• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisa Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Permintaan Komoditi Kopi Di Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisa Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Permintaan Komoditi Kopi Di Sumatera Utara"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

PERMINTAAN KOMODITI KOPI

DI SUMATERA UTARA

T E S I S

OLEH

HOTDEN L. NAINGGOLAN

057018011/ EP

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

PERMINTAAN KOMODITI KOPI

DI SUMATERA UTARA

T E S I S

Untuk memperoleh gelar Magister Sains dalam Program Studi Ekonomi Pembangunan pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh :

HOTDEN L. NAINGGOLAN

057018011/ EP

MAGISTER EKONOMI PEMBANGUNAN

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Judul Penelitian : Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi

Permintaan Komoditi Kopi Di Sumatera Utara.

Nama : Hotden L. Nainggolan

NIM : 057018011

Program Studi : Ekonomi Pembangunan.

Menyetujui

Komisi Pembimbing :

Dr. Sya’ad Afifuddin, SE., MEc. Ketua

Drs. Iskandar Syarief, MA Anggota

Ketua Program Studi Direktur,

Dr. Murni Daulay, SE., MSi. Prof. Dr. T. Chairun Nisa, B., MSc.

(4)

TELAH DIUJI PADA

HARI/ TANGGAL : Jumat, 6 Juli 2007

PANITIA PENGUJI TESIS :

KETUA : Dr. Sya’ad Afifuddin, SE., MEc.

ANGGOTA : 1. Drs. Iskandar Syarief, MA.

2. Dr. Murni Daulay, SE., MSi.

(5)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas berkat rahmat dan

karunianya sehingga penulis dapat mengikuti pendidikan mulai dari perkuliahan pada

Program Studi Magister Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas

Sumatera Utara, sampai dengan penyusunan tesis ini dengan judul, “Analisis

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Permintaan Komoditi Kopi Di Sumatera Utara ”.

Dalam menyelesaikan tesis ini, penulis telah banyak mendapat bimbingan,

arahan dan saran-saran dari Dosen Komisi Pembimbing, pada kesempatan ini penulis

mengucapkan banyak terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya khususnya

kepada Bapak Dosen Pembimbing serta Bapak dan Ibu Dosen Penguji atas

bimbingan, pengarahan dan waktunya yang telah diberikan kepada penulis mulai dari

penulisan proposal hingga penulisan tesis ini.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang

sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu penulis mulai dari perkuliahan

hingga pada penyusunan tesis ini, yaitu kepada :

1. Bapak Prof. dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H., Sp.A(K), Rektor Universitas

Sumatera Utara.

2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc, Direktur Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE, Wakil Direktur I Sekolah

(6)

4. Ibu Dr. Murni Daulay, SE., MSi, Ketua Program Studi Magister Ekonomi

Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. Sya’ad Afifuddin, SE.,MEc, Sekretaris Program Studi Magister

Ekonomi Pembangunan selaku ketua Komisi Pembimbing atas arahan dan

bimbingannya selama masa perkuliahan hingga penulisan tesis ini

6. Bapak Drs. Iskandar Syarief, MA sebagai anggota Komisi Pembimbing yang

telah banyak meluangkan waktunya dan memberikan pemikiran, bimbingan dan

arahannya selama masa perkuliahan hingga pada penulisan tesis ini.

7. Bapak Drs. Rujiman, MA, dan Ibu Dr. Murni Daulay, SE, MSi, sebagai

pembanding yang telah banyak memberikan saran-saran perbaikan dalam

penyusunan tesis ini.

8. Para Bapak dan ibu Dosen serta Pegawai Administrasi Program Studi Magister

Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

9. Bapak Dr. Ir. Jongkers Tampubolon, MSc, Rektor Universitas HKBP

Nommensen Medan yang telah memberikan dukungan, motivasi dan semangat

bagi penulis mulai dari masa studi ini hingga penulisan tesis ini.

10.Bapak Dr. Ir. Parulian Simanjuntak, MA, Direktur Program Pascasarjana

Universitas HKBP Nommensen Medan.

11.Ibu Dr. Ir. Erika Pardede, M.App.Sc, Dekan Fakultas Pertanian Universitas

(7)

12.Bapak Ir. Jhondikson Aritonang, MS, Dosen Fakultas Pertanian Universitas

HKBP Nommensen Medan, yang telah memberikan semangat dan dorongan bagi

penulis hingga selesainya penulisan tesis ini.

13.Rekan-rekan Mahasiswa khususnya angkatan IX Program Studi Magister

Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

14.Terimakasih yang tak terhingga secara khusus penulis sampaikan kepada Ibunda

S. br. Siringo-ringo di Janji Pusuk Kecamatan Parlilitan Kabupaten Humbang

Hasundutan yang senantiasa mendoakan, memberi semangat dan bantuan moril

dan materil kepada penulis dan Ayahanda L. Nainggolan (Alm) atas nasehat dan

arahannya kepada penulis semasa hidupnya. Dan terimakasih yang

sedalam-dalamnya penulis sampaikan kepada Ayah mertua Penulis Pdt. Dr. J. M. Lumban

Tobing, MA dan Ibu mertua Penulis D. br. Simatupang, STh, atas doa dan

perhatian serta bantuan moril maupun materil mulai dari masa studi hingga

penulisan tesis ini.

15.Tak lupa penulis menyampaikan terimakasih kepada Adik-adik penulis, Taruli

Nainggolan, ST, Sutrisno Nainggolan, SH, Blider Nainggolan, SPd, Jubel

Nainggolan, Sanggul Nainggolan dan Sapta Putra Nainggolan atas doa dan

dorongan bagi penulis hingga penulisan tesis ini.

16.Rekan-rekan di PT. Penerbit Erlangga Cabang Medan, yang telah memberikan

(8)

Ucapan terimakasih yang tak terhingga teristimewa saya sampaikan kepada

Istriku tercinta Ester Maria br. L. Tobing, AMd, yang telah memberikan motivasi,

dorongan, semangat dan pengorbanan yang tulus ikhlas mulai dari masa perkuliahan

sampai penulisan tesis ini, dan terimakasih kepada Putriku tersayang Fidela Inaya

Paskalina br. Nainggolan yang selalu menghibur hati penulis setiap saat.

Tak lupa penulis menghaturkan terimakasih kepada semua pihak yang tidak

dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan kepada penulis

baik moril maupun materil dan Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa memberikan

balasan yang berlipat ganda bagi semua pihak yang telah memberikan bantuannya

selama ini.

Penulis menyadari tesis ini masih jauh dari kesempurnaan sebagaimana yang

diharapkan untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun demi penyempurnaan

tesis ini akan diterima dengan segala kerendahan hati, dan akhir kata semoga tesis ini

bermanfaat bagi penulis dan bagi pembaca yang membutuhkannya.

Medan, Juli 2007.

Penulis

(9)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

1. Nama : Hotden Leonardo Nainggolan 2. Agama : Kristen Protestan

3. Tempat/ Tanggal Lahir : Janji Pusuk, 25 Nopember 1976. 4. Pekerjaan : Wiraswasta.

5. Nama Istri : Ester Maria br. L. Tobing, AMd. 6. Anak : Fidela Inaya Paskalina br. Nainggolan 7. Nama Orangtua :

Ayah : L. Nainggolan (Alm). Ibu : S. br. Siringo-ringo 8. Nama Mertua :

Ayah : Pdt. Dr. J. M. L.Tobing, MA Ibu : D. br. Simatupang, STh.

9. Pendidikan :

(10)

THE ANALYSIS OF FACTORS INFLUENCING DEMAND FOR COFFEE COMMODITY IN NORTH SUMATERA

HOTDEN L. NAINGGOLAN 057018011

ABSTRACT

This research is aimed to know the factors influencing demand for commodity coffee in North Sumatera. Especially this research is aimed to analyse the influence of domestic coffee price, price expectation of coffee domestic, tea price, sugar price and per capita income on demand for commodity coffee in North Sumatera.

The research used secondary data in the form of time series data in the period 1985-2005, obtained from BPS North Sumatera, Industry and Commerce Department North Sumatera, and the method used is Ordinary Least Squarer Method (OLS).

The result finds that factors which has significant influence on demand of commodity coffee in North Sumatera are domestic coffee price, price expectation of coffee domestic, sugar price and per capita income with significant level 95 percent. The coefficient determination (R2) 96,91 percent. Partially, the result indicates that domestic coffee price have negatively effect on demand of commodity coffee in North Sumatera, tea price have a positively effect on demand of commodity coffee in North Sumatera, sugar price have a negatively effect on demand of commodity coffee in North Sumatera and per capita income both positively having an effect to demand of commodity coffee in North Sumatera, meanwhile price expectation of coffee domestic have an effect on demand of commodity coffee in North Sumatera negatively, it’s meaning if price expectation decrease hence demand of commodity coffee by consumer will increase.

According to result finding the research suggested that by all farmers coffee in North Sumatera try to increase product and remain holding the quality of coffee. The Government of Province North Sumatera require to assist all coffee farmers by giving incentive weather is in the form of capital loan or providing of facilities in order to increase the coffee product in North Sumatera, so it can expand in domestic market even penetrate exporting market.

(11)

ANALISIS FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan komoditi kopi di Sumatera Utara. Secara khusus bertujuan untuk menganalisis pengaruh harga kopi domestik, harga ekspektasi kopi domestik, harga teh, harga gula dan pendapatan perkapita terhadap permintaan komoditi kopi di Sumatera Utara.

Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa data time series tahun 1985–2005, yang bersumber dari BPS Sumatera Utara, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sumatera Utara dan dianalisis dengan menggunakan metode Ordinary Least Squarer (OLS) denganmenggunakan Model Koyck (model ekspektasi).

Berdasarkan hasil estimasi, penelitian ini menemukan bahwa faktor-faktor yang signifikan mempengaruhi permintaan komoditi kopi di Sumatera Utara ialah harga kopi domestik, harga ekspektasi kopi domestik, harga gula dan pendapatan perkapita pada tingkat kepercayaan 95% dengan koefisien determinasi (R2) sebesar 96,91%. Secara parsial hasil analisis menunjukkan bahwa harga kopi domestik berpengaruh negatif terhadap permintaan komoditi kopi di Sumatera Utara, harga teh (barang substitusi) berpengaruh positif terhadap permintaan komoditi kopi di Sumatera Utara, harga gula (barang komplementer) berpengaruh negatif terhadap permintaan komoditit kopi di Sumatera Utara dan pendapatan perkapita berpengaruh positif terhadap permintaan komoditi kopi Sumatera Utara, sementara itu harga ekspektasi kopi domestik berpengaruh negatif terhadap permintaan komoditi kopi di Sumatera Utara, artinya jika harga ekspektasi turun maka permintaan komoditi kopi oleh konsumen akan meningkat.

Sesuai dengan hasil penelitian tersebut disarankan agar para petani kopi di Sumatera Utara berusaha meningkatkan produksi dan tetap menjaga kualitas kopi yang dihasilkan. Pemerintah Propinsi Sumatera Utara perlu membantu para petani kopi dengan memberikan insentif (rangsangan) apakah berupa pinjaman modal atau penyediaan sarana dan prasarana dalam upaya peningkatan produksi kopi di Sumatera Utara, sehingga mampu menguasai pasar domestik bahkan menembus pasar ekspor (luar negeri).

(12)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP... vii

ABSTRAK... ix

DAFTAR SINGKATAN... xvi

BAB I. PENDAHULUAN... 1

BAB III. METODE PENELITIAN... 37

3.1. Ruang Lingkup Penelitian ... 37

3.2. Jenis dan Sumber Data. ... 37

3.3. Metode Analisis Data. ... 37

(13)

3.5. Variabel Penelitian. ... 38

4.1. Perkembangan Permintaan Kopi di Sumatera Utara... 43

4.2. Perkembangan Harga Kopi Domestik, Harga Teh dan Harga Gula di Sumatera Utara ... .. 45

4.3. Perkembangan Pendapatan Perkapita di Sumatera Utara ... 48

4.4. Pembahasan... 49

4.4.1. Hasil Estimasi Dengan Menggunakan OLS... 49

4.4.2. Analisis Permintaan Kopi di Sumatera Utara ... 51

4.2.2.1. Harga Kopi Domestik ... 52

4.2.2.2. Harga Teh... 53

4.2.2.3. Harga Gula ... 54

4.2.2.4. Pendapatan Perkapita ... 55

4.5. Elastisitas... 55

4.6. Uji Penyimpangan Asumsi Klasik ... 57

4.6.1. Uji Normalitas... 57

4.6.2. Uji Multikolinearitas. ... 58

4.6.3. Uji Autokorelasi. ... 60

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 61

(14)

5.2. Saran. ... 62

DAFTAR PUSTAKA... 63

LAMPIRAN... 66

DAFTAR TABEL

Nomor Judul halaman

Tabel 1.1. Pendapatan Perkapita Sumatera Utara Tahun 2000 – 2005... 3

Tabel 1.2. Luas Lahan dan Produksi Teh Sumatera Utara

Tahun 2000 – 2005. ... 4

Tabel 1.3. Luas Lahan dan Produksi Kopi Sumatera Utara

Tahun 2000 – 2005. ... 8

Tabel 4.1. Permintaan Komoditi Kopi Di Sumatera Utara tahun 1985 – 2005 44

Tabel 4.2. Harga Kopi Domestik, Harga Teh dan Harga Gula

Di Sumatera Utara tahun 1985 – 2005... 46

Tabel 4.3. Pendapatan Perkapita dan Jumlah Penduduk

Di Sumatera Utara tahun 1985 – 2005... 48

Tabel 4.4. Hasil Estimasi Uji Multikolinearity (Koefisien Korelasi parsial). 59

Tabel 4.5. Uji Autokorelasi pada Hasil Estimasi permintaan Komoditi

(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul halaman

Gambar 1. Kerangka pemikiran Faktor-faktor yang Mempengaruhi

(16)

DAFTAR GRAFIK

Nomor Judul halaman

Grafik 1. Hasil Estimasi Jerque Bera Normality Test Permintaan Kopi di

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul halaman

Lampiran 1 : Data Permintaan Kopi, Harga Kopi Domestik, Harga Teh,

Harga Gula dan Pendapatan Perkapita Sumatera Utara ... 66

Lampiran 2: Hasil Estimasi Model Koyck (Model Ekspektasi)

Menggunakan OLS secara simultan... 67

Lampiran 3: Hasil Estimasi Model Koyck (Model Ekspektasi)

Menggunakan OLS secara Parsial... 68

Lampiran 4: Hasil Estimasi Model Koyck (Model Ekspektasi)

Menggunakan OLS secara Parsial... 69

Lampiran 5: Hasil Estimasi Model Koyck (Model Ekspektasi)

Menggunakan OLS secara Parsial... 70

Lampiran 6: Hasil Estimasi Model Koyck (Model Ekspektasi)

Menggunakan OLS secara Parsial... 71

Lampiran 7: Hasil Estimasi Model Koyck (Model Ekspektasi)

Menggunakan OLS secara Parsial... 72

Lampiran 8: JB Test Model Koyck (Model Ekspektasi)... 73

(18)

DAFTAR SINGKATAN

BPS : Badan Pusat Statistik. I : Income.

MU : Marginal Utilitas. OLS : Ordinary Least Squarer. P : Pasar.

PCD : Price Coffee Domestic.

PCDE : Price Coffee Domestic Expectation. PDRB : Product Domestic Bruto.

PR : Perkebunan Rakyat. PS : Price Sugar.

(19)

BAB I

PENDAHULUAN

1.5.Latar Belakang.

Indonesia yang berada pada ekosistem tropis dan terletak pada ketinggian 500

m dari permukaan laut, memiliki keanekaragaman hayati (biodiversity) yang

tergolong kaya didunia. Dengan kondisi yang demikian maka hampir semua produk

hayati yang ada di dunia dapat dihasilkan di Indonesia, dengan perkataan lain

Indonesia memiliki keunggulan komperatif (comperative advantage) pada

produk-produk hayati (Saragih, 1999). Atas pertimbangan prinsip keuntungan komperative

tersebut, memungkinkan untuk dikembangkannya sektor agroindustri yang mencakup

industri hulu dan hilir yang mempunyai kaitan langsung dengan sektor pertanian

(Soeharjo, 1991).

Keterkaitan dan ketergantungan antar sektor ekonomi, sangat penting artinya

bagi pengembangan sistem perekonomian wilayah, hal ini disebabkan karena setiap

sektor ekonomi memerlukan input yang diperoleh dari sektor lain seperti sektor

pertanian dan pada saat yang bersamaan sektor tersebut memproduksi sejumlah

output yang dipasarkan pada sektor lainnya.

Pengembangan agroindustri merupakan tindakan yang secara serentak akan

(20)

terhadap hasil pertanian akan meningkat, sebagai akibat berkembangnya agroindustri

maka idealnya lokasi pengembangan agroindustri tersebut ditempatkan di pedesaan,

sesuai dengan prinsip mendekati bahan baku. Disamping karena produk pertanian

sebagai bahan baku agroindustri tersebut umumnya dapat dihasilkan didaerah

pedesaan (Soeharjo, 1991).

Sumatera Utara merupakan salah satu propinsi di Indonesia yang memiliki

potensi sumber daya alam (SDA) yang beragam terutama pada sektor pertanian dan

perkebunan yang menghasilkan bahan pangan maupun komoditi ekspor. Berdasarkan

data statistik jumlah penduduk Sumatera Utara mencapai 12, 326 juta jiwa (tahun

2005) dan sebagian besar penduduknya tinggal dipedesaan yaitu mencapai 6.659 juta

jiwa atau sekitar 54, 03%, sementara itu jumlah penduduk miskin di Sumatera Utara

mencapai 14.93 % yang tingkat pendapatannya masih sangat rendah dan terdapat

sekitar 53.73% penduduk Sumatera Utara yang bekerja di sektor pertanian (BPS,

2006). Sehingga untuk memanfaatkan potensi penduduk yang relatif besar tersebut,

industrialisasi pedesaan (agroindustri) saatnya digalakkan, dalam hal ini adalah

industri untuk mengolah bahan dari hasil pertanian setempat (Sari, 2002).

Pada tabel 1.1 dibawah ini dapat dilihat bahwa jumlah penduduk Sumatera

Utara pada tahun 1996 adalah 10.603.710 jiwa dan mengalami pertambahan pada

tahun 2000 menjadi 11.513.973 jiwa, dengan pendapatan perkapita sebesar Rp.

6.006.103 dan terus mengalami peningkatan menjadi Rp. 7.130.694 pada tahun 2005.

