Pengaruh Nasionalisme dan Perkembangan Kapabilitas
Power Cina Pada Sikap Agresif Terhadap Jepang Pasca
Nasionalisasi Jepang atas Senkaku/Diaoyu Tahun 2012
SKRIPSI
Disusun Oleh
YUDO SATRYO PRABOWO 070710177
PROGRAM STUDI S-1 ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA
Pengaruh Nasionalisme dan Perkembangan Kapabilitas
Power Cina Pada Sikap Agresif Terhadap Jepang Pasca
Nasionalisasi Jepang atas Senkaku/Diaoyu Tahun 2012
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi S-1 pada Fakultas Ilmu Sosial dan ilmu Politik
Universitas Airlangga
Disusun Oleh
YUDO SATRYO PRABOWO 070710177
PROGRAM STUDI S-1 ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING
Skripsi dengan judul:
“Pengaruh Nasionalisme dan Perkembangan Kapabilitas
Power Cina Pada Sikap Agresif Terhadap Jepang Pasca
Nasionalisasi Jepang atas Senkaku/Diaoyu Tahun 2012”
Disusun Oleh
YUDO SATRYO PRABOWO 070710177
Disetujui Untuk Diajukan Pada Ujian Akhir Skripsi Semester Gasal Tahun Ajaran 2014/2015
Surabaya, 22 Desember 2014 Dosen Pembimbing
Dra. Baiq L.S. W. Wardhani, MA, Ph.D NIP. 19640331 198810 2 001
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Hubungan Internasional
HALAMAN PENGESAHAN DEWAN PENGUJI
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Komisi Penguji Pada hari Selasa, 13 Januari 2015, pukul 15.00 WIB Di Ruang Sidang Cakra Buana Catur Matra, Gedung C
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga
Surabaya
Komisi Penguji Ketua,
Citra Hennida, S.IP., MA NIP. 19791025 200604 2 001
Anggota I, Anggota II,
HALAMAN PERNYATAAN TIDAK MELAKUKAN PLAGIAT
Skripsi berjudul
Pengaruh Nasionalisme dan Perkembangan Kapabilitas Power Cina Pada Sikap Agresif Terhadap Jepang Pasca Nasionalisasi Jepang atas
Senkaku/Diaoyu Tahun 2012
Bagian atau keseluruhan skripsi ini tidak pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademis pada bidang studi dan/atau universitas lain dan tidak pernah dipublikasikan/ditulis oleh individu selain penyusun kecuali bila dituliskan dengan format kutipan dalam isi Skripsi.
Surabaya, 22 Desember 2014
HALAMAN PERSEMBAHAN
Karya ini kepersembahkan kepada Papa dan Mama yang selalu
memeberikan semangat untuk menyelesaikan studi.
Kepada cintaku yang selama enam tahun lebih menemaniku dalam
suka dan duka.
Kepada semua teman-teman seperjuangan HI-07
KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas
berkat, rahmat, taufik dan hidayah-Nya, penyusunan skripsi yang berjudul
“Pengaruh Nasionalisme dan Perkembangan Kapabilitas Power Cina Pada Sikap
Agresif Terhadap Jepang Pasca Nasionalisasi Jepang atas Senkaku/Diaoyu Tahun
2012” dapat diselesaikan dengan baik.
Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan skripsi ini banyak
mengalami kendala, namun berkat bantuan, bimbingan, kerjasama dari berbagai
pihak dan berkah dari Allah SWT sehingga kendala-kendala yang dihadapi
tersebut dapat diatasi. Untuk itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan
penghargaan kepada Ibu Dra. Baiq L.S. W. Wardhani, MA, Ph.D selaku
pembimbing sekaligus dosen wali yang telah dengan sabar, tekun, tulus dan
ikhlas meluangkan waktu, tenaga dan pikiran memberikan bimbingan, motivasi,
arahan, dan saran-saran yang sangat berharga kepada penulis selama menyusun
skripsi.
Selanjutnya ucapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Fasich, Apt selaku Rektor Universitas Airlangga
Surabaya
2. Bapak Ignatius Basis Susilo, Drs., MA selaku Dekan FISIP Universitas
Airlangga Surabaya
3. Bapak M.Muttaqien, S.IP, MA, Ph.D selaku ketua Program Studi Ilmu
memberikan dorongan dan semangat untuk segera menyelesaikan
penyusunan skripsi ini.
4. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Ilmu Hubungan Internasional
Universitas Airlangga Surabaya yang telah memberi bekal ilmu
pengetahuan sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dan
menyelesaikan penulisan skripsi ini.
5. Teman-teman seperjuangan angkatan 2007 yang saat ini masih bersama,
buat Fatah, Else, Ratih, Thea, Mitha, terima kasih untuk dukungan dari
kalian semua.
6. Rekan-rekan Mahasiswa Hubungan Internasional yang telah banyak
memberikan masukan kepada penulis baik selama dalam mengikuti
perkuliahan maupun dalam penulisan skripsi ini.
7. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebut satu persatu yang telah
membantu dalam penyelesaian penulisan skripsi ini.
Akhirnya, dengan segala kerendahan hati penulis menyadari masih banyak
terdapat kekurangan-kekurangan, sehingga penulis mengharapkan adanya saran
dan kritikyang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini.
Surabaya, Desember 2014
DAFTAR ISI
I.4.2.2 Teori Power Transition...... 9
I.5 Hipotesis... 11
I.6 Metodologi Penelitian... .12
I.6.1 Definisi Konseptual dan Operasional...12
I.6.1.1 Nasionalisme dan Bentuk Nasionalisme Cina... .12
I.6.1.2 Kapabilitas Power... .13
2.1 Potensi kekayaan alam wilayah Kepulauan Diaoyu ...19
2.2 Nilai Posisi Strategis Diaoyu Bagi Cina... .22
2.3 Nilai sejarah Kepulauan Diaoyu dan ikatan emosional Cina... .24
BAB III : PERKEMBANGAN DAN BENTUK NASIONALISME CINA.. .29
3.1 Bentuk Nasionalisme Cina... 31
3.1.1 Partai Komunis Cina dan Nasionalisme yang Dipimpin Negara... ... 31
3.1.2 Era reformasi dan keterbukaan Den Xiaoping... 33
3.1.3 Perkembangan Nasionalisme Populer di Cina Pasca 1990-an... 35
nasionalisme...38
3.3.1 Nasionalisasi Senkaku/Diaoyu oleh Jepang dan kemarahan nasionalis... 42
BAB IV: PERKEMBANGAN EKONOMI DAN MILITER CINA 4.1 Perkembangan ekonomi Cina... 46
4.2 Perkembangan militer Cina... 49
4.3 Dimensi Ekonomi dan Militer dari Great Power... 52
BAB V : ANALISIS PENGARUH NASIONALISME DAN KAPABILITAS POWER TERHADAP SIKAP CINA... 56
5.1 Pengaruh Nasionalisme Terhadap Sikap Cina... 56
5.2 Kapabilitas Power dan Pengaruhnya Terhadap Sikap Cina... 59
BAB VI: KESIMPULAN... .63
6.1 Penemuan Dalam Penelitian ... 63
6.2 Implikasi dan Saran ... ..65
ABSTRAK
Naionalisasi Jepang atas kepulauan Senkaku/Diaoyu yang terjadi pada 11 september 2012 telah menimbulkan ketegangan baru antara Cina-Jepang. Hal yang menarik terkait kasus ini adalah nasionalisasi jepang dari pemilik privat pada dasarnya hanya merupakan perpindahan kepemilikan dari privat kepada pemerintahan dan tidak mempengaruhi fakta bahwa status kepulauan berada dibawah kontrol Jepang. Mengingat sensitivitas yang diungkapkan oleh Beijing mengenai wilayah kepulauan ini, Jepang memutuskan langkah pembelian untuk mempertahankan status quo pulau-pulau tak berpenghuni tersebut. Namun, pemerintah dan masyarakat Cina ternyata menunjukan reaksi keras yang cenderung agresif terhadap langkah yang diambil jepang ini. Reaksi kuat yang cenderung agresif ditunjukan Cina dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya naiknya nasionalsime dan kapabilitas power yang dimiliki Cina. Dalam tulisan ini ingin mencari tahu dan menjelaskan bagaimana nasionalisme dan perubahan kapabilitas power Cina, berpengaruh terhadap perubahan sikap yang lebih keras terhadap Jepang pasaca nasionalisasi kepulauan . Dalam tulisan ini, teknik analisis menggunakan metode kualitatif, yaitu analisis dilakukan lebih mendalam dengan melihat data dan fakta, kemudian data dan fakta dikorelasikan dengan landasan teori dan konsep.
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pasca nasionalisasi Jepang atas kepulauan sengketa Senkaku/Diaoyu1
tahun 2012, Cina beberapa kali menunjukan sikap yang lebih agresif. Sikap
agresif Cina ditunjukan dengan serangan verbal hingga pengiriman kapal dan
pesawat militer di seputaran kepulauan sengketa. Bagi Jepang, aksi yang
dilakukan Cina dianggap sangat provokatif. Sikap yang ditunjukan Cina menjadi
suatu pertanyaan bagi konsep pendekatan politik Luar Negeri Cina. Mengingat
konsep “Cina‟s Peaceful Rise " yang di utarakan oleh Perdana Menteri Cina Wen Jiabao dalam pidato tesisnya di Universitas Harvard pada Desember 2003.2 (Xia,
www.nytimes.com 2013).
