• Tidak ada hasil yang ditemukan

2

� = � 2(� 2 −1; � 2 −1)

ℎ� �� ≤ � maka ragam sama

Keterangan: s2 = ragam contoh, ∝= taraf nyata, n = jumlah data

4. Uji Nilai Tengah

 Populasi asal

Uji nilai tengah digunakan untuk mengetahui perbedaan diantara dua nilai tengah dari dua populasi. Dalam pengujian ini terdapat dua macam pengujian yaitu uji t untuk ragam sama dan uji t untuk ragam tidak sama. Oleh karena itu, terlebih dahulu dilakukan uji kehomogenan ragam sebelum melakukan uji nilai tengah. Pengolahan data untuk uji nilai tengah ini dilakukan dengan menggunakan software SAS 9.1.3.

 Tanaman terpilih

Uji nilai tengah pada tanaman terpilih dilakukan untuk mengetahui tanaman terpilih yang diambil dari populasi asal akan menunjukkan bahwa tanaman terpilih yang diambil merupakan tanaman yang baik. Dalam

penelitian ini, data dalam populasi diasumsikan normal. Uji nilai tengah dihitung dengan menggunakan rumus menurut Steel and Torrie (1993):

ℎ� �� = − �

= ( 2; =�−1)

ℎ� �� < maka nilai tengah tidak nyata

Keterangan: = nilai tengah tanaman terpilih, � = nilai tengah populasi, s = simpangan baku tanaman terpilih, db = derajat bebas, n = jumlah data tanaman terpilih

5. Korelasi antar karakter untuk tanaman terpilih

Hubungan antara karakter ditunjukkan dari nilai koefisien korelasinya (r) yang dihitung melalui rumus menurut Steel and Torrie (1993):

= − −

22

Keterangan: x = peubah I, = nilai tengah peubah I y = peubah II, = nilai tengah peubah II

Pengolahan data untuk pengujian korelasi dilakukan dengan menggunakan

software qbasic-KOREL. Nilai r dari perhitungan akan dibandingkan dengan nilai r dari tabel koefisien korelasi linear sederhana pada taraf nyata 5% dan 1%.

 Tidak berkorelasi (tidak nyata) jika r-hitung < r-tabel 5%

 Berkorelasi positif jika nilainya nyata (r-hitung > r-tabel 5% dan 1%) dan bernilai positif

 Berkorelasi negatif jika nilainya nyata (r-hitung > r-tabel 5% dan 1%) dan bernilai negatif

6. Kehomogenan koefisien korelasi untuk tanaman terpilih

Pengolahan data untuk pengujian korelasi dilakukan dengan menggunakan

dilakukan dengan menggunakan rumus menurut Steel and Torrie (1993) dengan beberapa tahapan dimulai dari:

 Menghitung Z’i

= 0.5 ln 1 +

1−

Keterangan: Z’i = nilai transformasi dari r, r = koefisien korelasi

 Menghitung ′

′ = ��−3 ′�

�� −3

Keterangan: ′ = nilai rata-rata terboboti, ni = jumlah data pada populasi ke-i, Z’i = nilai transformasi dari r

 Menghitung 2

2 = � −3 ′�− ′ 2

Keterangan: 2

= kriteria uji untuk kehomogenan korelasi, ni = jumlah data pada populasi ke-i, Z’i = nilai transformasi dari r, ′ = nilai rata-rata terboboti Nilai 2

dari perhitungan akan dibandingkan dengan nilai 2

dari tabel chi-square pada taraf nyata 5%.

 Homogen (tidak nyata) jika 2

-hitung < 2

-tabel 5%

 Heterogen jika nilainya nyata (2

-hitung > 2 -tabel 5% dan 1%)  Menghitung rp �= 2× ′ −1 2× ′ + 1

Keterangan: rp = koefisien korelasi yang diperoleh jika homogen,

Kondisi Umum Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Cikabayan dengan ketinggian 220 m dpl. Pertanaman kacang bogor dilakukan pada lahan bera dengan tipe tanah latosol yang memiliki tekstur lempung berliat.

