• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : NILAI DAN ARTI PENTING YANG DIMILIKI KEPULAUAN

2.3 Nilai sejarah Kepulauan Diaoyu dan ikatan emosional Cina

Cina dan Jepang memiliki dasar masing-masing atas klaim mereka terhadap Kepulauan Diaoyu dengan sejumlah bukti sejarah yang mendukung argumen mereka. Bagian ini membahas dasar sejarah klaim Cina atas Kepulauan Diaoyu. Lebih jauh, bagian ini juga menjelaskan ikatan emosional yang kuat antara masyarakat Cina terhadap klaim kepulauan. Penelitian ini tidak memperdebatkan kepemilikan kepulauan Diaoyu, karena itu akan berkonsentrasi pada sikap Cina dan posisi pada masalah Kepulauan Diaoyu. Meskipun demikian, hal ini tidak harus dilihat sebagai mengabaikan kredibilitas klaim Jepang, atau dianggap sebagai mempromosikan perspektif Cina.

Dasar klaim Cina atas Kepulauan Diaoyu adalah Cina memiliki dokumen sejarah yang mana saat pertama kali kepulauan ini ditemukan, menyatakan kelompok pulau Diaoyu sejak Dinasti Ming (1368-1644) dipetakan sebagai pos navigasi. Meskipun Arsip Cina menunjukkan bahwa pulau-pulau berada di bawah kekuasaan administrasi Cina sejak awal Dinasti Song Selatan (1127-1279), pulau- pulau tidak pernah dihuni secara permanen, dan hanya digunakan sebagai jalur pengiriman barang (Suganuma, 2000: 42-44). Namun demikian, menggunakan bukti di atas sebagai dasar, Beijing berulang kali menyatakan bahwa kelompok Kepulauan Diaoyu adalah "wilayah suci sejak zaman kuno" Cina (Harian Rakyat Inggris, 2003; dan Cina Daily, 2010a).

Alasan emosional utama adalah terkait sengketa kepulauan Diaoyu, sengketa yang terjadi menyajikan ilustrasi dari "kebanggaan / penghinaan". Menurut narasi Beijing, kelompok Kepulauan Diaoyu (sebagai bagian dari Taiwan) diambil dari Cina setelah kekalahan Cina dalam perang Pertama Sino- Jepang yang diprakarsai oleh Jepang pada tahun (1894-1895). Perang pecah ketika Dinasti Qing berada dalam kemunduran, sementara Jepang meningkatkan kekuatannya setelah Restorasi Meiji.

Delam perselisihan dengan Jepang, Taiwan merupakan bagian penting bagi klaim Cina atas Diaoyu. Cina berpendapat bahwa Kepulauan Diaoyu bersama-sama dengan Taiwan seharusnya dikembalikan ke Cina pada akhir Perang Dunia II, di bawah Deklarasi Kairo 1943. Deklarasi Kairo menyatakan bahwa Jepang harus mengembalikan semua wilayah "yang dicuri dari Cina, seperti Manchuria, Formosa [Taiwan], dan Pescadores, akan dikembalikan ke Republik Cina (ROC) "(Deklarasi Kairo, 1943). Secara tegas kepulauan Diaoyu tidak disebutkan dalam Deklarasi Kairo karena Cina dan Taiwan berpendapat bahwa itu tidak perlu. Ini adalah karena Diaoyu tidak terdaftar dalam Perjanjian Shimonoseki, ketika Jepang mengambil mereka sebagai bagian kepulauan Taiwan. Sebaliknya, Kepulauan Diaoyu tidak kembali ke ROC dengan Taiwan setelah Jepang menyerah, tapi diambil alih oleh pasukan pendudukan AS di Jepang sebagai bagian dari Kepulauan Okinawa, dan digunakan oleh militer AS untuk sasaran latihan mili ter. Pulau-pulau itu akhirnya dikembalikan sebagai bagian kelompok kepulauan Okinawa ke Jepang pada tahun 1972 ketika AS mengakhiri kontrol pasca-perang di Okinawa (Guo, 2012)..

Awalnya, antara tahun 1945 dan awal 1970-an, pemerintah Cina menyuarakan keberatan yang kuat terhadap kontrol AS atau penyerahan kepulauan ke Jepang. Apa yang telah membuat sengketa ini jauh lebih rumit adalah status kedaulatan Taiwan atas Diaoyu dan keterlibatan Amerika, seperti Cina berpendapat bahwa kepulauan Diaoyu adalah milik "Provinsi Taiwan", yang menjadi bagian integral dari wilayah Cina. Fakta bahwa baik Cina maupun Taiwan saat ini tidak mengelola Diaoyu, membuat banyak masyarakat Cina memandang terjadi ketidakadilan karena Cina kehilangan kepemilikan sah dari bagian penting wilayahnya (Taira, 2004). Disini menyiratkan seolah-olah wilayah itu diambil paksa dari Cina, dan tidak berhak kembali seperti yang seharusnya ketika Cina akhirnya mengalahkan Jepang.

