LANDASAN TEORI
A. Tinjauan tentang Internalisasi Nilai-Nilai Spiritual Islam 1. Internalisasi Nilai
3. Macam-Macam Nilai
Menurut Zuhroh Nilakandi, nilai dibagi menjadi lima bagian yaitu: Pertama, nilai agama, merupakan nilai yang paling tinggi dan yang termutlak karena datang dari tuhan yang maha Esa. Nilai agama tidak hanya sebagai pewaris para nabi terdahulu namun juga sebagai petunjuk seluruh umat manusia sebagai sarana bekal kehidupan di lingkungan sosial, pendidikan dan keluarga; Kedua, nilai kebenaran merupakan nilai yang lahir dari rasio, cipta dan budi manusia. Nilai yang dimaksud adalah nilai yang mengatur kemaslahatan ataupun problematika manusia yang tidak tercantum dalam kitab suci seperti dalam hal, undang-undang, kemudian nilai tersebut dikembangkan melalui jalur masyarakat, pendidikan, pemerintahan bahkan dalam suatu negara dan bangsa; Ketiga, nilai Moral, merupakan nilai yang dikehendaki suatu kelompok atau lembaga pendidikan sebagai dasar bertingkah laku dan perbuatan masyarakat dilingkungan sosial maupun lingkungan pendidikan. Nilai moral bisa disebut etika dan karsa. Salah satu proses pendidikan yang harus perhatikan oleh pendidik adalah pembentukan sikap dan perilaku peserta didik, jika proses pendidikan moral tidak berjalan dengan baik dalam hal pembetukan kepribadian
18EM, Kaswardi, Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000, Jakarta: PT Gramedia, 1993, hal. 25.
36
peserta didik, maka bisa dikatakan akan banyak peserta didik yang bersikap amoral ketika hidup dilingkungan sekolah maupun di lingkungan sosial, seperti dalam hal, peserta didik tidak taat aturan sekolah, menyontek saat ulangan, membully, menggunakan bahasa kasar dan kotor dll, demikian sebaliknya. Nilai-nilai moral dirasa perlu ditanamkan kepada diri peserta didik dikarenakan potret generasi yang akan datang terletak pada wajah generasi sekarang; Keempat, nilai sosial, merupakan nilai yang bersumber dari budaya masyarakat yang kemudian diinternalisasikan sebagai tolak ukur dalam bertindak, bersikap dan bergaul antara sesama dalam suatu lingkungan sehingga nampak karakteristik sosial antara sesama. Dalam hal ini, manusia sebagai makhluk individual perlu pertolongan individual lain untuk menyempurkan kehidupannya; Kelima, nilai keindahan, merupakan nilai estetika yang lahir dari rasa setiap manusia baik itu dari pikiran, perasaan, tindakan, karya dan budaya. Nilai keindahan yang dimaksud adalah, nilai yang menciptakan kedamaian, ketenangan, keamanan yang tidak memandang suku, kasta dan agama.19
Sedangkan menurut Muhammad Nurdin, Ciri-ciri nilai adalah sebagai berikut: Pertama, nilai memiliki ciri realitas abstrak yang ada dalam kehidupan manusia yang tidak dapat dihindari dan hanya diamati melalui sikap dan perilaku. misalkan, peserta didik dikatakan jujur ketika diinternalisasikan nilai kejujuran yang kemudian diwujudkan dalam sikap dan perilakunnya dalam kehidupan sehari-hari; Kedua, nilai memiliki sifat normatif yang mengandung harapan, cita-cita dan sifat ideal. Dalam hal ini, nilai dikatakan berharga atau bernilai ketika nilai tersebut dijadikan pedoman dan petunjuk dalam perbuatan dan bertingkah laku oleh peserta didik di lembaga pendidikan; Keempat, nilai berfungsi sebagai daya pendorong atau motivator. Dengan diinternalisasikan nilai kedalam diri peserta didik dengan harapan sebagai dorongan untuk mewujudkan perilaku yang baik.20
Secara umum, nilai merupakan sesuatu yang abstrak yang diorientasikan pada pola-pola tingkah laku, sikap, perbuatan dan pola pikiran peserta dididk, nilai-nilai tersebut hanya dirasakan, diketahui dan dipahami oleh diri peserta didik atau individu dan kelompok yang
19Zuhroh Nilakandi, “Pengertian Nilai Beserta Fungsi, Ciri, Contoh dan Macam-Macam Nilai,” dalam https://www.nesabamedia.com/pengertian-nilai/. Diakses pada 17 Oktober 2019.