Gambar 2. Tanaman kacang bogor saat 6 MST

Selama penelitian berlangsung, keadaan cuaca tidak menentu. Dimana dua bulan pertama penanaman kacang bogor didera hujan hampir setiap hari, sehingga cukup banyak tanaman yang terserang penyakit, karena keadaan di sekitar tanaman yang menjadi lembab. Handoko (1993) menyatakan karena banyak hujan, maka banyak air yang dapat diuapkan sehingga suatu daerah menjadi lembab. Secara umum kondisi pertanaman kacang bogor pada saat penelitian cukup baik. Data iklim dapat dilihat pada Lampiran 3.

Lingkungan tempat tumbuh kacang bogor juga menjadi faktor penentu munculnya serangan penyakit. Di sekitar lahan penelitian tumbuh beberapa pohon yang tinggi, sehingga ada petak yang mendapat naungan dan ada pula petak yang tidak mendapat naungan. Petak yang mendapat naungan dari pohon lebih banyak terserang penyakit dibandingkan yang tidak mendapat naungan. Banyaknya tanaman yang mati ini mempengaruhi terhadap seleksi hasil nantinya.

Benih kacang bogor yang ditanam tidak semua dapat tumbuh dengan baik, hal ini diduga karena kondisi awal benih saat ditanam. Hal ini ditunjukkan dengan adanya perbedaan persentase kematian antara kacang bogor asal Darmaga, Sukabumi dan Parung yaitu 16.87%, 34.42%, dan 13.73%. Persentase kematian

tertinggi dimiliki oleh kacang bogor asal Sukabumi, hal ini diduga karena kondisi awal kacang bogor ini yang didapatkan sudah dalam bentuk benih kering. Kacang bogor asal Darmaga dan Parung masih dalam keadaan segar atau basah yang kemudian terlebih dahulu dikeringkan sebelum ditanam.

Tanaman kacang bogor relatif lebih tahan terhadap serangan hama dibandingkan tanaman kacang-kacangan lainnya seperti kacang tanah dan cowpea

(Billington Beggemann, 1988 dalam Karikari et al., 1995). Selama masa pertanaman dijumpai gangguan antara lain oleh hama dan penyakit. Hama yang menyerang pertanaman kacang bogor dalam penelitian ini adalah hama belalang (Valanga nigricornis) yang menyerang dari awal hingga akhir masa pertanaman dengan memakan daun (Gambar 3) dan hama kepik penghisap polong (Riptortus linearis) yang menyerang setelah tanaman kacang bogor memasuki masa generatif dan menyebabkan kehampaan pada polong kacang bogor. Serangan kutu daun (Aphis sp.) juga menyerang pertanaman kacang bogor dengan gejala yang ditimbulkan adalah bekas lubang-lubang hasil tusukan kutu daun. Semut (Hymenoptera sp.) memakan biji tanaman kacang bogor saat awal tanam. Hama yang menyerang pada saat penjemuran benih kacang bogor atau saat penanganan pasca panen adalah hama gudang (Sitophilus sp.) yang mengakibatkan rusaknya benih-benih kacang bogor (Gambar 3).

Gambar 3. Tanaman yang terserang hama belalang (kiri) dan Sitophilus sp. (kanan)

Penyakit yang menyerang tanaman adalah bercak daun dan penyakit keriting yang disebabkan oleh virus. Bercak daun yang disebabkan oleh cendawan

Cescospora arachidicola adalah penyakit yang cukup serius menyerang tanaman kacang tanah (McDonald et al., 1985). Kondisi kelembaban relatif yang tinggi dengan kisaran suhu 25-30oC akan memicu proses infeksi dan perkembangan penyakit (Saleh, 2010). Gejalanya adalah timbulnya bercak-bercak kecil yang kemudian membesar kemudian daun menjadi kering. Penyakit tersebut juga

menyebabkan daun menjadi layu dan berwarna bercak coklat dan pada serangan yang berat, daun menjadi luruh. Penyakit bercak daun umumnya terjadi pada fase generatif tanaman dan akan bertambah selama pembungaan sampai pengisian polong (Sumartini, 2008; Nugrahaeni, 1993). Penyakit ini sering dihubungkan dengan tanaman yang siap panen, tetapi penyakit ini juga dapat menyerang tanaman yang masih muda. Penyakit bercak daun dapat mengurangi fotosintesis daun yang berakibat berkurangnya produksi polong yang berpengaruh terhadap bobot panen.