Mengenai bagaimana status kepulauan, kepulauan Senkaku/Diaoyu yang
saat ini berada dibawah kontrol Jepang telah menjadi wilayah sengketa terkait
pengakuan kedaulatan teritorial antara Cina dan Jepang sejak satu abad terakhir.
Pada september 2012 pemerintah Jepang mengumumkan telah membeli
kepulauan senkaku dari keluarga Kirihara3(edition.cnn.com). Sebelumnya, posisi
1 Kepulauan Senkaku/Diaoyu merupakan deretan delapan pulau dengan lima pulau merupakan
pulau tidak berpenghuni dan tiga pulau merupakan karang besar. Jepang dan Cina memiliki nama masing-masing bagi kepulauan tersebut. Jepang menyebutnya „Senkaku Gunto‟ dan „Diaoyu Tai‟
oleh Cina.
2 Sebagai referensi mengenai “Cina‟s peaceful Rise” juga dapat dilihat pada Zheng Bijian. 2005a.
Cina's Peaceful Rise: Speeches of Zheng Bijian, 1997-2005. Washington, D.C.: Brookings Institution Press. ; ____. 2005b. "Cina's 'Peaceful Rise' to Great-Power Status." Foreign Affairs
84, no. 5 (September/October): 18-24.
3 Pada tahun 1932 pemerintah Jepang merubah status kepemilikan negara menjadi kepemilikan
Jepang atas kepulauan Senkaku/Diaoyu di jelaskan dalam pernyataan resmi oleh
Departemen Luar Negeri Jepang pada tanggal 8 Maret 1972 dengan judul The Basic View of the Ministry of Foreign Affairs on the Senkaku Island. Berdasarkan pernyataan tersebut, Jepang mengklaim bahwa kepulauan Senkaku merupakan
pulau terra nullius (atau tanah tanpa pemilik) pada saat kepulauan itu secara formal dimasukan dalam teritori Jepang pada 1895 (Shaw, 1999:22).
Setelah Perang Dunia II, Jepang menarik klaim atas beberapa teritorial
dan kepulauan termasuk Taiwan dibawah Perjanjian Perdamaian San
Fransisco tahun 1951. Namun dibawah perjanjian yang sama, pada tahun
1971 kepulauan Nansei Shoto yang berada dibawah perwalian militer AS
dikembalikan pada pemerintahan Jepang. Jepang mengatakan bahwa Cina
tidak berkeberatan atas kesepakatan San Fransisco dan baru sejak tahun
1970an pemerintah Cina dan Taiwan mulai menekan klaim mereka setelah
muncul isu sumber minyak (anonim www.bbc.co.uk). Dasar protes dari pihak
Cina mengklaim kepulauan Diaoyu sebagai miliknya adalah dengan bukti
Deklarasi Kairo dan Potsdam berisi penantatanganan menyerah bersyarat
Jepang 1945 (Lee dan Ming, 2012).
Cina kemudian lebih jauh menguatkan klaimnya menggunakan dasar
geografi sebagai justifikasi kedaulatan. Dibawah United Nation Convention on the Law of the Seas (UNCLOS), sebagaimana didefinisikan dalam Bagian VI, Pasal 76 UNCLOS III, " Landas kontinen suatu negara pantai meliputi
dasar laut dan tanah di bawahnya ... ke tepi luar dari margin benua , atau
Cina menggunakan aturan ini untuk menguatkan klaimnya, namun secara
geografi jarak antara Cina dan Jepang tidak sampai mencapai 400 mil laut
sehingga batas-batas mereka menjadi tumpang tindih4. Sebelum terjadi
pembelian kepulauan oleh pemerintah Jepang, sikap Cina hanyalah sebatas
klaim verbal tanpa aksi yang terlalu signifikan. Gesekan-gesekan yang terjadi
lebih sering disebabkan oleh gerakan aktivis dan nelayan Cina dan Jepang
yang memasuki wilayah kepulauan Senkaku/Diaoyu.
Pada April 2012, Gubernur Tokyo Ishihara menyatakan rencananya
untuk membeli kepulauan senkaku dan menimbulkan reaksi protes
anti-Jepang di Cina (http://edition.cnn.com). Juru bicara Kementrian Luar Negeri
Cina Liu Weimin menyatakan keinginan Ishihara untuk membeli kepulauan
Diaoyu "irresponsible,". Liu menyatakan "The Diaoyu Islands are Cina's territory since ancient times,.... The willful talk and action of some Japanese politicians is irresponsible and tarnish and smears Japan's reputation." (http://edition.cnn.com). Menghadapi kemungkinan kepulauan Senkaku jatuh
dibawah yurisdiksi Pemerintahan Metopolitan Tokyo, pemerintah Jepang
mengambil langkah ikut masuk dalam penawaran pembelian kepulauan
Senkaku. Pada tanggal 11 September, Sekretaris Kabinet Jepang Osamu
Fujimura menegaskan bahwa pemerintah telah menyetujui pembelian
beberapa pulau dari keluarga Kirihara. Dan dalam sebuah wawancara,
Perdana Menteri Jepang Yoshihiko Noda menyatakan tidak ada sengketa
4 Kepulauan ini berlokasi di perairan Laut Cina Timur sekitar 120 mil laut Timur-Laut Taiwan,
kedaulatan teritorial dengan Cina dan pertanyaan atas kepemilikan kepulauan
Senkaku adalah milik Jepang (http://edition.cnn.com).
Pada saat Jepang mengumumkan pembelian kepulauan Senkaku/Diaoyu,
kantor berita Cina Xinhua melaporkan bahwa dua kapal pengintai Cina telah tiba
di kawasan itu untuk "menegaskan kedaulatan negara". Cina juga melancarkan
serangan verbal terhadap Jepang. Kementrian Luar Negeri Cina memperingatkan
Tokyo harus “menanggung semua konsekuensi serius”. Dikatakan bahwa
“pemerintah Cina tidak akan duduk diam menonton kedaulatan teritorialnya
dilanggar” (Philips, www.telegraph.co.uk 2012). Sejak itu, kapal pemerintah Cina
pada beberapa kesempatan telah berlayar masuk dan keluar dari wilayah sengketa.
Kemudian pada Desember 2012 Jepang juga menyatakan bahwa sebuah pesawat
pemerintah Cina telah melanggar wilayah udara kepulauan (Anonim,
http://www.bbc.co.uk 2013).
Nasionalisasi yang dilakukan Jepang juga menimbulkan gelombang
gerakan anti-Jepang di kota-kota Cina. Pada 15 september 2012, terjadi protes
anti-Jepang terbesar sejak normalisasi hubungan diplomatik Cina-Jepang pada
tahun 1972 yang terjadi di sejumlah kota di seluruh Cina. Kedutaan Jepang di
Beijing dikepung oleh ribuan pengunjuk rasa kemudian pada hari berikutnya
gerakan protes terjadi di berbagai kota utama dan berubah menjadi aksi
kekerasan ditandai bentrok massa yang menyebabkan beberapa perusahaan
besar Jepang seperti Toyota dan Honda menutup sementara pabrik-pabrik dan
menuding pemerintah Cina kurang tanggap dan cenderung membiarkan aksi
pengerusakan terjadi ( anonim, www.scmp.com 2013).
Setahun setelah pembelian kepulauan Senkaku oleh Jepang situasi
hubungan Cina dan Jepang, perkembangan terbaru tidak menunjukan pertanda
baik. Masalah yang semakin rumit dikarenakan rencana Jepang membangun
struktur dan personil permanen di kepulauan Senkaku, serta basis patroli
militer di daerah tersebut (thediplomat.com). Sementara sebelumnya, juru
bicara kementrian Cina Hua Chunying dalam suatu konfrensi pers pada April
2013 telah menyatakan bahwa Diaoyu adalah “core interest” Cina. " Kepulauan Diaoyu adalah mengenai kedaulatan dan integritas teritorial....
Tentu saja ini adalah core interest Cina”(www.bloomberg.com). Hingga saat ini, telah tejadi beberapa insiden antara pihak Jepang dan Cina dikarenakan
kapal maupun pesawat Cina yang memasuki wilayah sengketa. Bahkan, Cina
sempat melakukan latihan militer di seputaran wilayah sengketa. (Anonim,
http://japandailypress.com 2013)
Perkembangan yang terjadi baru-baru ini telah mempengaruhi hubungan
kerjasama antara Cina dan Jepang yang telah dibina selama bertahun-tahun. Hal
ini khususnya juga akan berdampak buruk terhadap hubungan ekonomi kedua
negara yang kuat. Investasi Jepang yang pada tahun 2011 mencapai total $6,3
miliar Dollar akan mungkin menurun pada waktu-waktu kedepan. Dengan Jepang
sebagai mitra dagang terbesar ketiga Cina, pengaruh turunnya hubungan bilateral
akan mungkin mempengaruhi perekonomian Cina dalam jangka panjang. (Baruah,
dunia, senilai $340 miliar Dollar. Bagi Jepang, Cina merupakan mitra dagang dan
pasar ekspor terbesar. Terlebih lagi Cina juga menjadi salah satu negara
pemegang finalsial terbesar terhadap hutang publik Jepang, memegang sekitar ¥18
miliar Yen atau $230 miliar Dollar, menyusul lonjakan besar 70% sejak 2010
(Chan, www.wsws.org 2012).
