ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
PERMINTAAN KOMODITI KOPI
DI SUMATERA UTARA
T E S I S
OLEH
HOTDEN L. NAINGGOLAN
057018011/ EP
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
PERMINTAAN KOMODITI KOPI
DI SUMATERA UTARA
T E S I S
Untuk memperoleh gelar Magister Sains dalam Program Studi Ekonomi Pembangunan pada Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara
Oleh :
HOTDEN L. NAINGGOLAN
057018011/ EP
MAGISTER EKONOMI PEMBANGUNAN
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Judul Penelitian : Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Permintaan Komoditi Kopi Di Sumatera Utara.
Nama : Hotden L. Nainggolan
NIM : 057018011
Program Studi : Ekonomi Pembangunan.
Menyetujui
Komisi Pembimbing :
Dr. Sya’ad Afifuddin, SE., MEc. Ketua
Drs. Iskandar Syarief, MA Anggota
Ketua Program Studi Direktur,
Dr. Murni Daulay, SE., MSi. Prof. Dr. T. Chairun Nisa, B., MSc.
TELAH DIUJI PADA
HARI/ TANGGAL : Jumat, 6 Juli 2007
PANITIA PENGUJI TESIS :
KETUA : Dr. Sya’ad Afifuddin, SE., MEc.
ANGGOTA : 1. Drs. Iskandar Syarief, MA.
2. Dr. Murni Daulay, SE., MSi.
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas berkat rahmat dan
karunianya sehingga penulis dapat mengikuti pendidikan mulai dari perkuliahan pada
Program Studi Magister Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara, sampai dengan penyusunan tesis ini dengan judul, “Analisis
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Permintaan Komoditi Kopi Di Sumatera Utara ”.
Dalam menyelesaikan tesis ini, penulis telah banyak mendapat bimbingan,
arahan dan saran-saran dari Dosen Komisi Pembimbing, pada kesempatan ini penulis
mengucapkan banyak terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya khususnya
kepada Bapak Dosen Pembimbing serta Bapak dan Ibu Dosen Penguji atas
bimbingan, pengarahan dan waktunya yang telah diberikan kepada penulis mulai dari
penulisan proposal hingga penulisan tesis ini.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu penulis mulai dari perkuliahan
hingga pada penyusunan tesis ini, yaitu kepada :
1. Bapak Prof. dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H., Sp.A(K), Rektor Universitas
Sumatera Utara.
2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc, Direktur Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE, Wakil Direktur I Sekolah
4. Ibu Dr. Murni Daulay, SE., MSi, Ketua Program Studi Magister Ekonomi
Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
5. Bapak Dr. Sya’ad Afifuddin, SE.,MEc, Sekretaris Program Studi Magister
Ekonomi Pembangunan selaku ketua Komisi Pembimbing atas arahan dan
bimbingannya selama masa perkuliahan hingga penulisan tesis ini
6. Bapak Drs. Iskandar Syarief, MA sebagai anggota Komisi Pembimbing yang
telah banyak meluangkan waktunya dan memberikan pemikiran, bimbingan dan
arahannya selama masa perkuliahan hingga pada penulisan tesis ini.
7. Bapak Drs. Rujiman, MA, dan Ibu Dr. Murni Daulay, SE, MSi, sebagai
pembanding yang telah banyak memberikan saran-saran perbaikan dalam
penyusunan tesis ini.
8. Para Bapak dan ibu Dosen serta Pegawai Administrasi Program Studi Magister
Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
9. Bapak Dr. Ir. Jongkers Tampubolon, MSc, Rektor Universitas HKBP
Nommensen Medan yang telah memberikan dukungan, motivasi dan semangat
bagi penulis mulai dari masa studi ini hingga penulisan tesis ini.
10.Bapak Dr. Ir. Parulian Simanjuntak, MA, Direktur Program Pascasarjana
Universitas HKBP Nommensen Medan.
11.Ibu Dr. Ir. Erika Pardede, M.App.Sc, Dekan Fakultas Pertanian Universitas
12.Bapak Ir. Jhondikson Aritonang, MS, Dosen Fakultas Pertanian Universitas
HKBP Nommensen Medan, yang telah memberikan semangat dan dorongan bagi
penulis hingga selesainya penulisan tesis ini.
13.Rekan-rekan Mahasiswa khususnya angkatan IX Program Studi Magister
Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
14.Terimakasih yang tak terhingga secara khusus penulis sampaikan kepada Ibunda
S. br. Siringo-ringo di Janji Pusuk Kecamatan Parlilitan Kabupaten Humbang
Hasundutan yang senantiasa mendoakan, memberi semangat dan bantuan moril
dan materil kepada penulis dan Ayahanda L. Nainggolan (Alm) atas nasehat dan
arahannya kepada penulis semasa hidupnya. Dan terimakasih yang
sedalam-dalamnya penulis sampaikan kepada Ayah mertua Penulis Pdt. Dr. J. M. Lumban
Tobing, MA dan Ibu mertua Penulis D. br. Simatupang, STh, atas doa dan
perhatian serta bantuan moril maupun materil mulai dari masa studi hingga
penulisan tesis ini.
15.Tak lupa penulis menyampaikan terimakasih kepada Adik-adik penulis, Taruli
Nainggolan, ST, Sutrisno Nainggolan, SH, Blider Nainggolan, SPd, Jubel
Nainggolan, Sanggul Nainggolan dan Sapta Putra Nainggolan atas doa dan
dorongan bagi penulis hingga penulisan tesis ini.
16.Rekan-rekan di PT. Penerbit Erlangga Cabang Medan, yang telah memberikan
Ucapan terimakasih yang tak terhingga teristimewa saya sampaikan kepada
Istriku tercinta Ester Maria br. L. Tobing, AMd, yang telah memberikan motivasi,
dorongan, semangat dan pengorbanan yang tulus ikhlas mulai dari masa perkuliahan
sampai penulisan tesis ini, dan terimakasih kepada Putriku tersayang Fidela Inaya
Paskalina br. Nainggolan yang selalu menghibur hati penulis setiap saat.
Tak lupa penulis menghaturkan terimakasih kepada semua pihak yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan kepada penulis
baik moril maupun materil dan Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa memberikan
balasan yang berlipat ganda bagi semua pihak yang telah memberikan bantuannya
selama ini.
Penulis menyadari tesis ini masih jauh dari kesempurnaan sebagaimana yang
diharapkan untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun demi penyempurnaan
tesis ini akan diterima dengan segala kerendahan hati, dan akhir kata semoga tesis ini
bermanfaat bagi penulis dan bagi pembaca yang membutuhkannya.
Medan, Juli 2007.
Penulis
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
1. Nama : Hotden Leonardo Nainggolan 2. Agama : Kristen Protestan
3. Tempat/ Tanggal Lahir : Janji Pusuk, 25 Nopember 1976. 4. Pekerjaan : Wiraswasta.
5. Nama Istri : Ester Maria br. L. Tobing, AMd. 6. Anak : Fidela Inaya Paskalina br. Nainggolan 7. Nama Orangtua :
Ayah : L. Nainggolan (Alm). Ibu : S. br. Siringo-ringo 8. Nama Mertua :
Ayah : Pdt. Dr. J. M. L.Tobing, MA Ibu : D. br. Simatupang, STh.
9. Pendidikan :
THE ANALYSIS OF FACTORS INFLUENCING DEMAND FOR COFFEE COMMODITY IN NORTH SUMATERA
HOTDEN L. NAINGGOLAN 057018011
ABSTRACT
This research is aimed to know the factors influencing demand for commodity coffee in North Sumatera. Especially this research is aimed to analyse the influence of domestic coffee price, price expectation of coffee domestic, tea price, sugar price and per capita income on demand for commodity coffee in North Sumatera.
The research used secondary data in the form of time series data in the period 1985-2005, obtained from BPS North Sumatera, Industry and Commerce Department North Sumatera, and the method used is Ordinary Least Squarer Method (OLS).
The result finds that factors which has significant influence on demand of commodity coffee in North Sumatera are domestic coffee price, price expectation of coffee domestic, sugar price and per capita income with significant level 95 percent. The coefficient determination (R2) 96,91 percent. Partially, the result indicates that domestic coffee price have negatively effect on demand of commodity coffee in North Sumatera, tea price have a positively effect on demand of commodity coffee in North Sumatera, sugar price have a negatively effect on demand of commodity coffee in North Sumatera and per capita income both positively having an effect to demand of commodity coffee in North Sumatera, meanwhile price expectation of coffee domestic have an effect on demand of commodity coffee in North Sumatera negatively, it’s meaning if price expectation decrease hence demand of commodity coffee by consumer will increase.