Tanaman yang diserang penyakit keriting, daunnya menjadi keriting dan pertumbuhannya terhambat (kerdil). Daun dan tangkai daun menjadi kecil dan mengkerut. Serangan penyakit ini dapat menyebabkan hasil produksi rendah yang ditandai dengan jumlah polong, bobot basah dan kering yang rendah bahkan tidak ada sama sekali.

Gambar 4. Tanaman yang terserang penyakit bercak daun (kiri) dan keriting (kanan)

Masalah lain yang menyulitkan pemeliharaan tanaman adalah gangguan gulma. Beberapa tanaman pangan kacang-kacangan tidak kuat berkompetisi dengan gulma dan menyebabkan penurunan produksi. Pertumbuhan gulma di lahan penelitian sangat cepat karena penggunaan pupuk kandang. Selain itu, lahan yang digunakan adalah lahan bera yang tinggi persaingan gulmanya. Pengendalian gulma dilakukan secara manual dengan intensitas pengendalian yang tinggi di seluruh area pertanaman. Gulma yang tumbuh antara lain Borreria alata, Mimosa pudica, Arachis sp., Phylanthus niruri, Phylantus angulata, Axonopus compressus

dan Cynodon dactylon yang mengganggu selama pertanaman kacang bogor dan berkompetisi dalam memperoleh cahaya serta sarana tumbuh lainnya seperti unsur hara.

Tanaman kacang bogor memasuki masa generatif pada umur 41 HST dan 50% populasi tanaman kacang bogor telah berbunga pada umur 50 HST. Menurut

Nasoetion (1981), tanaman kacang bogor mulai membentuk bunga ketika telah mencapai umur 50 HST. Kakikari et al. (1972) melaporkan tanaman kacang bogor memasuki umur berbunga pada 44-60 HST, umumnya pada 80 HST 50% populasi telah berbunga. Pada umur 111 HST tanaman kacang bogor sudah dapat dipanen. Hal ini disebabkan oleh cuaca yang terus menerus hujan yang disertai dengan tingkat penyebaran penyakit yang tinggi. Selain itu tanaman kacang bogor merupakan tanaman tahunan sehingga perlu dipotong siklusnya untuk menentukan waktu panen. Dari keseluruhan polong yang dihasilkan ada beberapa polong yang telah berkecambah, hal ini diduga karena biji yang terdapat dalam polong telah memasuki masak fisiologisnya.

Keragaan Tanaman Kacang Bogor

Karakter kuantitatif yang diamati terdiri atas karakter vegetatif dan generatif. Karakter vegetatif yang diamati meliputi diameter kanopi, panjang tangkai tanaman, jumlah cabang dan jumlah buku. Karakter generatif mencakup umur berbunga, jumlah polong total, jumlah polong bernas, jumlah polong cipo, bobot polong basah, bobot polong kering total dan bobot polong kering bernas.

Populasi kacang bogor dipisahkan menjadi lima berdasarkan petakan yang ditanam yaitu Darmaga, Sukabumi 1, Sukabumi 2, Parung 1 dan Parung 2. Kelima petakan tersebut dibandingkan berdasarkan nilai-nilai keragaan, uji nilai tengah, korelasi antar karakter dan kehomogenan koefisien korelasi. Pada Lampiran 6 disajikan keragaan tanaman kacang bogor untuk kelima petak tersebut.

Umur berbunga diamati untuk menghitung waktu pengisian polong kacang bogor yang berguna untuk menentukan waktu panen. Periode perkembangan polong paling lama 30 hari setelah penyerbukan. Biji berkembang dalam 10 hari berikutnya (Doku dan Karikari, 1971). Pengamatan hari berbunga dilakukan saat populasi tanaman mulai berbunga sampai 50% populasi tanaman berbunga.

Diameter kanopi dan panjang tangkai tanaman diamati untuk melihat hubungannya dengan produksi seperti jumlah polong dan bobot polong untuk penyeleksian di lapang. Diameter kanopi pada penelitian ini dapat digolongkan dengan diameter semi kompak pada tanaman kacang bogor dengan ukuran 40-80 cm.