Untuk lebih jelasnya pendapatan perkapita Sumatera Utara disajikan pada tabel

(21)

Tabel 1.1 . Pendapatan Perkapita dan jumlah penduduk Sumatera Utara Tahun

Sumber : BPS Sumatera Utara, 2006.

Pada saat Indonesia mengalami krisis ekonomi pada tahun 1997, propinsi

Sumatera Utara juga terkena dampaknya, dan hingga tahun 2000 yang lalu masih

menekan perekonomian secara menyeluruh. Tetapi karena Sumatera Utara memiliki

areal perkebunan yang cukup luas serta terdapatnya agroindustri, walaupun terjadi

krisis ekonomi namun Sumatera Utara masih dapat bertahan hal ini dapat dilihat dari

laju pertumbuhan ekonomi propinsi Sumatera Utara (tanpa migas) yaitu tahun 1997

sebesar 6,88%, tahun 1998 turun menjadi minus 10,99%, tetapi tahun 1999 tumbuh

menjadi 2,66% dan tahun 2001 membaik menjadi 5,23% (Disperindag S.U, 2002).

Secara umum hasil perkebunan yang paling menonjol di Sumatera Utara

adalah; karet, kelapa sawit, tembakau, tebu, teh dan coklat. Komoditi teh merupakan

(22)

kebutuhan masyarakat, dimana teh merupakan barang substitusi dari komoditi kopi.

Pada tabel dibawah ini dapat dilihat luas lahan dan produksi teh di Sumatera Utara

sebagai berikut:

Tabel 1. 2. Luas Lahan dan Produksi Teh Sumatera Utara Tahun 1996– 2005.

No Tahun Luas Lahan Teh

Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa luas tanaman teh pada tahun 1996

adalah 10.433 ha, dengan produksi sebesar 21.515 Kg, dan pada tahun 2000 luas

lahan teh menjadi 11,401 ha, dengan produksi sebesar 22.228 Kg. Namun pada tahun

2002 luas lahan tanaman teh di Sumatera Utara berkurang menjadi 8.764 ha, dengan

produksi 78.468 kg dan mengalami peningkatan yang drastis dari tahun sebelumnya.

Dan pada tahun 2005 luas lahan teh di Sumatera Utara mengalami penurunan menjadi

5,396 ha dengan produksi yang menurun menjadi 2.542 Kg.

Disamping itu juga terdapat hasil perkebunan rakyat yang juga mampu

menyumbang bagi devisa negara seperti; kelapa, kemenyan, cengkeh, kayu manis,

(23)

merupakan hasil dari perkebunan rakyat namun ternyata kopi mampu menyumbang

bagi devisa yang cukup berarti bagi propinsi Sumatera Utara dan kopi tersebut

termasuk andalan ekspor Sumatera Utara.

Mubyarto (1991), menyebutkan bahwa tahun 1980-an hampir seluruh kopi

Indonesia diproduksi oleh petani kecil. Dan sejak tahun 1986 kopi menjadi komoditas

penting dalam ekspor komoditi pertanian Indonesia. Selanjutnya Mc Stoker (1987),

juga menyatakan bahwa kopi merupakan sumber devisa yang menjanjikan bagi

Indonesia, hal ini setidaknya dapat memberikan gambaran bahwa kalau terjadi krisis

kopi maka banyak petani kopi yang terkena dampaknya.

Secara umum sektor pertanian di Negara berkembang sangat dipengaruhi oleh

kecendrungan globalisasi dan liberalisasi. Dan salah satu komoditas pertanian yang

sangat dipengaruhi oleh pasar global adalah komoditi kopi. Konsumen komoditas

pertanian ini sebagian besar berada di negara maju sedangkan produsennya sebagian

besar berada di negara sedang berkembang (Soekartawi, 2002). Kopi merupakan

komoditas perdagangan global yang penting dan menjadi sumber devisa utama bagi

sejumlah negara yang sedang berkembang. Komoditas ini diyakini sebagai salah satu

cash crops yang penting dan vital bagi kehidupan lebih dari 25 juta petani kopi skala

kecil di negara yang sedang berkembang (Ilyas, 1991).

Jika dilihat secara Nasional tingkat produktivitas kopi per hektarnya di

Indonesia umumnya masih relatif rendah, hal ini dipengaruhi oleh iklim, ekologi,

tanah dan sistem pertanian yang ada sangat mempengaruhi tinggi rendahnya

(24)

Indonesia hanya rata-rata 500 Kg/ha, sementara negara Brazil bisa menghasilkan 600

Kg/ha, Costarica menghasilkan 1.200 Kg/ha dan Colombia menghasilkan 800 Kg/ha.

Mubyarto (1984), juga menyampaikan bahwa mutu kopi yang dihasilkan oleh

Indonesia masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain yang

juga merupakan produsen komoditi kopi, hal ini disebabkan karena di Indonesia

penanganan proses produksinya masih sederhana. Dan sekitar 80% luas areal

tanaman kopi di Indonesia dikelola oleh rakyat (perkebunan rakyat) dan 88,80%

produksi kopi Indonesia berasal dari perkebunan kopi rakyat dengan sistem pertanian,

teknik budidaya, perlakuan dalam proses pasca panen dan kondisi sosial petani kopi

masih relatif sederhana dan bersifat tradisional sehingga menyebabkan mutu kopi

yang dihasilkan petani kita sangat rendah (Mubiyarto, 1984).

Menurut Papas dan Mark Hirshey (1995), bahwa permintaan adalah

merupakan sejumlah barang atau jasa yang dibeli oleh konsumen selama periode

tertentu berdasarkan situasi dan kondisi tertentu. Mereka juga menyampaikan bahwa

terdapat dua (2) model dasar dalam permintaan, yang pertama adalah permintaan

langsung yang dikenal sebagai teori konsumen dan yang kedua adalah permintaan

turunan yaitu permintaan atas bahan baku sebagai input didalam pembuatan suatu

barang atau jasa yang diminta untuk didistribusikan menjadi produk lainnya

Kopi yang di perdagangkan dipasaran sekarang ini, bukan saja dalam bentuk

tradisional green coffee (biji kopi mentah) yang ditampung oleh para pengolah

roasters, tetapi juga telah siap untuk dikonsumsi dalam bentuk produk turunan.

(25)

coffeemix dan capuccino dalam bentuk powder coffee. Kopi selain digunakan sebagai

minuman kenikmatan juga dipergunakan sebagai penyedap berbagai jenis makanan

ringan seperti; tar moka (kue) hingga es krim moka yang sangat disukai oleh

masyarakat, hal ini menyebabkan komoditi kopi menjadi komoditi yang menarik

dalam dunia perdagangan (Spillane, 1991).

Dan pada akhir-akhir ini perkembangan kopi Indonesia sudah mulai

menunjukkan perbaikan, baik dari sisi produksi maupun dari sisi lahan (areal)

tanamannya. Pengelola perkebunan kopi terbesar di Indonesia adalah perkebunan

rakyat (PR) yang luasnya mencapai 94,2% dari total luas tanaman kopi di Indonesia

(Hiraw, 2006). Perkebunan kopi tersebut tersebar diseluruh wilayah Indonesia,

namun hanya beberapa kawasan yang sangat cocok untuk menjadi sentra produksi

kopi seperti Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu serta Sumatera Utara.

Pertumbuhan produksi kopi di Lampung dan Sumatera Utara mencapai 14% per

tahun, sedangkan pertumbuhan luas areal tanaman untuk daerah Lampung mencapai

9,1% dan Sumatera Utara mencapai 4,1%, hal ini menggambarkan bahwa

produktifitas untuk kedua kawasan tersebut sudah mengalami perbaikan (Hiraw,

2006).

Propinsi Sumatera Utara memiliki luas areal kopi 77.720 ha, dengan produksi

berkisar 54,857Kg/ tahun (tahun 2005) dengan produksi rata-rata mencapai 976,19

Kg/ ha (BPS, 2006). Kopi yang ada di Sumatera Utara adalah merupakan tanaman

kopi arabica, yang tersebar pada dataran tinggi antara 700 – 1.300 m diatas

(26)

Tapanuli Selatan. Sedangkan kopi robusta umumnya hidup pada dataran rendah pada

ketinggian dibawah 600 m diatas permukaan laut. Pada tabel dibawah ini dapat dilihat

luas lahan dan produksi kopi Sumatera Utara pada tahun 1996 – 2005, sebagai

berikut:

Tabel 1. 3. Luas Lahan dan Produksi Kopi Sumatera Utara Tahun 1996 – 2005.

No Tahun Luas Lahan

Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa luas lahan tanaman kopi di Sumatera

Utara pada tahun 1996 adalah 59.420 ha dengan produksi sebesar 28.966 Kg. Dan

pada tahun 2000 luas lahan kopi Sumatera Utara adalah 62,040 ha dengan produksi

sebesar 38.113 Kg dan terus mengalami peningkatan. Dan pada tahun 2005 luas lahan

kopi Sumatera Utara menjadi 77,720 ha dengan total produksi menjadi 54.857 Kg.

Sementara itu nilai ekspor kopi propinsi Sumatera Utara, juga memiliki

peranan penting dalam perekonomian Sumatera Utara, dimana pada tahun 2001

mencapai USD 63.790.788 dengan volume 44.208.475 Kg, atau mampu

(27)

Sumatera Utara. Sedangkan untuk tahun 2001 secara Nasional ekspor kopi Sumatera

Utara meyumbang devisa sebesar 34,86% dari total ekspor kopi Indonesia sebesar

183.000.000 kg (Disperindag S.U, 2002).

