ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
PERMINTAAN KREDIT KONSUMTIF BANK
PEMERINTAH DI SUMATERA UTARA
TESIS
Oleh
MOHAMMAD YUSUF
057018016/EP
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
PERMINTAAN KREDIT KONSUMTIF BANK
PEMERINTAH DI SUMATERA UTARA
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Ekonomi Pembangunan pada
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
MOHAMMAD YUSUF
057018016/EP
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN KREDIT KONSUMTIF BANK PEMERINTAH DI SUMATERA UTARA
Nama Mahasiswa : Mohammad Yusuf Nomor Pokok : 057018016
Program Studi : Ekonomi Pembangunan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Dr. Dede Ruslan, M.Si) (Kasyful Mahalli, SE, M.Si)
Ketua Anggota
Ketua Program Studi, Direktur,
(Dr. Murni Daulay, M.Si) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc)
Telah diuji pada Tanggal : 25 Mei 2009
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Dr. Dede Ruslan, M.Si
Anggota : 1. Kasyful Mahalli, SE, M.Si
2. Dr. Murni Daulay, M.Si
3. Drs. Iskandar Syarief, MA
PERNYATAAN
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
PERMINTAAN KREDIT KONSUMTIF BANK
PEMERINTAH DI SUMATERA UTARA
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, atau kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, Mei 2009
Mohammad Yusuf
ABSTRAK
Penelitian ini berjudul Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Kredit Konsumtif Bank Pemerintah di Sumatera Utara ini bertujuan untuk menganalisis tingkat permintaan kredit konsumtif di Sumatera Utara, yang terdiri dari PDRB, suku bunga pinjaman, dan inflasi.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series, yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Indonesia (BI) Medan. Berdasarkan hasil estimasi data time series selama tahun 1980 – 2004, penelitian ini menemukan bahwa PDRB berpengaruh terhadap permintaan kredit konsumtif, nilai inflasi berpengaruh terhadap permintaan kredit konsumtif, dan tingkat suku bunga berpengaruh terhadap permintaan kredit konsumtif.
negatif karena semakin meningkat/menurun suku bunga kredit tidak berpengaruh kepada permintaan kredit di Sumatera Utara.
Untuk itu diharapkan dalam penelitian ini, pemerintah mengambil suatu kebijakan dalam pemberian kredit konsumtif yang lebih ringan, lebih mudah dan dengan proses yang cepat, sehingga masyarakat mendapat kepuasaan.
Kata kunci : Kredit konsumtif, PDRB, suku bunga pinjaman, dan inflasi
ABSTRACT
The aim of research is to Analiyze of the factors which influence on demand of credit consumption on government bank in north Sumatra. The variables consist to analyze of Product Domestic Regional bruto (PDRB), Rate of Interest and inflation.
The research used secondary data of time series, obtained from Statistical Center (BPS) and Indonesia Bank (BI) Medan. Based of data estimation of time series during year 1980 – 2004, the result show that demand of PDRB have influence on the demand of credit consumption. Rate of interest influence on the demand of credit consumption, and inflation in the influence on demand of credit consumption.
It is expected that the government should do the policy in giving credit consumption more easier and also the process is fast so that the society would be satisfied.
Key words : Credit Consumption Product Domestic Regional bruto (PDRB), Rate of Interest and inflation
KATA PENGANTAR
Pertama penulis memanjatkan puji dan syukur kehadirata Allah SWT yang
telah memberikan hidayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan
tesis ini yang berjudul Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Permintaan
Kredit Konsumtif bank Pemerintah di Sumatera Utara.
Dalam mengikuti pendidikan Sekolah Pascasarjana dalam bidang ekonomi
pembangunan, saya mengakui banyak pihak-pihak yang telah memberikan dorongan,
motivasi, bimbingan dan bantuannya. Oleh karena itu pada kesempatan ini saya
dengan hati yang tulus menyampaikan arasa terima kasih dan penghargaan yang
1. Bapak Dr. Dede Ruslan M.Si, sebagai Pembimbing I dan Bapak Kasyful Mahalli,
SE, M.Si, sebagai Pembimbing II, dimana dengan niat tulus dan ikhlas sepenuh
hati telah meluangkan waktunya untuk memberikan arahan, bimbingan dan
diskusi dari proses penyusunan proposal sampai dengan proses penyempurnaan
tesisi ini sebagai hasil penelitian dan tulisan.
2. Ibu Dr. Murni Daulay, M.Si, selaku Ketua Program Studi Ekonomi Pembangunan
dan Bapak Prof. Dr. Sya’ad Afifuddin, M.Ec, selaku Sekretaris Program, dimana
beliau dengan arif dan bijaksana telah mengarahkan kami sehingga mampu
menyelesaikan pendidikan pada Sekolah Pascasarjana Ekonomi Pembangunan
Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Drs. Iskandar Syarief, M.A. dan Bapak Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec.
merupakan dosen pembanding sekaligus dosen dan sahabat untuk bertanya.
4. Bapak Doni Rinalsi, ST, M.Si, Pemimpin Cabang Utama BNI USU dan bapak M.
Khalim SE, MM, Pemimpin Bidang Layanan Cabang Utama BNI USU
merupakan orang yang membimbing penulis dalam berkarir.
Selama mengikuti perkuliahan di Program Studi Ekonomi Pembangunan
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, penulis merasa nyaman dengan
tersedianya fasilitas dalam proses belajar mengajar sehingga penulis menyampaikan
rasa terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A (K), sebagai Rektor.
2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa, B, M.Sc, sebagai Direktur Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Kepada sahabat-sahabat Angkatan IX regular yang telah banyak memberikan
bantuan moril maupun materil untuk menyelesaikan penulisan tesis ini.
Kedua orang tua penulis yang tercinta Ayahanda Anis Djudin dan (Alm)
Ibunda Zurtina Nur yang telah membesarkan penulis dengan penuh kasih sayang dan
Ibu Mertua Ramlah, D yang memberikan dorongan semangat serta isteri tercinta
Akhirnya kepada Allah SWT penulis berserah diri dan semoga penelitian ini
bermanfaat, baik untuk dunia akademis maupun dunia perbankan.
Medan, Maret 2009
H. Mohammad Yusuf
RIWAYAT HIDUP
1. Nama : Mohammad Yusuf
2. Agama : Islam
3. Tempat & Tgl.Lahir : Medan, 1 Oktober 1968
4. Alamat : Jl. Bakti Indah VII No,116 Perumahan Tata Alam Asri
Gaperta Medan.