Bobot polong basah diamati dengan menghitung bobot polong setelah panen. Jumlah polong bernas merupakan jumlah polong yang memiliki biji kacang bogor. Jumlah polong bernas sangat diperlukan untuk perhitungan produksi hasil, karena permintaan konsumsi dan ketersediaan benih.

Polong cipo adalah polong tanpa biji atau polong hampa. Harapan yang diinginkan pada peubah ini adalah didapatkan populasi yang memiliki polong cipo dengan nilai tengah dan ragam yang kecil. Pengamatan ini dilakukan saat kondisi polong kering. Polong cipo ini muncul karena terlalu lamanya siklus panen. Kacang bogor merupakan tanaman tahunan sehingga siklus pertumbuhannya harus dipotong untuk menentukan waktu panen. Jumlah polong cipo pada penelitian ini cukup banyak sekitar 30% dari jumlah polong total. Penurunan jumlah polong cipo dapat dilakukan dengan memperpanjang umur panen, sehingga polong-polong tersebut memiliki kesempatan untuk tahap pengisian polong. Namun polong-polong lain yang sudah matang akan mulai berkecambah, sehingga polong cipo tidak dapat dihilangkan. Berdasarkan hasil korelasi, semakin banyak jumlah polong maka semakin banyak jumlah polong cipo, namun semakin banyak jumlah polong bernas tidak berkorelasi dengan jumlah polong cipo.

Pengamatan bobot polong kering dilakukan saat polong kacang bogor telah mencapai kadar air yang memenuhi syarat layak simpan yaitu dibawah 10oC. Penjemuran dilakukan di greenhouse. Penjemuran tidak dilakukan dengan menebarkan kacang bogor di lantai melainkan dengan cara membuka kantong panen yang berisi polong kacang bogor dan dijemur di lantai greenhouse. Setiap hari kantong panen harus diperiksa dengan cara membalik-balikan polong kacang bogor agar panas merata, tidak busuk dan terhindar dari semut. Berdasarkan alasan tersebut, pengeringan kacang bogor memerlukan waktu yang lama yaitu sekitar satu bulan.

Tabel 1. Komponen kisaran, rataan dan ragam beberapa peubah kacang bogor dari penelitian Actaria (2012)

Peubah Min Max Rataan Ragam

Bobot polong basah 49.95 227.70 109.58 964.206 Jumlah polong total 29.83 104.25 59.34 214.109 Jumlah polong bernas 14.00 76.50 38.67 122.627 Jumlah polong cipo 6.33 46.75 20.65 53.182 Bobot polong kering total 10.30 63.99 30.29 79.355 Bobot polong kering bernas 8.96 61.13 28.44 76.187 Umur berbunga 43.50 55.00 47.59 5.568 Panjang tangkai tanaman 15.50 25.00 21.48 2.730 Diameter kanopi 43.00 68.00 58.76 20.867

Ragam bobot polong basah, jumlah polong total, jumlah polong bernas, bobot polong kering total dan bobot polong kering bernas pada penelitian Actaria (2012) lebih kecil (Tabel 1) daripada ragam populasi pada penelitian ini (Lampiran 6). Namun nilai tengah penelitian Actaria (2012) lebih tinggi daripada penelitian ini. Dengan demikian nilai tengah dan penyimpangan penelitian Actaria (2012) lebih tinggi daripada penelitian ini.

Uji Nilai Tengah Populasi Asal

Ketujuh karakter tersebut diuji dengan uji F dan uji t untuk mengetahui hasil yang terbaik. Hal pertama yang dilakukan adalah menguji dua petak yang berasal dari asal yang sama yaitu Sukabumi (petak Sukabumi 1 dan Sukabumi 2) dan Parung (petak Parung 1 dan Parung 2).

Hasil uji F antara petak Sukabumi 1 dan Sukabumi 2 pada semua karakter yang diamati menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata artinya ragam populasi di kedua petak adalah sama (homogen). Namun berbeda dengan hasil uji F antara petak Parung 1 dan Parung 2, pada karakter umur berbunga dan jumlah polong cipo menunjukkan hasil berbeda nyata artinya ragam populasi umur berbunga dan jumlah polong cipo di kedua petak adalah tidak sama (heterogen) (Lampiran 4).