Produktifitas kopi yang dihasilkan di Indonesia secara umum dan Sumatera

Utara secara khusus masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan daerah

penghasil kopi lainnya, hal ini menyebabkan Sumatera Utara masih mendatangkan

komoditi kopi dari luar daerah untuk memenuhi permintaaan masyarakat (kebutuhan

domestik) dan luar negeri (untuk ekspor). Dalam memenuhi permintaan komoditi

kopi tersebut Sumatera Utara mendatangkannya dari daerah Aceh dan daerah lainnya.

Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa komoditi kopi memiliki potensi yang

menjanjikan untuk dikembangkan sebagai komoditi primadona di Sumatera Utara,

dengan demikian akan memberikan kontribusi yang positif bagi peningkatan

kesejahteraan petani kopi di Sumatera Utara, oleh karena itu penelitian ini

dimaksudkan untuk menganalisis permintaan komoditi kopi di Sumatera Utara, maka

penelitian ini berjudul; “Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan komoditi kopi di Sumatera Utara”.

(28)

1.6.Perumusan Masalah.

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan, maka yang menjadi

permasalahan dalam penelitian ini adalah :

1. Berapa besar pengaruh harga kopi domestik terhadap permintaan komoditi

kopi di Sumatera Utara.

2. Berapa besar pengaruh harga ekspektasi kopi domestik terhadap permintaan

komoditi kopi di Sumatera Utara

3. Berapa besar pengaruh harga teh terhadap permintaan komoditi kopi di

Sumatera Utara.

4. Berapa besar pengaruh harga gula terhadap permintaan komoditi kopi di

Sumatera Utara

5. Berapa besar pengaruh pendapatan perkapita masyarakat terhadap permintaan

komoditi kopi di Sumatera Utara.

1.7.Tujuan Penelitian.

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui berapa besar pengaruh harga kopi domestik terhadap

permintaan komoditi kopi di Sumatera Utara.

2. Untuk mengetahui berapa besar pengaruh harga ekspektasi kopi domestik

(29)

3. Untuk mengetahui berapa besar pengaruh harga teh terhadap permintaan

komoditi kopi di Sumatera Utara.

4. Untuk mengetahui berapa besar pengaruh harga gula terhadap permintaan

komoditi kopi di Sumatera Utara.

5. Untuk mengetahui berapa besar pengaruh pendapatan perkapita terhadap

permintaan komoditi kopi di Sumatera Utara.

1.8.Manfaat Penelitian.

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

1. Sebagai bahan masukan bagi petani dalam rangka pemenuhan permintaan

kopi di Sumatera Utara. Dan sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam

mengambil kebijakan yang berhubungan dengan komoditi kopi di Sumatera

Utara.

2. Untuk menambah kazanah ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan

komoditi kopi.

3. Sebagai bahan studi bagi peneliti yang berminat untuk melakukan penelitian

(30)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Teori Permintaan.

Dari segi ilmu ekonomi pengertian permintaan sedikit berbeda dengan

pengertian yang digunakan sehari-hari. Menurut pengertian sehari-hari, permintaan

diartikan secara absolut yaitu menunjukkan jumlah barang yang dibutuhkan,

sedangkan dari sudut ilmu ekonomi permintaan mempunyai arti apabila didukung

oleh daya beli konsumen yang disebut dengan permintaan efektif. Jika permintaan

hanya didasarkan atas kebutuhan saja dikatakan sebagai permintaan absolut

(Nicholson, 1995).

Kemampuan membeli seseorang tergantung atas dua unsur pokok yaitu,

pendapatan yang dibelanjakan dan harga barang yang dikehendaki. Apabila jumlah

pendapatan yang dapat dibelanjakan oleh seseorang berubah, maka jumlah barang

yang diminta juga akan berubah. Demikian juga halnya apabila harga barang yang

dikehendaki berubah maka jumlah barang yang dibeli juga akan berubah (Sudarsono,

1990).

Terdapat dua model dasar permintaan yang berkaitan dengan harga, pertama

adalah kenaikan harga menyebabkan para pembeli mencari barang lain yang dapat

digunakan sebagai pengganti terhadap barang yang mengalami kenaikan harga

(substitusi atau komplementer). Bila kenaikan harga suatu barang menyebabkan

permintaan barang lain meningkat (hubungan positif), disebut barang substitusi

(31)

barang lain dengan menambah pembelian terhadap barang yang mengalami

penurunan harga. Penurunan harga suatu barang menyebabkan penurunan

permintaaan barang-barang substitusinya, dimana barang substitusi adalah barang

yang dapat berfungsi sebagai pengganti barang lain (Nicholson, 1995). Dan bila dua

jenis barang saling melengkapi, penurunan harga salah satunya mengakibatkan

kenaikan permintaan akan yang lainnya dan sebaliknya jika terjadi kenaikan harga

salah satunya akan mengakibatkan penurunan permintaan terhadap barang yang

lainnya. Bila kenaikan harga suatu barang menyebabkan permintaan barang lain

menurun (hubungan negatif), maka disebut barang komplementer (Nicholson, 1995).

Kedua adalah kenaikan harga menyebabkan pendapatan real para pembeli berkurang

(Sukirno, 2002).

Dalam analisis ekonomi diasumsikan bahwa permintaan suatu barang sangat

dipengaruhi oleh harga dari barang itu sendiri (ceteris paribus). Permintaan seseorang

atau masyarakat terhadap suatu barang ditentukan oleh banyak faktor, antara lain;

harga barang itu sendiri, harga barang lain yang mempunyai kaitan erat dengan

barang tersebut, pendapatan masyarakat, cita rasa masyarakat dan jumlah penduduk

maka dapat dikatakan bahwa permintaan terhadap suatu barang dipengaruhi oleh

banyak variabel (Nicholson, 1991).

Teori permintaan diturunkan dari prilaku konsumen dalam mencapai

kepuasan maksimum dengan memaksimumkan kegunaan yang dibatasi oleh anggaran

yang dimiliki. Hal ini tentu dapat dijelaskan dengan kurva permintaan, yaitu kurva

(32)

konsumen dengan harga alternatif pada waktu tertentu (ceteris paribus), dan pada

harga tertentu orang selalu membeli jumlah yang lebih kecil bila mana hanya jumlah

yang lebih kecil itu yang dapat diperolehnya.

Permintaan terhadap suatu komoditi yang dihasilkan oleh produsen terjadi

karena konsumen bersedia membelinya. Komoditi yang dikonsumsi mempunyai sifat

yang khas sebagaimana yang terdapat dalam faktor produksi. Dan semakin banyak

komoditi tersebut dikonsumsi maka kegunaan komoditi tersebut akan semakin

berkurang dengan demikian pembeli akan lebih banyak membeli komoditi tersebut

jika harga satuanya menjadi lebih rendah (Sugiarto, 2000).

Sudarsono (1990), mengelompokkan kerangka pemikiran Marshall bersifat

parsial karena berdasarkan konsep ceteris paribus dimana permintaan dianggap

sebagai kurva. Sementara itu Leon Walras lebih bersifat general karena memasukkan

semua variabel yang mempengaruhi jumlah barang yang diminta, dan secara

matematis dapat digambarkan dalam bentuk umum sebagai berikut :

Qd = f (Pd, Ps, Pk, ……., Y, e), …...(1)

dimana :

Qd : jumlah barang yang diminta Pd : harga barang yang diminta. Ps : harga barang substitusi. Pk : harga barang komplementer.

(33)

Sejalan dengan pemikiran Walras, beberapa ahli mengemukakan pendapatnya.

Lipsey, Steiner dan Purvis (1993) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi tingkat permintaan (determinant of demand) adalah :

1. Harga komoditi itu sendiri.

2. Rata-rata penghasilan rumah tangga.

3. Harga komoditi yang berkaitan.

4. Selera (teste).

5. Distribusi pendapatan diantara rumah tangga.

6. Besarnya populasi.

Sudarsono (1980), mengatakan bahwa tujuan dari teori permintaan adalah

mempelajari dan menentukan berbagai faktor yang mempengaruhi permintaan.

Faktor-faktor yang dimaksud adalah harga barang itu sendiri, harga barang lainnya

(bersifat substitusi atau komplementer), pendapatan dan selera konsumen. Disamping

variabel-variabel yang disebutkan diatas, maka distribusi pendapatan, jumlah

penduduk, tingkat preferensi konsumen, kebijaksanaan pemerintah, tingkat

permintaan dan pendapatan sebelumnya turut juga mempengaruhi permintaan

terhadap suatu barang.

Sukirno (2002), menyampaikan bahwa permintaan suatu barang fluktuasinya

akan sangat tergantung kepada beberapa faktor antara lain :

1. Perkembangan dan perubahan tingkat kehidupan penduduk. Ketika terjadi

perkembangan tingkat kehidupan yang lebih baik, maka permintaan akan suatu

(34)

2. Perkembangan dan peningkatan pendapatan perkapita penduduk. Ketika

pendapatan seseorang naik, akan meningkatkan jumlah konsumsi yang berarti

juga akan meningkatkan permintaan terhadap suatu jenis barang.

3. Pergeseran dan kebiasaan, selera dan kesukaan penduduk. Pergeseran selera

masyarakat terjadi karena adanya perubahan dalam faktor-faktor yang mendasari

permintaan tersebut, seperti kenaikan pendapatan.

