• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.5. Nilai Syariat Islam di Aceh

Masyarakat Aceh dalam sejarahnya yang cukup panjang telah menjadikan Islam sebagai pedoman hidupnya. Islam telah menjadi bagian dari kehidupan mereka. Masyarakat Aceh tunduk dan taat kepada Islam serta memperhatikan ketetapan atau fatwa ulama. Penghayatan terhadap ajaran Islam kemudian melahirkan budaya Aceh yang tercermin dalam kehidupan adat. Adat tersebut hidup dan berkembang dalam kehidupan masyarakat, yang kemudian diakumulasikan lalu disimpulkan menjadi “Adat bak Poteumourehom, Hukom bak Syiah Kuala, Kanun bak Putro Phang, Reusam bak Laksamana” yang artinya, Hukum Adat di tangan pemerintah dan Hukum Syariat ditangan Islam. Ungkapan ini merupakan pencerminan dari perwujudan syariat islam dalam kehidupan sehari-hari (Perda No 5, 2000).

Menurut Ismail, (2002) Adat aceh sebagai aspek budaya, tidak identik dalam pemahaman “budaya” pada umumnya, karena bersumber dari agama atau syariat

yang menjiwai kreasi budayanya. “adat ngon agama lagei zat ngon sifeut” yang artinya adat dan agama bagaikan zat dan sifat. Roh islami ini telah menjiwai dan menghidupkan budaya Aceh, sehingga melahirkan nilai-nilai filosofis yang pada akhirnya menjadi patron landasan budaya Aceh yang ideal. Dalam rangka penyelenggaraan Otonomi Daerah berdasarkan Undangundang Nomor 22 Tahun 1999, UU Nomor 44 Tahun 1999, tentang penyelenggaraan keistimewaan Aceh dan UU Nomor 18 Tahun 2001, salah satu undang-undang yang telah diterapkan dalam masyarakat adalah pelaksanaan Syariat Islam yang diatur dalam Perda Nomor 5 Tahun 2001. Bertujuan melaksanaan dan mengembangkan Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam (Djalil, 2003).

Penerapan Syariat Islam di bumi Serambi Mekkah merupakan fenomena sangat menarik sekaligus menantang. Menantang di sini dimaksudkan terutama berkaitan dengan kesiapan pemerintah Aceh dan masyarakatnya secara keseluruhan dalam menerima dan melaksanakan Syariat Islam secara menyeluruh (kaffah) (Djalil, 2003).

Islam telah menetapkan tujuan kehadirannya, diantaranya adalah untuk memelihara agama itu sendiri, akal, rohani, jasmani, harta, dan keturunan bagi seluruh umat manusia. Anggota badan manusia pada hakekatnya adalah milik Allah yang dianugerahkan-Nya untuk dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Di satu sisi Allah memerintahkan untuk menjaga kesehatan dan kebersihan fisik, di sisi yang lain Allah juga memerintahkan untuk menjaga kesehatan mental dan jiwa (rohani). Kesehatan manusia dapat diwujudkan dalam beberapa dimensi, yaitu jasmaniah

material melalui keseimbangan nutrisi, kesehatan fungsional organ dengan energi aktivitas jasmaniah, kesehatan pola sikap yang dikendalikan oleh pikiran, dan kesehatan emosi-rohaniah yang disembuhkan oleh aspek spiritual keagamaan.

Secara ilmiah, penyakit (disease) bisa diartikan sebagai gangguan fungsi fisiologis suatu organisme karena infeksi atau tekanan dari lingkungan. Dengan kata lain penyakit bersifat obyektif. Adapun sakit (illness) adalah penilaian individu terhadap pengalaman menderita suatu penyakit dan bersifat subyektif. Gejala subyektif ditandai dengan perasaan yang tidak enak. Konsep “Kesehatan untuk Semua” dapat diartikan sebagai kesehatan merupakan kebutuhan setiap individu, baik orang yang sakit maupun yang sehat atau kebutuhan setiap manusia apapun status dan kedudukannya. Orang sakit membutuhkan penyembuhan (kuratif) dan orang sehat membutuhkan upaya promotif (peningkatan), preventif (pencegahan), rehabilitatif (perbaikan), serta konservatif (pemeliharaan). Seluruh aktivitas manusia dari bangun pagi, aktivitas, tidur, hingga bangun kembali di waktu berikutnya terkait dan berpengaruh terhadap kesehatan.