Ragam populasi diantara kedua petak sudah diketahui yaitu ragam sama untuk Sukabumi serta ragam sama dan tidak sama untuk Parung, sehingga pengujian dilanjutkan dengan uji t ragam sama (Sukabumi) serta uji t ragam sama dan tidak sama (Parung). Hasil uji t antara petak Sukabumi 1 dan Sukabumi 2 pada karakter umur berbunga menunjukkan hasil berbeda nyata (Lampiran 5)

artinya nilai tengah populasi yang dimiliki kedua petak berbeda, sehingga untuk pengujian selanjutnya diperlukan beberapa pertimbangan. Pertimbangan ini mengacu pada tujuan akhir dari penelitian ini yaitu perbaikan produksi, sehingga dibutuhkan populasi yang memiliki potensi yang baik untuk dilanjutkan pada pemuliaan tanaman kacang bogor untuk tahap seleksi berikutnya.

Pengujian ini berkaitan dengan nilai tengah, maka perlu dilihat nilai tengah populasi dari masing-masing petak. Antara petak Sukabumi 1 dan Sukabumi 2 yang memiliki potensi untuk dikembangkan adalah Sukabumi 2 (49 HST) dengan harapan umur berbunga yang lebih genjah akan menghasilkan produksi yang lebih tinggi. Sedangkan untuk karakter lainnya, hasil uji t menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata artinya nilai tengah populasi yang dimiliki kedua petak sama, sehingga kedua petak tersebut dapat kembali menjadi satu populasi yaitu Sukabumi.

Hasil uji t antara petak Parung 1 dan Parung 2 pada karakter umur berbunga, bobot polong basah dan jumlah polong cipo menunjukkan hasil berbeda nyata. Pada karakter umur berbunga antara petak Parung 1 dan Parung 2 yang memiliki potensi untuk dikembangkan adalah Parung 2 (55 HST), karena memiliki umur berbunga yang lebih genjah. Petak Parung 1 memiliki potensi untuk dikembangkan pada karakter bobot polong basah dan jumlah polong cipo yaitu 53.13 g dan 6 polong cipo dari 23 polong total per tanaman yang dihasilkan. Sedangkan untuk karakter lainnya, hasil uji t menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata, sehingga kedua petak tersebut dapat kembali menjadi satu populasi yaitu Parung.

Pada peubah umur berbunga, hasil uji t antara petak Darmaga dan Sukabumi 2 menunjukkan hasil yang berbeda nyata (Tabel 2) begitu pula antara Darmaga dan Parung 2 serta antara Sukabumi 2 dan Parung 2. Berdasarkan pengujian tersebut dapat disimpulkan bahwa umur berbunga yang lebih genjah dimiliki oleh petak Parung 2 (55 HST + 5 hari). Dengan umur berbunga yang lebih genjah diharapkan akan menghasilkan produksi yang lebih tinggi pula.

Tabel 2. Hasil uji nilai tengah beberapa peubah pada populasi asal kacang bogor

Peubah D vs S Pr > t D vs P Pr > t S vs P Pr > t Umur berbunga D vs S2 0.0378* D vs P2 < 0.0001** S2 vs P2 < 0.0001** Diameter kanopi D vs S 0.651 D vs P 0.2928 S vs P 0.2808 Panjang tangkai tanaman D vs S 0.8686 D vs P 0.0093** S vs P < 0.0001** Bobot polong basah D vs S 0.0084** D vs P1 0.0156* S vs P1 0.7167 Jumlah polong total D vs S 0.2237 D vs P 0.1283 S vs P 0.8177 Jumlah polong bernas D vs S 0.0053** D vs P 0.0216* S vs P 0.259 Jumlah polong cipo D vs S 0.0862 D vs P1 0.1499 S vs P1 0.7258 Bobot polong kering total D vs S 0.0201* D vs P 0.0176* S vs P 0.7831 Bobot polong kering bernas D vs S 0.014* D vs P 0.009 ** S vs P 0.873

