendiri. Kini lazimnya dipergunakan istilah ‘hak ulayat’ sebagai terjemahannya ‘beschikkingsrecht’. Istilah-istilah daerah yang berarti lingkungan kekuasaan, wilayah kekuasaan ataupun tanah yang merupakan wilayah

yang dikuasai persekutuan adalah a.l. ‘patuanan’ (Ambon), ‘panyampeto’

(Kalimantan), ‘wewengkon’ (Jawa), ‘prabumian’ (Bali), ‘pawatasan’ (Kalimantan),

‘totabuan’ (Bolaang Mangondow), ‘limpo’ (Sulawesi Selatan), ‘nuru’ (Buru), ‘ulayat’ (Minangkabau).

Tanah adat merupakan salah satu unsur penting salam menyatakan bahwa suatu masyarakat dikatakan masyarakat adat. Kedudukan tanah adat bagi masyarakat adat khususnya di desa pandumaan merupakan harta yang tidak dapat diperjual belikan karena apa bila diperjual belikan maka identitas masyarakat adat semakin lama akan semakin memudar.

Seperti yang disampaikan oleh seorang petani kemenyan,

“ tanah adat ini penting kali sama kami, tanah adat bukan punya perorangan tapi punya semua orang didesa ini. Walaupun kalo

   

mengerjakannya itu berbeda – beda ukurannya. Contohnya aja, kalo ada salah satu dari kami ada tanahnya yang dirampas pemerintah untuk dikasih ke pengusaha, disitulah kami bersama – sama mempertahankan karna tanah ini identitas kami sebagai masyarakat adat.” Amang kersi sihite

Seperti yang telah disampaikan informan diatas, tanah adat memiliki peran yang penting dalam masyarakat. Tidak hanya sebagai sumber pendapatan masyarakat adat, tetapi tanah juga sebagai identitas msyarakat yang perlu dijaga kelestariannya serta dipertahankan keberadaannya. Seperti semboyan yang sering dikemukakan suku batak yang menyatakan bahwa kampung halaman merupakan tempat yang

paling berharga “ arga do bona ni pinasa”. ini lah juga yang gunakan masyarakat

pandumaan sebagai alasan untuk terus mempertahankan keberadaan tanah adat mereka.

Dokumen terkait