5. Nama orang tua :
Ayah : Anis Djudin
Ibu : Alm. Zurtina Nur
7. Pendidikan
a. SD Negeri 060843, Medan : Lulus Tahun 1982
b. SMP Laks. Martadinata, Medan : Lulus Tahun 1985
c. SMA Negeri 3 Medan : Lulus Tahun 1988
d. FH UISU, Medan : Lulus Tahun 1994
e. Sekolah Pascasarjana EP USU : Lulus Tahun 2009
8. Pekerjaan Sekarang : Staf Pemasaran
PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk
Kantor Utama Cabang USU Medan
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ………... i
ABSTRACT ………... ii
KATA PENGANTAR ………... iii
RIWAYAT HIDUP………... v
DAFTAR ISI ………... vi
DAFTAR TABEL .. ………... viii
DAFTAR GAMBAR ... x
DAFTAR LAMPIRAN………... xi
DAFTAR SINGKATAN ………... xii
1.1 Latar Belakang ... 1
2.1.3 Teori Cambridge (Marshall-Pigou)... 13
2.1.4 Teori Keynes... 15
2.1.5 Teori Kuantitas Modern (Friedman)... 18
2.2 Perilaku Konsumen... ... 20
2.3 Permintaan Kredit... 21
2.4 Teori-teori Pertumbuhan Ekonomi... 25
2.5 Teori Suku Bunga Pinjaman... 28
2.6 Nilai Tukar Mata Uang... 35
2.7 Inflasi... 41
2.8 Penelitian Terdahulu... 47
2.9 Kerangka Konseptual... 50
2.10 Hipotesis Penelitian... 51
BAB III METODE PENELITIAN... 52
3.1 Ruang Lingkup Penelitian... 52
3.2 Jenis dan Sumber data Penelitian... 52
3.3 Model Analisis ... 52
3.4 Uji Kesesuaian... 53
3.5 Uji Pelanggaran Asumsi Klasik ... 54
3.6 Definisi operasional ... ...57
4.1 Perkembangan Variabel yang di Teliti ... 58
4.1.1 Kondisi Industri Perbankan di Sumatera Utara... 58
4.1.2 Jumlah Bank Di Sumatera Utara... 58
4.1.3 Kredit Konsumtif Perbankan di Sumut... 60
4.1.4 Variabel Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). 60 4.1.5 Variabel Suku Bunga Pinjaman... 63
4.1.6 Variabel Inflasi ... 65
4.2 Analisis dan Pembahasan Penelitian... …….. 67
4.2.1 Uji Determinasi (R-squared……….. 67
4.2.2 Uji Simultan (Uji – F)………... 67
4.2.3 Uji Parsial (Uji – t)……… 68
4.3 Uji Asumsi Klasik ………... 70
4.3.1 Uji Multikolinearitas………... 70
4.3.2 Uji Autokorelasi……….…………... 70
4.3.3 Uji Heterokedastisitas………... 71
4.4 Pembahasan hasil estimasi variabel yang mempenga- ruhi Permintaan Kredit Konsumtif (PKK) Bank Pemerintah di Sumatera Utara.……... 72
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 76
5.1 Kesimpulan... 76
5.2 Saran... 77
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
4.1 Jumlah Kantor Cabang Bank di Daerah Tingkat I
dan II di Sumatera Utara, Tahun 2004…………... 59
4.2 Hasil Estimasi Uji Multikolinearitas ...…………... 70
4.3 Hasil Uji Breusch-Godfrey Serial Colrrelation LM Test ... 70
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
2.1 Kerangka Konseptual Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Permintaan kredit Konsumtif Bank Pemerintah di Sumatera
Utara………... 50
4.1 Perkembangan Kredit konsumtif di Sumatera
Utara, Tahun 1980-2004 ……….…………... 60
4.2 Grafik Perkembangan PDRB di Sumatera Utara
Tahun 1980- 2004………... 61
4.3 Grafik Perkembangan Rata-rata Suku Bunga Pinjaman
Konsumtif Tahun 1980-2004 ……….…………... 64
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Data Factor-faktor yang mempengaruhi Permintaan Kredit Konsumtif Bank
Pemerintah Sumatera Utara... 81
2. Deskriptive Statistik ……… 82
3. Output Regresi ………. 83
4. Uji Multikolinearitas ……… 84
5. Uji Otokerelasi ………... 86
DAFTAR SINGKATAN
BPD : Bank Pembangunan Daerah
BBM : Bahan Bakar Minyak
BUPLN : Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara
BPS : Badan Pusat Statistik
LDR : Loan on Deposit Ratio
NPL : Non Performing Loan
PDB : Produk Domestik Bruto
PDRB : Produk Domestik Regional Bruto
PPP : Purchasing Power Parity
PMA : Penanaman Modal Asing
PMDN : Penanaman Modal Dalam Negeri
PKK : Permintaan Kredit Konsumtif
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembangunan jangka panjang yang dilaksanakan di Indonesia bertujuan
untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur dengan mengacu pada trilogi
pembangunan. Untuk mewujudkan tujuan tersebut perlu adanya pembangunan di
segala bidang, terutama pembangunan di bidang ekonomi. Secara umum tujuan
pembangunan ekonomi adalah mencapai pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi,
menjaga tingkat kestabilan harga, mengatasi masalah pengangguran, menjaga
keseimbangan neraca pembayaran dan pendistribusian pendapatan yang adil dan
merata. Pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan pemerataan, stabilitas harga,
dan keseimbangan neraca pembayaran merupakan sasaran kebijakan ekonomi makro
yang satu dengan yang lainnya mempunyai hubungan. Pada tingkat regional tiga
sasaran pertama selain keseimbangan neraca pembayaran merupakan sasaran tidak
saja dari kebijakan-kebijakan moneter dan fiskal nasional, tetapi juga sebagian
dipengaruhi kebijakan-kebijakan regional di bidang keuangan dan fiskal (anggaran).
Resesi ekonomi dunia yang telah berlangsung sejak awal tahun 1980-an, telah
mempengaruhi perkembangan ekonomi Indonesia pada tahun 1983. Oleh karena itu
laju pertumbuhan ekonomi Indonesia menurut harga konstan pada tahun 1983 hanya
mencapai sebesar 4,20 persen, padahal dalam kurun waktu 15 tahun sebelumnya
rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih besar dari lima. Penurunan laju
sehingga penerimaan ekspor minyak mengalami penurunan. Harga minyak turun
menjadi sebesar 29,53 dola AS per barel . Padahal sampai dengan akhir tahun 1983,
ekspor minyak bumi dan gas alam ketika itu mencapai 16,14 miliar dolar AS,
sedangkan nilai ekspor komoditas bukan minyak dan gas alam baru mencapai 5,01
miliar dolar AS atau sekitar 23,6 persen dari total ekspor Indonesia.
Secara umum kondisi perokonomian Indonesia, khususnya moneter
mengalami berbagai tekanan baik yang disebabkan oleh faktor-faktor eksternal
maupun internal. Walaupun antara kurun waktu pertengahan perekonomian
Indonesia masih menunjukkan perkembangan yang cukup baik, tetapi secara
keseluruhan perkembangan ekonomi Indonesia sampai dengan akhir tahun 1997
mengalami perlambatan yang cukup berarti. Pada paruh kedua tahun 1997, mulai
terjadi krisis moneter, khususnya nilai tukar dan ditambah lagi dengan semakin
bertambahnya utang luar negeri Indonesia yang jatuh tempo mengakibatkan
pertumbuhan ekonomi Indonesia turun secar drastis. Dan perkiraan yang dilakukan
oleh lembaga-lembaga internasional sebelum terjadinya krisis, pertumbuhan ekonomi
Indonesia pada tahun 1997 diperkirakan akan beraada pada kisaran 5,2 persen sampai
dengan 6,8 persen. Namun kemudian realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia jatuh
pada kisaran 4,8 persen, jauh dibawah nilai pertumbuhan ekonomi pada tahun-tahun
sebelumnya.
Ditinjau dari sisi permintaan, penurunan pertumbuhan ekonomi diakibatkan
oleh melemahnya permintaan domestik khususnya konsumsi rumah tangga dan
sektor-sektor yang memiliki pangsa yang cukup besar terhadap total pertumbuhan ekonomi
Indonesia seperti sektor industri pengolahan, sektor pertanian dan sektor
perdagangan, hotel dan restoran. Hal ini terjadi karena adanya kenaikan biaya impor
bahan baku dan pembayaran utang luar negeri Indonesia yang jatuh tempo dan
keduanya dipacu oleh tekanan nilai tukar dan ketatnya likuiditas perbankan nasional.
Khusus sektor pertanian yang memiliki pangsa sebesar 14,8 persen terhadap PDB,
penurunan pertumbuhannya dipacu oleh kegagalan panen di berbagai daerah akibat
serangan hama dan tidak mempunyai petani untuk membeli sarana produksi pada
tingkat harga yang berlaku.
Sejalan dengan peningkatan laju inflasi yang sangat tajam tersebut, terjadi
peningkatan kebutuhan dana masyarakat dan menurunnya kepercayaan masyarakat
terhadap dunia perbankan. Semua hal tersebut mengakibatkan peningkatan penarikan
dana masyarakat dari sektor perbankan. Tercatat uang kartal yang dipegang
masyarakat melonjak tajam dari 24,9 triliun rupiah pada akhir Oktober 1997 menjadi
37,5 triliun rupiah pada akhir Januari 1988.
Kondisi tersebut juga terjadi di sektor perbankan nasional. Akibat merosotnya
nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan juga lemahnya struktur perbankan nasional
sendiri, secara umum krisis telah mengakibatkan perbankan mengalami masa-masa
yang teamat sulit. Kesulitan likuiditas perbankan yang dapat dikatakan berawal dari
faktor-faktor yang sangat multi dimensional telah membawa perbankan nasional
pada krisis yang berkepanjangan.
kompetisi, serta pemberian subsidi dan pengendalian penyaluran kredit. Bank
pemerintah menguasai 80 persen dari total aset sistem perbankan. Tingkat suku
bunga dan penyaluran kredit dikendalikan secara terpusat, serta proporsi kredit diatur
untuk sektor dan kelompok yang dikehendaki. Secara praktis tidak terdapat celah
untuk membuka bank baru.
Pengendalian atas kredit perbankan dilakukan dalam berbagai bentuk.
Pengendalian kredit mulai dilakukan sebagai bagian dari suatu rentang upaya
melawan tingkat inflasi. Bagaimanapun, pengendalian lebih bermakna pembatasan,
dimana otoritas yang berwenang mengarahkan setiap bank untuk memberikan kredit
padaa segmen tertentu saja melalaui pengaturan secara rinci batas jumlah kredit untuk
setiap bank. Dengan kebijakan ini juga, bank Indonesia menghambat kompetisi dan
pasar kredit serta bank dipaksa untuk berkiprah secara spesifik pada segmen tertetntu.
Kebijakan ini juga diberlakukan terhadap bank pemerintah, dimana setiap bank
dibatasi untuk beroperasi pada segmen tertentu saja. Bank swasta berkonsentrasi
terutama pada segmen ritel, sementara bank asing dibatasi untuk bergerak dalam
perdagangan dan investasi asing.