Keterangan: *: berbeda nyata pada taraf 5% **: berbeda nyata pada taraf 1%

Tabel 3. Keragaan tanaman kacang bogor asal Sukabumi

Peubah Kisaran Rataan Simpangan Ragam Koefisien keragaman

Umur berbunga 41-70 48 5 23.66 10.04

Diameter kanopi 16.25-80.5 39.99 11.59 134.28 28.98 Panjang tangkai tanaman 7-31 18.11 3.79 14.34 20.91 Bobot polong basah 0.1-249.5 54.18 43.28 1873.36 79.88 Jumlah polong total 1-125 23 17 287.13 75.1 Jumlah polong bernas 0-71 17 13 162.7 74.85

Jumlah polong cipo 0-90 5 8 58.32 38.33

Bobot polong kering total 0-77.1 15.28 12.8 163.78 83.73 Bobot polong kering bernas 0-73.77 14.63 12.33 151.98 84.24

Hasil uji t pada peubah diameter kanopi, jumlah polong total dan jumlah polong cipo antara Darmaga dan Sukabumi menunjukkan hasil tidak berbeda nyata begitu pula antara Darmaga dan Parung serta antara Sukabumi dan Parung. Berdasarkan pengujian tersebut dapat disimpulkan bahwa nilai tengah untuk peubah diameter kanopi, jumlah polong total dan jumlah polong cipo yang dimiliki kacang bogor asal Darmaga, Sukabumi dan Parung adalah sama.

Pada peubah panjang tangkai tanaman, hasil uji t antara Darmaga dan Parung serta antara Sukabumi dan Parung menunjukkan hasil yang berbeda nyata, namun berbeda dengan hasil uji t antara Darmaga dan Sukabumi yang menunjukkan hasil tidak berbeda nyata. Berdasarkan pengujian tersebut dapat disimpulkan bahwa nilai tengah untuk peubah panjang tangkai tanaman yang dimiliki kacang bogor asal Darmaga dan Sukabumi adalah sama. Namun dengan melihat koefisien keragaman yang dimiliki, kacang bogor asal Sukabumi memiliki koefisien keragaman yang lebih besar yaitu 20.91% dengan nilai tengah sebesar 18.11 + 3.79 cm (Tabel 3).

Hasil uji t pada peubah bobot polong basah antara Darmaga dan Sukabumi serta antara Darmaga dan Parung 1 menunjukkan hasil yang berbeda nyata, namun berbeda dengan hasil uji t antara Sukabumi dan Parung 1 yang menunjukkan hasil tidak berbeda nyata. Berdasarkan pengujian tersebut dapat disimpulkan bahwa nilai tengah untuk peubah bobot polong basah yang dimiliki kacang bogor Sukabumi dan Parung 1 adalah sama. Namun dengan melihat koefisien keragaman yang dimiliki, kacang bogor asal Sukabumi memiliki koefisien keragaman yang lebih besar yaitu 79.88% dengan nilai tengah sebesar 54.18 + 43.28 g. Apabila nilai tengahnya ditambahkan dengan simpangannya, maka didapatkan nilai sebesar 97.46 g yang peningkatannya hampir dua kali nilai tengahnya. Angka ini masih jauh dibawah nilai tertingginya yaitu 249.5 g. Oleh karena itu, peubah bobot polong basah tersebut dapat dinaikkan sebesar 4.5 kali dari nilai tengahnya hingga mencapai potensi tertingginya.

Pada peubah jumlah polong bernas, bobot polong kering total dan bobot polong kering bernas, hasil uji t antara Darmaga dan Sukabumi serta antara Darmaga dan Parung menunjukkan hasil yang berbeda nyata, namun berbeda dengan hasil uji t antara Sukabumi dan Parung yang menunjukkan hasil tidak berbeda nyata. Berdasarkan pengujian tersebut dapat disimpulkan bahwa nilai tengah untuk peubah jumlah polong bernas, bobot polong kering total dan bobot polong kering bernas yang dimiliki kacang bogor asal Sukabumi dan Parung adalah sama. Namun dengan melihat koefisien keragaman yang dimiliki, kacang bogor asal Sukabumi memiliki koefisien keragaman yang lebih besar. Pada peubah jumlah polong bernas, koefisien keragaman yang dimiliki sebesar 74.85% dengan nilai tengah sebesar 17 + 13 polong. Jika nilai tengahnya ditambahkan dengan simpangannya, maka nilainya berkisar 30 polong yang peningkatannya hampir dua kali nilai tengahnya. Angka ini masih jauh dibawah nilai tertingginya yaitu 71 polong. Oleh karena itu, peubah jumlah polong bernas tersebut dapat dinaikkan sebesar empat kali dari nilai tengahnya hingga mencapai potensi tertingginya. Pada peubah bobot polong kering total, koefisien keragaman yang dimiliki sebesar 83.73% dengan nilai tengah sebesar 15.28 + 12.8 g. Koefisien keragaman yang dimiliki peubah bobot polong kering bernas yaitu 84.24% dengan nilai tengah sebesar 14.63 + 12.33 g. Hal ini menunjukkan bahwa kacang