4. Kegagalan produksi yang menyebabkan langkanya suatu produk di pasaran. Hal

ini akan menyebabkan meningkatnya permintaan akan barang tersebut hingga

waktu tertentu. Dan apabila sampai dengan waktu yang ditentukan produk juga

belum ada, maka konsumen akan mencari produk penggantinya.

5. Bencana alam dan peperangan. Terjadinya bencana alam dan peperangan dapat

mengakibatkan meningkatnya permintaan terhadap satu jenis produk, karena

terhambatnya saluran distribusi atau aktivitas usaha, misalnya disebabkan oleh

tidak adanya kepastian keamanan ataupun kondisi geografis yang tidak

mendukung.

6. Faktor peningkatan penduduk. Adanya peningkatan jumlah penduduk akan

menyebabkan peningkatan permintaan akan kebutuhan-kebutuhan masyarakat,

yang meliputi sandang, pangan dan papan.

Maka secara sederhana hukum permintaan dapat dirumuskan sebagai berikut;

bahwa jumlah barang yang akan dibeli per unit waktu akan menjadi semakin besar,

jika harga semakin rendah dimana faktor lain tetap (ceteris paribus). Apabila harga

(35)

komoditi itu (Q). Demikian juga jika harga (P) turun (ceteris paribus) maka kuantitas

yang diminta akan meningkat. Namun demikian terdapat pengecualian untuk

beberapa jenis barang tertentu yaitu :

a. Barang inferior (inferior goods), adalah barang-barang yang permintaannya

menurun jika pendapatan naik.

b. Barang prestise (prestig goods), yakni jika harga barang-barang mengalami

kenaikan maka permintaannya bertambah.

c. Pengaruh harapan yang dinamis (dynamic expectational effects), adalah

barang-barang yang jika harganya turun maka jumlah permintaannya turun, apabila orang

mengharapkan bahwa harga akan terus menerus mengalami penurunan.

Kaidah permintaan dapat dinyatakan dalam cara yang paling sederhana

sebagai berikut; 1) Pada harga tinggi, lebih sedikit barang yang akan diminta jika

dibandingkan dengan harga rendah (ceteris paribus), 2) Pada saat harga komoditi

rendah, maka lebih banyak yang akan diminta jika dibandingkan dengan saat harga

tinggi (ceteris paribus). Jadi kaidah permintaan mengatakan bahwa kuantitas yang

diminta untuk suatu barang berhubungan terbalik dengan harga barang tersebut

(ceteris paribus) pada setiap tingkat harga (Miler dan Meiners, 2000). Dan apabila

pendapatan bertambah, maka bagian yang akan dibelanjakan oleh konsumen juga

akan bertambah, sehingga jumlah barang yang bisa dibeli oleh konsumen akan

meningkat.

Selanjutnya Reksoprayitno (2000), memilah perkembangan teori permintaan

(36)

Teori permintaan statis dinamakan juga sebagai teori permintaan tradisional, yang

memusatkan perhatiannya pada prilaku konsumen serta beberapa faktor lain yang

mempengaruhi permintaannya. Faktor-faktor ini antara lain adalah; harga barang

yang diminta, harga barang lainnya, tingkat pendapatan dan selera. Teori permintaan

statis ini didasarkan pada beberapa asumsi yaitu; permintaan pasar merupakan total

permintaan perseorangan (individu), konsumen berperilaku rasional, sementara harga

dan pendapatan dianggap tetap dan yang termasuk dalam teori permintaan statis ini

adalah teori utilitas ordinal (ordinal utility theory) dan teori kardinal utilitas (cardinal

utility theory).

2. 2. Teori Konsumen.

Teori konsumen merupakan teori yang mencakup perilaku konsumen dalam

membelanjakan pendapatannya untuk memperoleh alat-alat pemuas kebutuhan,

berupa barang ataupun jasa-jasa konsumsi. Reksoprayitno (2000), menyampaikan

bahwa teori konsumen menjelaskan bagaimana reaksi konsumen dalam kesediaannya

untuk membeli sesuatu barang akan berubah jika jumlah pendapatan konsumen dan

harga barang yang bersangkutan juga berubah. Fungsi utama barang dan jasa

konsumsi adalah untuk memenuhi kebutuhan langsung pemakainya, dengan

terpenuhinya kebutuhan konsumen tersebut akan menimbulkan kepuasan

(satisfaction) bagi konsumen itu sendiri.

Teori konsumen juga mengenal asumsi rasionalitas, dimana konsumen

(37)

memperoleh kombinasi barang atau jasa dengan kepuasan maksimum. Teori

konsumen mengenal dua macam pendekatan, yaitu pendekatan guna kardinal

(cardinal utility approach) dan pendekatan guna ordinal (ordinal utility approach).

Teori kardinal utilitas (teori daya guna) pada awalnya dikembangkan oleh

ahli ekonomi aliran Austria seperti; Gossen (1857), Walras (1874) dan Marshall

(1890), teori ini beranggapan bahwa tinggi rendahnya nilai suatu barang untuk

pemuas kebutuhan tergantung dari subjek yang memberi penilaian (Ilyas, 1991).

Dengan demikian barang sebagai alat pemuas kebutuhan akan memiliki nilai bagi

seseorang apabila barang tersebut mempunyai dayaguna (utilitas) bagi pembeli.

Dalam hal penyusunan teori ini, para ahli ekonomi tersebut menggunakan

beberapa asumsi antara lain; rasionalitas (rationality), utilitas kardinal (cardinal

utility), marginal utilitas yang tetap (constant marginal utility), marginal utilitas yang

semakin menurun (diminishing marginal utility). Perkembangan selanjuntnya dari

teori ini adalah “ indifference curva theory ” oleh Hics (1934), namun masih terdapat

kelemahan dari teori ini, terutama dari segi asumsi yang tidak sesuai dengan keadaan

yang nyata (sebenarnya).

Teori utilitas kardinal dengan asumsi yang telah disebutkan, mencoba

menganalisis equilibirium atau keseimbangan konsumen (equilibirium of consumen)

antara marginal utilitas (MU) seorang konsumen dengan tingkat harga barang yang

berlaku di pasar (P). Menurut teori ini keseimbangan konsumen terjadi apabila;

marginal utilitas barang X yang dikonsumsi sama dengan harga barang itu sendiri,

(38)

Mux = Px; apabila Mux > Px, maka ………..(2)

konsumen dapat meningkatkan kesejahteraannya dengan membeli barang X lebih

banyak. Selanjutnya jika barang yang dikonsumsi lebih dari satu jenis barang

misalnya; X1, X2 dan X3,…….Xn, maka equilibirium konsumen akan terjadi apabila

rasio antara marginal utilitas dari masing-masing barang tersebut sama dengan

harganya, jadi ;

derivasi matematis yang sederhana dari keseimbangan konsumen adalah :

U = f (Qx)...(4)

Apabila konsumen berkehendak membeli barang X maka pengeluarannya Qx. Px,

maka pengeluaran konsumsi adalah :

I – Px. Qx = 0...(5)

Teori permintaan statis atau tradisional secara umum didasarkan pada daya

guna dan skala preferensi dari konsumen sedangkan teori permintaan yang dinamis

dan pragmatis didasarkan pada prilaku konsumen yang nyata terhadap permintaan

yang berlaku di pasar. Atas dasar ini maka dirumuskanlah permintaan sebagai

hubungan fungsi yang memiliki variabel banyak. Pendekatan ordinal dan kardinal

diatas dengan menggunakan konsep daya guna (utility) sebagai dasar analisis untuk

menyusun permintaan konsumen. Dengan demikian utilitas harus diketahui lebih

(39)

Berdasarkan teori yang ada dalam menyusun fungsi permintaan dapat

ditempuh dengan dua cara yaitu cara tidak langsung yang dilakukan oleh Marshall

(marshalian demand function) yang lazim disebut dengan fungsi permintaan biasa

(ordinary demand function). Kemudian ada cara langsung yang disebut dengan cara

pragmatis seperti yang dilakukan oleh Samuelson melalui preferensi nyata yang

diungkapkan (revealed preference) (Sudarsono, 1990).

Dalam membahas permintaan, Marshall menggunakan asumsi bahwa

pendapatan konsumen sifatnya tetap dengan anggapan masih berusaha mencari

pengaruh dari harga terhadap jumlah barang yang diminta. Menurutnya permintaan

diartikan sebagai jumlah barang yang diminta pada berbagai tingkat harga, secara

matematis dituliskan;

Qx = f (Px),...(6)

dengan anggapan bahwa pendapatan tetap, bukan berarti pendapatan tidak

berpengaruh terhadap jumlah barang yang diminta dengan asumsi bahwa faktor lain

tetap (ceteris paribus).

2.3. Konsepsi Elastisitas.

Adanya perubahan harga suatu barang yang diminta oleh konsumen

bertendensi menimbulkan reaksi para pembeli barang tersebut berupa berubahnya

jumlah barang yang diminta (Reksoprayitno, 2000). Pada umumnya meningkatnya

harga mengakibatkan berkurangnya jumlah barang yang diminta dan sebaliknya jika

(40)

Reksoprayitno (2002), menyampaikan bahwa untuk mengukur intensitas

reaksi pembeli terhadap perubahan harga suatu barang, para pemikir ekonomi telah

menciptakan suatu alat analisis yang disebut dengan elastisitas. Sudarsono (1990),

mengungkapkan bahwa pada umumnya terdapat tiga variabel yang mempengaruhi

permintaan, yaitu harga barang itu sendiri, harga barang lainnya (substitusi atau

komplementer) dan pendapatan, maka atas dasar ini sehingga dikenal elastisitas harga

barang itu sendiri (price elasticity), elastisitas harga silang (cross elasticity) dan

elastisitas pendapatan (income elasticity).