According to result finding the research suggested that by all farmers coffee in North Sumatera try to increase product and remain holding the quality of coffee. The Government of Province North Sumatera require to assist all coffee farmers by giving incentive weather is in the form of capital loan or providing of facilities in order to increase the coffee product in North Sumatera, so it can expand in domestic market even penetrate exporting market.
ANALISIS FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan komoditi kopi di Sumatera Utara. Secara khusus bertujuan untuk menganalisis pengaruh harga kopi domestik, harga ekspektasi kopi domestik, harga teh, harga gula dan pendapatan perkapita terhadap permintaan komoditi kopi di Sumatera Utara.
Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa data time series tahun 1985–2005, yang bersumber dari BPS Sumatera Utara, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sumatera Utara dan dianalisis dengan menggunakan metode Ordinary Least Squarer (OLS) denganmenggunakan Model Koyck (model ekspektasi).
Berdasarkan hasil estimasi, penelitian ini menemukan bahwa faktor-faktor yang signifikan mempengaruhi permintaan komoditi kopi di Sumatera Utara ialah harga kopi domestik, harga ekspektasi kopi domestik, harga gula dan pendapatan perkapita pada tingkat kepercayaan 95% dengan koefisien determinasi (R2) sebesar 96,91%. Secara parsial hasil analisis menunjukkan bahwa harga kopi domestik berpengaruh negatif terhadap permintaan komoditi kopi di Sumatera Utara, harga teh (barang substitusi) berpengaruh positif terhadap permintaan komoditi kopi di Sumatera Utara, harga gula (barang komplementer) berpengaruh negatif terhadap permintaan komoditit kopi di Sumatera Utara dan pendapatan perkapita berpengaruh positif terhadap permintaan komoditi kopi Sumatera Utara, sementara itu harga ekspektasi kopi domestik berpengaruh negatif terhadap permintaan komoditi kopi di Sumatera Utara, artinya jika harga ekspektasi turun maka permintaan komoditi kopi oleh konsumen akan meningkat.
Sesuai dengan hasil penelitian tersebut disarankan agar para petani kopi di Sumatera Utara berusaha meningkatkan produksi dan tetap menjaga kualitas kopi yang dihasilkan. Pemerintah Propinsi Sumatera Utara perlu membantu para petani kopi dengan memberikan insentif (rangsangan) apakah berupa pinjaman modal atau penyediaan sarana dan prasarana dalam upaya peningkatan produksi kopi di Sumatera Utara, sehingga mampu menguasai pasar domestik bahkan menembus pasar ekspor (luar negeri).
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP... vii
ABSTRAK... ix
DAFTAR SINGKATAN... xvi
BAB I. PENDAHULUAN... 1
BAB III. METODE PENELITIAN... 37
3.1. Ruang Lingkup Penelitian ... 37
3.2. Jenis dan Sumber Data. ... 37
3.3. Metode Analisis Data. ... 37
3.5. Variabel Penelitian. ... 38
4.1. Perkembangan Permintaan Kopi di Sumatera Utara... 43
4.2. Perkembangan Harga Kopi Domestik, Harga Teh dan Harga Gula di Sumatera Utara ... .. 45
4.3. Perkembangan Pendapatan Perkapita di Sumatera Utara ... 48
4.4. Pembahasan... 49
4.4.1. Hasil Estimasi Dengan Menggunakan OLS... 49
4.4.2. Analisis Permintaan Kopi di Sumatera Utara ... 51
4.2.2.1. Harga Kopi Domestik ... 52
4.2.2.2. Harga Teh... 53
4.2.2.3. Harga Gula ... 54
4.2.2.4. Pendapatan Perkapita ... 55
4.5. Elastisitas... 55
4.6. Uji Penyimpangan Asumsi Klasik ... 57
4.6.1. Uji Normalitas... 57
4.6.2. Uji Multikolinearitas. ... 58
4.6.3. Uji Autokorelasi. ... 60
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 61
5.2. Saran. ... 62
DAFTAR PUSTAKA... 63
LAMPIRAN... 66
DAFTAR TABEL
Nomor Judul halaman
Tabel 1.1. Pendapatan Perkapita Sumatera Utara Tahun 2000 – 2005... 3
Tabel 1.2. Luas Lahan dan Produksi Teh Sumatera Utara
Tahun 2000 – 2005. ... 4
Tabel 1.3. Luas Lahan dan Produksi Kopi Sumatera Utara
Tahun 2000 – 2005. ... 8
Tabel 4.1. Permintaan Komoditi Kopi Di Sumatera Utara tahun 1985 – 2005 44
Tabel 4.2. Harga Kopi Domestik, Harga Teh dan Harga Gula
Di Sumatera Utara tahun 1985 – 2005... 46
Tabel 4.3. Pendapatan Perkapita dan Jumlah Penduduk
Di Sumatera Utara tahun 1985 – 2005... 48
Tabel 4.4. Hasil Estimasi Uji Multikolinearity (Koefisien Korelasi parsial). 59
Tabel 4.5. Uji Autokorelasi pada Hasil Estimasi permintaan Komoditi
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul halaman
Gambar 1. Kerangka pemikiran Faktor-faktor yang Mempengaruhi
DAFTAR GRAFIK
Nomor Judul halaman
Grafik 1. Hasil Estimasi Jerque Bera Normality Test Permintaan Kopi di
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul halaman
Lampiran 1 : Data Permintaan Kopi, Harga Kopi Domestik, Harga Teh,
Harga Gula dan Pendapatan Perkapita Sumatera Utara ... 66
Lampiran 2: Hasil Estimasi Model Koyck (Model Ekspektasi)
Menggunakan OLS secara simultan... 67
Lampiran 3: Hasil Estimasi Model Koyck (Model Ekspektasi)
Menggunakan OLS secara Parsial... 68
Lampiran 4: Hasil Estimasi Model Koyck (Model Ekspektasi)
Menggunakan OLS secara Parsial... 69
Lampiran 5: Hasil Estimasi Model Koyck (Model Ekspektasi)
Menggunakan OLS secara Parsial... 70
Lampiran 6: Hasil Estimasi Model Koyck (Model Ekspektasi)
Menggunakan OLS secara Parsial... 71
Lampiran 7: Hasil Estimasi Model Koyck (Model Ekspektasi)
Menggunakan OLS secara Parsial... 72
Lampiran 8: JB Test Model Koyck (Model Ekspektasi)... 73
DAFTAR SINGKATAN
BPS : Badan Pusat Statistik. I : Income.
MU : Marginal Utilitas. OLS : Ordinary Least Squarer. P : Pasar.
PCD : Price Coffee Domestic.
PCDE : Price Coffee Domestic Expectation. PDRB : Product Domestic Bruto.
PR : Perkebunan Rakyat. PS : Price Sugar.
BAB I
PENDAHULUAN
1.5.Latar Belakang.
Indonesia yang berada pada ekosistem tropis dan terletak pada ketinggian 500
m dari permukaan laut, memiliki keanekaragaman hayati (biodiversity) yang
tergolong kaya didunia. Dengan kondisi yang demikian maka hampir semua produk
hayati yang ada di dunia dapat dihasilkan di Indonesia, dengan perkataan lain
Indonesia memiliki keunggulan komperatif (comperative advantage) pada
produk-produk hayati (Saragih, 1999). Atas pertimbangan prinsip keuntungan komperative
tersebut, memungkinkan untuk dikembangkannya sektor agroindustri yang mencakup
industri hulu dan hilir yang mempunyai kaitan langsung dengan sektor pertanian
(Soeharjo, 1991).
Keterkaitan dan ketergantungan antar sektor ekonomi, sangat penting artinya
bagi pengembangan sistem perekonomian wilayah, hal ini disebabkan karena setiap
sektor ekonomi memerlukan input yang diperoleh dari sektor lain seperti sektor
pertanian dan pada saat yang bersamaan sektor tersebut memproduksi sejumlah
output yang dipasarkan pada sektor lainnya.
Pengembangan agroindustri merupakan tindakan yang secara serentak akan
terhadap hasil pertanian akan meningkat, sebagai akibat berkembangnya agroindustri
maka idealnya lokasi pengembangan agroindustri tersebut ditempatkan di pedesaan,
sesuai dengan prinsip mendekati bahan baku. Disamping karena produk pertanian
sebagai bahan baku agroindustri tersebut umumnya dapat dihasilkan didaerah
pedesaan (Soeharjo, 1991).