Reaksi Cina bisa dilihat dari beberapa aspek yang mendorong. Tren
terbaru melihat masalah maritim berkaitan dengan masalah keamanan
internasional sebagai area konflik yang di sebabkan persaingan yang ketat atas
sumber daya alam (Yee 2011: 166). Apa yang berbeda salah satunya adalah
pengaruh nasionalisme5 di Jepang dan Cina. Dari sikap Cina dan Jepang terkait
klaim teritorial ini, keduanya secara tidak langsung menunjukan rasa persaingan,
kekhawatiran strategis dan prospek masa depan. Perasaan dan sikap orang Jepang
terhadap Cina mulai berubah sejak seputaran 2010 ketika mereka menyadari
bahwa Cina telah melampaui Jepang sebagai ekonomi terbesar kedua di dunia
(Kalha 2012). Status ekonomi dan perkembangan kekuatan militer atau
kapabilitas power6 juga memberi pengaruh. Contohnya ketika Jepang menangkap
sebuah kapal nelayan Cina di dekat kepulauan Senkaku/Diaoyu, namun terpaksa
mundur dan melepaskan mereka ketika Cina mengancam untuk memotong ekspor
bahan mineral penting dalam pembuatan barang hi-tech (Kalha 2012). Dari sisi
5 Nasionalisme dapat berupa suatu ideologi atau suatu bentuk dari prilaku atau bisa merupakan
keduanya. Sebagai ideologi, nasionalisme merepresentasikan sebuah sistem dari ide-ide yang biasanya berhubungan dengan hak self-determination. Sebagai prilaku, nasionalisme dapat berupa respon rasional terhadap suatu keadaan, dan berkembang menjadi reaksi nasionalis atau gerakan. Lebih jauh lihat Anthony D. Smith. (1991). National Identity. pp 72. ; Easman, Milton j. (1994).
Ethnic Politics, pp 28. ; Kellas, James G. (1998). The Politics of Nationalism and Ethnicity. Pp 31.
6 Charles W. Freeman, Jr. Menggambarkan kapabilitas power berbicara mengenai sumber daya
militer, dapat dilihat dari pertimbangann yang seperti Defence White Paper
sebutkan, modernisasi militer Cina akan semakin ditandai dengan pengembangan
kemampuan proyeksi kekuatan yang signifikan (Department of Defence,
Australian Government,).
I.2 Rumusan Masalah
Dengan melihat kasus nasionalisasi Jepang atas kepulauan sengketea
Senkaku/Diaoyu yang telah meningkatkan ketegangan Cina-Jepang, apa arti
penting kepulauan Diaoyu bagi Cina dan bagaimana nasionalisme serta
kapabilitas power yang dimiliki Cina saat ini mempengaruhi sikap Cina hingga
cenderung kearah yang lebih agresif ?.
I.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan arti penting Kepulauan Diaoyu
bagi Cina dan menganalisa pengaruh nasionalisme serta kapabilitas power Cina
terhadap sikap cina yang cenderung agresif menyikapi nasionalisasi kepulauan
Senkaku/Diaoyu yang dilakukan oleh Jepang pada tahun 2012. Akan dilihat
bagaimana dinamika nasionalisme dan kapabilitas power Cina. Kemudian, lebih
mendalam, penulis berusaha menjelaskan bagaimana dinamika nasionalisme dan
kapabilitas power yang dimiliki Cina tersebut mempengaruhi sikap yang di
I.4 Kerangka Pemikiran I.4.1 Fokus Pemikiran
Fokus penelitian ini terdiri dari unit analisa dan unit eksplanasi. Unit
analisa adalah unit yang perilakunya akan dijelaskan dalam penelitian. Sedangkan
unit eksplanasi adalah unit yang mempengaruhi unit analisa. Dalam penelitian ini,
yang menjadi unit analisa adalah perubahan sikap Cina kearah yang lebih agresif
dihubungkan dengan nasionalisasi Jepang atas kepulauan sengketa, sedangkan
yang menjadi unit eksplanasinya adalah nasionalisme dan kapabilitas powerCina.
(Buzan dkk, 1995. dalam Perwita & Yani 2005).
I.4.2 Landasan Teoritik
I.4.2.1 Nasionalisme dan Agresifitas
Terkait Nasionalisme, Mill dalam tulisannya Representative Government
memberikan gambaran dalam memandang nasionalisme terutama dalam konsep
"rational nationalism" harus dipahami sebagai dialektika yang alami. ( Mill 1861) Berbeda dengan realis dan liberalis yang didasarkan pada keadaan rasional
kepentingan sendiri, konstruktivis menemukan bahwa faktor ideasional, sering
digambarkan sebagai non-materi dan mendikte aksi negara (Wendt 1995). Norma
dan identitas adalah apa yang dipresepsikan negara melalui penciptaan subjektif
dari politik identitas. Oleh karena itu, identitas menjadi lebih dominan
dibandingkan rasionalitas oleh aktor dalam mendefinisikan serta perilaku
konsekuen untuk melindungi kepentingannya (Wendt, 1999: 238-243). Norma
dan identitas adalah apa yang di presepsikan negara melalui penciptaan subjektif
didasari karena nasionalis Cina percaya bahwa mereka perlu melindungi
kepentingan nasional mereka, dan juga karena mereka merasa kepentingan
mereka telah terancam atau dilanggar. Mereka terinspirasi oleh identitas nasional
mereka untuk bertindak seperti "patriot".
Berbagai diskusi teoritis perilaku negara dapat diterapkan untuk
hubungan luar negeri Cina, namun perdebatan utama adalah apakah Cina
dimotivasi oleh logika politik-riil atau oleh kendala sosial seperti nasionalisme
dalam masyarakat maupun politik.Christensen berpendapat Cina adalah “the high church of realpolitik.”, dengan begitu Cina berfokus pada cara struktur internasional mengubah hubungan dengan tujuan memaksimalkan kekuatan
dan kepentingan relatif (Christensen 1996. Pg, 37). Namun, Johnston
menemukan bahwa perilaku internasional Cina mendapat pengaruh dari sisi
sosial. Dengan demikian, Cina tidak mungkin untuk mengabaikan realitas
material dari kebangkitan Cina dan faktor dalam hubungan luar negerinya,
menjadi penting untuk mengakui faktor ideasional atau konstruksi sosial yang
berdampak terhadap urusan internasional (Johnston 2007). Bahkan,
nasionalisme telah muncul sebagai kekuatan utama dalam politik. Contohnya
adalah saat Xi Jinping mengkritik AS terkait ekonomi internasional dan
kebijakan bantuan AS, sehingga mengangkat pendekatan Cina (Anonim,
http://news.asiaone.com 2009).
I.4.2.2 Teori Power Transition
Realis yang melihat negara sebagai aktor utama dan fokus pada pergeseran
menunjukkan bahwa ketika kekuatan negara meningkat, „a state will seek to change the international system through territorial, political and economic expansion until the marginal costs of further change are equal to or greater than the marginal benefits‟ (Gilpin 1981: 106). Berdasarkan premis Glipin, realis mengklaim bahwa Cina tidak puas dengan struktur internasional yang ada dan
hubungan kekuasaan yang dihasilkannya, dan dengan demikian berusaha untuk
menantang status quo (Buzan & Segal 1994, Pg: 6, Gernstein & Munro 1997).
Untuk beberapa realis lain, seperti Friedberg (1993), dan Organski Kugler
(1980), great power yang tidak puas akan cenderung untuk menantang negara dominan dan mungkin bisa menyebabkan konflik dan perang. Cina, sesuai dengan
kriteria dan termasuk dalam kategori great power ini. Prinsip prediksi akan
power dari teori ini adalah dalam kemungkinan perang dan stabilitas aliansi. Gelombang pengaruh yang besar terjadi ketika pesaing kekuatan dominan masuk
dan tidak puas dengan sistem yang ada. Demikian pula, aliansi yang paling stabil
ketika pihak aliansi puas dengan struktur suatu sistem. Ada hal lain lebih lanjut
untuk teori ini : misalnya, faktor penyebab Power Transition bervariasi dalam pola perubahan mereka, perubahan populasi menjadi pola dengan pengaruh
terendah dan kapasitas politik (didefinisikan sebagai kemampuan pemerintah
untuk mengontrol sumber daya internal untuk negara) sebagai pola perubagan
dengan pengaruh terbesar (Ronald L. Tamen et al, 2000).
tahun-tahun kedepan7. Merujuk pada tulisan Kugler dan Tamen, untuk melihat
bagaimana interaksi antara Cina dan Jepang serta bagaimana negara mengambil
sikap berdasarkan kapabilitas poweryang dimiliki maka dapat dilihat berdasarkan
faktor status quo, konflik dan kooperasi, hirarki. (Kugler, Tamen 2004).