Pengaruh perubahan harga kadang-kadang tidak dapat ditentukan dengan

pasti, jadi permintaan seseorang akan sesuatu barang akan dapat diketahui melalui

penaksiran empiris statistika. Melalui penaksiran ini akan dapat diketahui besarnya

derajad kepekaan relatif dari perubahan permintaan terhadap perubahan variabel yang

mempengaruhinya.

Bentuk umum yang sering dipakai peneliti dalam penelitian dengan

pendekatan pragmatis yang memiliki elastisitas tetap, sebagai berikut :

4

Po : harga barang lain (substitusi atau komplementer). Y : pendapatan konsumen.

(41)

b2 : elastisitas silang dari permintaan. b3 : elastisitas pendapatan dari permintaan. e b4 : faktor trend selera (skala pereferensi).

Pengertian elastisitas dalam hal ini adalah derajad kepekaan dari jumlah

barang yang diminta terhadap perubahan salah satu faktor yang mempengaruhinya.

Sasaran pendekatan pragmatis ini adalah untuk mempelajari elastisitas yang berguna

untuk menjelaskan bobot pengeluaran untuk suatu barang.

Elastisitas yang digunakan untuk mengukur intensitas reaksi konsumen atau

pembeli pada umumnya dalam bentuk perubahan jumlah barang yang diminta

terhadap perubahan harga satuan barang tersebut, yang disebut dengan elastisitas

harga permintaan (price elasticity of demand) atau disebut juga dengan elastisitas

permintaan (demand elasticity). Reksoprayitno (2002), menyampaikan bahwa dalam

fungsi permintaan kualitas barang yang diminta oleh konsumen selain memiliki

hubungan dengan harga barang yang bersangkutan juga berkaitan dengan faktor lain

sehingga dikenal lebih dari satu elastisitas.

Selain elastisitas harga juga dikenal elastisitas pendapatan dan elastisitas

silang. Elastisitas pendapatan (income elasticity) menjelaskan intensitas hubungan

antara jumlah barang yang diminta dengan pendapatan konsumen, sementara

elastisitas silang (cross elasticity) adalah menjelaskan intensitas hubungan antara

jumlah barang yang diminta dengan harga suatu barang lain atau mengukur

tanggapan kuantitas barang yang diminta terhadap barang yang diminta terhadap

(42)

dapat positif ataupun negatif. Elastisitas harga silang (cross elasticity) positif

menunjukkan bahwa kenaikan harga dapat menyebabkan permintaan menurun dan

implikasinya barang tersebut merupakan subsitusi. Dan jika elastisitas silang (cross

elasticity) berubah menjadi negatif, kenaikan harga menyebabkan penurunan

permintaan, implikasinya barang tersebut merupakan barang komplementer.

Secara umum perubahan harga pada suatu barang berpengaruh pada jumlah

barang yang diminta, baik pengaruh substitusi maupun pengaruh pendapatan atau

gabungan keduanya yang disebut dengan jumlah pengaruh total (total effect).

Berdasarkan pengaruh harga ini, jika dihubungkan dengan jumlah barang yang

diminta oleh konsumen dapat dibedakan atas barang substitusi dan barang

komplementer, demikian juga pengaruh perubahan pendapatan terhadap jumlah

barang yang diminta oleh konsumen dapat dibedakan atas barang normal (normal

goods) yaitu barang-barang yang permintaanya naik bila pendapatan lebih tinggi dan

permintaannya akan turun bila pendapatan lebih rendah, barang superior (superior

goods) atau barang mewah (luxuries goods), barang inferior (inferior goods) adalah

barang yang permintaanya cenderung turun bila pendapatan naik, barang giffen

(giffen goods) dan sebagainya.

2.4 Komoditi Kopi Dan Aspek Ekonomisnya.

Tanaman kopi adalah pohon kecil yang bernama perpugenus coffea dari

(43)

terdapat sekitar 4.500 jenis kopi yang dapat dibagi dalam empat kelompok besar

yaitu;

a. Cofffe canefora, salah satu jenis varietasnya yang menghasilkan kopi dagang

robusta.

b. Coffea arabica, yang menghasilkan kopi dagang arabica.

c. Coffea exelca yang menghasilkan kopi dagang exelca.

d. Coffea liberica yang menghasilkan kopi dagang liberica.

Dari segi produksi yang paling menonjol dalam kualitas dan kuantitas adalah

jenis arabica, yang memberikan kontribusi pada pasokan kopi dunia sekitar 70%,

kemudian jenis kopi robusta yang mutunya berada dibawah kopi arabica, hanya

memberikan kontribusi sekitar 24% produksi kopi dunia (Spillane, 1991).

Bredley (1916), didalam bukunya yang berjudul “A short historical account of

coffea, containing the most remarkable observations of greatest men in Europe

concerning it “, merupakan orang yang pertama menulis sejarah tentang kopi

kemudian diikuti oleh penulis lainnya. Linnaeus (1937) dan Smith (1985), melalui

buku yang mereka tuliskan bahwa daerah asal kopi adalah Abyssinia atau Ethiopia

sekarang ini, kemudian masuk ke Yaman sekitar tahun 575 SM (sebelum masehi).

Ada berbagai dugaan yang memperkirakan bahwa masuknya tanaman kopi ke Yaman

adalah melalui akulturasi kebudayaan antara kedua suku bangsa waktu itu. Barangkali

hal ini juga yang menjadi alasan yang kuat terhadap penyebaran kopi kedaerah

lainnya disekitar Abyssinia seperti Mesir, Persia dan jajirah Arab lainnya (Ilyas,

(44)

Legenda lainnya menyebutkan bahwa kopi sebagai tanaman semak dan perdu

ditemukan oleh kepala rombongan Nomade dan penggembala kambing bangsa Arab

bernama Kaldi pada oase-oase yang terdapat dijajirah Arab. Kelompok nomade ini

kemudian membawa tanaman ini keladang penggembalaannya dan dibudidayakan.

Atas jasa Rahib Scialdi dan Aydius, tanaman ini kemudian diperkenalkan secara luas

kepada seluruh suku bangsa yang mendiami gurun pasir pada saat itu.

Kemudian sekitar tahun 1915, pedagang-pedagang dari Venesia membawa

biji kopi dari Mocha (Saudi Arabia) ke Eropa, sejak saat itu mulailah perdangan yang

menguntungkan dunia Arab dan sepanjang 100 tahun mereka menjadi satu-satunya

daerah penghasil kopi di dunia (Spillane, 1991).

Di Prancis pertama sekali kopi diperkenalkan oleh seorang Burgomaster

kepada Raja Louis XIV dan kemudian dikembangkan di Jardin Des Plantes di Paris

Prancis. Kemudian diperkenalkan oleh Spayol kepada koloni-koloninya hingga ke

India Barat. Dan Inggris adalah negara yang terakhir yang mengembangkan kopi

dinegara koloninya mulai dari Jamaika pada tahun 1730 dan India pada tahun 1840.

Pada saat yang sama Brasilia mulai memasuki bidang ini, karena dibawa oleh seorang

pegawai Brasilia yang ketika berkunjung ke Guyama Prancis tahun 1727. Dan sejak

itu mulailah kejayaan Brasilia sebagai penghasil kopi dunia (Spillane, 1991).

Untuk pertama kalinya kedai kopi dibuka di Inggris tahun 1650 oleh Jacob,

tepatnya di Angel Hight di Kota Oxford antara University College dan Examinations

(45)

tahun 1852 di St. Michael’s Alley berdekatan dengan kantor Kerajaan (Royal

Exchange), (Spillane, 1991).

Pada tahun 1715 ada lebih dari 2.000 kedai kopi yang berdiri di kota London

dan tempat itu menjadi pusat perkembangan kehidupan sosial, politik dan

perdagangan, terutama setelah dilakukan pembangunan gedung-gedung untuk

keperluan bank niaga, asuransi, bursa saham (stock exchange) di kota tersebut.

Berdiri juga sebuah kedai kopi Lioyd di tower street antara dermaga St. Katharine

Docks dan Wapping, kedai kopi ini sangat ramai karena sering dikunjungi oleh

orang-orang kapal dan para pedagang.

Pada tahun 1925, di Pematang Siantar, juga berdiri sebuah kedai kopi dengan

nama Kedai Kopi Massa Koktung, yang didirikan oleh Lim Tie Kie yang berlokasi di

Jalan Cipto. Saat ini kedai kopi tersebut dikelola oleh Jamin yang merupakan

keturunan dari Lim Tie Kie. Kedai kopi ini bisa menjual 500 gelas/ hari dengan harga

rata-rata Rp. 2.000/ gelas. Bahan kopi yang digunakan adalah kopi robusta yang

didatangkan dari Tapanuli Utara, Sidamanik dan Samosir. Selain dijual dalam bentuk

teh kopi (liquid coffee), bubuk kopi massa koktung juga dijual dalam bentuk saset

hingga ke Riau dan pulau Jawa. (SIB, 2006).

