• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.6 Nilai Tukar Mata Uang

Dornbusch dan Fisher (1980) mengatakan bahwa pergerakan nilai tukar mempengaruhi daya saing internasional dan posisi neraca perdagangan, dan konsekuensinya juga akan berdampak pada real output dari negara tersebut yang gilirannya akan mempengaruhi cash flow saat ini dan masa yang akan datang dari perusahaan dan harga saham perusahaan tersebut. Ekuitas yang merupakan bagian dari kekayaan perusahaan, dapat mempengaruhi perilaku nilai tukar melalui mekanisme permintaan uang berdasarkan model penentuan nilai tukar ahli moneter (Gavin, 1989).

Studi sebelumnya yang telah melakukan penelitian mengenai hubungan antara pasar modal dan pasar nilai tukar dilakukan oleh Aggarwal (1981),Soenen dan Hennigar (1988). Mereka menemukan hasil-hasil yang berbeda terkait denganhubungan ke 2 pasar tersebut. Aggarwal (1981) menemukan bahwa revaluasi US$ berhubungan secara positif dengan return pasar saham. Berbeda dengan Soenen dan Hennigar (1988) menemukan hubungan yang negatif. Chow et al (1997 ) menggunakan data bulanan untuk periode 1977-1989 menemukan tidak ada hubungan antara return saham dengan return nilai tukar. Tetapi ketika dilakukan percobaan dengan pengamatan 6 bulanan ditemui hubungan yang positif antara dolar yang kuat dengan return saham.

Pada pekerjaan-pekerjaan lain dengan tingkatan mikro memfokuskan pada evaluasi exposure perusahaan-perusahaan domestik pada risiko mata uang asing. Sebagian dari exposure ekonomi yangmuncul dari variasi dalam discounted cash flow ketika nilai tukar berfluktuasi, perusahaan mengalami transaksi exposure yang berkaitan dengan gain atau loses yang muncul dari transaksi investasi yang dinyatakan dalam mata uang asing.

B. Kebijakan moneter perekonomian.

Kebijakan moneter di suatu negara diimplementasikan dengan menggunakan instrumen moneter (suku bunga atau agregat moneter) yang mempengaruhi sasaran antara untuk mencapai sasaran akhir, yaitu stabilitas harga atau pertumbuhan ekonomi. Kebijakan moneter akan mempengaruhi perekonomian melalui empat jalur transmisi (Hartadi Sarwono dan Perry Warjiyo, 1998).

Pertama, jalur suku bunga (Keynesian) berpendapat bahwa pengetatan moneter mengurangi uang beredar dan mendorong peningkatan suku bunga jangka pendek yang apabila credible, akan timbul ekspektasi masyarakat bahwa inflasi akan turun atau suku bunga riil jangka panjang akan meningkat. Permintaan domestik untuk investasi dan konsumsi akan turun karena kenaikan biaya modal sehingga pertumbuhan ekonomi akan menurun.

Kedua, jalur nilai tukar berpendapat bahwa pengetatan moneter, yang mendorong peningkatan suku bunga, akan mengakibatkan apresiasi nilai tukar karena pemasukan aliran modal dari luar negeri. Nilai tukar akan cenderung apresiasi sehingga ekspor menurun, sedangkan impor meningkat sehingga, transaksi berjalan (demikian pula neraca pembayaran) akan memburuk. Akibatnya, permintaan agregat akan menurun dan demikian pula laju pertumbuhan ekonomi dan inflasi.

Ketiga, jalur harga aset (monetarist) yang berpendapat bahwa pengetatan moneter akan mengubah komposisi portfolio para pelaku ekonomi (wealth effect) sesuai dengan ekspektasi balas jasa dan risiko masing-masing aset. Peningkatan suku bunga akan mendorong pelaku ekonomi untuk memegang aset dalam bentuk obligasi dan deposito lebih banyak dan mengurangi saham.

Keempat, jalur kredit yang berpendapat bahwa kebijakan moneter akan mempengaruhi kegiatan ekonomi melalui perubahan perilaku perbankan dalam pemberian kredit kepada nasabah. Pengetatan moneter akan menurunkan net worth pengusaha. Menurunnya net worth akan mendorong nasabah untuk mengusulkan proyek yang menjanjikan tingkat hasil tinggi tetapi dengan risiko yang tinggi pula

(moral hazard) sehingga risiko kredit macet meningkat. Akibatnya, bank-bank menghadapi adverse selection dan mengurangi pemberian kreditnya sehingga laju pertumbuhan ekonomi melambat.

Sejak diberlakukannya rezim devisa bebas pada tahun 1982 maka kontrol terhadap aliran modal di Indonesia menjadi tidak terkendali. Kesulitan untuk mengendalikan aliran modal tersebut disamping karena tidak adanya kebijakan yang mendukungnya juga dikarenakan oleh semakin berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi. Sistem nilai tukar yang dianut oleh suatu negara sangat berpengaruh sekali dalam menentukan pergerakan nilai tukar. Seperti misalnya negara Indonesia yang sebelum tanggal 14 Agustus 1997 menerapkan system nilai tukar mengambang terkendali, maka laju depresiasi sangat ditentukan oleh pemegang otoritas moneter, sehingga ketika Bank Indonesia melepas kendali nilai tukar menyebabkan nilai tukar akan segera mengikuti hukum pasar dan pengaruh-pengaruh dari luar.