Berkaitan dengan prilaku negara, negara tidak pernah bisa yakin tentang
tujuan masing-masing. Mereka tidak bisa tahu dengan tingkat kepastian yang
tinggi apakah mereka berhadapan dengan negara revisionis atau status quo.
Bahkan jika ada yang bisa memastikan tujuan suatu negara saat ini, tidak ada yang
mengetahui apa yang terjadi di masa mendatang. Hal itu karena mustahil
mengidentifikasi siapa yang menjalankan kebijakan luar negeri suatu negara 5
atau 10 tahun kedepan dan apakah mereka akan bersikap agresif (Copeland, 2000;
Leviathan, 1985; Mearsheimer, 2001). Negara yang hampir tidak memiliki
kemampuan ofensif tidak bisa menjadi negara revisionis, karena tidak memiliki
sarana untuk bertindak agresif. Satu masalah dengan pendekatan ini adalah bahwa
sulit untuk membedakan antara kemampuan militer ofensif dan defensif. Masalah
mendasar adalah bahwa kemampuan yang dikembangkan negara untuk membela
diri sering memiliki potensi ofensif yang signifikan (Mearsheimer, 2010).
I.5 Hipotesis
Bagi Cina, kepulauan Diaoyu merupakan aset yang penting dikarenakan
kekayaan alam maupun posisi kepualan terhadap eksplorasi ZEE yang mana
berkaitan dengan ekonomi Cina kedepannya. Namun sikap Cina tidak hanya
dipengaruhi keinginan menguasai sumber daya alam dan wilayah semata, namun
7 Lihat Kugler, J. Ronald Tamen. (2004) Regional Challenge: Cina‟s Rise to Power, in: The
juga karena pengaruh nasionalisme yang berkembang di Cina dan Peningkatan
kapabilitas power. Kebijakan pemerintah Cina sudah sangat mendapat perhatian
dan tekanan dari pihak nasionalis baik itu melalui internet maupun aksi protes
terhadap sikap Cina dalam beberapa kasus. Lebih jauh, elit politik Cina juga
masih tidak lepas dari jinggoisme dan ini sejalan dengan bagaimana Cina akan
merespon tekanan nasionalis. Sementara kapabilitas power membuat Cina
semakin lebih memiliki posisi wilayah regional Asia maupun Dunia dan itu
mampu meningkatkan kepercayaan diri Cina.
I.6 Metodologi Penelitian
I.6.1 Definisi Konseptual dan Operasional
I.6.1.1 Nasionalisme dan Bentuk Nasionalisme Cina
Meskipun istilah "nasionalisme" memiliki berbagai makna, nasionalisme
secara umum digunakan untuk menggambarkan dua fenomena : (1) sikap anggota
suatu bangsa saat mereka peduli tentang identitas mereka sebagai anggota bangsa
itu dan (2) tindakan yang diambil para anggota suatu bangsa dalam berusaha
untuk mencapai (atau mempertahankan) beberapa bentuk kedaulatan politik
(Nielsen 1998-9, 9). Masing-masing aspek memerlukan elaborasi. (1)
menimbulkan pertanyaan tentang konsep bangsa atau identitas nasional, tentang
apa itu milik bangsa, dan tentang seberapa seseorang harus peduli pada suatu
bangsa, sementara dalam hal keanggotaan seorang individu dapat secara sukarela
atau tidak. (Smith, 1991). (2) menimbulkan pertanyaan tentang apakah kedaulatan
domestik dan internasional, atau apakah sesuatu yang kurang dari kenegaraan
akan cukup. Meskipun kedaulatan sering diartikan kenegaraan penuh (Gellner
1983, ch. 1).
Secara umum terdapat kesepakatan tentang apa yang secara historis paling
khas terkait paradigmatik nasionalisme. Kedaulatan teritorial secara tradisional
dilihat sebagai elemen penentu kekuasaan negara, dan penting untuk kebangsaan.
Teritorial negara sebagai unit politik dipandang oleh kaum nasionalis sebagai
'milik' utama satu kelompok etnis-budaya, dan secara aktif bertugas melindungi
dan menyebarkan tradisi-tradisinya (Miscevic, 2010).
Variasi nasionalisme Cina yang paling relevan telah muncul sebagai
kekuatan yang kuat di Cina setelah 1979, Cina mencakup empat generasi yang
berbeda: pertama yaitu generasi revolusioner di 1930s/40s, generasi kedua selama
masa komunis dengan fokus pada membersihkan sayap kanan selama tahun 1950,
generasi ketiga pada tahun 1970 dengan revolusi budaya, dan yang paling baru
saat ini pasca generasi 1970an. Generasi keempat unik karena muncul pada masa
“relative material prosperity” yang juga memiliki “a strong desire to make their mark”( Gries 2005, pg 4-5). Gries menyatakan, telah terjadi kenaikan di Cina berhubungan dengan nasionalisme terkait kebutuhan untuk tampil atau
ditampilkan sebelum orang lain (Gries 2005, pg 20).
I.6.1.2 Kapabilitas Power
Para akademisi seringkali mendefinisikan power sebagai sebuah cara, artinya kekuatan dan kapasitas yang membentuk kemampuan untuk
mempengaruhi tersebut (Griifiths&O‟Callaghan, 2002: 253). Menurut
Morgenthau, power merupakan sebuah hubungan antara dua aktor politik dimana aktor A memiliki kemampuan untuk melakukan kontrol terhadap perilaku dan
pikiran aktor B.
Dalam teori Power Transition menggambarkan politik internasional sebagai hirarki dengan (1) negara "dominant", suatu negara dengan proporsi terbesar dilihat dari sumber daya power (populasi , produktivitas, kapasitas politik dalam artian koherensi dan stabilitas, dll), (2) "great powers", negara-negara potensial dalam menyaingi negara dominan dan yang juga berperan dalam
tugas-tugas pemeliharaan sistem dan kontrol alokasi sumber daya power , (3) " middle powers", dalam ruang lingkup regionali yang memiliki potensi mirip dengan negara dominan namun tidak dapat menantang negara dominan atau struktur
sebuah sistem. Dan (4) " Small powers " negara-negara sisa lainnya.
Komponen suatu power bangsa dalam menghasilkan kemampuan untuk mempengaruhi perilaku bangsa lain dapat dilihat dari sisi populasi, produktivitas
dan kapasitas politik8. Kapabilitas merupakan agregasi dari populasi dunia,
penduduk perkotaan, pengeluaran militer, personil militer, produksi besi dan baja,
dan batu bara dan konsumsi minyak. Teori Transisi Power menggunakan output
total ekonomi suatu bangsa ditimbang dengan kapasitas politiknya. Parameter
COW dan GDP sangat berkorelasi9 (Kugler, Arbetman 1989). Ketiga elemen
8 Merujuk Composite Capabilities Index of the Correlates of War (COW), lihat J. David Singer,
and Melvin Small, (1966) „The Composition and Status Ordering of the International System: 1815-1940‟, World Politics, 18, pp.236-82.
9 Perbandingan dari dua ukuran tersebut dapat ditemukan di Jacek Kugler, and Marina Arbetman,
berubah seiring waktu pada tingkat yang berbeda. Ukuran populasi sulit untuk
memodifikasi dalam jangka pendek, sementara produktivitas ekonomi bisa diubah
lebih cepat. Sementara itu kapasitas politik yang stabil dan perubahannya tidak
dapat diprediksi secara akurat. Untuk alasan ini Kugler dan Tamen lebih
berkonsentrasi pada jumlah populasi dan tingkat produktivitas ekonomi Cina
(Kugler, Tamen 2004)
I.6.2 Tipe Penelitian
Penelitian ini menggunakan tipe penelitian eksplanatif yang bermaksud
untuk menjelaskan variabel-variabel yang diteliti beserta dengan hubungan antar
variabel (Suyanto dan Sutinah, 2004). Dalam hal ini, peneliti berusaha
menjelaskan hubungan kausal antar variabel melalui pengujian hipotesis.
Penelitian ini berusaha menjelaskan pengaruh perubahan kapabilitas power Cina
serta nasionalisme yang seperti apa dan bagai mana itu mempengaruhi perubahan
sikap yang lebih keras terhadap Jepang pasca pembelian kepulauan sengketa
antara Cina-Jepang pada tahun 2012.
I.6.3 Jangkauan Penelitian
Penelitian ini berusaha menjelaskan pengaruh nasionalisme dan kapabilitas
power Cina pada perubahan sikap Cina terhadap jepang hingga cenderung kearah yang lebih agresif, dengan fokus reaksi Cina pasca pembelian kepulauan
Senkaku/Diaoyu oleh Jepang tahun 2012 dengan melihat faktor yang
melihat momentum pembelian kepulauan sengketa oleh Jepang pada September
2012. Pada momentum 2012, sikap Cina yang cenderung lebih agresif disinyalir
akibat respon terhadap naiknya nasionalisme di Cina serta tekanan pihak
nasionalis. Sikap Cina yang cenderung lebih agresif juga disinyalir akibat semakin
menguatnya power Cina di Asia Timur terutama kekuatan ekonomi terhadap Jepang.