20Muhammad Nurdin, Pendidikan Anti Korupsi; Strategi Internalisasi Nilai-nilai Islami dalam Menumbuhkan Kesadaran Antikorupsi di Sekolah, Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media, 2014, hal. 37.
diinternalisasikan pada nilai-nilai tersebut, sehingga nilai-nilai yang diinternalisasikan menjadi daya pendorong, prinsip-prinsip dan pedoman dalam kehidupannya. Untuk itu, perlunya memilah macam-macam nilai yang akan diinternalisasikan kepada suatu individu ataupun kelompok dalam suatu lingkungan, baik itu lingkungan keluarga, pendidikan dan masyarakat.
Kemudian di dalam analisis teori pendidikan, nilai memiliki dua jenis yaitu: Pertama, nilai instrumental yaitu nilai yang dianggap baik karena bernilai untuk sesuatu yang lain; dalam hal ini, lembaga pendidikan Islam merumuskan nilai-nilai sesuai dengan budaya sekolah dan karakteristik yang akan dicapai oleh peserta didik; Kedua, nilai instrinsik ialah nilai yang dianggap baik, tidak untuk sesuatu yang lain melainkan untuk dirinya sendiri. Dalam hal ini, tujuan diinternalisasikan nilai-nilai kedalam diri peserta didik semata-mata agar terwujud kepribadian berakhlak yang baik.21
Pelaksanaan internalisasi nilai-nilai spiritual Islam dalam lembaga pendidikan berlangsung secara bertahap, sebagaimana yang dikemukakan oleh Krathwohl, dikutib oleh Wahyu Rahardjo dalam bukunya, “Psikologi Pendidikan” memilah tahapan menjadi lima tahap yaitu:
Pertama, tahap menerima (Accepting), menurut W.S. Winkel, peserta didik peka terhadap suatu perangsang dan kesediaan untuk memperhatikan rangsangan.22 Pada tahap ini, guru perlu menyampaikan beberapa macam nilai spiritual Islam secara verbal atau tulisan dengan tujuan memberikan stimulus kepada peserta didik sebagai langkah awal untuk mengiternalisasikan nilai-nilai kedalam diri peserta didik yang kemudian nilai tersebut menjadi pengingat ketika melakukan tindakan yang positif maupun negatif. Dalam hal ini guru dapat membangkitkan daya kognisi dan afeksi peserta didik melalui nilai-nilai spiritual Islam baik dalam proses pembelajaran maupun dalam tindakan.
Kedua, tahap merespon (Responding), responding merupakan partisipasi aktif peserta didik, yaitu sebagai bagian dari perilakunya.
Menurut Dimyati dan Mudjiono, tingkatan merespon mencakup kerelaan dan kesediaan untuk memperhatikan secara aktif dan berpartisipasi dalam suatu kegiatan.23 Pada tahap ini, peserta didik
21Mohammad Nur Syam, Pendidikan Filsafat dan Dasar Filsafat Pendidikan, Surabaya: Usaha Nasional, t.t
22W. S. Winkel, Psikologi Pengajaran, Jakarta: Gramedia, 1987, hal. 152.
23Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: Rineka Cipta, 2009, hal. 28.
38
mulai aktif merespon dan bereaksi terkait nilai-nilai spiritual Islam yang disampaikan oleh guru.