Sumatera Utara merupakan salah satu propinsi di Indonesia yang memiliki
potensi sumber daya alam (SDA) yang beragam terutama pada sektor pertanian dan
perkebunan yang menghasilkan bahan pangan maupun komoditi ekspor. Berdasarkan
data statistik jumlah penduduk Sumatera Utara mencapai 12, 326 juta jiwa (tahun
2005) dan sebagian besar penduduknya tinggal dipedesaan yaitu mencapai 6.659 juta
jiwa atau sekitar 54, 03%, sementara itu jumlah penduduk miskin di Sumatera Utara
mencapai 14.93 % yang tingkat pendapatannya masih sangat rendah dan terdapat
sekitar 53.73% penduduk Sumatera Utara yang bekerja di sektor pertanian (BPS,
2006). Sehingga untuk memanfaatkan potensi penduduk yang relatif besar tersebut,
industrialisasi pedesaan (agroindustri) saatnya digalakkan, dalam hal ini adalah
industri untuk mengolah bahan dari hasil pertanian setempat (Sari, 2002).
Pada tabel 1.1 dibawah ini dapat dilihat bahwa jumlah penduduk Sumatera
Utara pada tahun 1996 adalah 10.603.710 jiwa dan mengalami pertambahan pada
tahun 2000 menjadi 11.513.973 jiwa, dengan pendapatan perkapita sebesar Rp.
6.006.103 dan terus mengalami peningkatan menjadi Rp. 7.130.694 pada tahun 2005.
Untuk lebih jelasnya pendapatan perkapita Sumatera Utara disajikan pada tabel
Tabel 1.1 . Pendapatan Perkapita dan jumlah penduduk Sumatera Utara Tahun
Sumber : BPS Sumatera Utara, 2006.
Pada saat Indonesia mengalami krisis ekonomi pada tahun 1997, propinsi
Sumatera Utara juga terkena dampaknya, dan hingga tahun 2000 yang lalu masih
menekan perekonomian secara menyeluruh. Tetapi karena Sumatera Utara memiliki
areal perkebunan yang cukup luas serta terdapatnya agroindustri, walaupun terjadi
krisis ekonomi namun Sumatera Utara masih dapat bertahan hal ini dapat dilihat dari
laju pertumbuhan ekonomi propinsi Sumatera Utara (tanpa migas) yaitu tahun 1997
sebesar 6,88%, tahun 1998 turun menjadi minus 10,99%, tetapi tahun 1999 tumbuh
menjadi 2,66% dan tahun 2001 membaik menjadi 5,23% (Disperindag S.U, 2002).
Secara umum hasil perkebunan yang paling menonjol di Sumatera Utara
adalah; karet, kelapa sawit, tembakau, tebu, teh dan coklat. Komoditi teh merupakan
kebutuhan masyarakat, dimana teh merupakan barang substitusi dari komoditi kopi.
Pada tabel dibawah ini dapat dilihat luas lahan dan produksi teh di Sumatera Utara
sebagai berikut:
Tabel 1. 2. Luas Lahan dan Produksi Teh Sumatera Utara Tahun 1996– 2005.
No Tahun Luas Lahan Teh
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa luas tanaman teh pada tahun 1996
adalah 10.433 ha, dengan produksi sebesar 21.515 Kg, dan pada tahun 2000 luas
lahan teh menjadi 11,401 ha, dengan produksi sebesar 22.228 Kg. Namun pada tahun
2002 luas lahan tanaman teh di Sumatera Utara berkurang menjadi 8.764 ha, dengan
produksi 78.468 kg dan mengalami peningkatan yang drastis dari tahun sebelumnya.
Dan pada tahun 2005 luas lahan teh di Sumatera Utara mengalami penurunan menjadi
5,396 ha dengan produksi yang menurun menjadi 2.542 Kg.
Disamping itu juga terdapat hasil perkebunan rakyat yang juga mampu
menyumbang bagi devisa negara seperti; kelapa, kemenyan, cengkeh, kayu manis,
merupakan hasil dari perkebunan rakyat namun ternyata kopi mampu menyumbang
bagi devisa yang cukup berarti bagi propinsi Sumatera Utara dan kopi tersebut
termasuk andalan ekspor Sumatera Utara.
Mubyarto (1991), menyebutkan bahwa tahun 1980-an hampir seluruh kopi
Indonesia diproduksi oleh petani kecil. Dan sejak tahun 1986 kopi menjadi komoditas
penting dalam ekspor komoditi pertanian Indonesia. Selanjutnya Mc Stoker (1987),
juga menyatakan bahwa kopi merupakan sumber devisa yang menjanjikan bagi
Indonesia, hal ini setidaknya dapat memberikan gambaran bahwa kalau terjadi krisis
kopi maka banyak petani kopi yang terkena dampaknya.
Secara umum sektor pertanian di Negara berkembang sangat dipengaruhi oleh
kecendrungan globalisasi dan liberalisasi. Dan salah satu komoditas pertanian yang
sangat dipengaruhi oleh pasar global adalah komoditi kopi. Konsumen komoditas
pertanian ini sebagian besar berada di negara maju sedangkan produsennya sebagian
besar berada di negara sedang berkembang (Soekartawi, 2002). Kopi merupakan
komoditas perdagangan global yang penting dan menjadi sumber devisa utama bagi
sejumlah negara yang sedang berkembang. Komoditas ini diyakini sebagai salah satu
cash crops yang penting dan vital bagi kehidupan lebih dari 25 juta petani kopi skala
kecil di negara yang sedang berkembang (Ilyas, 1991).
Jika dilihat secara Nasional tingkat produktivitas kopi per hektarnya di
Indonesia umumnya masih relatif rendah, hal ini dipengaruhi oleh iklim, ekologi,
tanah dan sistem pertanian yang ada sangat mempengaruhi tinggi rendahnya
Indonesia hanya rata-rata 500 Kg/ha, sementara negara Brazil bisa menghasilkan 600
Kg/ha, Costarica menghasilkan 1.200 Kg/ha dan Colombia menghasilkan 800 Kg/ha.
Mubyarto (1984), juga menyampaikan bahwa mutu kopi yang dihasilkan oleh
Indonesia masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain yang
juga merupakan produsen komoditi kopi, hal ini disebabkan karena di Indonesia
penanganan proses produksinya masih sederhana. Dan sekitar 80% luas areal
tanaman kopi di Indonesia dikelola oleh rakyat (perkebunan rakyat) dan 88,80%
produksi kopi Indonesia berasal dari perkebunan kopi rakyat dengan sistem pertanian,
teknik budidaya, perlakuan dalam proses pasca panen dan kondisi sosial petani kopi
masih relatif sederhana dan bersifat tradisional sehingga menyebabkan mutu kopi
yang dihasilkan petani kita sangat rendah (Mubiyarto, 1984).
Menurut Papas dan Mark Hirshey (1995), bahwa permintaan adalah
merupakan sejumlah barang atau jasa yang dibeli oleh konsumen selama periode
tertentu berdasarkan situasi dan kondisi tertentu. Mereka juga menyampaikan bahwa
terdapat dua (2) model dasar dalam permintaan, yang pertama adalah permintaan
langsung yang dikenal sebagai teori konsumen dan yang kedua adalah permintaan
turunan yaitu permintaan atas bahan baku sebagai input didalam pembuatan suatu
barang atau jasa yang diminta untuk didistribusikan menjadi produk lainnya
Kopi yang di perdagangkan dipasaran sekarang ini, bukan saja dalam bentuk
tradisional green coffee (biji kopi mentah) yang ditampung oleh para pengolah
roasters, tetapi juga telah siap untuk dikonsumsi dalam bentuk produk turunan.
coffeemix dan capuccino dalam bentuk powder coffee. Kopi selain digunakan sebagai
minuman kenikmatan juga dipergunakan sebagai penyedap berbagai jenis makanan
ringan seperti; tar moka (kue) hingga es krim moka yang sangat disukai oleh
masyarakat, hal ini menyebabkan komoditi kopi menjadi komoditi yang menarik
dalam dunia perdagangan (Spillane, 1991).
Dan pada akhir-akhir ini perkembangan kopi Indonesia sudah mulai
menunjukkan perbaikan, baik dari sisi produksi maupun dari sisi lahan (areal)
tanamannya. Pengelola perkebunan kopi terbesar di Indonesia adalah perkebunan
rakyat (PR) yang luasnya mencapai 94,2% dari total luas tanaman kopi di Indonesia
(Hiraw, 2006). Perkebunan kopi tersebut tersebar diseluruh wilayah Indonesia,
namun hanya beberapa kawasan yang sangat cocok untuk menjadi sentra produksi
kopi seperti Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu serta Sumatera Utara.
Pertumbuhan produksi kopi di Lampung dan Sumatera Utara mencapai 14% per
tahun, sedangkan pertumbuhan luas areal tanaman untuk daerah Lampung mencapai
9,1% dan Sumatera Utara mencapai 4,1%, hal ini menggambarkan bahwa
produktifitas untuk kedua kawasan tersebut sudah mengalami perbaikan (Hiraw,
2006).