I.6.4 Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah
dengan kajian dokumen. Dokumen diartikan sebagai suatu catatan tertulis /
gambar yang tersimpan tentang sesuatu yang sudah terjadi. Dokumen merupakan
fakta dan data tersimpan dalam berbagai bahan yang berbentuk dokumentasi
(Moleong, 2005). Secara detail bahan dokumenter terbagi beberapa macam, yaitu
otobiografi, surat-surat pribadi, buku atau catatan harian, memorial, klipping,
dokumen pemerintah atau swasta, data tersimpan di website, dan lain-lain.
Dokumen tak terbatas pada ruang dan waktu sehingga memberi peluang kepada
peneliti untuk mengetahui hal-hal yang pernah terjadi untuk penguat data dalam
membuat interprestasi dan penarikan kesimpulan.
I.6.5 Teknik Analisis Data
Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data
yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan dan dokumentasi dengan
melakuakan sintesa dipelajari dan membuat kesimpulan sehingga mudah
dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain (Bogdan dan Bilken 1982). Teknik
analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis data
kualitatif. Analisis data kualitatif adalah suatu analisis mendalam berdasarkan
intepretasi dan teori terhadap data yang diperoleh, selanjutnya dikembangkan pola
hubungan tertentu atau menjadi hipotesis. Berdasarkan hipotesis yang dirumuskan
berdasarkan data tersebut, selanjutnya dicarikan data lagi secara berulang-ulang
sehingga selanjutnya dapat disimpulkan apakah hipotesis tersebut diterima atau
ditolak berdasarkan data yang terkumpul (Silalahi, 2006). Analisis dilakukan
dengan melihat data dan fakta, kemudian data dan fakta dikorelasikan dengan
landasan teori dan konsep.
1.6.6 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan penelitian ini akan disusun sebagai berikut:
1. BAB I. Merupakan metodologi penulisan penelitian yang tersusun atas latar
belakang permasalahan, rumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka
pemikiran yang terdiri dari peringkat analisis dan landasan teoritik,
hipotesis, metodologi penelitian yang terdiri dari definisi konseptual dan
definisi operasional, tipe penelitian, jangkauan penelitian, teknik
pengumpulan data, teknik analisis data serta sistematika penulisan.
2. BAB II. Berisi tentang arti penting dari kepulauan Diaoyu bagi Cina, arti
3. BAB III. Berisi penjelasan bentuk nasionalisme Cina dan pengaruhnya
terhadap perubahan sikap yang lebih agresif pada Jepang pasca pembelian
kepulauan sengketa oleh Jepang
4. BAB IV. Berisi penjelasan menguatnya power Cina di Asia Timur terutama kekuatan ekonomi terhadap Jepang dan pengaruhnya terhadap perubahan
sikap yang lebih agresif pada Jepang pasca pembelian kepulauan sengketa
oleh Jepang.
5. BAB V. Berisi analisis terhadap pembahasan yang telah dilakukan pada
bab-bab sebelumnya
6. BAB VI. Berisi kesimpulan, implikasi penelitian serta saran berdasarkan
analisis yang telah disampaikan. Pada bab terakhir ini, penulis akan
memberikan kesimpulan apakah hipotesis yang diajukan pada bab pertama
BAB II
NILAI DAN ARTI PENTING YANG DIMILIKI KEPULAUAN
DIAOYU BAGI CINA
Seperti yang telah di sebutkan sebelumnya mengenai pernyataan juru
bicara kementrian Cina Hua Chunying dalam suatu konfrensi pers pada April
2013. Diaoyu adalah “core interest” Cina. " Kepulauan Diaoyu adalah mengenai kedaulatan dan integritas teritorial.... Tentu saja ini adalah core interest Cina”. Apakah memang permasalahan hanya terletak pada kedaulatan dan integritas
teritorial dikarenakan Cina merasa kepulauan Diaoyu adalah wilayahnya?.
“Apa arti penting Diaoyu bagi Cina?”, merupakan sebuah pertanyaan
yang muncul ketika berusaha memahami mengapa Cina bersikeras mengklaim
kepemilikan atas kepulauan Diaoyu. Sebelum membahas lebih jauh mengenai
pengaruh nasionalisme dan kapabilitas Power terhadap sikap Cina maka pada bab
ini terlebih dahulu membahas arti penting kepulauan Diayou bagi Cina. Arti
penting yang di bahas disini adalah dengan memandang kepulauan
Senkaku/Diaoyu sebagai objek dan nilai apa yang dimiliki.
2.1 Potensi kekayaan alam wilayah Kepulauan Diaoyu
Meskipun perselisihan sudah ada sejak akhir Perang Dunia II (PD II),
Suganuma berpendapat bahwa sampai tahun 1970-an, kepulauan ini masih
dianggap bernilai kecil oleh Cina maupun Jepang. Setelah penemuan potensi
kemudian mulai "menyalakan sumbu konfrontasi teritorial antara Jepang dan
Cina", dan kepemilikan kepulauan senkaku/Diaoyu telah menjadi "salah satu
sengketa teritorial yang paling rumit di dunia "(Suganuma, 2000: 11).
Kepemilikan atas kepulauan Diaoyu dapat mempengaruhi 40.000 km2
sekitar landas kontinen atau daerah zona ekonomi ekslusif (ZEE) dan kontrol
pulau akan memberi kepemilikan sumber daya alam di sekitarnya. Hal ini tentu
tidak hanya tentang industri perikanan, tetapi juga tentang potensi cadangan
minyak dan gas di wilayah ini. Pada tahun 1968 Komisi Ekonomi PBB untuk Asia
timur memprediksi kemungkinan kekayaan sumber daya minyak bumi dan gas
yang melimpah di Laut Cina Timur10. Pemerintah Jepang kemudian menegaskan
survei Komisi ekonomi PBB atas prediksi kekayaan minyak bumi dengan
perhatian khusus pada kepulauan Senkaku (MOFA 2013).
Secara ekonomi, kepulauan Diaoyu sangat menguntungkan untuk Cina.
Mengapa demikian adalah karena Cina merupaan konsumen minyak terbesar
kedua di dunia setelah Amerika Serikat dan menjadi konsumen energi global
terbesar pada tahun 2010. Berdasarkan laporan US Energy Information
Administration (EIA), Cina adalah eksportir minyak bersih sampai awal 1990-an
dan menjadi net importer terbesar kedua di dunia di 2009. EIA memperkirakan
Cina akan melampaui Amerika Serikat sebagai importir minyak pada tahun 2014.
Pertumbuhan konsumsi minyak Cina menyumbang sepertiga dari pertumbuhan
konsumsi minyak dunia pada tahun 2013, dan EIA memproyeksikan pangsa yang
10 Survei geologi pertama menyatakan kemungkinan cadangan petroleum yang besar yang di
cetak ulang dalam K. O. Emery, et al, “Geological Structure and Some Water Characteristics of the East
sama pada tahun 2014. Penggunaan gas alam di Cina juga meningkat pesat dalam
beberapa tahun terakhir, dan Cina telah berupaya untuk meningkatkan impor gas
alam melalui pipa dan gas alam cair (LNG)
Berapa banyak potensi cadangan minyak dan gas alam yang diperkirakan
masih belum jelas diakibatkan perselisihan teritorial yang mencegah survei akurat.
Cina memperkirakan potensi cadangan minyak di perairan laut Cina Timur
sebanyak 70-160 miliar barel, angka yang jauh lebih tinggi dari perkiraan US
Geological Survey dari pertengahan 1990-an. Cina juga memperkirakan laut Cina
Timur berisi sekitar 250 triliun kaki-kubik gas alam, berbeda dengan analis energi
AS yang hanya memperkirakan cadangan gas alam sebanyak 1 sampai 2 triliun
kaki-kubik (www.eia.gov 2014). Terlepas berapa banyak sebenarnya cadangan
sumberdaya alam yang akurat, jelaslah bahwa Kepulauan Diaoyu memiliki nilai
strategis dan ekonomi dengan perkiraan cadangan minyak dan gas di Laut Cina
Timur yang mampu memenuhi kebutuhan Cina untuk setidaknya beberapa decade
kedepan (Huang 2012).
Di sisi lain, sebuah kompleksitas timbul oleh presepsi zona ekonomi
eksklusif (ZEE) yang memiliki implikasi tentang siapa yang bisa memanfaatkan
cadangan minyak dan gas di wilayah tengah Cina Timur Laut (Yee 2011: 173).
Seperti yang sudah di jelaskan sebelumnya pada BAB I, bahwa Cina
menggunakan dasar geografi sebagai justifikasi kedaulatan. sebagaimana
didefinisikan dalam Bagian VI, Pasal 76 UNCLOS III, " Landas kontinen suatu
Negara pantai meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya ... ke tepi luar dari
dalam Moura, 2013). Sedangkan secara geografi jarak antara Cina dan Jepang
tidak sampai mencapai 400 mil laut sehingga batas-batas mereka menjadi
tumpang tindih.