Ketiga, tahap menilai (Valueing),Valueing melibatkan penentuan nilai, keyakinan atau sikap yang menunjukkan derajat internalisasi dan komitmen. W.S. Winkel, mengatakan, nilai merupakan kemampuan peserta didik untuk memberikan penilaian terhadap sesuatu dan membawa diri sesuai dengan penilaian itu.24 Pada tahap ini, mulai dibentuk suatu sikap, menerima, menolak atau mengabaikan. Misalnya menerima pendapat orang lain. Hasil dari internalisasi nilai pada tingkat ini berhubungan dengan perilaku yang konsisten dan stabil agar nilai dikenal secara jelas. Dalam tujuan pembelajaran, penilaian ini diklasifikasikan sebagai sikap dan apresiasi.
Keempat, tahap pengorganisasian (Organization), pada tingkat organization, nilai dihubungkan antara yang satu dengan yang nilai lain, konflik antar nilai diselesaikan, dan mulai membangun sistem nilai internal yang konsisten. W.S.Winkel, mengatakan, organization merupakan kemampuan peserta didik untuk membentu nilai dalam pribadi peserta didik sebagai pedoman dan pegangan dalam kehidupannya.25 Hasil dari internalisasi nilai pada tingkat ini berupa konseptualisasi nilai atau organisasi sistem nilai lembaga pendidikan.
Misalnya pengembangan budaya 5 S, pada lembaga pendidikan islam terpadu seperti, senyum, salam, sapa, sopan, santun antara peserta didik dengan guru, peserta didik dengan peserta didik yang lain.
Kelima,tahap karakterisasi (Characterizing), Pada tahap ini perilaku peserta didik dikendalikan oleh sistem nilai sampai pada waktu yang ditentukan waktunya hingga nilai-nilai tersebut terbentuk gaya hidup. W.S.Winkel, mengatakan, karakterisasi merupakan kemampuan untuk menghayati nilai-nilai yang terkandung dalam lembaga pendidikan, yang kemudian nilai tersebut menjadi perilaku dalam dirinnya dan merupakan pegangan nyata sebagai pengatur dalam kehidupannya sendiri. Nilai merupakan sistem yang mengedalikan sikap dan perilaku peserta didik yang pada akhirnya nilai-nilai tersebut menjadi karakteristik gaya hidupnya di lingkungan sosial. Dalam hal ini, karakteristik yang dimiliki peserta didik merupakan suatu kemampuan untuk mengatur segala sesuatu tindakan dan perbuatannya. Seperti dalam hal kemampuan mempertimbangkan dan juga menunjukkan tindakan yang disiplin .26
24W. S. Winkel, Psikologi Pengajaran, Jakarta: Gramedia, 1987, hal. 152.
25W. S. Winkel, Psikologi Pengajaran,..., hal. 152.
26Wahyu Wahardjo, Psikologi Pendidikan, Depok: PT. Raja Grafindo Persada, 2017, hal. 163-166.
Dari uraian di atas, dapat di simpulkan bahwa, proses internalisasi nilai kedalam diri peserta didik ditentukan system nilai dalam lembaga pendidikan Islam, mulai dari kurikulum, pendekatan dan metode yang dipakai dalam menanamkan nilai-nilai kepada peserta didik, terutama ketika proses pembelajaran berlangsung, yang dimana guru menyampaikan secara verbal nilai-nilai spiritual yang akan di transaksikan kedalam diri peserta didik yang kemudian nilai-nilai tersebut diaktualisasikan dalam sikap dan perilaku keseharian di sekolah. Dalam arti, lembaga pendidikan Islam merupakan tempat berkembang dan tumbuhnya daya kognitif, afektif dan psikomotorik peserta didik, oleh karena itu guru dituntut untuk memahami setiap tumbuh kembangnya peserta didik sebagai wujud yang utuh dan melarai problem yang dialami peserta didik dalam setiap proses.