Contagion effect merupakan salah satu faktor yang muncul diakibatkan

ekanisme pasar yang semakin bebas dan juga sistem ekonomi/moneter yang diterapkan. Efek ini muncul dengan mengasumsikan ekspektasi kesamaan reaksi dari satu negara dengan negara lainnya, yang diakibatkan persamaan profil dan kondisi ekonomi dan politik. Selain itu efek ini pun muncul karena sebuah acuan terhadap negara tertentu (suatu negara dianggap sebagai representasi dari negara lainnya). Contohnya depresiasi Baht Thailand mempengaruhi depresiasi rupiah karena antara Thailand dan Indonesia mengalami persamaan kondisi ekonomi.Jepang dianggap

sebagai acuan negara-negara di Asia sehigga jika mata uang Yen Jepang terdepresiasi, diasumsikan nilai mata uang lainnya akan terdepresiasi juga.

Untuk menghadapi arus modal masuk yang semakin besar, otoritas moneter menerapkan sistem nilai tukar yang lebih fleksibel melalui band konversi dan band intervensi. Sejalan dengan tekanan pasar yang semakin besar terhadap rupiah, selama periode 1995 sampai dengan menjelang krisis tahun 1997, Bank Indonesia telah melakukan 4 (empat) kali pelebaran band kurs intervensi yaitu dari 2% pada bulan Desember 1995 menjadi 12% pada bulan Juli tahun 1997.

Untuk mengurangi tekanan terhadap rupiah, upaya lain yang telah dilakukan Bank Indonesia adalah pengembangan pasar valas domestik antar bank melalui band intervensi. Dengan band intervensi, nilai tukar diperkenankan untuk berfluktuasi dalam kisaran band yang telah ditetapkan. Apabila valuta asing diperdagangkan melebihi band yang telah ditetapkan maka Bank Indonesia segera melakukan intervensi untuk mengembalikan nilai tukar pada posisi semula. dengan penetapan band intervensi ini investor menanggung risiko nilai tukar sebesar band yang telah ditetapkan. Dalam pelaksanaannya, sejalan dengan tekanan terhadap rupiah yang semakin besar, lebar band tersebut beberapa kali telah direvisi, sampai akhirnya dihapuskan dan diganti system nilai tukar mengambang bebas pada tanggal 16 Agustus 1998.

Implikasi dari ditempuhnya sistim nilai tukar fleksibel tersebut cukup mendasar bagi perekonomian Indonesia. Fluktuasi dan karenanya ketidakpastian mengenai gerakan nilai tukar rupiah jelas akan menjadi tinggi. Peranan ekspektasi

pelaku pasar dan masyarakat akan menjadi lebih penting dalam mempengaruhi gerakan nilai tukar. Secara langsung fluktuasi nilai tukar tersebut akan mempengaruhi tingkat harga di dalam negeri karena banyaknya barang-barang impor

(imported inflation). Harga relatif (real effective exchange rates) juga akan semakin berfluktuasi dan berpengaruh terhadap kinerja ekspor dan impor, dan karenanya mempunyai dampak yang semakin perlu diperhitungkan terhadap permintaan agregat. Laju pertumbuhan ekonomi juga dapat terpengaruh. Pendeknya fluktuasi nilai tukar yang lebih tinggi akan mempengaruhi sasaran-sasaaran laju inflasi, laju pertumbuhan dan keseimbangan neraca pembayaran yang hendak dicapai oleh kebijakan ekonomi makro. Dalam sistim nilai tukar fleksibel, Bank Indonesia dapat lebih bebas dalam melaksanakan kebijakan moneter dalam negeri karena tidak dituntut untuk melakukan sterilisasi atas dampak aliran dana masuk terhadap perkembangan uang beredar untuk mempertahankan suatu tingkat atau kisaran nilai tukar tertentu. Dengan demikian, pengendalian moneter dapat lebih difokuskan pada pencapaian sasaran-sasaran di dalam negeri. Dalam hal melakukan suatu kontraksi, misalnya, ketatnya likuiditas akan mendorong meningkatnya suku bunga di dalam negeri. Aliran dana masuk dari luar negeri akan meningkat dan menyebabkan nilai tukar rupiah cenderung apresiasi. Permintaan domestik baik konsumsi maupun investasi akan menurun karena tingginya suku bunga dan menurunnya harga relatif. Laju pertumbuhan ekonomi akan cenderung lebih rendah. Laju inflasi juga akan menurun baik karena apresiasi nilai tukar maupun karena menurunnya permintaan domestik. Secara umum dapat dikatakan bahwa dalam sistim nilai tukar fleksibel

kebijakan moneter dapat lebih efektif dalam mempengaruhi gerakan ekonomi dalam jangka pendek.

Financial Accounting Standar Board (FASB) mendefinisikan nilai tukar sebagai rasio antara satu unit mata uang dan jumlah mata uang lainnya yang dapat ditukar pada suatu waktu tertentu. Gain atau loss transaksi mata uang asing akan dimasukkan dalam laba bersih pada periode terjadinya transaksi nilai tukar. Dalam usaha untuk menentukan apakah kerugian dari nilai tukar berpengaruh terhadap reaksi pasar modal maka digunakan harga saham sebagai proxy.

Dokumen terkait