Pasar kredit dicirikan oleh sistem yang mendua, dimana satu segmen disubsidi
oleh pemerintah dan segmen lainnya mengikuti tingkat suku bunga pasar yang
berlaku. Kredit yang disubsidi diarahkan untuk menarik minat investasi pada kegiatan
atau sektor-sektor tertentu, seperti bisnis UKM, sarana produiksi dan jasa penunjang
lainnya untuk sektor pertanian, dan proyek-proyek yang disponsori oleh pemerintah.
investasi sebagaimana yang diharapkan, karena jumlah kredit yang diberikan kepada
peminjam dibatasai, untuk mencegah terjadinya arbitrase. Lagipula, skim kredit yang
diajukan tidak mendorong iklim kompetisi bahkan cenderung menciptakan budaya
penyuapan dan korupsi, dan peluang terjadinya kemacetan kredit sangat tinggi karena
aplikasi pinjaman yang diajukan tidak berdasarkan kebutuhan yang sebenarnya.
Deregulasi keuangan dan perbankan dilakukan sebagai langkah awal
perubahan-perubahan kebijakan dan mengakhiri masa represi keuangan. Kebijakan
ini menandai masuknya ekonomi pasar yang lebih intensif dimana berbagai distorsi
hendak dihapuskan sama sekali. Deregulasi yang dikenal dengan sebutan Pakjun
1983 merupakan tonggak awal sebuah proses penyesuaian struktur ekonomi. Paket
kebijakan deregulasi perbankan pada tanggal 1 Juni 1983 yang lebih dikenal dengan
sebutan Pakjun 1983 meliputi empat hal pokok, yakni :
1. Pencabutan ketentuan pagu tingkat bunga, kecuali bagi kredit prioritas yang
dibiayai oleh Bank Indonesia. Dengan pencabutan tersebut, berarti bank
komersial termasuk bank-bank milik pemerintah bebas menentukan tingkat
bunga tabungan dan suku bunga kredit yang akan disalurkan.
2. Pencabutan ketentuan pagu kredit, sehingga bank-bank komersil termasuk
bank-bank milik pemerintah dengan tanpa alasan batasan boleh melakukan
ekspansi asetnya.
3. Pengurangan volume kredit likuiditas, dan pengurangan trhadap bidang-bidang,
dan sektor-sektor yang dapat dibiayai oleh sektor kredit.
Indonesiaa (SBI) dan fasilitas diskonto yang dapat digunakan oleh bank-bank
sebagai alternatif dalam pengendalian likuiditasnya.
Memperhatikan cakupan dari kebijakan tersebut, tampaknya sasaran yang
ingin dicapai terutama dalam jangka pendek adalah membuat bank-bank pemerintah,
menjadi bank yang sesungguhnya. Dengan demikian peran bank-bank pemerintah
sebagai penyalur dana ke sektor-sektor dan program tertentu semakin dikurangi.
Salah satu pertimbangan yang mendorong pemerintah melakukan reformasi
kebijakan perbankan adalah menghilangkan beban kredit macet yang ada sebagai
akibat dari program kredit bersubsidi. Selain itu gejala yang tampak jelas bahwa yang
menjadi fokus utama dari kredit bersubsidi merupakan kegiatan perburuan rente.
Banyak dianatara pengusaha swasta besar atau konglomerat sebagai peminjam utama
dari bank-bank pemerintah, dan mereke telah dibantu untuk tumbuh secara cepat
melalui elemen subsidi yang sangat besar dalam kredit yang diperolehnya. Tak
terhitung peminjam besar dan kecil meningkatkan jumlah kredit bersubsidi mereka
beberapa kali melebihi kemampuan mereka untuk dapat membayar kembali.
Sebagaimana yang terjadi, pada tahun 1982 terjadi penurunana pendapatan
dari sektor migas yang mengancam posisi fiskal pemerintah pusat. Hal ini memicu
pemerintah untuk melakukan reformasi sektor keuangan, seperti halnya dalam
kebijakan perdagangan internasional, dalam kaitan dengan upaya memecahkan
kekuranagn fiskal dan menemukan sumber-sumber pajak baru dan pertumbuhan
ekonomi. Pengurangan beban kredit bersubsidi akan mengurangi beban fiskal.
perhatian yang sungguh-sungguh dalam pengawasannya terhadap kredit bersubsidi
yang masih tersisa.
Pengurangan jumlah pinjaman adari Bank Indonesia ke bank-bank pemerintah
berarti bahwa bank-bank tersebut harus bersaing dalam memobilisasi dana-dana
deposito. Hal ini menyebabkan perubahan pengendalian yaitu pada faktor tingkat
suku bunga. Sebagai catatan bahwa bank swasta selalu bebas dari menentukan tingkat
suku bungannya.
Data dari Bank Indonesia menunjukkan bahwa kredit konsumsi Bank Umum
mengalami kenaikan yang signifikan. Kenaikan ini lebih besar lagi apabila besaran
kredit konsumsi dari Bank Perkreditan Rakyat dan perusahaan pembiayaan juga
diikutsertakan. Proporsi kredit konsumsi yang disalurkan Bank Umum rata-rata
sebesar 27 persen. Kredit konsumsi menempati urutan kedua setelah kredit modal
kerja, dengan proporsi sekitar 30 persen dari total kredit yang disalurkan oleh seluruh
jenis bank di Indonesia.
Kenaikan kredit konsumsi yang tidak terawasi dapat berakibat buruk terhadap
perekonomian, terutama apabila pihak bank tidak mampu menilai dengan baik
potensi atau kemampuan membayar dari seorang debitor. Kenaikan konsumsi yang
tidak terawasi dikhawatirkan dapat mengganggu stabilitas keuangan (financial
stability) Indonesia. Lebih jauh lagi, kredit konsumsi yang terlalu tinggi dapat
menyebabkan inflasi, apabila sektor produksi tidak berjalan baik. Di sisi lain,
pertumbuhan ekonomi yang mengandalkan pertumbuhan konsumsi semata tidak
Bank dan lembaga keuangan sudah melekat dalam kehidupan masyarakat
modern. Sistem perbankan sudah diibaratkan sebagai sistem urat nadi dalam tubuh
manusia dengan bank sentral sebagai jantungnya dan uang sebagai darah yang
menghidupi kegiatan ekonomi.
Bank pemerintah dalam menyalurkan kredit kepada masyarakat dilakukan
atas adanya permintaan kredit dari masyarakat kepada bank tersebut. Permintaan
kredit diajukan masyarakat dengan memenuhi beberapa persyaratan yang dibuat oleh
perbankan dan harus dipenuhi dan dilengkapi sehingga kredit yang dimohon bisa
direalisasikan.
Disamping adanya permintaan kredit masyarakat kepada bank di daerah juga
akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi didaerah tersebut. Pertumbuhan ekonomi
di Sumatera Utara di pengaruhi oleh faktor internal dan juga dipengaruhi oleh
lingkungan eksternal. Terjadinya bencana alam gempa bumi dan gelombang tsunami
di penghujung tahun 2004 yang melanda Nanggroe Aceh Darussalam dan sebagian
Sumatera Utara telah memberikan dampak yang cukup berarti bagi perekonomian
Sumatera Utara. Demikian pula dengan kebijakan kenaikan BBM pada bulan Maret
dan Oktober 2005 yang disertai peristiwa Bom Bali II memberikan andil dalam
situasi perekonomian Sumatera Utara. Beberapa indikator menunjukkan indikasi yang
kurang menggembirakan seperti inflasi ndan nilai tukar.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka perlu dilakukan suatu
pengkajian ilmiah terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan kredit
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka masalah-masalah penelitian dapat
dirumuskan sebagai berikut :
1. Apakah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) berpengaruh secara signifikan
terhadap permintaan kredit konsumtif Bank Pemerintah di Sumatera Utara ?
2. Apakah suku bunga pinjaman berpengaruh secara signifikan terhadap permintaan
kredit konsumtif Bank Pemerintah di Sumatera Utara ?
3. Apakah nilai tukar rupiah berpengaruh secara signifikan terhadap permintaan
kredit konsumtif Bank Pemerintah di Sumatera Utara ?
4. Apakah inflasi berpengaruh secara signifikan terhadap permintaan kredit
konsumtif di Sumatera Utara ?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari peneltian ini adalah :
1. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) terhadap permintaan kredit konsumtif Bank Pemerintah di Sumut.
2. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh suku bunga pinjaman terhadap
permintaan kredit konsumtif Bank Pemerintah di Sumatera Utara.
3. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh nilai tukar rupiah terhadap
permintaan kredit konsumtif Bank Pemerintah di Sumatera Utara.
4. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh inflasi terhadap permintaan kredit
1.4 Manfaat Penelitian
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pemerintah
Sumatera Utara khususnya dalam menentukan kebijakan yang berhubungan
dengan permintaan kredit konsumtif.
2. Sebagai kajian ilmiah dalam disiplin ilmu Ekonomi Makro, khususnya didang
perkreditan sekaligus untuk melengkapi penelitian yang sudah ada, serta bahan
informasi, baik kepada birokrasi, stake holder atau investor untuk dimanfaatkan
guna menprediksi perrencanaan perkreditan Bank Pemerintah di Sumatera Utara.