2.2 Nilai Posisi Strategis Diaoyu Bagi Cina
Karena letak posisi geografis penting sebagai pos garis depan untuk Cina
dan pos terakhir dari barisan belakang untuk Jepang, nilai strategis dari Kepulauan
Diaoyu di militer dan geopolitik tidak bisa diremehkan. Kepulauan
Senkaku/Diaoyu terletak sekitar tengah-tengah antara pulau Taiwan dan
Kepulauan Ryukyu Jepang, yaitu 120 mil laut sebelah timur laut dari Taiwan, 200
mil laut sebelah barat daya dari Okinawa, dan 230 nautical km sebelah timur dari
Cina daratan (Pan, 2007).
Bagi Cina, Kepulauan Diaoyu terletak tepat di pusat strategi geografis
Cina yang di sebut sebagai "rantai pulau pertama", yang didefinisikan oleh garis
pantai Cina yang membentang dari Kepulauan Kurile, Jepang, Kepulauan
Ryukyu, melalui Taiwan, ke Filipina dan Kepulauan Spratly. Rantai pulau
memisahkan perairan pesisir Cina dan Samudera Pasifik, posisi ini dipandang
sebagai penghalang alami terhadap proyeksi kekuatan Cina diluar garis pantainya.
Dari perspektif saingan Cina ', beberapa melihat bahwa "rantai pulau pertama"
adalah semacam "Great Wall secara terbalik: ... garis yang terorganisasi dengan
baik dari sekutu AS yang berfungsi sebagai semacam menara penjaga untuk
memantau dan mungkin memblokir akses Cina ke Samudera Pasifik "(Kaplan,
Pengembangan militer Cina terutama angkatan laut telah melakukan
serangkaian program modernisasi baik peralatan maupun doktrin strategisnya,
pengembangan ini dalam rangka untuk mengikuti langkah peningkatan pesat
status ekonomi dan politiknya Ada persepsi yang berkembang di Barat
memandang bahwa dengan peningkatan kemampuan ekonomi dan militer, Cina
lebih berkeinginan untuk mengembangkan ototnya lebih jauh dari perairan
pesisirnya dengan mengembangkan angkatan laut "blue water" (The Economist, 2007; 2009; dan 2010b). Keputusan Beijing untuk mengirim angkatan laut gugus
tugas anti-pembajakan ke pantai Somalia menunjukkan peningkatan kemampuan
daya-proyeksi People‟s Liberation Army (PLA) Cina. Strategis vital yang penting
dari Kepulauan Diaoyu adalah bahwa dengan mengendalikan kelompok pulau,
maka akan "memecah" perimeter " rantai pulau pertama " dan memberikan jalur
aman ke dalam dan ke luar Samudera Pasifik, sehingga memperluas perimeter
pertahanan laut Beijing ke Barat Pacific (Guo, 2012)..
Akses ke Kepulauan Diaoyu akan sangat berguna untuk kekuatan kapal
selam Cina, karena akan memungkinkan kapal selam untuk terjun lebih dalam di
perairan timur 11, maka menjadi lebih sulit bagi Amerika Serikat (AS) dan Jepang untuk melacak rute kapal selam Cina sebelum menyelinap masuk ke Samudera
Pasifik. Laksamana AS mengungkapkan pada tahun 2006 sebuah kapal selam
Cina mengejutkat Angkatan Laut AS dan mempertaruhkan konfrontasi militer
11 Survei geografis dasar laut menunjukkan perbedaan besar secara mendalam antara barat air
dengan membayangi kapal induk AS yang berlayar di dekat laut Cina
Timur(Scarborough, 2006)
2.3 Nilai sejarah Kepulauan Diaoyu dan ikatan emosional Cina
Cina dan Jepang memiliki dasar masing-masing atas klaim mereka
terhadap Kepulauan Diaoyu dengan sejumlah bukti sejarah yang mendukung
argumen mereka. Bagian ini membahas dasar sejarah klaim Cina atas Kepulauan
Diaoyu. Lebih jauh, bagian ini juga menjelaskan ikatan emosional yang kuat
antara masyarakat Cina terhadap klaim kepulauan. Penelitian ini tidak
memperdebatkan kepemilikan kepulauan Diaoyu, karena itu akan berkonsentrasi
pada sikap Cina dan posisi pada masalah Kepulauan Diaoyu. Meskipun demikian,
hal ini tidak harus dilihat sebagai mengabaikan kredibilitas klaim Jepang, atau
dianggap sebagai mempromosikan perspektif Cina.
Dasar klaim Cina atas Kepulauan Diaoyu adalah Cina memiliki dokumen
sejarah yang mana saat pertama kali kepulauan ini ditemukan, menyatakan
kelompok pulau Diaoyu sejak Dinasti Ming (1368-1644) dipetakan sebagai pos
navigasi. Meskipun Arsip Cina menunjukkan bahwa pulau-pulau berada di bawah
kekuasaan administrasi Cina sejak awal Dinasti Song Selatan (1127-1279),
pulau-pulau tidak pernah dihuni secara permanen, dan hanya digunakan sebagai jalur
pengiriman barang (Suganuma, 2000: 42-44). Namun demikian, menggunakan
bukti di atas sebagai dasar, Beijing berulang kali menyatakan bahwa kelompok
Kepulauan Diaoyu adalah "wilayah suci sejak zaman kuno" Cina (Harian Rakyat
Alasan emosional utama adalah terkait sengketa kepulauan Diaoyu,
sengketa yang terjadi menyajikan ilustrasi dari "kebanggaan / penghinaan".
Menurut narasi Beijing, kelompok Kepulauan Diaoyu (sebagai bagian dari
Taiwan) diambil dari Cina setelah kekalahan Cina dalam perang Pertama
Sino-Jepang yang diprakarsai oleh Sino-Jepang pada tahun (1894-1895). Perang pecah
ketika Dinasti Qing berada dalam kemunduran, sementara Jepang meningkatkan
kekuatannya setelah Restorasi Meiji.
Delam perselisihan dengan Jepang, Taiwan merupakan bagian penting
bagi klaim Cina atas Diaoyu. Cina berpendapat bahwa Kepulauan Diaoyu
bersama-sama dengan Taiwan seharusnya dikembalikan ke Cina pada akhir
Perang Dunia II, di bawah Deklarasi Kairo 1943. Deklarasi Kairo menyatakan
bahwa Jepang harus mengembalikan semua wilayah "yang dicuri dari Cina,
seperti Manchuria, Formosa [Taiwan], dan Pescadores, akan dikembalikan ke
Republik Cina (ROC) "(Deklarasi Kairo, 1943). Secara tegas kepulauan Diaoyu
tidak disebutkan dalam Deklarasi Kairo karena Cina dan Taiwan berpendapat
bahwa itu tidak perlu. Ini adalah karena Diaoyu tidak terdaftar dalam Perjanjian
Shimonoseki, ketika Jepang mengambil mereka sebagai bagian kepulauan
Taiwan. Sebaliknya, Kepulauan Diaoyu tidak kembali ke ROC dengan Taiwan
setelah Jepang menyerah, tapi diambil alih oleh pasukan pendudukan AS di
Jepang sebagai bagian dari Kepulauan Okinawa, dan digunakan oleh militer AS
untuk sasaran latihan mili ter. Pulau-pulau itu akhirnya dikembalikan sebagai
bagian kelompok kepulauan Okinawa ke Jepang pada tahun 1972 ketika AS
Awalnya, antara tahun 1945 dan awal 1970-an, pemerintah Cina
menyuarakan keberatan yang kuat terhadap kontrol AS atau penyerahan
kepulauan ke Jepang. Apa yang telah membuat sengketa ini jauh lebih rumit
adalah status kedaulatan Taiwan atas Diaoyu dan keterlibatan Amerika, seperti
Cina berpendapat bahwa kepulauan Diaoyu adalah milik "Provinsi Taiwan", yang
menjadi bagian integral dari wilayah Cina. Fakta bahwa baik Cina maupun
Taiwan saat ini tidak mengelola Diaoyu, membuat banyak masyarakat Cina
memandang terjadi ketidakadilan karena Cina kehilangan kepemilikan sah dari
bagian penting wilayahnya (Taira, 2004). Disini menyiratkan seolah-olah wilayah
itu diambil paksa dari Cina, dan tidak berhak kembali seperti yang seharusnya
ketika Cina akhirnya mengalahkan Jepang.
Dalam perjalanannya Cina tidak pernah menyerah mengenai klaim
teritorial atas Kepulauan Diaoyu. Dengan tujuan berusaha untuk meningkatkan
hubungan diplomatik antara Cina dan Jepang, pada tahun 1978 Deng Xiaopin
selaku Wakil Perdana Menteri pada saat menyarankan kedua negara untuk setuju
mengesampingkan perselisihan bilateral dan mencari pengembangan bersama.
Berdasarkan rekomendasi Deng, Cina menyarankan kedua negara untuk
mematuhi kesepakatan ini dan bekerja untuk mengembangkan hubungan bilateral
(Cina Daily, 2010).