Propinsi Sumatera Utara memiliki luas areal kopi 77.720 ha, dengan produksi
berkisar 54,857Kg/ tahun (tahun 2005) dengan produksi rata-rata mencapai 976,19
Kg/ ha (BPS, 2006). Kopi yang ada di Sumatera Utara adalah merupakan tanaman
kopi arabica, yang tersebar pada dataran tinggi antara 700 – 1.300 m diatas
Tapanuli Selatan. Sedangkan kopi robusta umumnya hidup pada dataran rendah pada
ketinggian dibawah 600 m diatas permukaan laut. Pada tabel dibawah ini dapat dilihat
luas lahan dan produksi kopi Sumatera Utara pada tahun 1996 – 2005, sebagai
berikut:
Tabel 1. 3. Luas Lahan dan Produksi Kopi Sumatera Utara Tahun 1996 – 2005.
No Tahun Luas Lahan
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa luas lahan tanaman kopi di Sumatera
Utara pada tahun 1996 adalah 59.420 ha dengan produksi sebesar 28.966 Kg. Dan
pada tahun 2000 luas lahan kopi Sumatera Utara adalah 62,040 ha dengan produksi
sebesar 38.113 Kg dan terus mengalami peningkatan. Dan pada tahun 2005 luas lahan
kopi Sumatera Utara menjadi 77,720 ha dengan total produksi menjadi 54.857 Kg.
Sementara itu nilai ekspor kopi propinsi Sumatera Utara, juga memiliki
peranan penting dalam perekonomian Sumatera Utara, dimana pada tahun 2001
mencapai USD 63.790.788 dengan volume 44.208.475 Kg, atau mampu
Sumatera Utara. Sedangkan untuk tahun 2001 secara Nasional ekspor kopi Sumatera
Utara meyumbang devisa sebesar 34,86% dari total ekspor kopi Indonesia sebesar
183.000.000 kg (Disperindag S.U, 2002).
Produktifitas kopi yang dihasilkan di Indonesia secara umum dan Sumatera
Utara secara khusus masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan daerah
penghasil kopi lainnya, hal ini menyebabkan Sumatera Utara masih mendatangkan
komoditi kopi dari luar daerah untuk memenuhi permintaaan masyarakat (kebutuhan
domestik) dan luar negeri (untuk ekspor). Dalam memenuhi permintaan komoditi
kopi tersebut Sumatera Utara mendatangkannya dari daerah Aceh dan daerah lainnya.
Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa komoditi kopi memiliki potensi yang
menjanjikan untuk dikembangkan sebagai komoditi primadona di Sumatera Utara,
dengan demikian akan memberikan kontribusi yang positif bagi peningkatan
kesejahteraan petani kopi di Sumatera Utara, oleh karena itu penelitian ini
dimaksudkan untuk menganalisis permintaan komoditi kopi di Sumatera Utara, maka
penelitian ini berjudul; “Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan komoditi kopi di Sumatera Utara”.
1.6.Perumusan Masalah.
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan, maka yang menjadi
permasalahan dalam penelitian ini adalah :
1. Berapa besar pengaruh harga kopi domestik terhadap permintaan komoditi
kopi di Sumatera Utara.
2. Berapa besar pengaruh harga ekspektasi kopi domestik terhadap permintaan
komoditi kopi di Sumatera Utara
3. Berapa besar pengaruh harga teh terhadap permintaan komoditi kopi di
Sumatera Utara.
4. Berapa besar pengaruh harga gula terhadap permintaan komoditi kopi di
Sumatera Utara
5. Berapa besar pengaruh pendapatan perkapita masyarakat terhadap permintaan
komoditi kopi di Sumatera Utara.
1.7.Tujuan Penelitian.
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui berapa besar pengaruh harga kopi domestik terhadap
permintaan komoditi kopi di Sumatera Utara.
2. Untuk mengetahui berapa besar pengaruh harga ekspektasi kopi domestik
3. Untuk mengetahui berapa besar pengaruh harga teh terhadap permintaan
komoditi kopi di Sumatera Utara.
4. Untuk mengetahui berapa besar pengaruh harga gula terhadap permintaan
komoditi kopi di Sumatera Utara.
5. Untuk mengetahui berapa besar pengaruh pendapatan perkapita terhadap
permintaan komoditi kopi di Sumatera Utara.
1.8.Manfaat Penelitian.
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
1. Sebagai bahan masukan bagi petani dalam rangka pemenuhan permintaan
kopi di Sumatera Utara. Dan sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam
mengambil kebijakan yang berhubungan dengan komoditi kopi di Sumatera
Utara.
2. Untuk menambah kazanah ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan
komoditi kopi.
3. Sebagai bahan studi bagi peneliti yang berminat untuk melakukan penelitian
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Teori Permintaan.
Dari segi ilmu ekonomi pengertian permintaan sedikit berbeda dengan
pengertian yang digunakan sehari-hari. Menurut pengertian sehari-hari, permintaan
diartikan secara absolut yaitu menunjukkan jumlah barang yang dibutuhkan,
sedangkan dari sudut ilmu ekonomi permintaan mempunyai arti apabila didukung
oleh daya beli konsumen yang disebut dengan permintaan efektif. Jika permintaan
hanya didasarkan atas kebutuhan saja dikatakan sebagai permintaan absolut
(Nicholson, 1995).
Kemampuan membeli seseorang tergantung atas dua unsur pokok yaitu,
pendapatan yang dibelanjakan dan harga barang yang dikehendaki. Apabila jumlah
pendapatan yang dapat dibelanjakan oleh seseorang berubah, maka jumlah barang
yang diminta juga akan berubah. Demikian juga halnya apabila harga barang yang
dikehendaki berubah maka jumlah barang yang dibeli juga akan berubah (Sudarsono,
1990).
Terdapat dua model dasar permintaan yang berkaitan dengan harga, pertama
adalah kenaikan harga menyebabkan para pembeli mencari barang lain yang dapat
digunakan sebagai pengganti terhadap barang yang mengalami kenaikan harga
(substitusi atau komplementer). Bila kenaikan harga suatu barang menyebabkan
permintaan barang lain meningkat (hubungan positif), disebut barang substitusi
barang lain dengan menambah pembelian terhadap barang yang mengalami
penurunan harga. Penurunan harga suatu barang menyebabkan penurunan
permintaaan barang-barang substitusinya, dimana barang substitusi adalah barang
yang dapat berfungsi sebagai pengganti barang lain (Nicholson, 1995). Dan bila dua
jenis barang saling melengkapi, penurunan harga salah satunya mengakibatkan
kenaikan permintaan akan yang lainnya dan sebaliknya jika terjadi kenaikan harga
salah satunya akan mengakibatkan penurunan permintaan terhadap barang yang
lainnya. Bila kenaikan harga suatu barang menyebabkan permintaan barang lain
menurun (hubungan negatif), maka disebut barang komplementer (Nicholson, 1995).
Kedua adalah kenaikan harga menyebabkan pendapatan real para pembeli berkurang
(Sukirno, 2002).
Dalam analisis ekonomi diasumsikan bahwa permintaan suatu barang sangat
dipengaruhi oleh harga dari barang itu sendiri (ceteris paribus). Permintaan seseorang
atau masyarakat terhadap suatu barang ditentukan oleh banyak faktor, antara lain;
harga barang itu sendiri, harga barang lain yang mempunyai kaitan erat dengan
barang tersebut, pendapatan masyarakat, cita rasa masyarakat dan jumlah penduduk
maka dapat dikatakan bahwa permintaan terhadap suatu barang dipengaruhi oleh
banyak variabel (Nicholson, 1991).
Teori permintaan diturunkan dari prilaku konsumen dalam mencapai
kepuasan maksimum dengan memaksimumkan kegunaan yang dibatasi oleh anggaran
yang dimiliki. Hal ini tentu dapat dijelaskan dengan kurva permintaan, yaitu kurva
konsumen dengan harga alternatif pada waktu tertentu (ceteris paribus), dan pada
harga tertentu orang selalu membeli jumlah yang lebih kecil bila mana hanya jumlah
yang lebih kecil itu yang dapat diperolehnya.
Permintaan terhadap suatu komoditi yang dihasilkan oleh produsen terjadi
karena konsumen bersedia membelinya. Komoditi yang dikonsumsi mempunyai sifat
yang khas sebagaimana yang terdapat dalam faktor produksi. Dan semakin banyak
komoditi tersebut dikonsumsi maka kegunaan komoditi tersebut akan semakin
berkurang dengan demikian pembeli akan lebih banyak membeli komoditi tersebut
jika harga satuanya menjadi lebih rendah (Sugiarto, 2000).