3. Sebagai masukan bagi kalangan masyarakat untuk mengetahui mengenai
pembahasan permintaan kredit konsumtif di Sumatera Utara.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Teori Klasik
Teori ini sebenarnya adalah teori mengenai permintaan dan penawaran akan
uang, beserta interaksi antara keduanya. Fokus dari teori ini adalah pada hubungan
antara penawaran uang atau jumlah uang beredar dengan nilai uang atau tingkat
harga. Hubungan dua variabel dijabarkan lewat konsepsi teori mengenai permintaan
akan uang. Perubahan akan jumlah uang beredar atau penawaran uang berinteraksi
dengan permintaan akan uang dan selanjutnya menentukan nilai uang.
2.1.2 Irving Fisher
Dalam setiap transaksi selalu ada pembeli dan penjual. Adapun jumlah uang
yang dibayarkan oleh pembeli harus sama dengan uang yang diterima oleh penjual.
Hal ini berlaku juga untuk seluruh perekonomian. Didalam suatu periode tertentu
nilai dari barang-barang atau jasa-jasa yang dibeli harus sama dengan nilai dari
barang yang dijual. Nilai dari barang yang dijual sama dengan volume transaksi (T)
dikalikan harga rata-rata dari barang tersebut (P), sehingga diformulasikan menjadi :
MVt = PT………...…… (1)
Dilain pihak nilai dari barang yang ditransaksikan ini harus sama dengan
volume uang yang ada dimasyarakat (M) dikalikan berapa kali rata-rata uang
bertukar dari tangan satu ke tangan yang lain.
Vt, atau “transaction velocity of circulation” adalah suatu variabel yang
ditentukan oleh faktor-faktor kelembagaan yang ada didalam suatu masyarakat, dan
tertentu ditentukan oleh tingkat output masyarakat (pendapatan nasional). Identitas
tersebut ditransformasikannya dalam bentuk:
Md = 1/Vt PT……..……...…... (2)
Permintaan atau kebutuhan akan uang dari masyarakat adalah suatu proporsi tertentu
1/Vt dari nilai transaksi (PT).
Keseimbangan antara permintaan dan penawaran bersama dengan persamaan
yang menunjukkan posisi equilibrium di sektor uang ditunjukkan oleh persamaan
sebagai berikut :
md = ms…...… (3)
dimana ms adalah jumlah uang beredar. Jika ms ditentukan menghasilkan :
Ms = 1/Vt T…... (4)
Persamaan (4) menunjukkan bahwa dalam jangka pendek tingkat harga umum (P)
berubah secara proporsional dengan perubahan uang yang diedarkan oleh pemerintah.
Vt atau transaction velocity of circulation, Fisher mengatakan bahwa permintaan
akan uang timbul dari penggunaan uang dalam proses transaksi. Besar-kecilnya Vt
ditentukan oleh sifat proses transaksi yang berlaku di masyarakat dalam suatu periode
(Boediono, 2005).
2.1.3 Teori Cambridge (Marshall-Pigou)
Teori ini seperti halnya teori Fisher dan teori-teori klasik lainnya, berpangkal
teori-teori Klasik melihat kebutuhan uang atau permintaan akan uang dari masyarakat
sebagai kebutuhan akan alat tukar yang likuid untuk tujuan transaksi. Perbedaan
utama antara teori ini dengan Fisher, terletak pada tekanan dalam teori permintaan
uang Cambridge pada perilaku individu dalam mengalokasikan kekayaannya antara
berbagai kemungkinan bentuk kekayaan, yang salah satunya berbentuk uang.
Perilaku ini dipengaruhi oleh pertimbangan untung-rugi dari pemegang kekayaan
dalam bentuk uang. Teori Cambridge lebih menekankan faktor-faktor perilaku
(pertimbangan untung-rugi) yang menghubungkan antara permintaan akan uang
seseorang dengan volume transaksi yang direncanakannya. Teori Cambridge
mengatakan bahwa permintaan akan uang selain dipengaruhi oleh volume transaksi
dan faktor kelembagaan (Fisher), juga dipengaruhi oleh tingkat bunga, besar
kekayaan warga masyarakat, dan ramalan/harapan dari masyarakat mengenai masa
mendatang. Jadi dalam jangka pendek, teori Cambridge menganggap bahwa jumlah
kekayaan, volume transaksi dan pendapatan nasional mempunyai hubungan yang
proporsional-konstan satu sama lainnya. Teori Cambridge menganggap bahwa,
ceteris paribus permintaan akan uang adalah proporsional dengan tingkat pendapatan
nasional.
Md = k PY……...……...………… (5)
dimana Y adalah pendapatan nasional riil.
Supply akan uang (Ms) dianggap ditentukan oleh pemerintah. Dalam posisi
keseimbangan maka :
sehingga : Ms = k PY………...…....…... (7)
atau : P = 1/k Ms Y………... (8)
Jadi ceteris paribus tingkat harga umum (P) berubah secara proporsional
dengan perubahan volume uang yang beredar. Tidak banyak berbeda dengan teori
Fisher, kecuali tambahan ceteris paribus (yang berarti tingkat harga, pendapatan
nasional riil, tingkat bunga dan harapan adalah konstan).Perbedaan ini cukup penting,
karena teori Cambridge tidak menutup kemungkinan bahwa faktor-faktor seperti
tingkat bunga dan expectation berubah, walaupun dalam jangka pendek. Jika
faktor-faktor berubah maka k juga berubah. Teori Cambridge mengatakan kalau tingkat
bunga naik, ada kecenderungan masyarakat mengurangi uang yang ingin mereka
pegang, meskipun volume transaksi yang mereka rencanakan tetap. Demikian juga
faktor expectation. Bila seandainya masa datang tingkat bunga akan naik (yang
berarti penurunan surat berharga atau obligasi) maka orang akan cenderung untuk
mengurangi jumlah surat berharga yang dipegangnya dan menambah jumlah
uang tunai yang mereka pegang, dan ini pun bisa mempengaruhi “k” dalam jangka
pendek (Boediono, 2005).
2.1.4 Teori Keynes
Teori Keynes menyatakan bahwa permintaan akan uang ditentukan oleh motif
A. Motif Transaksi dan Berjaga-jaga
Orang memegang uang guna memenuhi dan melancarkan transaksinya, dan
permintaan akan uang dari masyarakat untuk tujuan ini sangat dipengaruhi oleh
tingkat pendapatan nasional dan tingkat bunga. Semakin tinggi tingkat pendapatan
semakin besar volume transaksi dan semakin besar pula kebutuhan uang untuk tujuan
transaksi.
Motif berjaga-jaga (precautionary motive), orang akan mendapat manfaat dari
memegang uang untuk menghadapi keadaan-keadaan yang tidak terduga, karena sifat
uang yang liquid, yaitu mudah ditukarkan dengan barang-barang lain. Menurut
Keynes permintaan uang untuk tujuan berjaga-jaga ini dipengaruhi oleh faktor-faktor
yang sama dengan faktor yang mempengaruhi permintaan uang untuk transaksi, yaitu
terutama dipengaruhi pula oleh tingkat penghasilan orang tersebut, dan mungkin
dipengaruhi pula oleh tingkat bunga (meskipun tidak kuat pengaruhnya).
B. Motif Spekulasi
Motif spekulasi dari memegang uang ini adalah untuk tujuan memperoleh
keuntungan yang bisa diperoleh dari si pemegang uang tersebut. Pada teori
Cambridge faktor ketidaktentuan masa depan (uncertainly) dan faktor harapan
(expectations) dari pemilik kekayaan bisa mempengaruhi permintaan akan uang.
Namun teori ini tidak pernah membakukan faktor-faktor ini ke dalam perumusan
teori moneter. Permintaan uang dari teori Cambridge Keynes tidak membicarakan
faktor “uncertainly” dan “expectations” hanya secara umum, seperti teori
variable yaitu tingkat bunga. Pada garis besarnya teori Keynes membatasi pada
keadaan dimana pemilik kekayaan bisa tidak berbeda dengan Fisher, dan
faktor-faktor ini hanya masuk analisa secara kualitatif). Perumusan permintaan uang untuk
motif spekulasi dari Keynes merupakan langkah formal dari faktor-faktor ini ke
dalam teori moneter memilih memegang kekayaannya dalam bentuk uang tunai atau
obligasi (bond). Uang tunai dianggap tidak memberikan penghasilan sedangkan
obligasi dianggap
memberikan berupa sejumlah uang tertentu setiap periode. Dalam teori Keynes
dibicarakan khusus obligasi yang memberikan suatu penghasilan berupa sejumlah
uang tertentu setiap periode selama waktu yang tak terbatas (perpetuity). Secara
umum bisa ditulis dengan persamaan sebagai berikut :
K = RP……….………..…...…...…... (9)
Dimana K adalah hasil per tahun yang diterima, R adalah tingkat bunga, dan P adalah
harga pasar atau nilai sekarang dalam obligasi “perpetuity” tersebut. Persamaan
tersebut bisa juga ditulis sebagai berikut :
P = K/R………...….. (10)
yang menunjukkan bahwa harga pasar obligasi (P) berbanding terbalik dengan
tingkat bunga R. Bila tingkat bunga turun, maka harga pasar obligasi naik, dan
sebaliknya bila tingkat bunga naik maka harga pasar obligasi turun, atau dengan kata
lain semakin tinggi tingkat suku bunga semakin rendah permintaan uang tunai oleh
seseorang atau masyarakat. Hal ini disebabkan semakin tinggi tingkat suku bunga,
masyarakat lebih baik membeli obligasi. Sebaliknya apabila tingkat suku bunga
semakin rendah maka semakin rendah pula ongkos memegang uang tunai dan
semakin besar seseorang atau masyarakat untuk menyimpan uang tunai.