Sebaliknya, sikap Jepang atas kepulauan yang mereka sebut Senkaku,
menyatakan bahwa tidak terdapat masalah sengketa teritorial yang harus
diselesaikan. Awal pernyataan tersebut dapat ditelusuri dari pejabat Jepang pada
Jepang. Ketika ditanya tentang pembangunan mercusuar oleh kelompok sayap
kanan di salah satu pulau, sekertaris Kementrian Luar Negri Jepang menjelaskan
posisi dasar Jepang atas kepulauan, "Jelas, secara historis dan dalam terang
hukum internasional, bahwa Kepulauan Senkaku merupakan bagian dari wilayah
Jepang. Kepulauan berada di bawah kontrol yang efektif dari Jepang. Di sana
tidak ada masalah teritorial tentang Kepulauan Senkaku "(MOFA, 1996). Secara
emosional bagi orang Cina pernyataan Jepang yang menolak adanya sengketa
hanya menambahkan rasa sakit hati masyarakat Cina atas kompleksitas gambaran
"kebanggaan / penghinaan" yang telah ada
Dikarenakan adanya faktor sejarah panjang, isu Kepulauan Diaoyu mudah
menarik banyak sentimen nasionalisme di Cina. Sengketa ini berada di
tengah-tengah kompleksitas "kebanggaan / penghinaan" nasionalisme Cina. Di satu sisi,
kepulauan Diaoyu tampil sebagai simbol kuat dari bangsa Cina yang menjadi
korban di tangan agresi Jepang, dan penderitaan besar yang telah dialami bangsa
Cina. Oleh karena itu, penolakan terus menerus Jepang pada klaim Cina dan
pembatasan akses Cina ke Diaoyu membawa kemarahan anti-Jepang oleh gerakan
nasionalis (Guo, 2012). Di sisi lain, sebagai status internasional Cina mulai naik,
dan masyarakat Cina kini merasa bangga dan menganggap bangsa mereka cukup
kuat untuk menuntut untuk kembali wilayah yang dirasa sebagai miliknya yang
sah. Jadi, mendapatkan kembali beberapa wilayah yang menjadi perebutan
termasuk Taiwan dan Kepulauan Diaoyu menjadi langkah penting untuk
mencapai tujuan ini. Pada dasarnya, sengketa yang ada saling menghubungkan
dan mudah bertukar tempat sesuai situasi "(Callahan, 2010). Karena simbolisme
yang penting ini maka sengketa Kepulauan Diaoyu melambangkan nasionalisme
Cina, sejarah dan persepsi terhadap Jepang, sengketa tetap menjadi isu sensitif
yang diperdebatkan baik oleh pemerintah Cina dan Jepang maupun oleh
masyarakat umum sejak tahun 1990-an, bertepatan dengan munculnya
nasionalisme populer Cina (Guo, 2012).
Sebagai objek, kepulauan Diaoyu memiliki unsur-unsur yang kompleks
berkenaan dengan arti penting bagi Cina. Dari sisi ekonomi kepulauan ini
menjadi salah satu alternatif cadangan sumberdaya alam untuk mempertahankan
perkembangan Cina dalam meningkatkan powernya mengingat kebutuhan Cina
akan energi sangat tinggi. Dari sisi geografis kepulauan ini memberikan peluang
bagi Cina untuk menjadikan wilayah kepulauan sebagai saluran pertahanan
keamanan. Kemudian nilai sejarah yang dimiliki kepulauan Diaoyu juga
berkenaan dengan sentimen emosional Cina yang merasa sempat dipermalukan
BAB III
PERKEMBANGAN DAN BENTUK NASIONALISME CINA
Pembahasan sebelumnya pada BAB II mengenai nilai sejarah dan ikatan
emosional telah sedikit memberi gambaran sengketa yang terjadi telah menarik
banyak sentimen nasionalis di Cina berkaitan dengan kompleksitas
“kebanggaan/penghinaan”. Pada bagian ini memberi penjelasan mengenai
pengaruh nasionalisme sebagai faktor pendorong sikap agresif Cina terhadap
Jepang.
Sejalan dengan yang telah dijelaskan sebelumnya mengenai salah satu
yang melatarbelakangi sikap Cina yaitu kekuatan nasionalisme, Rory Medcalf dari
Lowy Institute for International Policy Australia, mengatakan nasionalisme telah ada untuk waktu yang lama di Cina dan di pupuk oleh partai komunis hingga
semakin sulit untuk mengontrolnya saat ini12, sebagian karena media sosial.
Kepulauan sengketa ini telah menjadi fokus seperti kebanggaan nasional di Cina
dan Jepang, di sisi lain kedua pemerintah juga merasa terdorong untuk bereaksi
terhadap provokasi yang dirasakan oleh kaum nasionalis. Bonnie Glaser, seorang
pakar studi Cina di Center for Strategic and International Studies (CSIS) Washington menegaskan bahwa banyak nasionalis Cina telah dibawa ke dunia
Internet untuk mengekspresikan kemarahan terhadap Jepang dan mengkritisi
pemerintah karena tidak berbuat lebih banyak untuk mempertahankan kedaulatan
Cina (Lipin, www.voa.news.com 2012).
12 Partai Komunis Cina meluncurkan kampanye pendidikan patriotik pada tahun 1991, yang
Jadi, apa pengaruh yang dimiliki nasionalisme terhadap kebijakan luar
negeri dan dalam negeri dari Cina?. Nasionalisme adalah materialisasi dari satu
sektor pendapat publik. Sejalan dengan berkembangnya ekonomi dan masyarakat
Cina, pemerintah Cina akan merasa semakin sulit untuk mengabaikan pendapat
publik. nasionalisme yang semakin berkembang dengan adanya internet lebih
mampu memobilisasi dan membangkitkan sentimen publik. Pemimpin Cina, salah
satunya termasuk Hu Jintao dan Wen Jiabao, telah menunjukkan kepedulian elit
politik Cina untuk ikut dalam diskusi internet pada banyak kesempatan. Mereka
bahkan secara pribadi berpartisipasi dalam diskusi internet dengan elemen
masyarakat Cina karena telah menjadi sangat sulit bagi mereka untuk
mengabaikan suara-suara di internet (Fook dan Yi, 2009). Dalam setiap
kesempatan, klaim nasionalisme sering digunakan untuk memperjuangkan
kepentingan nasional sehingga memberikan perjuangan nasionalisme beberapa
nilai moral. Dalam konteks politik Cina, jika pemerintah memberikan perhatian
dan membahas masalah ini dengan serius, nasionalisme mungkin menjadi
kekuatan yang berkontribusi terhadap stabilitas sosial. Namun, jika kepemimpinan
mengabaikan suara-suara yang ada, legitimasi mereka untuk memimpin akan
dipertanyakan. Hal yang penting untuk dicatat adalah nasionalisme memang
memiliki dampak yang kuat pada para pemimpin Cina, Ferguson berpendapat
bahwa, "markas dunia teknokrasi ini bisa dibilang berada di Beijing", namun para
pejabat kunci masa depan di Cina tidak kebal terhadap jingoisme13 (Ferguson,
http://mag.newsweek.com 2012).
Untuk penjelasan lebih dalam, selanjutnya akan di bagi menjadi beberapa
pembahasan mengenai bentuk nasionalisme Cina, perkembangan nasionalisme
populer di Cina , pengaruh media internet terhadap nasionalisme, dan dinamika
terkait “mempertahankan” kepulauan oleh pihak nasionalis.
3.1 Bentuk Nasionalisme Cina
Nasionalisme Cina belum menunjukan bentuknya yang jelas sampai akhir
abad kesembilan belas. Sebelum memasuki abad kedua puluh, Cina adalah sebuah
negara berbentuk kerajaan dinasti dan belum menjadi negara-bangsa seperta
sekarang ini. Konsep dominan yang di terapkan dalam politik dan identitas
nasional adalah menggunakan sistem budaya berdasarkan ajaran Konfusius.
Perkembangan pada masa sebelum abad kedua puluh menunjukan perkembangan
sejarah Cina secara universal dan bukan sebagai bangsa. Oleh karena itu, dalam
penerapannya, pemikiran tradisional Cina mempunyai kekurangan dalam konsep
bangsa (Duara, 1996: 31-55).
periode pendudukan Barat, perjanjian yang tidak seimbang, dan
ditegakkannya yurisdiksi ekstrateritorial asing di Cina menjadi panggilan bagi elit
Cina untuk melakukan perubahan. Mereka merasa sistem lama berdasarkan
Konfusianisme tidak lagi memadai untuk membela Cina dalam menghadapi invasi
asing. Intelektual seperti Kang Youwei dan Sun Yat-sen melihat dari konsep
bangsa Barat kemudian menggunakan gagasan membela bangsa sendiri terhadap
penyusup asing untuk membangun bentuk baru dari identitas nasional (Hughes,
2005). Oleh karena itu, masuk akal untuk menegaskan bahwa katalis bagi lahirnya
nasionalisme Cina adalah kekuatan asing. Masa kependudukan Barat Yang
disebut “century of shame and humiliation” menyediakan lingkungan yang sesuai untuk nasionalisme Cina berevolusi (Guo, 2012).