Terkait dengan faktor perilaku, dalam Islam dikenal istilah akhlak yang mencakup akhlak baik (terpuji) dan akhlak buruk (tercela). Akhlak secara umum adalah perilaku. Secara bahasa akhlaq dapat berarti agama, tabiat, perangai, kelakuan, tingkah laku, matuah, adat kebiasaan, dan kepribadian. Akhlak pada hakekatnya adalah gambaran batin manusia, yakni jiwanya, sifat-sifatnya, dan makna-maknanya yang spesifik, yang dengannya terlihat kedudukan makhluk, lantaran gambarannya secara zahir, baik sifat-sifatnya dan makna-maknanya, dan keduanya memiliki sifat

yang baik atau buruk, mendapat pahala dan sanksi, yang kaitan keduanya dengan sifat-sifat yang tergambar secara batin adalah lebih banyak, dibanding apa-apa yang yang terkait dengan gambaran zahirnya. Filosof Islam Ibn Miskawaih, mentakrifkan akhlak sebagai keadaan jiwa yang mendorong ke arah melahirkan perbuatan tanpa pemikiran dan penelitian. Menurut Al-Ghazali akhlak adalah suatu keadaan yang tertanam di dalam jiwa yang menampilkan perbuatan dengan senang tanpa memerlukan pemikiran dan penelitian. Jika perbuatan yang muncul itu baik dan terpuji sesuai syara dan akal, maka perbuatan itu disebut dengan akhlak mulia. Sebaliknya bila muncul perbuatan buruk, dinamakan akhlak buruk.

Berdasarkan perspektif islam, HIV/AIDS adalah jenis penyakit kelamin akibat perzinaan dan merupakan siksa Allah karena ulah manusia sendiri. Sebelum diketemukan penyakit AIDS terlebih dahulu dikenal penyakit kelamin lainnya seperti gonorhe, vietnam rose dan sifilis.

Secara umum konteks kejadian penyakit HIV/AIDS merupakan akibat dari perilaku menyimpang melalui perantara seks bebas atau perzinaan. Bentuk perilaku menyimpang tersebut adalah perilaku yang dilakukan diluar kaedah agama dan nilai budaya yang dianut. Hampir seluruh nilai budaya yang ada di masyarakat dan jenis agama manapun melarang perbuatan perzinaan karena berdampak terhadap psikososial, tatanan sosial, tatanan kehidupan serta terjadinya beragam penyakit seperti AIDS.

Berdasarkan konteks agama Islam, dasar hukum dan pedoman kehidupan adalah Alqur’an dan Hadist serta petuah-petuah ulama. Berdasarkan firman-firman

Allah dalam Alqur’an kebanyakan dalam Alqur’an melarang aktivitas seksual di luar nikah, didalamnya juga dijelaskan aspek-aspek moral, etika yang menuntun dan memberi petunjuk agar manusia tidak rusak karenanya. Epidemik AIDS hampir mengikuti pola globalisasi dan telah melanda hampir diseluruh wilayah di dunia. Penyakit ini belum ditemukan penyembuhnya.

Adanya kecenderungan penyebaran AIDS di Indonesia dalam perspektif norma dan agama adalah disebabkan oleh adanya kelonggaran struktur sosial, struktur keluarga akibat transisi pola kehidupan masyarakat dari agraris ke industrialisasi dan globalisasi sehingga merubah pola perilaku individu dan masyarakat. Proses industrialisasi juga berakibat terjadinya perubahan yang mendasar terhadap sistem nilai dan norma-norman sosial yang lebih lanjut memengaruhi sendi-sendi hubungan dalam keluarga. Diantara sekian perubahan yang mendasar ini memiliki keterkaitan erat dengan perubahan keluarga dengan tumbuhnya gejala anonime, sekularisme dan hedonisme.

Menurut Emil Durkheim dalam Sarwono (2007) menyebutkan bahwa anonime merupakan keadaan dimana norma-norma yang lama memudar sedangkan yang baru belum terbentuk (state of normless). Norma-norma lama adalah norma tradisional yang lebih menekankan kepada kolektivitas, disebabkan oleh tuntunan perubahan dari masyarakat agraris-tradisional ke arah industrialisasi.

Dokumen terkait