bogor asal Sukabumi ini memiliki potensi untuk dikembangkan berdasarkan peubah panjang tangkai tanaman, bobot polong basah, jumlah polong bernas, bobot polong kering total dan bobot polong kering bernas dengan individu yang lebih beragam.

Populasi Terpilih

Tanaman terpilih diambil satu atau dua tanaman dari setiap baris tanaman dari masing-masing petak yang dilakukan berdasarkan keragaan diameter kanopi terbaik diantara tanaman dalam satu baris. Diameter kanopi terbaik yang dipilih adalah tanaman dengan diameter kanopi paling lebar. Pemilihan ini berdasarkan penelitian yang dilakukan Damayanti (1991) yang mengatakan bahwa diameter kanopi saat panen mempunyai korelasi yang positif dengan bobot polong basah dan jumlah polong tetapi tidak dengan bobot polong kering.

Tabel 4. Hasil uji nilai tengah beberapa peubah pada tanaman kacang bogor terpilih

Peubah Darmaga Sukabumi 1 Sukabumi 2 Parung 1 Parung 2

Umur berbunga tn ** * tn **

Diameter kanopi tn ** ** ** **

Panjang tangkai tanaman tn ** ** ** **

Bobot polong basah ** ** ** ** **

Jumlah polong total ** ** ** ** **

Jumlah polong bernas ** ** ** ** **

Jumlah polong cipo tn ** * ** **

Bobot polong kering total ** ** ** ** **

Bobot polong kering bernas ** ** ** ** **

Keterangan: *: berbeda nyata pada taraf 5% **: berbeda nyata pada taraf 1% tn: tidak berbeda nyata pada taraf 5%

Uji nilai tengah ini dilakukan untuk mengetahui pemilihan tanaman berdasarkan diameter kanopi terbaik akan memberikan hasil yang terbaik pula. Pengujian dilakukan dengan membandingkan antara tanaman tidak terpilih dengan tanaman terpilih. Kacang bogor yang tumbuh asal Darmaga berjumlah 69 tanaman. Kemudian dilakukan pengambilan tanaman terpilih dari setiap baris berjumlah satu atau dua tanaman terbaik diantara tanaman lain dalam satu baris berdasarkan diameter kanopi terbaik, sehingga didapatkan tanaman terpilih sebanyak 7 tanaman. Dengan tanaman tidak terpilih berjumlah 62 tanaman. Pengujian dilakukan dengan membandingkan antara tanaman tidak terpilih

dengan tanaman terpilih. Hasil pengujian menunjukkan hasil yang berbeda nyata pada peubah bobot polong basah, jumlah polong total, jumlah polong bernas, bobot polong kering total dan bobot polong kering bernas (Tabel 4). Hal ini menunjukkan bahwa pengambilan tanaman terpilih berdasarkan diameter kanopi terbaik akan menghasilkan bobot polong basah, jumah polong dan bobot polong kering yang lebih baik dibandingkan populasi asalnya.

Kacang bogor yang tumbuh asal Sukabumi 1, Sukabumi 2, Parung 1 dan Parung 2 berjumlah 281 tanaman, 128 tanaman, 288 tanaman dan 357 tanaman. Dengan jumlah tanaman terpilih sebanyak 32 tanaman (Sukabumi 1), 14 tanaman (Sukabumi 2), 25 tanaman (Parung 1) dan 36 tanaman (Parung 2). Dengan tanaman tidak terpilih dari kacang bogor asal Sukabumi 1, Sukabumi 2, Parung 1

Dokumen terkait