3.1.1 Partai Komunis Cina dan Nasionalisme yang Dipimpin Negara
Sejak tahun berdirinya Republik Rakyat Cina (RRC) pada tahun 1949,
nasionalisme telah mendominasi doktrin yang ada di Cina, dengan muncul dalam
pernyataan dan kebijakan pemerintah terutama kebijakan luar negerinya. Karena
periode perang yang panjang, pada tahun-tagun awal berdirinya RRC tampak
belum yakin akan posisinya di dunia internasional. Pada awalnya, pandangan
Marxisme-Leninisme dan ideologi sosialis merupakan acuan bagi para pemimpin
Cina dalam menjalankan pemerintahannya (Chen, 2005). Konstruksi identitas
nasional Cina sebelum reformasi Deng Xiaoping sangat dipengaruhi oleh
konfrontasi ideologi antara komunisme dan kapitalisme. Alasan yang mendukung
pernyataan ini dapat di lihat dari konfrontasi ideologi nyata dan intens antara
komunisme dan kapitalisme yang terjadi dalam Perang Dingin pasca berdirinya
Komunis Cina pada tahun 1949. Cina menjadi anggota penting dari kelompok
negara komunis, bersama Uni Soviet dan negara komunis lainnya 14. Lebih jauh,
kepemimpinan Partai Komunis Cina (PKC) mungkin dibangun dengan dasar
kemenangannya terhadap kekuatan kapitalis Barat yang sebelumnya telah lama
menduduki Cina. Oleh karena itu setelah mendirikan RRC kepemimpinan PKC
14 Mao Zedong memperjelas posisinya , Dia menulis bahwa Cina harus bersekutu "dengan Uni
mampu membangun paradigma yang menunjukan perbedaan berada dalam
kemerdekaan dan di bawah invasi asing (Guo, 2012). Ini menjadi salah satu cara
untuk meningkatkan legitimasi politik PKC dan mengkonsolidasikan kekuasaan
politik yang rapuh untuk menekankan upaya dalam mengalahkan kekuatan
imperialis seperti halnya oleh Jepang yang telah menduduki wilayah-wilayah Cina
sejak awal 1930-an hingga pertengahan 1940-an.
Dibandingkan dengan nasionalisme yang ada di negara lain, nasionalisme
Cina memang memiliki keterikatan yang erat dengan sejarah masa lalu. Ketika
Cina akhirnya mencapai kebebasa dari pendudukan asing, PKC mampu
menyampaikan keyakinan nasionalis pupuler yang kuat di kalangan masyarakat
Cina, dengan tujuan untuk mempertahankan kebebasannya dan menghindari
terjadi kembali kependudukan asing. Penekanan kata-kata dengan nada emosional
yang kuat juga sering digunakan dalam pernyataan diplomatik sejak awal
berdirinya RRC, mencerminkan konseptualisasi nasionalisme PKC. '... tindakan
oleh pemerintah... telah sangat melukai perasaan orang-orang Cina adalah slogan
yang sering digunakan oleh Departemen Luar Negeri dalam protes diplomatik,
terutama di tujukan kepada Jepang. Dengan menambahkan sentimen nasionalis,
penggunaan kata-kata seperti 'orang-orang Cina', 'perasaan' dan 'penghinaan'
memiliki makna lebih dalam pesan diplomatik resmi (Whiting, 1983: 195).
3.1.2 Era reformasi dan keterbukaan Den Xiaoping
Ketika Cina memasuki era baru "reformasi dan terbuka" pada tahun
1970-an, tampaknya ada perubahan nyata terhadap karakteristik nasionalisme (Whiting,
klasik Komunis Marxisme-Leninisme kearah yang berfokus pada kepentingan
nasional. Generasi baru pemimpin Cina mulai mengadopsi pendekatan yang lebih
pragmatis untuk kebijakan luar negeri. Deng Xiaoping tidak lagi fokus pada
retorika „century of shame and humiliation‟ untuk mengikat masyarakat Cina. Sebaliknya, Deng menekankan pada pembangunan ekonomi dan pengentasan
kemiskinan. Nasionalisme di era Deng, masih menempatkan 'kita, orang-orang
Cina, dalam hal positif, tapi memiliki konotasi negatifnya yang lebih kecil
terhadap pihak asing. Pendekatan pragmatis terhadap nasionalisme melihat
"eksploitasi asing, dan infiltrasi budaya sebagai sumber kelemahan Cina, namun
percaya bahwa kurangnya modernisasi adalah alasan mengapa Cina menjadi
sasaran empuk bagi imperialisme Barat" (Zhao, 2000). Deng Xiaoping yakin
bahwa untuk bertahan hidup dan berkembang di dunia modern, Cina tidak lagi
bisa menutup diri dari dunia luar seperti yang terjadi pada masa-masa
sebelumnnya.
Den Xiaoping percaya bahwa keinginan rakyat Cina untuk
mengembalikan kondisi Cina seperti pada masa jayanya hanya dapat dicapai
dengan aktif terlibat bersama negara lain. Untuk mencapai hal ini, Deng
mengadopsi pendekatan ekonomi yang bertujuan memperkuat Cina. Dengan
komitmen pengembangan perekonomian, Deng mulai meninggalkan ajaran
komunisme ortodoks yang telah bertahun-tahun menjadi prinsip bagi pihak PKC
dalam menjalankan pemerintahan. Salah satu kutipan Deng paling terkenal yang
melambangkan keyakinan ini: "tidak peduli apakah itu adalah kucing hitam atau
Deng reformasi ekonomi dan kebijakan pintu terbuka difokuskan pada
pembangunan ekonomi dan perdagangan internasional. Pada saat yang sama,
Deng telah dihadapkan dengan beberapa oposisi dan skeptisisme, terutama dari
tradisionalis konservatif dalam PKC. Yang mereka takutkan adalah peningkatan
kontak politik dan ekonomi dengan seluruh dunia akan pasti membuat Cina lebih
saling bergantung dengan dunia luar. Ini mungkin bisa menghilangkan serangan
militer eksternal, tetapi mempertaruhkan identitas budaya (Yahuda, 1997: 8).
Secara umum dalam menjalin hubungan dengan negara lain, Cina lebih pragmatis
setelah perubahan pada era keterbukaan. Cina mulai aktif dalam hubungan antar
negara dan dalam beberapa kesempatan menjadi aktor penting terkait isu
keamanan regional. Meski begitu bukan berarti sentimen nasionalis menjadi
lemah. Sentimen nasionalis di Cina tetap kuat diantara elit politik dan juga
masyarakat jika terkait dengan permasalahan yang menyangkut kepentingan
nasional seperti kedaulatan dan permasalahan teritorial (Guo, 2012).
3.1.3 Perkembangan Nasionalisme Populer di Cina Pasca 1990-an Nasionalisme populer dapat dipandang sebagai wacana politik dan budaya,
yang mana dijalankan oleh orang-orang atau warga pada umumnya. Bentuk
nasionalisme ini mendukung bangsa tetapi belum mendukung tentu negara. Zheng
menganggap nasionalisme populer sebagai suatu fenomena yang terorganisir dan
ditarik ke ranah praktis (Zheng 1999, hal 9). Memasuki era 1990-an, publik Cina
memiliki kesempatan untuk mendapatkan informasi lebih dari dunia luar berkat
perkembangan teknologi internet di Cina. Hal ini memberi tantangan baru pada
nasionalisme di Cina. Beberapa penulis yang mencermati nasionalisme Cina
memandang naiknya nasionalisme merupakan hasil dari perubahan pemetaan
politik dunia setelah Perang Dingin dan pengararuh kampanye edukasi patriotik
oleh pemerintahan PKC pada awal 1990-an (Gries, 2004; Zhao; 2004a; and
Hughes, 2006). Para pengamat nasionalisme Cina percaya bahwa setelah
berakhirnya Perang Dingin terjadi penurunan yang melemahkan nilai ideologi
komunis tradisional dalam politik domestik Cina. Penurunan ini memberi
pengaruh terhadap posisi PKC dalam kepemimpinan politinya. Dengan begitu
PKC menemukan suatu fondasi baru dengan menggunakan nasionalisme untuk
memungkinkan mereka dalam meneruskan pemerintahan di Cina agar dapat
bertahan. Kepemimpinan negara terhadap mendoktrin nasionalisme denga
kampanye edukasi patriotik telah memperkuat status PKC sebagai kekuatan utama
negara. Zhao menggambarkan cara terbaik untuk mencintai dan mempertahankan
Cina adalah dengan mencintai dan mempertahankan negara dibawah
kepemimpinan partai komunis ( Zhao, 2004a:239).
3.1.4 Pengaruh Intenet Terhadap Perkembangan Nasionalisme
Perkembangan teknologi internet menjadi faktor penting yang membentuk
nasionalisme populer di Cina. Peningkatan akses internet yang luas memberikan
pengaruh terhadap kemampuan publik untuk mendapatkan informasi baik tentang
peristiwa dalam maupun luar Negeri. Sebagian besar pengguna internet di Cina
merupakan generasi muda yang secara umum memiliki latar belakang pendidikan
yang baik (CNNIC, 2011: 19-20). Pengguna internet yang tergolong terdidik ini