Bentuk sederhana fungsi permintaan (total) akan uang dari teori Keynes
adalah:
Md/P = [ k Y + Ø (R, W) ]…... (11)
Md/P adalah permintaan uang total dalam arti riil, suku pertama dalam kurung, yaitu
k Y adalah permintaan uang untuk transaksi dan berjaga-jaga, yang dinyatakan
sebagai suatu proporsi (k) dari pendapatan nasional riil. Ø (R, W) adalah permintaan
akan uang untuk motif spekulasi yang dinyatakan sebagai fungsi dari tingkat bunga
yang berlaku (R) dan nilai asset (kekayaan atau wealth) yang ada di masyarakat (W).
Variable W inidimasukkan karena permintaan uang untuk motif spekulasi dinyatakan
sebagai bagian dari W yang dipegang dalam bentuk uang tunai. Persamaan tersebut
bisa pula dinyatakan dalam bentuk permintaan akan uang dalam satuan moneter
sebagai berikut :
Md = [ k Y + Ø (R, W) ] P…………...……... (12)
dalam analisa jangka pendek W biasanya dianggap konstan sehingga fungsi menjadi :
Md = [ k Y + Ø (R) ] P………... (13)
dimana Ø (R) = Ø (R,W), dalam posisi equilibrium, supply uang (Ms), yang dianggap
oleh Keynes sebagai variabel yang ditentukan oleh pemerintah, sama dengan Md.
Sehingga :
Teori permintaan uang Keynes mempunyai implikasi bahwa fungsi permintaan akan
uang (Liquidity Preference) adalah fungsi yang tidak stabil, dalam arti bahwa fungsi
ini bisa bergeser dari waktu ke waktu. Hal ini karena Keynes menekankan faktor
uncertainly dan expectation dalam menentukan posisi permintaan uang untuk tujuan
spekulasi (Boediono, 2005 ).
2.1.5 Teori Kuantitas Modern (Friedman)
Friedman tidak bertitik tolak dari pembahasan yang mendalam mengenai
motif-motif memegang uang. Secara umum menganggap bahwa orang memegang
uang karena uang adalah salah satu bentuk aktiva (asset) yang memberikan manfaat
karena merupakan sumber daya beli yang liquid (readily available source of
purchasing power). Teori permintaan uang Friedman menganggap bahwa “pemilik
kekayaan” memutuskan aktiva-aktiva apa (termasuk uang tunai) dan berapa yang
akan ia pegang atas dasar perbandingan manfaat (penghasilan dalam bentuk uang
ataupun dalam bentuk in natura ataupun “utility”), selera dan jumlah kekayaannya.
Pengertian “kekayaan” dari Friedman mempunyai ciri khas, yaitu bahwa yang
dimasukkan dalam definisi “kekayaan” tidak hanya aktiva-aktiva yangberbentuk uang
atau bisa diubah (dijual) menjadi uang, tetapi juga nilai (tepatnya,”nilai sekarang”
atau “present value”) dari aliran aliran penghasilan di tahun-tahun mendatang dari
tenaga kerjanya. Friedman berpendapat bahwa “kekayaan” tidak lain adalah nilai
sekarang dari aliran-aliran penghasilan yang diharapkan dari aktiva - aktiva yang
ekonomi mengenai capital, dan sekaligus merupakan jembatan antara teori
permintaan biasa (untuk barang dan jasa) dengan teori capital.
Pengertian yang kedua adalah konsep “manfaat”. Manfaat dari setiap bentuk
aktiva merupakan faktor pertimbangan dari pemilik kekayaan untuk memutuskan
berapa jumlah dari masing-masing bentuk aktiva yang akan ia pegang. Disebut diatas
bahwa Marginal Rate of Substitution dari suatu aktiva terhadap aktiva-aktiva lain
menurun dengan makin besarnya jumlah aktiva tersebut yang dipegang. Ini berarti
bahwa bila seseorang memegang terlalu banyak satu bentuk aktiva, misalnya uang
maka manfaat marginal dari uang akan menjadi lebih kecil dari pada marginal returns
dari aktiva-aktiva yang lain. Ini berarti bahwa ia bila ia mengurangi jumlah uang yang
ia pegang dan menggantinya dengan aktiva-aktiva lain berupa obligasi, surat-surat
berharga lainnya ataupun aktiva fisik seperti mobil, rumah, mesin dan sebagainya,
maka orang tersebut akan memperoleh manfaat total yang lebih besar.
Jadi, menurut pandangan Friedman permintaan uang ditentukan oleh faktor
seperti berikut : tingkat harga, suku bunga obligasi, suku bunga “equities”, modal
fisik dan kekayaan mengenai peranan harga dalam menentukan permintaan uang,
Friedman berpendapat dikarenakan memegang uang adalah salah satu cara untuk
menyimpan kekayaan. Cara-cara yang lain adalah menyimpan uang dalam bentuk
harta keuangan (financial asset) seperti obligasi, deposito dan saham, menyimpan
Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan uang seperti
diatas, teori permintaan yang didasarkan pada teori kuantitas modern yang
dikembangkan oleh Friedman dapat dinyatakan dalam persamaan berikut :
Md = f (P, r, rFC, Y)………..…. (15)
Dimana Md adalah permintaan uang nominal, P adalah tingkat harga, r adalah
tingkat suku bunga, rFC adalah tingkat pengembalian modal fisik dan Y adalah
pendapatan dan kekayaan. Apabila dipertimbangkan pula pandangan Friedman
mengenai permintaan uang riil, maka persamaan permintaan uang dinyatakan : Md/P
= f ( P, r, Y*) , dimana Md/P adalah permintaan uang riil, P adalah tingkat
kenaikan harga, r adalah tingkat bunga dan Y* adalah nilai pendapatan dan kekayaan
riil. Model permintaan uang riil diatas masih dalam bentuk umum, secara spesifik,
bentuk fungsi diatas masih sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti
perkembangan institusi keuangan dan kelembagaan lainnya yang terkait didalam
perekonomian dan juga oleh kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah
(Sidiq, 2005).
2.2 Perilaku Konsumen
Melihat bagaimana konsumen mengalokasikan pendapatan mereka atas
barang dan bagaimana keputusan pengalokasian menentukan permintaan untuk
barang dan jasa. Pemahaman terhadap keputusan pembelian konsumen akan
untuk barang dan jasa dan permintaan untuk beberapa produk lebih sensitif daripada
yang lainnya terhadap perubahan harga dan pendapatan (Sukirno 2005).
Perilaku konsumen ada tiga tahap, yaitu :
1. Preferensi Konsumen, merupakan tahap pertama untuk menemukan cara yang
praktis untuk menggambarkan alasan-alasan orang lebih suka satu barang
daripada barang lain.
2. Kendala Anggaran, merupakan tahap kedua dimana konsumen
mempertimbangkan harga. Konsumen mempunyai keterbatasan pendapatan yang
membatasi jumlah barang yang dapat mereka beli.
3. Pilihan-pilihan Konsumen, merupakan tahap ketiga untuk mengetahui preferensi
dan keterbatasan mereka, konsumen memilih untuk membeli kombinasi
barang yang memaksimalkan kepuasan mereka. Kombinasi ini akan bergantung
pada harga berbagai barang tersebut. Pemahaman terhadap pilihan konsumen
akan membantu memahami permintaan, yaitu berapa banyak jumlah suatu barang
yang dipilih konsumen untuk dibeli bergantung pada harganya.
2.3 Permintaan Kredit
Dalam kehidupan sehari-hari, kata kredit bukan merupakan perkataan yang
asing bagi masyarakat. Perkataan kredit tidak hanya dikenal oleh masyarakat di
kota-kota besar, tetapi sampai didesa-desa pun kata kredit tersebut sudah sangat populer.
Menurut Tjoekam (1999) kata kredit berasal dari bahasa latin yaitu credere
kredit adalah penundaan pembayaran dari prestasi yang diberikan sekarang, baik
dalam bentuk barang, uang maupun jasa keuntungan atau bunga yang diperoleh dari
pemberi kredit untuk memelihara kelangsungan usaha dan memperluas usahanya.
Menurut Undang-Undang No.10 tahun 1998 Pasal 1 angka 11, pengertian
kredit adalah : penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan
pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah
jangka waktu dengan pemberian bunga.