Sudarsono (1990), mengelompokkan kerangka pemikiran Marshall bersifat
parsial karena berdasarkan konsep ceteris paribus dimana permintaan dianggap
sebagai kurva. Sementara itu Leon Walras lebih bersifat general karena memasukkan
semua variabel yang mempengaruhi jumlah barang yang diminta, dan secara
matematis dapat digambarkan dalam bentuk umum sebagai berikut :
Qd = f (Pd, Ps, Pk, ……., Y, e), …...(1)
dimana :
Qd : jumlah barang yang diminta Pd : harga barang yang diminta. Ps : harga barang substitusi. Pk : harga barang komplementer.
Sejalan dengan pemikiran Walras, beberapa ahli mengemukakan pendapatnya.
Lipsey, Steiner dan Purvis (1993) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi tingkat permintaan (determinant of demand) adalah :
1. Harga komoditi itu sendiri.
2. Rata-rata penghasilan rumah tangga.
3. Harga komoditi yang berkaitan.
4. Selera (teste).
5. Distribusi pendapatan diantara rumah tangga.
6. Besarnya populasi.
Sudarsono (1980), mengatakan bahwa tujuan dari teori permintaan adalah
mempelajari dan menentukan berbagai faktor yang mempengaruhi permintaan.
Faktor-faktor yang dimaksud adalah harga barang itu sendiri, harga barang lainnya
(bersifat substitusi atau komplementer), pendapatan dan selera konsumen. Disamping
variabel-variabel yang disebutkan diatas, maka distribusi pendapatan, jumlah
penduduk, tingkat preferensi konsumen, kebijaksanaan pemerintah, tingkat
permintaan dan pendapatan sebelumnya turut juga mempengaruhi permintaan
terhadap suatu barang.
Sukirno (2002), menyampaikan bahwa permintaan suatu barang fluktuasinya
akan sangat tergantung kepada beberapa faktor antara lain :
1. Perkembangan dan perubahan tingkat kehidupan penduduk. Ketika terjadi
perkembangan tingkat kehidupan yang lebih baik, maka permintaan akan suatu
2. Perkembangan dan peningkatan pendapatan perkapita penduduk. Ketika
pendapatan seseorang naik, akan meningkatkan jumlah konsumsi yang berarti
juga akan meningkatkan permintaan terhadap suatu jenis barang.
3. Pergeseran dan kebiasaan, selera dan kesukaan penduduk. Pergeseran selera
masyarakat terjadi karena adanya perubahan dalam faktor-faktor yang mendasari
permintaan tersebut, seperti kenaikan pendapatan.
4. Kegagalan produksi yang menyebabkan langkanya suatu produk di pasaran. Hal
ini akan menyebabkan meningkatnya permintaan akan barang tersebut hingga
waktu tertentu. Dan apabila sampai dengan waktu yang ditentukan produk juga
belum ada, maka konsumen akan mencari produk penggantinya.
5. Bencana alam dan peperangan. Terjadinya bencana alam dan peperangan dapat
mengakibatkan meningkatnya permintaan terhadap satu jenis produk, karena
terhambatnya saluran distribusi atau aktivitas usaha, misalnya disebabkan oleh
tidak adanya kepastian keamanan ataupun kondisi geografis yang tidak
mendukung.
6. Faktor peningkatan penduduk. Adanya peningkatan jumlah penduduk akan
menyebabkan peningkatan permintaan akan kebutuhan-kebutuhan masyarakat,
yang meliputi sandang, pangan dan papan.
Maka secara sederhana hukum permintaan dapat dirumuskan sebagai berikut;
bahwa jumlah barang yang akan dibeli per unit waktu akan menjadi semakin besar,
jika harga semakin rendah dimana faktor lain tetap (ceteris paribus). Apabila harga
komoditi itu (Q). Demikian juga jika harga (P) turun (ceteris paribus) maka kuantitas
yang diminta akan meningkat. Namun demikian terdapat pengecualian untuk
beberapa jenis barang tertentu yaitu :
a. Barang inferior (inferior goods), adalah barang-barang yang permintaannya
menurun jika pendapatan naik.
b. Barang prestise (prestig goods), yakni jika harga barang-barang mengalami
kenaikan maka permintaannya bertambah.
c. Pengaruh harapan yang dinamis (dynamic expectational effects), adalah
barang-barang yang jika harganya turun maka jumlah permintaannya turun, apabila orang
mengharapkan bahwa harga akan terus menerus mengalami penurunan.
Kaidah permintaan dapat dinyatakan dalam cara yang paling sederhana
sebagai berikut; 1) Pada harga tinggi, lebih sedikit barang yang akan diminta jika
dibandingkan dengan harga rendah (ceteris paribus), 2) Pada saat harga komoditi
rendah, maka lebih banyak yang akan diminta jika dibandingkan dengan saat harga
tinggi (ceteris paribus). Jadi kaidah permintaan mengatakan bahwa kuantitas yang
diminta untuk suatu barang berhubungan terbalik dengan harga barang tersebut
(ceteris paribus) pada setiap tingkat harga (Miler dan Meiners, 2000). Dan apabila
pendapatan bertambah, maka bagian yang akan dibelanjakan oleh konsumen juga
akan bertambah, sehingga jumlah barang yang bisa dibeli oleh konsumen akan
meningkat.
Selanjutnya Reksoprayitno (2000), memilah perkembangan teori permintaan
Teori permintaan statis dinamakan juga sebagai teori permintaan tradisional, yang
memusatkan perhatiannya pada prilaku konsumen serta beberapa faktor lain yang
mempengaruhi permintaannya. Faktor-faktor ini antara lain adalah; harga barang
yang diminta, harga barang lainnya, tingkat pendapatan dan selera. Teori permintaan
statis ini didasarkan pada beberapa asumsi yaitu; permintaan pasar merupakan total
permintaan perseorangan (individu), konsumen berperilaku rasional, sementara harga
dan pendapatan dianggap tetap dan yang termasuk dalam teori permintaan statis ini
adalah teori utilitas ordinal (ordinal utility theory) dan teori kardinal utilitas (cardinal
utility theory).
2. 2. Teori Konsumen.
Teori konsumen merupakan teori yang mencakup perilaku konsumen dalam
membelanjakan pendapatannya untuk memperoleh alat-alat pemuas kebutuhan,
berupa barang ataupun jasa-jasa konsumsi. Reksoprayitno (2000), menyampaikan
bahwa teori konsumen menjelaskan bagaimana reaksi konsumen dalam kesediaannya
untuk membeli sesuatu barang akan berubah jika jumlah pendapatan konsumen dan
harga barang yang bersangkutan juga berubah. Fungsi utama barang dan jasa
konsumsi adalah untuk memenuhi kebutuhan langsung pemakainya, dengan
terpenuhinya kebutuhan konsumen tersebut akan menimbulkan kepuasan
(satisfaction) bagi konsumen itu sendiri.
Teori konsumen juga mengenal asumsi rasionalitas, dimana konsumen
memperoleh kombinasi barang atau jasa dengan kepuasan maksimum. Teori
konsumen mengenal dua macam pendekatan, yaitu pendekatan guna kardinal
(cardinal utility approach) dan pendekatan guna ordinal (ordinal utility approach).
Teori kardinal utilitas (teori daya guna) pada awalnya dikembangkan oleh
ahli ekonomi aliran Austria seperti; Gossen (1857), Walras (1874) dan Marshall
(1890), teori ini beranggapan bahwa tinggi rendahnya nilai suatu barang untuk
pemuas kebutuhan tergantung dari subjek yang memberi penilaian (Ilyas, 1991).
Dengan demikian barang sebagai alat pemuas kebutuhan akan memiliki nilai bagi
seseorang apabila barang tersebut mempunyai dayaguna (utilitas) bagi pembeli.
Dalam hal penyusunan teori ini, para ahli ekonomi tersebut menggunakan
beberapa asumsi antara lain; rasionalitas (rationality), utilitas kardinal (cardinal
utility), marginal utilitas yang tetap (constant marginal utility), marginal utilitas yang
semakin menurun (diminishing marginal utility). Perkembangan selanjuntnya dari
teori ini adalah “ indifference curva theory ” oleh Hics (1934), namun masih terdapat
kelemahan dari teori ini, terutama dari segi asumsi yang tidak sesuai dengan keadaan
yang nyata (sebenarnya).