Disamping pesatnya perkembangan penjualan dan konsumsi terhadap

komoditi kopi, disatu sisi juga terjadi penolakan untuk mengkonsumsi kopi. Pada

tahun 1511 Kaisar Bey seorang Gubernur muda dari Kesultanan Kairo di Mekkah,

ketika usai berdoa dari Mesjid dia melihat beberapa orang di ujung jalan sedang

(46)

berkata bahwa hal tersebut bertentangan dengan hukum Islam, maka keesokan

harinya semua kedai kopi didaerah itu ditutup. Sementera itu di Italia para Pastor juga

mengusulkan kepada Paus Clement (1592-1605), untuk melarang penggunaan kopi di

kalangan umat Kristen, karena kopi dianggab berkaitan dengan dunia mistik

(pemberian setan) (Spillane, 1991).

Pada tahun 1656 Ottoman Grand Vizir Koprilli, menganggap bahwa kedai

kopi merupakan sumber keburukan dan korupsi, sehingga warganya dilarang untuk

meminum kopi, bagi yang melanggar akan dihukum. Pada tahun 1674 petisi dari

kaum wanita (a women’s petition a gainst coffee), menerbitkan buku untuk pertama

kalinya tentang penolakan terhadap kopi, mereka mengeluh karena pada saat krisis

mereka sering ditinggalkan suami yang suka pergi untuk mengunjungi kedai kopi.

Selanjutnya pada tahun 1675, Raja Charles II mengeluarkan maklumat untuk

memusnahkan kedai-kedai kopi kerena tempat itu menjadi “ tempat orang-orang yang

suka bermalas-malasan”.

Namun walaupun demikian, nampaknya kopi merupakan barang yang sangat

bermanfaat, dimana pada tahun 1658 kopi sudah merupakan komoditi perdagangan

Internasional, dimana pada waktu itu Eropa Barat telah melakukan impor kopi dari

Ceylon (Sailan). Kemudian tahun 1699 kopi di perkenalkan ke Indonesia yaitu Pulau

Jawa yang dibawa oleh VOC.

Kopi di perdagangkan pada dasawarsa terakhir ini, bukan saja dalam bentuk

tradisional green coffee (biji kopi mentah) yang ditampung oleh para pengolah

(47)

diantaranya dalam bentuk; kopi rendangan (roasted coffee), kopi bubuk (powder

coffee), kapi cair (liquid coffee). Kopi selain digunakan sebagai minuman kenikmatan

juga dipergunakan sebagai penyedap berbagai jenis makanan (makanan ringan) mulai

dari; tar moka (kue), hingga es buah serta es krim moka yang sangat disukai oleh

masyarakat, hal ini menyebabkan komoditi kopi menjadi komoditi yang menarik

dalam dunia perdagangan baik domestik maupun internasional (Marlina, 2005).

Kopi telah merupakan salah satu bahan minuman rakyat di seluruh dunia, baik

di negara produsen apalagi di negara pengimpor (konsumen). Kopi merupakan suatu

komoditi penting dalam ekonomi dunia, dan mencapai nilai perdagangan sebesar US

dolar 10.3 millyar (Spillane, 1991), antara negara yang sedang berkembang dengan

negara-negara maju. Sehingga komoditi kopi menjadi salah satu komoditi ekspor

yang menjanjikan, disamping itu juga memiliki peranan penting sebagai sumber

penghidupan bagi berjuta-juta petani kopi diseluruh dunia.

Di Indonesia kopi merupakan salah satu komponen industri pertanian yang

penting. Pada tahun 1986 sektor perkopian Indonesia mempekerjakan sedikitnya 8

juta orang, termasuk didalamnya 2 juta petani kopi rakyat. Kopi pun merupakan

sumber penghidupan bagi 1, 6 juta keluarga petani dan lebih kurang 30.000 keluarga

karyawan yang bekerja di berbagai perkebunan kopi di Indonesia (Spillane, 1991).

Investasi yang ditanamkan dalam usaha perkopian Indonesia tidak kecil, termasuk

dana bank untuk keperluan kredit bagi petani kopi, guna ekstensifikasi dan

(48)

beberapa propinsi di Indonesia seperti; Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Selatan,

Lampung dan Sumatera Utara (Spillane, 1991).

Lepi Tarmizi (1990) memperkirakan bahwa permintaan kopi untuk

dikonsumsi di Indonesia adalah 0,50 Kg/ kapita/ tahun, hal ini sesuai dengan

perhitungan Assosiasi Ekonomi Kopi Indonesia (AEKI) 1987 yaitu sebesar 0,50

Kg/kapita/ tahun (Ilyas, 1991).

Angka ini tentunya sangat kecil jika dibandingkan dengan permintaan kopi

untuk konsumsi masyarakat di negara-negara Amerika Latin seperti Brazil, Colombia

dan negara lainnya. Sementara itu konsumsi kopi masyarakat di Brazil adalah 5,50

Kg/ kapita/ tahun, Colombia adalah 4,50 Kg/kapita/ tahun, Costarica adalah 6,50

Kg/kapita/ tahun, Elsalvador adalah 2,00 Kg/kapita/ tahun, Guatemala adalah 4,00

Kg/kapita/tahun, Haiti adalah 3,00 Kg/kapita/ tahun dan Mexico adalah 1,50

Kg/kapita/tahun. Permintaan kopi untuk konsumsi di Indonesia juga masih sangat

rendah, jika dibandingkan dengan permintaan masyarakat terhadap kopi di

negara-negara Afrika, bahkan Asia seperti India. Dengan demikian permintaan kopi untuk

konsumsi di Indonesia, jika dibandingkan dengan negara-negara lain sebagai

produsen kopi, relatif sangat rendah.

2.5. Penelitian Sebelumnya.

Edison (1971), melakukan penelitian mengenai permintaan atau konsumsi

kopi di Indonesia, dia membedakan permintaan kopi biji dan permintaan bubuk kopi.

(49)

Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa 52,3% sampel (dari 10 propinsi), tidak

meminum kopi dengan alasan kesehatan dan tingkat kemurnian kopi yang

dikonsumsi responden sangat bervariasi. Tidak terdapat konsumsi kopi murni, dan

selanjutnya dikatakan bahwa rata-rata kemurnian kopi yang dikonsumsi adalah 64%

untuk daerah perkotaan dan 73 % untuk daerah pedesaan (Ilyas, 1991).

Venkatram dan Deodhar, (1999), melakukan penelitian mengenai permintaan

kopi di pasar domestik India. Konsumsi kopi diwilayah itu adalah 80 gr/ kapita tahun

1960- 1961 dan menurun menjadi 60 gr/ kapita tahun 1996-1997. Sementara itu

konsumsi teh sebagai barang substitusi kopi mengalami peningkatan dari 296 gr/

kapita menjadi 657 gr/ kapita untuk tahun 1997 – 1998. Adapun variabel yang

diamati dalam penelitian tersebut adalah produksi kopi itu sendiri, harga kopi,

pendapatan perkapita dan harga teh. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh

kesimpulan bahwa harga kopi memiliki hubungan yang negatif terhadap permintaan

kopi, pendapatan perkapita memiliki hubungan yang positif terhadap permintaan

kopi. Dan ternyata harga teh memiliki hubungan yang positif terhadap permintaan

kopi diwilayah itu artinya adanya peningkatan harga disebabkan oleh jumlah

permintaan yang semakin meningkat. Dan selanjutnya beliau mengatakan permintaan

kopi in-elastis dalam jangka panjang dan memiliki nilai in-elastisitas yang sangat

tinggi dalam jangka pendek, tetapi elastisitas harga terhadap permintaan kopi adalah

rendah.

Hutabarat (2004), melakukan penelitian mengenai Kondisi pasar dunia dan

(50)

menunjukkan bahwa perkembangan industri dan ekonomi kopi nasional tidak terlepas

dari prilaku dan perkembangan pasar kopi dunia. Berdasarkan penelitian tersebut

ditemukan bahwa elastisitas permintaan kopi terhadap pendapatan negara pengimpor

(Jepang, Jerman dan Belanda) menunjukkan nilai positif dan sangat elastis.

Selanjutnya dikemukakan bahwa elastisitas permintaan pengimpor kopi terhadap

perubahan nilai tukar US dolar bernilai positif (untuk Jepang dan Amerika), artinya

jika rupiah semakin terkoreksi (terdepresiasi) terhadap US dollar, maka kopi

Indonesia relatif lebih murah sehingga volume kopi yang di impor oleh negara

pengimpor akan meningkat.

Dureval (2005), melakuan penelitian dengan maksud untuk mengevaluasi

keuntungan potensial dari pertumbuhan produksi kopi yang dilihat dari harga yang di

inginkan oleh konsumen. Variabel yang diteliti adalah; harga kopi relatif, pendapatan

masyarakat dan faktor lain yang mempengaruhi permintaan. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa harga kopi berhubungan negatif dengan permintaan kopi itu

sendiri sementara pendapatan masyarakat memiliki hubungan yang positif dengan

permintaan kopi secara signifikan.

Deodhar dan Pandey (2006), melakukan penelitian untuk mengetahui keadaan

tingkat persaingan dalam pasar domestik dalam konteks pasar kopi instan. Beliau

menyampaikan bahwa perdagangan bebas ternyata memberikan kontribusi dalam

persaingan dipasar domestik yang memungkinkan terjadinya persaingan sempurna

(perfect competition). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan perkapita

(51)

dalam kondisi pasar persaingan sempurna, dan harga memiliki hubungan yang negatif

terhadap pola konsumsi kopi instan diwilayah dimana penelitian itu dilakukan.