Selain itu bila dikaitkan dengan kegiatan usaha, kredit berarti suatu
kegiatan memberikan nilai ekonomi kepada seseorang atau badan usaha
berlandaskan kepercayaan saat itu, bahwa nilai ekonomi yang sama akan
dikembalikan kepada kreditur setelah jangka waktu tertentu sesuai dengan
kesepakatan yang sudah disetujui antara kreditur dengan debitur. Oleh karena itu,
dasar pemikiran persetujuan pemberian kredit oleh suatu lembaga keuangan atau
bank kepada seseorang atau badan usaha berlandaskan kepercayaan. Seseorang atau
badan usaha atau lembaga keuangan yang memberikan kredit percaya bahwa
penerima kredit dimasa mendatang akan sanggup memenuhi segala sesuatu yang
telah dijanjikan baik berupa barang, uang ataupun jasa.
Sebelum suatu kredit dikucurkan, bank terlebih dahulu akan melakukan
penilaian melalui suatu prosedur terhadap nasabah yang memohon kredit untuk
memperoleh keyakinan bahwa kredit yang disalurkan pasti akan kembali. Penilaian
menjadi standar setiap bank. Penilaian yang harus dilakukan oleh bank untuk
mendapatkan nasabah yang menguntungkan dilakukan melalui analisis 5C dan 7P
(Rindjani K,2003).
Adapun penjelasan untuk analisis dengan analisis 5C sebagai berikut :
1. Character merupakan suatu keyakinan bahwa, sifat atau orang-orang yang akan
diberikan kredit benar-benar dapat dipercaya.
2. Capital yaitu untuk melihat apakah penggunaan modal usaha oleh nasabah sudah
efektif atau tidak.
3. Capacity merupakan analisis untuk melihat kemampuan nasabah dalam bidang
bisnisnya yang dihubungkan dengan pendidikannya.
4. Condition merupakan suatu penilaian untuk memprediksi kondisi ekonomi, sosial,
politik untuk masa yang akan datang sesuai sektor masing-masing.
5. Collateral merupakan suatu jaminan yang diberikan calon debitur, baik yang
bersifat fisik maupun non fisik.
Selanjutnya penilaian kredit dengan metode analisis 7 P adalah :
1. Personality, yaitu menilai nasabah dari segi kepribadiannya, mencakup sikap,
emosi, tingkah laku, dan tindakan nasabah dalam menghadapi masalah.
2. Party ialah mengklasifikasikan nasabah kedalam klasifikasi atau
golongan-golongan tertentu berdasarkan modal, loyalitas serta karakternya.
3. Purpose, yaitu untuk mengetahui tujuan nasabah untuk mengambil kredit,
4. Prospect, yaitu menilai usaha nasabah di masa yang akan datang apakah
menguntungkan atau tidak, mempunyai prospek atau sebaliknya.
5. Payment yaitu suatu ukuran kemampuan nasabah untuk mengembalikan kredit
yang telah diambil atau dari sumber mana saja dana untuk pengembalian kredit
6. Profitability adalah untuk menganalisa bagaimana kemampuan nasabah dalam
memperoleh laba.
7. Protection adalah bagaimana untuk menjaga agar kredit yang diberikan mendapat
jaminan perlindungan sehingga kredit yang diberikan benar-benar aman.
Setiap manusia selalu berusaha memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan manusia
yang beraneka ragam sesuai dengan hakekatnya selalu meningkat sedangkan
kemampuan untuk mencapai sesuatu yang diinginkannya itu terbatas. Hal ini
menyebabkan manusia memerlukan bantuan untuk memenuhi hasrat dan cita-citanya
yaitu bantuan dari bank dalam bentuk tambahan modal.
Sebagai lembaga keuangan, peranan bank dalam perekonomian sangatlah
dominan. Hampir semua kegiatan perekonomian masyarakat membutuhkan bank
dengan fasilitas kreditnya. Begitu dominannya pemberian kredit bank, sampai
banyak ahli berpendapat bahwa tidak satupun usaha bisnis didunia ini yang bebas dari
kredit. Bahkan negara-negara kayapun banyak memerlukan kredit dari
lembaga-lembaga keuangan internasional, apalagi negara-negara menengah dan miskin.
Pertumbuhan Ekonomi merupakan salah satu bidang penyelidikan yang sudah
lama dibahas oleh ahli-ahli ekonomi. Adam Smith dalam bukunya An Inquiry into
the Nature and Causes of the Wealth Nations atau dengan ringkas, The Wealth of
Nations, pada hakikatnya adalah suatu analisis mengenai sebab-sebab dari berlakunya
pertumbuhan ekonomi dan faktor yang menentukan pertumbuhan itu.
Teori pertumbuhan klasik, menurut pandangan ahli-ahli ekonomi klasik, ada 4
faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, yaitu: jumlah penduduk, jumlah
stok barang-barang modal, luas tanah dan kekayaan alam, serta tingkat teknologi
yang digunakan. Dalam teori pertumbuhan mereka, dimisalkan luas tanah dan
kekayaan alam adalah tetap jumlahnya dan tingkat teknologi tidak mengalami
perubahan. Berdasarkan kepada teori pertumbuhan klasik yang baru diterangkan,
dikemukakan suatu teori yang menjelaskan perkaitan di antara pendapatan per kapita
dan jumlah penduduk. Teori tersebut dinamakan teori penduduk optimum. Teori
pertumbuhan klasik dapat dilihat bahwa apabila terdapat kekurangan penduduk,
produksi marjinal adalah lebih tinggi daripada pendapatan per kapita. Akan tetapi
apabila penduduk semakin banyak, hukum hasil tambahan yang semakin berkurang
akan mempengaruhi fungsi produksi, yaitu produksi marjinal akan mulai mengalami
penurunan. Oleh karenanya pendapatan nasional dan pendapatan per kapita menjadi
semakin lambat pertumbuhannya.
Teori Schumpeter menekankan tentang pentingnya peranan pengusaha di
dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi. Dalam teori itu ditunjukan bahwa para
atau inovasi dalam kegiatan ekonomi. Inovasi tersebut merupakan: memperkenalkan
barang-barang baru, mempertinggi efisien cara memproduksi dalam menghasilkan
suatu barang, memperluas pasar sesuatu barang ke pasaran-pasaran yang baru,
mengembangkan sumber bahan mentah yang baru dan mengadakan
perubahan-perubahan dalam organisasi dengan tujuan mempertinggi keefisienan kegiatan
perusahaan. Menurut Schumpeter, investasi dapat dibedakan kepada dua golongan
yaitu penanaman modal otonomi dan penanaman modal terpengaruh. Penanaman
modal otonomi adalah penanaman modal yang ditimbulkan pada kegiatan ekonomi
yang timbul sebagai akibat kegiatan inovasi. Menurut Schumpeter makin tinggi
tingkat kemajuan sesuatu ekonomi semakin terbatas kemungkinan untuk
mengadakan inovasi. Maka pertumbuhan ekonomi akan menjadi bertambah lambat
jalannya. Pada akhirnya akan tercapai tingkat “keadaan tidak berkembang” atau
“stationary atau state”. Akan tetapi, berbeda dengan pandangan klasik, dalam
pandangan Schumpeter keadaan tidak berkembang itu dicapai pada tingkat
pertumbuhan yang tinggi.
Teori Harrod-Domar, dalam menganalisis mengenai masalah pertumbuhan
ekonomi, teori Harrod-Domar bertujuan untuk menerangkan syarat yang harus
dipenuhi supaya suatu perekonomian dapat mencapai pertumbuhan yang teguh atau
steady growth dalam jangka panjang. Dalam analisisnya Harrod-Domar menunjukan
bahwa, walaupun pada suatu tahun tertentu (misalnya tahun 2002) barang-barang
AE = C+I, akan menyebabkan kapasitas barang modal menjadi semakin tinggi pada
tahun berikutnya (tahun 2003).
Teori Pertumbuhan Neo-klasik melihat dari sudut pandang yang berbeda,
yaitu dari segi penawaran. Menurut teori ini, yang dikembangkan oleh Abramovits
dan Solow pertumbuhan ekonomi tergantung kepada perkembangan faktor-faktor
produksi. Dalam persamaan, pandangan ini dapat dinyatakan dengan persamaan:
AY = f (AK,AL,AT)
Dimana : AK adalah tingkat pertumbuhan modal
AL adalah tingkat pertumbuhan penduduk
AT adalah tingkat pertumbuhan taknologi
Analisis solow selanjutnya membentuk formula matematik untuk persamaan
itu dan seterusnya membuat pembuktian secara kajian empiris untuk menunjukkan
kesimpulan berikut: faktor terpenting yang mewujudkan pertumbuhan ekonomi
bukanlah pertambahan modal dan pertambahan tenaga kerja. Faktor yang paling
penting adalah kemajuan teknologi dan pertambahan kemahiran dan kepakaran
2.5 Teori Suku Bunga Pinjaman
A. Definisi Teori Suku Bunga
Menurut Hubbard (1997) dalam Laksmono (2001), bunga adalah biaya yang
harus dibayar borrower atas pinjaman yang diterima dan imbalan lender atas
investasinya. Suku bunga mempengaruhi keputusan individu terhadap pilihan
membelanjakan uang lebih banyak atau menabung.