Dalam perjalanannya Cina tidak pernah menyerah mengenai klaim teritorial atas Kepulauan Diaoyu. Dengan tujuan berusaha untuk meningkatkan hubungan diplomatik antara Cina dan Jepang, pada tahun 1978 Deng Xiaopin selaku Wakil Perdana Menteri pada saat menyarankan kedua negara untuk setuju mengesampingkan perselisihan bilateral dan mencari pengembangan bersama. Berdasarkan rekomendasi Deng, Cina menyarankan kedua negara untuk mematuhi kesepakatan ini dan bekerja untuk mengembangkan hubungan bilateral (Cina Daily, 2010).

Sebaliknya, sikap Jepang atas kepulauan yang mereka sebut Senkaku, menyatakan bahwa tidak terdapat masalah sengketa teritorial yang harus diselesaikan. Awal pernyataan tersebut dapat ditelusuri dari pejabat Jepang pada tahun 1996 di konferensi pers yang diadakan oleh Kementerian Luar Negeri

Jepang. Ketika ditanya tentang pembangunan mercusuar oleh kelompok sayap kanan di salah satu pulau, sekertaris Kementrian Luar Negri Jepang menjelaskan posisi dasar Jepang atas kepulauan, "Jelas, secara historis dan dalam terang hukum internasional, bahwa Kepulauan Senkaku merupakan bagian dari wilayah Jepang. Kepulauan berada di bawah kontrol yang efektif dari Jepang. Di sana tidak ada masalah teritorial tentang Kepulauan Senkaku "(MOFA, 1996). Secara emosional bagi orang Cina pernyataan Jepang yang menolak adanya sengketa hanya menambahkan rasa sakit hati masyarakat Cina atas kompleksitas gambaran "kebanggaan / penghinaan" yang telah ada

Dikarenakan adanya faktor sejarah panjang, isu Kepulauan Diaoyu mudah menarik banyak sentimen nasionalisme di Cina. Sengketa ini berada di tengah- tengah kompleksitas "kebanggaan / penghinaan" nasionalisme Cina. Di satu sisi, kepulauan Diaoyu tampil sebagai simbol kuat dari bangsa Cina yang menjadi korban di tangan agresi Jepang, dan penderitaan besar yang telah dialami bangsa Cina. Oleh karena itu, penolakan terus menerus Jepang pada klaim Cina dan pembatasan akses Cina ke Diaoyu membawa kemarahan anti-Jepang oleh gerakan nasionalis (Guo, 2012). Di sisi lain, sebagai status internasional Cina mulai naik, dan masyarakat Cina kini merasa bangga dan menganggap bangsa mereka cukup kuat untuk menuntut untuk kembali wilayah yang dirasa sebagai miliknya yang sah. Jadi, mendapatkan kembali beberapa wilayah yang menjadi perebutan termasuk Taiwan dan Kepulauan Diaoyu menjadi langkah penting untuk mencapai tujuan ini. Pada dasarnya, sengketa yang ada saling menghubungkan kebanggaan dan penghinaan yang dirasakan Cina pada masa-masa sebelumnya

dan mudah bertukar tempat sesuai situasi "(Callahan, 2010). Karena simbolisme yang penting ini maka sengketa Kepulauan Diaoyu melambangkan nasionalisme Cina, sejarah dan persepsi terhadap Jepang, sengketa tetap menjadi isu sensitif yang diperdebatkan baik oleh pemerintah Cina dan Jepang maupun oleh masyarakat umum sejak tahun 1990-an, bertepatan dengan munculnya nasionalisme populer Cina (Guo, 2012).

Sebagai objek, kepulauan Diaoyu memiliki unsur-unsur yang kompleks berkenaan dengan arti penting bagi Cina. Dari sisi ekonomi kepulauan ini menjadi salah satu alternatif cadangan sumberdaya alam untuk mempertahankan perkembangan Cina dalam meningkatkan powernya mengingat kebutuhan Cina akan energi sangat tinggi. Dari sisi geografis kepulauan ini memberikan peluang bagi Cina untuk menjadikan wilayah kepulauan sebagai saluran pertahanan keamanan. Kemudian nilai sejarah yang dimiliki kepulauan Diaoyu juga berkenaan dengan sentimen emosional Cina yang merasa sempat dipermalukan pada masa pendudukan asing.

Dokumen terkait