Teori utilitas kardinal dengan asumsi yang telah disebutkan, mencoba
menganalisis equilibirium atau keseimbangan konsumen (equilibirium of consumen)
antara marginal utilitas (MU) seorang konsumen dengan tingkat harga barang yang
berlaku di pasar (P). Menurut teori ini keseimbangan konsumen terjadi apabila;
marginal utilitas barang X yang dikonsumsi sama dengan harga barang itu sendiri,
Mux = Px; apabila Mux > Px, maka ………..(2)
konsumen dapat meningkatkan kesejahteraannya dengan membeli barang X lebih
banyak. Selanjutnya jika barang yang dikonsumsi lebih dari satu jenis barang
misalnya; X1, X2 dan X3,…….Xn, maka equilibirium konsumen akan terjadi apabila
rasio antara marginal utilitas dari masing-masing barang tersebut sama dengan
harganya, jadi ;
derivasi matematis yang sederhana dari keseimbangan konsumen adalah :
U = f (Qx)...(4)
Apabila konsumen berkehendak membeli barang X maka pengeluarannya Qx. Px,
maka pengeluaran konsumsi adalah :
I – Px. Qx = 0...(5)
Teori permintaan statis atau tradisional secara umum didasarkan pada daya
guna dan skala preferensi dari konsumen sedangkan teori permintaan yang dinamis
dan pragmatis didasarkan pada prilaku konsumen yang nyata terhadap permintaan
yang berlaku di pasar. Atas dasar ini maka dirumuskanlah permintaan sebagai
hubungan fungsi yang memiliki variabel banyak. Pendekatan ordinal dan kardinal
diatas dengan menggunakan konsep daya guna (utility) sebagai dasar analisis untuk
menyusun permintaan konsumen. Dengan demikian utilitas harus diketahui lebih
Berdasarkan teori yang ada dalam menyusun fungsi permintaan dapat
ditempuh dengan dua cara yaitu cara tidak langsung yang dilakukan oleh Marshall
(marshalian demand function) yang lazim disebut dengan fungsi permintaan biasa
(ordinary demand function). Kemudian ada cara langsung yang disebut dengan cara
pragmatis seperti yang dilakukan oleh Samuelson melalui preferensi nyata yang
diungkapkan (revealed preference) (Sudarsono, 1990).
Dalam membahas permintaan, Marshall menggunakan asumsi bahwa
pendapatan konsumen sifatnya tetap dengan anggapan masih berusaha mencari
pengaruh dari harga terhadap jumlah barang yang diminta. Menurutnya permintaan
diartikan sebagai jumlah barang yang diminta pada berbagai tingkat harga, secara
matematis dituliskan;
Qx = f (Px),...(6)
dengan anggapan bahwa pendapatan tetap, bukan berarti pendapatan tidak
berpengaruh terhadap jumlah barang yang diminta dengan asumsi bahwa faktor lain
tetap (ceteris paribus).
2.3. Konsepsi Elastisitas.
Adanya perubahan harga suatu barang yang diminta oleh konsumen
bertendensi menimbulkan reaksi para pembeli barang tersebut berupa berubahnya
jumlah barang yang diminta (Reksoprayitno, 2000). Pada umumnya meningkatnya
harga mengakibatkan berkurangnya jumlah barang yang diminta dan sebaliknya jika
Reksoprayitno (2002), menyampaikan bahwa untuk mengukur intensitas
reaksi pembeli terhadap perubahan harga suatu barang, para pemikir ekonomi telah
menciptakan suatu alat analisis yang disebut dengan elastisitas. Sudarsono (1990),
mengungkapkan bahwa pada umumnya terdapat tiga variabel yang mempengaruhi
permintaan, yaitu harga barang itu sendiri, harga barang lainnya (substitusi atau
komplementer) dan pendapatan, maka atas dasar ini sehingga dikenal elastisitas harga
barang itu sendiri (price elasticity), elastisitas harga silang (cross elasticity) dan
elastisitas pendapatan (income elasticity).
Pengaruh perubahan harga kadang-kadang tidak dapat ditentukan dengan
pasti, jadi permintaan seseorang akan sesuatu barang akan dapat diketahui melalui
penaksiran empiris statistika. Melalui penaksiran ini akan dapat diketahui besarnya
derajad kepekaan relatif dari perubahan permintaan terhadap perubahan variabel yang
mempengaruhinya.
Bentuk umum yang sering dipakai peneliti dalam penelitian dengan
pendekatan pragmatis yang memiliki elastisitas tetap, sebagai berikut :
4
Po : harga barang lain (substitusi atau komplementer). Y : pendapatan konsumen.
b2 : elastisitas silang dari permintaan. b3 : elastisitas pendapatan dari permintaan. e b4 : faktor trend selera (skala pereferensi).
Pengertian elastisitas dalam hal ini adalah derajad kepekaan dari jumlah
barang yang diminta terhadap perubahan salah satu faktor yang mempengaruhinya.
Sasaran pendekatan pragmatis ini adalah untuk mempelajari elastisitas yang berguna
untuk menjelaskan bobot pengeluaran untuk suatu barang.
Elastisitas yang digunakan untuk mengukur intensitas reaksi konsumen atau
pembeli pada umumnya dalam bentuk perubahan jumlah barang yang diminta
terhadap perubahan harga satuan barang tersebut, yang disebut dengan elastisitas
harga permintaan (price elasticity of demand) atau disebut juga dengan elastisitas
permintaan (demand elasticity). Reksoprayitno (2002), menyampaikan bahwa dalam
fungsi permintaan kualitas barang yang diminta oleh konsumen selain memiliki
hubungan dengan harga barang yang bersangkutan juga berkaitan dengan faktor lain
sehingga dikenal lebih dari satu elastisitas.
Selain elastisitas harga juga dikenal elastisitas pendapatan dan elastisitas
silang. Elastisitas pendapatan (income elasticity) menjelaskan intensitas hubungan
antara jumlah barang yang diminta dengan pendapatan konsumen, sementara
elastisitas silang (cross elasticity) adalah menjelaskan intensitas hubungan antara
jumlah barang yang diminta dengan harga suatu barang lain atau mengukur
tanggapan kuantitas barang yang diminta terhadap barang yang diminta terhadap
dapat positif ataupun negatif. Elastisitas harga silang (cross elasticity) positif
menunjukkan bahwa kenaikan harga dapat menyebabkan permintaan menurun dan
implikasinya barang tersebut merupakan subsitusi. Dan jika elastisitas silang (cross
elasticity) berubah menjadi negatif, kenaikan harga menyebabkan penurunan
permintaan, implikasinya barang tersebut merupakan barang komplementer.
Secara umum perubahan harga pada suatu barang berpengaruh pada jumlah
barang yang diminta, baik pengaruh substitusi maupun pengaruh pendapatan atau
gabungan keduanya yang disebut dengan jumlah pengaruh total (total effect).
Berdasarkan pengaruh harga ini, jika dihubungkan dengan jumlah barang yang
diminta oleh konsumen dapat dibedakan atas barang substitusi dan barang
komplementer, demikian juga pengaruh perubahan pendapatan terhadap jumlah
barang yang diminta oleh konsumen dapat dibedakan atas barang normal (normal
goods) yaitu barang-barang yang permintaanya naik bila pendapatan lebih tinggi dan
permintaannya akan turun bila pendapatan lebih rendah, barang superior (superior
goods) atau barang mewah (luxuries goods), barang inferior (inferior goods) adalah
barang yang permintaanya cenderung turun bila pendapatan naik, barang giffen
(giffen goods) dan sebagainya.
2.4 Komoditi Kopi Dan Aspek Ekonomisnya.
Tanaman kopi adalah pohon kecil yang bernama perpugenus coffea dari
terdapat sekitar 4.500 jenis kopi yang dapat dibagi dalam empat kelompok besar
yaitu;
a. Cofffe canefora, salah satu jenis varietasnya yang menghasilkan kopi dagang
robusta.
b. Coffea arabica, yang menghasilkan kopi dagang arabica.
c. Coffea exelca yang menghasilkan kopi dagang exelca.
d. Coffea liberica yang menghasilkan kopi dagang liberica.
Dari segi produksi yang paling menonjol dalam kualitas dan kuantitas adalah
jenis arabica, yang memberikan kontribusi pada pasokan kopi dunia sekitar 70%,
kemudian jenis kopi robusta yang mutunya berada dibawah kopi arabica, hanya
memberikan kontribusi sekitar 24% produksi kopi dunia (Spillane, 1991).
Bredley (1916), didalam bukunya yang berjudul “A short historical account of
coffea, containing the most remarkable observations of greatest men in Europe
concerning it “, merupakan orang yang pertama menulis sejarah tentang kopi
kemudian diikuti oleh penulis lainnya. Linnaeus (1937) dan Smith (1985), melalui
buku yang mereka tuliskan bahwa daerah asal kopi adalah Abyssinia atau Ethiopia
sekarang ini, kemudian masuk ke Yaman sekitar tahun 575 SM (sebelum masehi).