Menurut Kern dan Guttman (1992) seperti diuraikan Laksmono (2001)
menganggap suku bunga merupakan sebuah harga dan sebagaimana harga lainnya
maka tingkat suku bunga ditentukan oleh interaksi antara permintaan dan
penawaran. (Laksmono et.al., 2001:128).
Para ekonom membedakan suku bunga, yaitu:
1) Suku bunga Nominal, yaitu suku bunga yang dapat diamati di pasaran.
2) Suku bunga Riil yaitu suku bunga yang secara konsep diukur tingkat
mengembaliannya setelah dikurangi inflasi.
3) Suku bunga Jangka Pendek yaitu suku bunga yang jatuh tempo {maturity) satu
tahun atau kurang.
4) Suku bunga Jangka Panjang yaitu suku bunga yang jatuh tempo (maturuty) lebih
dari satu tahun.
Dalam pasar keuangan dikenal berbagai macam bunga yang disediakan para
debitur sebagai suatu daya tarik kepada kreditur untuk melakukan investasi. Tipe
bunga sangat bervariasi dari suatu pasar ke pasar yang lain.
1. Bunga kupon(Coupon rate)
Bunga kupon adalah tingkat bunga yang dijanjikan oleh penerbit sekuritas sesuai
dengan kontrak. Penerbit kontrak atau debitur menyetujui untuk melakukan
pembayaran sejumlah bunga tertentu saat melakukan pertukaran
obhgasi atau sekuritas lam.
Bunga dibayar = Tingkat bunga kupon x Nilai nominal
2. Metode Bunga Sederhana
Metode bunga sederhana digunakan untuk membebankan kepada debitur
terhadapbunga pinjaman atau sekuritas selama jangka waktu pinjaman. Jumlah
pembayaran bunga akan menurun apabila sebagian pinjaman dilunasi. Formula
untuk metode bunga sederhana adalah sebagai berikut:
I = P x r x t
P = Jumlah pokok pinjaman
r = tingkat bunga
t = waktu meminjam (biasanya dalam tahun)
3. Add-on Rate oflnterest
Metode add-on Rate oflnterestadalah dimana bunga dihitung dari seluruh
pokok pmjaman ditambah bunga pinjaman dibagi jumlah angsuran. Metode ini
meningkatkan jumlah bunga efektif yang harus dibayar. Sebab jumlah pokok
pinjaman dihitung selama 1 tahun untuk membebankan bunga, meskipun pokok
pinjaman telah diangsur, tetapi bunga yang harus dibayar sebesar 1 tahun. Hal ini
4. Metode diskon (Discount Method)
Dengan metode ini bunga ditentukan sebelum pinjaman dikeluarkan.
Kemudian bunga dikurangkan dari jumlah pokok pinjaman, selanjutnya selisih
diberikan kepada debitur.
5. Compound Interest
Beberapa institusi keuangan, khususnya bank komersial dan institusi
pinjaman non bank membayar compound interest kepada para nasabahnya pada
tanggal tertentu. Pada metode ini bunga dihitung dari pokok pinjaman. Kemudian
jumlah pokok pinjaman akan meningkat menjadi jumlah pokok pinjaman
ditambah besarnya bunga. Jadi, bunga yang dibebankan periode tersebut akan
menambah jumlah pokok ketika menghitung jumlah bunga periode yang akan
datang. Biasanya bank atau institusi yang menerapkan metode ini harus
mengungkapkan hal ini kepada nasabah atau kreditur sebelum kontrak dilakukan.
Ini diwajibkan kepada bank atau institusi yang bersangkutan kepada nasabah
untuk menghindari manipulasi.
B. Penentuan Suku Bunga
Menurut Edward dan Khan (1985) mengidentifikasikan faktor penentu suku
bunga menjadi dua, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi
pendapatan nasional, jumlah uang beredar (JUB), dan inflasi yang diharapkan.
Sedangkan faktor eksternal merupakan penjumlahan suku bungaluar negeri dan
Adapun penjelasan teoritis mengenai proses penentuan suku bunga yaitu
dengan The Monetary Theory / Likuidity Preference Theory. Dalam teori ini
pendekatan moneter dikembangkan oleh ekonom penganut aliran Keynes yang lebih
mengutamakan peranan uang. Pendekatan ini menekankan pentingnya peranan
spekulasi dalam membentuk ekspektasi. Argumentasi yang diberikan menurut Kern
dan Guttman (1992:4) dalam Laksmono (2001) adalah :" Walaupun suku bunga
sangat rendah selama masa resesi, orang akan tetap memegang uang dibandingkan
menginvestasikannya, sehingga tingkat bunga yang direncanakan dan tingkat
investasi yang diperlukan tidak sama dengan kondisi normal ". (Laksmono et.al,
2001:130). Argumen tersebut merupakan pijakan dasar bagi pendekatan moneter
sehingga pendekatansuku bunga bergantung pada penawaran dan permintaan untuk
memegang uang dan unsur spekulatif mendorong adanya ketidak seimbangan jangka
panjang. Dalam kerangka teori Keynes, uang dipegang bukan hanya untuk tujuan
transaksi dan berjaga-jaga (precautionary) semata-mata, tetapi juga untuk tujuan
spekulatif. Oleh karena itu uang dipegang sebagai alternatif terhadap obligasi untuk
memperoleh keuntungan jika suku bunga meningkat yang berakibat pada turunnya
harga obligasi, sehingga ada kesempatan untuk membeli obligasi pada harga yang
lebih menguntungkan. Sebaliknya jika ekspektasi suku bunga akan turun maka harga
obligasi akan meningkat, orang akan lebih cenderung memgang obligasi daripada
uang.
Keynes mengatakan bahwa tingkat bunga merupakan pembayaran
yang dikeluarkan debitur untuk mendorong seorang kreditur memindahkan sumber
daya langka tersebut. Akan tetapi, uang yang dikeluarkan oleh debitur tersebut
menerima kemungkinan adanya kerugian berupa resiko tidak diterimanya tingkat
bunga tertentu. Uang merupakan kekayaan yang paling likuid karena uang
mempunyai kemampuan untuk membeli setiap saat. Sedangkan surat obligasi tidak
dapat untuk membeh sesuatu kecuali kalau diubah terlebih dahulu kedalam uang
tunai. Keynes berpendapat permintaan terhadap uang merupakan tindakan rasional.
Meningkatnya permintaan uang akan meningkatkan tingkat bunga. Investasi pada
surat obligasi pada saat bunga naik mengakibatkan kerugian capital gain.
C. Penentuan Suku Bunga Di Indonesia
Menurut Bond dan Kurniati (1994) dalam Laksmono (2001), suku bunga
domestik sangat terkait dengan suku bunga mternasional. Hal ini disebabkan baiknya
akses pasar keuangan domestik terhadap pasar keuangan internasional dan kebijakan
nilai tukar yang tidak fleksibel. Peningkatan akses tersebut telah memperbesar
kendala manajemen moneter Bank Indonesia. Setiap upaya untuk memperngaruhi
money supply dengan meningkatkan suku bunga diatas suku bunga internasional akan
mendapat gangguan dari arus modal masuk berjangka pendek.
D. Term Structure of lnterest Rates.
Menurut Hubbard (1997:141-142) dalam teori ini menerangkan adanya variasi
pendapatan (yields) surat-surat berharga yang memiliki resiko, likuiditas dan
karakteristik biaya informasi yang serupa tetapi memiliki maturity yang berbeda.
instrumen bebas resiko (risk free instrument) sebagai fungsi jangka waktu untuk
mendapatkan informasi ekspektasi investor tentang kondisi pasar mendatang
(Miskhin, 1995:157). Salah satu cara melihat ekspektasi inflasi di dalam suku bunga
nominal adalah dengan menggunakan yield curve. Yield Curve merupakan hubungan
antara pendapatan atau suku bunga (rate ofreturn) dengan jangka waktu (term of
maturity). Pada dasarnya bentuk yield curve memiliki keterkaitan dengan mekanisme
transmisi kebijakan moneter. Secara konvensional, transmisi kebijakan moneter
terjadi dari suku bunga jangka panjang. Suku bunga jangka panjang pada gilirannya
akan mempengaruhi permintaan agregat.
Ada 3 teori term of structure yang menjelaskan hubungan antara suku bunga
yang berbeda jangka waktu (Laksmono, 2001), yaitu:
1) Segmented Market Theory
Segmented Market Theory mengatakan pendapat masing-masing instrumen
dengan jangka waktu berbeda ditentukan oleh pasar yang berbeda dengan permintaan
dan pasokan pasar yang berbeda. Teori ini mengasumsikan pemimjam dan pemberi
pinjaman memiliki preferensi terhadap jangka waktu tertentu, dalam teori ini
peminjam dan pemberi pinjaman tidak berpindah dari satu pasar ke pasar lain
sehingga intrumen dengan jangka waktu berbeda tidak saling bersubstitusi.