Wahyudian, dkk (2003), melakukan penelitian tentang Analisis faktor-faktor

yang mempengaruhi konsumsi kopi di Jakarta. Hasil regresi logistik menunjukkan

bahwa konsumen berusia muda (18-25 tahun) berpeluang mengkonsumsi kopi lebih

besar daripada konsumen yang berusia 45 tahun. Peningkatan rasio anggota rumah

tangga yang mengkonsumsi kopi terhadap total rumah tangga sebagai pengaruh

lingkungan konsumen semakin mendorong peluang seseorang untuk mengkonsumsi

kopi. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa permintaan kopi masyarakat Jakarta

mengalami peningkatan dengan tingkat perubahan yang sedang, hal ini disebabkan

karena rata-rata konsumsi kopi perkapita masyarakat Jakarta antara 0,75 – 1,13 kg/

kapita/ tahun, lebih tinggi daripada konsumsi masyarakat Indonesia secara umum

yaitu sebesar 0,64 Kg/ kapita/ tahun.

2.6. Kerangka Pemikiran.

Permintaan terhadap suatu komoditi pertanian merupakan banyaknya

komoditi pertanian yang dibutuhkan dan dibeli oleh konsumen. Karena itu besar

kecilnya permintaan terhadap komoditi pertanian umumnya dipengaruhi oleh harga,

harga substitusi atau harga komplementernya, selera dan keinginan jumlah konsumen

dan pendapatan konsumen yang bersangkutan (Soekartawi, 2002).

Dilain pihak Wanardi (1976), menyatakan bahwa pengertian permintaan

(52)

tertentu dengan harga yang berlaku pada saat itu. Sedangkan menurut Bishop dan

Toussaint (1958), pengertian permintaan dipergunakan untuk mengetahui hubungan

jumlah barang yang dibeli oleh konsumen dengan harga alternatif untuk membeli

barang yang bersangkutan dengan anggapan bahwa harga barang lainnya tetap. Hal

ini dapat dijelaskan dengan kurva permintaan, yaitu kurva yang menunjukkan

hubungan antara jumlah maksimum dari barang yang dibeli oleh konsumen dengan

harga alternatif pada waktu tertentu.

Menurut Bishop dan Toussaint (1958), adapun faktor-faktor yang

mempengaruhi permintaan adalah jumlah penduduk, pendapatan, harga barang,

harga barang lainnya, selera dan pereferensi konsumen. Namun karena jumlah

penduduk dan penyebaran pendapatan berpengaruh teradap permintaan barang

dipasaran, maka fungsi permintaan ini juga dipengaruhi oleh variabel ini. Jumlah

penduduk yang semakin bertambah akan menggeser kurva permintaan ke sebelah

kanan yang berarti bahwa pada harga yang sama jumlah barang yang diminta

bertambah besar, ceteris paribus tetapi untuk permintaan perkapita, kurva permintaan

dapat bergerak ke kanan atau kekiri atau bahkan tidak bergeser sama sekali

(Soekartawi, 2002).

Perubahan keseimbangan antara permintaan dan penawaran akan menetukan

perubahan harga. Jika dilihat dari perubahan harga maka pengaruh harga komoditi

substitusi atau komoditi komplementernya adalah penting sekali. Dengan demikian

besar kecilnya elastisitas harga terhadap besarnya permintaan atau penawaran bagi

(53)

substitusi atau komplementernya. Harga beberapa komoditi pertanian sering naik

atau turun secara tidak terkendali (berfluktuasi), yang lazim terjadi adalah turunnya

harga pada saat panen dan adanya kenaikan harga pada saat paceklik. Fluktuasi harga

ini pada akhirnya juga mempengaruhi ramai tidaknya pemasaran komoditi pertanian

tersebut, dan sesekali kenaikan harga yang terjadi dapat menguntungkan petani

sehingga merangsang mereka untuk tetap berproduksi (Soekartawi, 2002).

Sementara itu Papas dan Mark Hirshey (1995), menyatakan bahwa

permintaan adalah sejumlah barang dan jasa yang dibeli oleh konsumen selama

periode tertentu berdasarkan situasi dan kondisi tertentu. Menurut Papas dan Mark

Hirshey (1995), terdapat dua (2) model dasar dalam permintaan, yang pertama adalah

permintaan langsung yang dikenal sebagai teori konsumen, dan yang kedua adalah

permintaan turunan yaitu permintaan atas bahan baku sebagai input didalam

pembuatan suatu barang atau jasa yang diminta untuk didistribusikan menjadi produk

lainnya. Dan secara skematis kerangka pemikiran dalam penelitian ini digambarkan

(54)

Gambar 1. Kerangka pemikiran Faktor-faktor yang Mempengaruhi Permintaan Komoditi Kopi di Sumatera Utara.

2.7. Hipotesis Penelitian.

Berdasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan diatas, maka

dikemukakan hipotesis sebagai berikut :

1. Harga kopi domestik berpengaruh negatif terhadap permintaan komoditi kopi di

Sumatera Utara, ceteris paribus.

2. Harga Ekspektasi kopi domestik berpengaruh negatif terhadap permintaan

komoditi kopi di Sumatera Utara, ceteris paribus

3. Harga teh berpengaruh positif terhadap permintaan komoditi kopi di Sumatera

Utara, ceteris paribus.

4. Harga gula berpengaruh negatif terhadap permintaan komoditi kopi di Sumatera

Utara, ceteris paribus.

5. Pendapatan perkapita masyarakat berpengaruh positif terhadap permintaan

komoditi kopi di Sumatera Utara, ceteris paribus.

(55)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini memfokuskan kepada masalah permintaan komoditi kopi di

Sumatera Utara, dimana pembahasan dalam penelitian ini mencakup beberapa faktor

seperti; harga kopi domestik, harga ekspektasi kopi domestik, harga teh (barang

substitusi), harga gula (barang komplementer) dan pendapatan perkapita masyarakat

terhadap permintaan komoditi kopi di Sumatera Utara.

3.2. Jenis dan Sumber Data.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder yang bersumber

dari lembaga resmi pemerintah. Adapun data yang digunakan adalah data time series

21 tahun, mulai dari tahun 1985 – 2005, yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik

(BPS), Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sumatera Utara, dan sumber-sumber

lain seperti jurnal dan hasil penelitian.

3.3. Metode Analisis Data.

Setelah data dikumpulkan dan ditabulasi, selanjutnya akan dianalisis sesuai

dengan hipotesa yang diajukan. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian

(56)

3.4. Model Analisis.

Dalam analisis regresi hubungan antara variabel independent dan variabel

dependent adalah dalam bentuk linier maka untuk itu fungsi persamaan yang

digunakan dalam penelitian ini adalah :

Qdc = f (Pcd, Pt, Ps, I, T)………..………(8)

Dari fungsi tersebut diatas kemudian diderivasikan ke dalam model

persamaan ekonometrika dalam bentuk Model Koyck (Model Ekspektasi) untuk

melihat permintaan komoditi kopi di Sumatera Utara sebagai berikut :

Model Koyck(Model Ekspektasi) :

Qdc = a + b1Pcd + b2Pcde + b3Pt + b4Ps + b5 I + µ ………..…….………..(9)

Dimana :

Qdc : Jumlah permintaan kopi di Sumatera Utara (Kg)

a : Intercept

b1-b5 : Koefisien regresi. Pcd : Harga kopi domestik (Rp/ kg).

Pcde : Harga ekspektasi kopi domestik di Sumatera Utara (Rp/ kg). Pt : Harga komoditi teh (Rp/ Kg).

Ps : Harga gula (Rp/ kg). I : Pendapatan perkapita (Rp)

3.5. Variabel Penelitian.

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah variabel-variabel

Gambar

Tabel 1.1 . Pendapatan Perkapita dan jumlah penduduk Sumatera Utara Tahun 1996 – 2005
Tabel 1. 2. Luas Lahan dan Produksi Teh Sumatera Utara Tahun 1996– 2005.
Tabel 1. 3. Luas Lahan dan Produksi Kopi  Sumatera Utara Tahun 1996 – 2005.
Gambar 1.  Kerangka pemikiran Faktor-faktor yang Mempengaruhi  Permintaan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Allah telah meletakkan garis-garis besar sains dan ilmu pengetahuan dalam al- Qur‟an, manusia hanya tinggal menggali, mengembangkan konsep dan teori yang sudah

[r]

The authors present empirical data about the high school years to help assess the rela- tive importance of such factors as academic ability, level of parental income and

Mengarahkan penyusunan program kerja, pengelolaan urusan keuangan, kepegawaian, peraturan perundang-undangan, kelembagaan, persuratan, rumah tangga,

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa hubungan pola asuh orang tua terhadap kemandirian personal hygiene pada anak prasekolah diwilayah Kecamatan Kencong

LAPORAN REALISASI SEMESTER PERTAMA APBD DAN PROGNOSIS 6 (ENAM) BULAN BERIKUTNYA. PEMERINTAH KABUPATEN

Penulisan Ilmiah ini bertujuan untuk membuat aplikasi chat yang bergerak, yang dapat digunakan sebagai sarana untuk melakukan komunikasi data lewat telepon selular. Pembuatan

Aplikasi G2M ini, dibuat dengan bahasa pemrograman JAVA Micro, yaitu J2ME yang nantinya akan digunakan ponsel sebagai medianya, dimana ponsel kini merupakan barang yang telah