Ada berbagai dugaan yang memperkirakan bahwa masuknya tanaman kopi ke Yaman
adalah melalui akulturasi kebudayaan antara kedua suku bangsa waktu itu. Barangkali
hal ini juga yang menjadi alasan yang kuat terhadap penyebaran kopi kedaerah
lainnya disekitar Abyssinia seperti Mesir, Persia dan jajirah Arab lainnya (Ilyas,
Legenda lainnya menyebutkan bahwa kopi sebagai tanaman semak dan perdu
ditemukan oleh kepala rombongan Nomade dan penggembala kambing bangsa Arab
bernama Kaldi pada oase-oase yang terdapat dijajirah Arab. Kelompok nomade ini
kemudian membawa tanaman ini keladang penggembalaannya dan dibudidayakan.
Atas jasa Rahib Scialdi dan Aydius, tanaman ini kemudian diperkenalkan secara luas
kepada seluruh suku bangsa yang mendiami gurun pasir pada saat itu.
Kemudian sekitar tahun 1915, pedagang-pedagang dari Venesia membawa
biji kopi dari Mocha (Saudi Arabia) ke Eropa, sejak saat itu mulailah perdangan yang
menguntungkan dunia Arab dan sepanjang 100 tahun mereka menjadi satu-satunya
daerah penghasil kopi di dunia (Spillane, 1991).
Di Prancis pertama sekali kopi diperkenalkan oleh seorang Burgomaster
kepada Raja Louis XIV dan kemudian dikembangkan di Jardin Des Plantes di Paris
Prancis. Kemudian diperkenalkan oleh Spayol kepada koloni-koloninya hingga ke
India Barat. Dan Inggris adalah negara yang terakhir yang mengembangkan kopi
dinegara koloninya mulai dari Jamaika pada tahun 1730 dan India pada tahun 1840.
Pada saat yang sama Brasilia mulai memasuki bidang ini, karena dibawa oleh seorang
pegawai Brasilia yang ketika berkunjung ke Guyama Prancis tahun 1727. Dan sejak
itu mulailah kejayaan Brasilia sebagai penghasil kopi dunia (Spillane, 1991).
Untuk pertama kalinya kedai kopi dibuka di Inggris tahun 1650 oleh Jacob,
tepatnya di Angel Hight di Kota Oxford antara University College dan Examinations
tahun 1852 di St. Michael’s Alley berdekatan dengan kantor Kerajaan (Royal
Exchange), (Spillane, 1991).
Pada tahun 1715 ada lebih dari 2.000 kedai kopi yang berdiri di kota London
dan tempat itu menjadi pusat perkembangan kehidupan sosial, politik dan
perdagangan, terutama setelah dilakukan pembangunan gedung-gedung untuk
keperluan bank niaga, asuransi, bursa saham (stock exchange) di kota tersebut.
Berdiri juga sebuah kedai kopi Lioyd di tower street antara dermaga St. Katharine
Docks dan Wapping, kedai kopi ini sangat ramai karena sering dikunjungi oleh
orang-orang kapal dan para pedagang.
Pada tahun 1925, di Pematang Siantar, juga berdiri sebuah kedai kopi dengan
nama Kedai Kopi Massa Koktung, yang didirikan oleh Lim Tie Kie yang berlokasi di
Jalan Cipto. Saat ini kedai kopi tersebut dikelola oleh Jamin yang merupakan
keturunan dari Lim Tie Kie. Kedai kopi ini bisa menjual 500 gelas/ hari dengan harga
rata-rata Rp. 2.000/ gelas. Bahan kopi yang digunakan adalah kopi robusta yang
didatangkan dari Tapanuli Utara, Sidamanik dan Samosir. Selain dijual dalam bentuk
teh kopi (liquid coffee), bubuk kopi massa koktung juga dijual dalam bentuk saset
hingga ke Riau dan pulau Jawa. (SIB, 2006).
Disamping pesatnya perkembangan penjualan dan konsumsi terhadap
komoditi kopi, disatu sisi juga terjadi penolakan untuk mengkonsumsi kopi. Pada
tahun 1511 Kaisar Bey seorang Gubernur muda dari Kesultanan Kairo di Mekkah,
ketika usai berdoa dari Mesjid dia melihat beberapa orang di ujung jalan sedang
berkata bahwa hal tersebut bertentangan dengan hukum Islam, maka keesokan
harinya semua kedai kopi didaerah itu ditutup. Sementera itu di Italia para Pastor juga
mengusulkan kepada Paus Clement (1592-1605), untuk melarang penggunaan kopi di
kalangan umat Kristen, karena kopi dianggab berkaitan dengan dunia mistik
(pemberian setan) (Spillane, 1991).
Pada tahun 1656 Ottoman Grand Vizir Koprilli, menganggap bahwa kedai
kopi merupakan sumber keburukan dan korupsi, sehingga warganya dilarang untuk
meminum kopi, bagi yang melanggar akan dihukum. Pada tahun 1674 petisi dari
kaum wanita (a women’s petition a gainst coffee), menerbitkan buku untuk pertama
kalinya tentang penolakan terhadap kopi, mereka mengeluh karena pada saat krisis
mereka sering ditinggalkan suami yang suka pergi untuk mengunjungi kedai kopi.
Selanjutnya pada tahun 1675, Raja Charles II mengeluarkan maklumat untuk
memusnahkan kedai-kedai kopi kerena tempat itu menjadi “ tempat orang-orang yang
suka bermalas-malasan”.
Namun walaupun demikian, nampaknya kopi merupakan barang yang sangat
bermanfaat, dimana pada tahun 1658 kopi sudah merupakan komoditi perdagangan
Internasional, dimana pada waktu itu Eropa Barat telah melakukan impor kopi dari
Ceylon (Sailan). Kemudian tahun 1699 kopi di perkenalkan ke Indonesia yaitu Pulau
Jawa yang dibawa oleh VOC.
Kopi di perdagangkan pada dasawarsa terakhir ini, bukan saja dalam bentuk
tradisional green coffee (biji kopi mentah) yang ditampung oleh para pengolah
diantaranya dalam bentuk; kopi rendangan (roasted coffee), kopi bubuk (powder
coffee), kapi cair (liquid coffee). Kopi selain digunakan sebagai minuman kenikmatan
juga dipergunakan sebagai penyedap berbagai jenis makanan (makanan ringan) mulai
dari; tar moka (kue), hingga es buah serta es krim moka yang sangat disukai oleh
masyarakat, hal ini menyebabkan komoditi kopi menjadi komoditi yang menarik
dalam dunia perdagangan baik domestik maupun internasional (Marlina, 2005).
Kopi telah merupakan salah satu bahan minuman rakyat di seluruh dunia, baik
di negara produsen apalagi di negara pengimpor (konsumen). Kopi merupakan suatu
komoditi penting dalam ekonomi dunia, dan mencapai nilai perdagangan sebesar US
dolar 10.3 millyar (Spillane, 1991), antara negara yang sedang berkembang dengan
negara-negara maju. Sehingga komoditi kopi menjadi salah satu komoditi ekspor
yang menjanjikan, disamping itu juga memiliki peranan penting sebagai sumber
penghidupan bagi berjuta-juta petani kopi diseluruh dunia.
Di Indonesia kopi merupakan salah satu komponen industri pertanian yang
penting. Pada tahun 1986 sektor perkopian Indonesia mempekerjakan sedikitnya 8
juta orang, termasuk didalamnya 2 juta petani kopi rakyat. Kopi pun merupakan
sumber penghidupan bagi 1, 6 juta keluarga petani dan lebih kurang 30.000 keluarga
karyawan yang bekerja di berbagai perkebunan kopi di Indonesia (Spillane, 1991).
Investasi yang ditanamkan dalam usaha perkopian Indonesia tidak kecil, termasuk
dana bank untuk keperluan kredit bagi petani kopi, guna ekstensifikasi dan
beberapa propinsi di Indonesia seperti; Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Selatan,
Lampung dan Sumatera Utara (Spillane, 1991).
Lepi Tarmizi (1990) memperkirakan bahwa permintaan kopi untuk
dikonsumsi di Indonesia adalah 0,50 Kg/ kapita/ tahun, hal ini sesuai dengan
perhitungan Assosiasi Ekonomi Kopi Indonesia (AEKI) 1987 yaitu sebesar 0,50
Kg/kapita/ tahun (Ilyas, 1991).
Angka ini tentunya sangat kecil jika dibandingkan dengan permintaan kopi
untuk konsumsi masyarakat di negara-negara Amerika Latin seperti Brazil, Colombia
dan negara lainnya. Sementara itu konsumsi kopi masyarakat di Brazil adalah 5,50
Kg/ kapita/ tahun, Colombia adalah 4,50 Kg/kapita/ tahun, Costarica adalah 6,50
Kg/kapita/ tahun, Elsalvador adalah 2,00 Kg/kapita/ tahun, Guatemala adalah 4,00
Kg/kapita/tahun, Haiti adalah 3,00 Kg/kapita/ tahun dan Mexico adalah 1,50
Kg/kapita/tahun. Permintaan kopi untuk konsumsi di Indonesia juga masih sangat
rendah, jika dibandingkan dengan permintaan masyarakat terhadap kopi di
negara-negara Afrika, bahkan Asia seperti India. Dengan demikian permintaan kopi untuk
konsumsi di Indonesia, jika dibandingkan dengan negara-negara lain sebagai
produsen kopi, relatif sangat rendah.