Pendapatan di tiap pasar tercipta dari permintaan dan pasokan di pasar
tersebut. Yield curve yang meningkat menunjukkan adanya permintaan instrumen
jangka pendek yang lebih besar dibandingkan permintaan instrumen jangka pendek
mendatar menunjukkan permintaan instrumen jangka pendek yang sama dengan
jangka panjang. Yield curve menurun menunjukkan permintaan instrumen jangka
pendek yang lebih kecil dibandingkan jangka panjang, maka dapat disimpulkan
adanya kecenderungan investor umumnya lebih senang memegang instrumen jangka
pendek dibandingkan jangka panjang.
2) Expeciation Theory
Expectation Theory menganggap instrumen jangka waktu berbeda saling
bersubtitusi sempurna. Suku bunga merupakan rata-rata ekspektasi suku bunga
jangka pendek selama penode instrumen jangka panjang. Teori ini menjelaskan
perbedaan term structure of interesl rate yang dicerminkan oleh perubahan bentuk
Ekspektasi suku bunga 1 bulan ke depan adalah 2 (7 %) - 6 % = 8 . Apabila suku
bunga untuk semua jangka waktu sama, maka ekspektasi suku bunga juga tetap.
yaitu 6 %.
3) Preferred Habitat Theory
Preferred Habitat Theory mengatakan bahwa suku bunga jangka panjang
merupakan rarta-rata ekspektasi suku bunga jangka pendek sepanjang periode
instrumen jangka panjang ditambah dengan liquidity premium yang besarnya
tergantung pada kondisi penawaran dan permintaan saat itu. Teori ini
mengasumsikan adanya substitusi antar instrumen dan adanya preferensi investor atau
instrumen tertentu yang disebut juga substitusi tidak sempurna. Dalam preferred
huhitat theory, suku bunga pada periode n sama dengan rata-rata dari Ekspektasi suku
waktu ke waktu dan juga menerangkan kecenderungan suku bunga instrumen jangka
waktu yang berbeda bergerak searah karena adanya subtitusi, selain itu menerangkan
bahwa yield curve dapat memberikan prediksi ekspektasi suku bunga jangka pendek
dari suku bunga jangka panjang saat ini. Misalnya suku bunga suku bunga obligasi
1 bulan adalah 6 %, suku bunga suku bunga untuk 2 bulan 7 %, 3 bulan sebesar 8 %
dan 4 bulan 9 %. Suku bunga 2 bulan adalah rata-rata dari suku bunga 1 bulan dan
ekspektasi satu bulan ke depan atau : Adanya liquidity premium membedakan teori
ini dengan lainnya. Umumnya peminjam dana menawarkan liquidity premium yang
positif untuk menarik pembeli instrumen jangka panjang sebagai kompensasi atas
resiko likuiditas yang lebih besar dibandingkan instrumen jangka pendek.
2.6 Nilai Tukar Mata Uang
A. Teori Nilai Tukar Mata Uang
Dornbusch dan Fisher (1980) mengatakan bahwa pergerakan nilai tukar
mempengaruhi daya saing internasional dan posisi neraca perdagangan, dan
konsekuensinya juga akan berdampak pada real output dari negara tersebut yang
gilirannya akan mempengaruhi cash flow saat ini dan masa yang akan datang dari
perusahaan dan harga saham perusahaan tersebut. Ekuitas yang merupakan bagian
dari kekayaan perusahaan, dapat mempengaruhi perilaku nilai tukar melalui
mekanisme permintaan uang berdasarkan model penentuan nilai tukar ahli moneter
Studi sebelumnya yang telah melakukan penelitian mengenai hubungan antara
pasar modal dan pasar nilai tukar dilakukan oleh Aggarwal (1981),Soenen dan
Hennigar (1988). Mereka menemukan hasil-hasil yang berbeda terkait
denganhubungan ke 2 pasar tersebut. Aggarwal (1981) menemukan bahwa revaluasi
US$ berhubungan secara positif dengan return pasar saham. Berbeda dengan Soenen
dan Hennigar (1988) menemukan hubungan yang negatif. Chow et al (1997 )
menggunakan data bulanan untuk periode 1977-1989 menemukan tidak ada
hubungan antara return saham dengan return nilai tukar. Tetapi ketika dilakukan
percobaan dengan pengamatan 6 bulanan ditemui hubungan yang positif antara dolar
yang kuat dengan return saham.
Pada pekerjaan-pekerjaan lain dengan tingkatan mikro memfokuskan pada
evaluasi exposure perusahaan-perusahaan domestik pada risiko mata uang asing.
Sebagian dari exposure ekonomi yangmuncul dari variasi dalam discounted cash flow
ketika nilai tukar berfluktuasi, perusahaan mengalami transaksi exposure yang
berkaitan dengan gain atau loses yang muncul dari transaksi investasi yang
dinyatakan dalam mata uang asing.
B. Kebijakan moneter perekonomian.
Kebijakan moneter di suatu negara diimplementasikan dengan menggunakan
instrumen moneter (suku bunga atau agregat moneter) yang mempengaruhi sasaran
antara untuk mencapai sasaran akhir, yaitu stabilitas harga atau pertumbuhan
ekonomi. Kebijakan moneter akan mempengaruhi perekonomian melalui empat jalur
Pertama, jalur suku bunga (Keynesian) berpendapat bahwa pengetatan
moneter mengurangi uang beredar dan mendorong peningkatan suku bunga jangka
pendek yang apabila credible, akan timbul ekspektasi masyarakat bahwa inflasi akan
turun atau suku bunga riil jangka panjang akan meningkat. Permintaan domestik
untuk investasi dan konsumsi akan turun karena kenaikan biaya modal sehingga
pertumbuhan ekonomi akan menurun.
Kedua, jalur nilai tukar berpendapat bahwa pengetatan moneter, yang
mendorong peningkatan suku bunga, akan mengakibatkan apresiasi nilai tukar karena
pemasukan aliran modal dari luar negeri. Nilai tukar akan cenderung apresiasi
sehingga ekspor menurun, sedangkan impor meningkat sehingga, transaksi berjalan
(demikian pula neraca pembayaran) akan memburuk. Akibatnya, permintaan agregat
akan menurun dan demikian pula laju pertumbuhan ekonomi dan inflasi.
Ketiga, jalur harga aset (monetarist) yang berpendapat bahwa pengetatan
moneter akan mengubah komposisi portfolio para pelaku ekonomi (wealth effect)
sesuai dengan ekspektasi balas jasa dan risiko masing-masing aset. Peningkatan suku
bunga akan mendorong pelaku ekonomi untuk memegang aset dalam bentuk obligasi
dan deposito lebih banyak dan mengurangi saham.
Keempat, jalur kredit yang berpendapat bahwa kebijakan moneter akan
mempengaruhi kegiatan ekonomi melalui perubahan perilaku perbankan dalam
pemberian kredit kepada nasabah. Pengetatan moneter akan menurunkan net worth
pengusaha. Menurunnya net worth akan mendorong nasabah untuk mengusulkan
(moral hazard) sehingga risiko kredit macet meningkat. Akibatnya, bank-bank
menghadapi adverse selection dan mengurangi pemberian kreditnya sehingga laju
pertumbuhan ekonomi melambat.
Sejak diberlakukannya rezim devisa bebas pada tahun 1982 maka kontrol
terhadap aliran modal di Indonesia menjadi tidak terkendali. Kesulitan untuk
mengendalikan aliran modal tersebut disamping karena tidak adanya kebijakan yang
mendukungnya juga dikarenakan oleh semakin berkembangnya teknologi informasi
dan komunikasi. Sistem nilai tukar yang dianut oleh suatu negara sangat berpengaruh
sekali dalam menentukan pergerakan nilai tukar. Seperti misalnya negara Indonesia
yang sebelum tanggal 14 Agustus 1997 menerapkan system nilai tukar mengambang
terkendali, maka laju depresiasi sangat ditentukan oleh pemegang otoritas moneter,
sehingga ketika Bank Indonesia melepas kendali nilai tukar menyebabkan nilai tukar
akan segera mengikuti hukum pasar dan pengaruh-pengaruh dari luar.
Contagion effect merupakan salah satu faktor yang muncul diakibatkan
ekanisme pasar yang semakin bebas dan juga sistem ekonomi/moneter yang
diterapkan. Efek ini muncul dengan mengasumsikan ekspektasi kesamaan reaksi dari
satu negara dengan negara lainnya, yang diakibatkan persamaan profil dan kondisi
ekonomi dan politik. Selain itu efek ini pun muncul karena sebuah acuan terhadap
negara tertentu (suatu negara dianggap sebagai representasi dari negara lainnya).
Contohnya depresiasi Baht Thailand mempengaruhi depresiasi rupiah karena antara