2.5. Penelitian Sebelumnya.
Edison (1971), melakukan penelitian mengenai permintaan atau konsumsi
kopi di Indonesia, dia membedakan permintaan kopi biji dan permintaan bubuk kopi.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa 52,3% sampel (dari 10 propinsi), tidak
meminum kopi dengan alasan kesehatan dan tingkat kemurnian kopi yang
dikonsumsi responden sangat bervariasi. Tidak terdapat konsumsi kopi murni, dan
selanjutnya dikatakan bahwa rata-rata kemurnian kopi yang dikonsumsi adalah 64%
untuk daerah perkotaan dan 73 % untuk daerah pedesaan (Ilyas, 1991).
Venkatram dan Deodhar, (1999), melakukan penelitian mengenai permintaan
kopi di pasar domestik India. Konsumsi kopi diwilayah itu adalah 80 gr/ kapita tahun
1960- 1961 dan menurun menjadi 60 gr/ kapita tahun 1996-1997. Sementara itu
konsumsi teh sebagai barang substitusi kopi mengalami peningkatan dari 296 gr/
kapita menjadi 657 gr/ kapita untuk tahun 1997 – 1998. Adapun variabel yang
diamati dalam penelitian tersebut adalah produksi kopi itu sendiri, harga kopi,
pendapatan perkapita dan harga teh. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh
kesimpulan bahwa harga kopi memiliki hubungan yang negatif terhadap permintaan
kopi, pendapatan perkapita memiliki hubungan yang positif terhadap permintaan
kopi. Dan ternyata harga teh memiliki hubungan yang positif terhadap permintaan
kopi diwilayah itu artinya adanya peningkatan harga disebabkan oleh jumlah
permintaan yang semakin meningkat. Dan selanjutnya beliau mengatakan permintaan
kopi in-elastis dalam jangka panjang dan memiliki nilai in-elastisitas yang sangat
tinggi dalam jangka pendek, tetapi elastisitas harga terhadap permintaan kopi adalah
rendah.
Hutabarat (2004), melakukan penelitian mengenai Kondisi pasar dunia dan
menunjukkan bahwa perkembangan industri dan ekonomi kopi nasional tidak terlepas
dari prilaku dan perkembangan pasar kopi dunia. Berdasarkan penelitian tersebut
ditemukan bahwa elastisitas permintaan kopi terhadap pendapatan negara pengimpor
(Jepang, Jerman dan Belanda) menunjukkan nilai positif dan sangat elastis.
Selanjutnya dikemukakan bahwa elastisitas permintaan pengimpor kopi terhadap
perubahan nilai tukar US dolar bernilai positif (untuk Jepang dan Amerika), artinya
jika rupiah semakin terkoreksi (terdepresiasi) terhadap US dollar, maka kopi
Indonesia relatif lebih murah sehingga volume kopi yang di impor oleh negara
pengimpor akan meningkat.
Dureval (2005), melakuan penelitian dengan maksud untuk mengevaluasi
keuntungan potensial dari pertumbuhan produksi kopi yang dilihat dari harga yang di
inginkan oleh konsumen. Variabel yang diteliti adalah; harga kopi relatif, pendapatan
masyarakat dan faktor lain yang mempengaruhi permintaan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa harga kopi berhubungan negatif dengan permintaan kopi itu
sendiri sementara pendapatan masyarakat memiliki hubungan yang positif dengan
permintaan kopi secara signifikan.
Deodhar dan Pandey (2006), melakukan penelitian untuk mengetahui keadaan
tingkat persaingan dalam pasar domestik dalam konteks pasar kopi instan. Beliau
menyampaikan bahwa perdagangan bebas ternyata memberikan kontribusi dalam
persaingan dipasar domestik yang memungkinkan terjadinya persaingan sempurna
(perfect competition). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan perkapita
dalam kondisi pasar persaingan sempurna, dan harga memiliki hubungan yang negatif
terhadap pola konsumsi kopi instan diwilayah dimana penelitian itu dilakukan.
Wahyudian, dkk (2003), melakukan penelitian tentang Analisis faktor-faktor
yang mempengaruhi konsumsi kopi di Jakarta. Hasil regresi logistik menunjukkan
bahwa konsumen berusia muda (18-25 tahun) berpeluang mengkonsumsi kopi lebih
besar daripada konsumen yang berusia 45 tahun. Peningkatan rasio anggota rumah
tangga yang mengkonsumsi kopi terhadap total rumah tangga sebagai pengaruh
lingkungan konsumen semakin mendorong peluang seseorang untuk mengkonsumsi
kopi. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa permintaan kopi masyarakat Jakarta
mengalami peningkatan dengan tingkat perubahan yang sedang, hal ini disebabkan
karena rata-rata konsumsi kopi perkapita masyarakat Jakarta antara 0,75 – 1,13 kg/
kapita/ tahun, lebih tinggi daripada konsumsi masyarakat Indonesia secara umum
yaitu sebesar 0,64 Kg/ kapita/ tahun.
2.6. Kerangka Pemikiran.
Permintaan terhadap suatu komoditi pertanian merupakan banyaknya
komoditi pertanian yang dibutuhkan dan dibeli oleh konsumen. Karena itu besar
kecilnya permintaan terhadap komoditi pertanian umumnya dipengaruhi oleh harga,
harga substitusi atau harga komplementernya, selera dan keinginan jumlah konsumen
dan pendapatan konsumen yang bersangkutan (Soekartawi, 2002).
Dilain pihak Wanardi (1976), menyatakan bahwa pengertian permintaan
tertentu dengan harga yang berlaku pada saat itu. Sedangkan menurut Bishop dan
Toussaint (1958), pengertian permintaan dipergunakan untuk mengetahui hubungan
jumlah barang yang dibeli oleh konsumen dengan harga alternatif untuk membeli
barang yang bersangkutan dengan anggapan bahwa harga barang lainnya tetap. Hal
ini dapat dijelaskan dengan kurva permintaan, yaitu kurva yang menunjukkan
hubungan antara jumlah maksimum dari barang yang dibeli oleh konsumen dengan
harga alternatif pada waktu tertentu.
Menurut Bishop dan Toussaint (1958), adapun faktor-faktor yang
mempengaruhi permintaan adalah jumlah penduduk, pendapatan, harga barang,
harga barang lainnya, selera dan pereferensi konsumen. Namun karena jumlah
penduduk dan penyebaran pendapatan berpengaruh teradap permintaan barang
dipasaran, maka fungsi permintaan ini juga dipengaruhi oleh variabel ini. Jumlah
penduduk yang semakin bertambah akan menggeser kurva permintaan ke sebelah
kanan yang berarti bahwa pada harga yang sama jumlah barang yang diminta
bertambah besar, ceteris paribus tetapi untuk permintaan perkapita, kurva permintaan
dapat bergerak ke kanan atau kekiri atau bahkan tidak bergeser sama sekali
(Soekartawi, 2002).
Perubahan keseimbangan antara permintaan dan penawaran akan menetukan
perubahan harga. Jika dilihat dari perubahan harga maka pengaruh harga komoditi
substitusi atau komoditi komplementernya adalah penting sekali. Dengan demikian
besar kecilnya elastisitas harga terhadap besarnya permintaan atau penawaran bagi
substitusi atau komplementernya. Harga beberapa komoditi pertanian sering naik
atau turun secara tidak terkendali (berfluktuasi), yang lazim terjadi adalah turunnya
harga pada saat panen dan adanya kenaikan harga pada saat paceklik. Fluktuasi harga
ini pada akhirnya juga mempengaruhi ramai tidaknya pemasaran komoditi pertanian
tersebut, dan sesekali kenaikan harga yang terjadi dapat menguntungkan petani
sehingga merangsang mereka untuk tetap berproduksi (Soekartawi, 2002).
Sementara itu Papas dan Mark Hirshey (1995), menyatakan bahwa
permintaan adalah sejumlah barang dan jasa yang dibeli oleh konsumen selama
periode tertentu berdasarkan situasi dan kondisi tertentu. Menurut Papas dan Mark
Hirshey (1995), terdapat dua (2) model dasar dalam permintaan, yang pertama adalah
permintaan langsung yang dikenal sebagai teori konsumen, dan yang kedua adalah
permintaan turunan yaitu permintaan atas bahan baku sebagai input didalam
pembuatan suatu barang atau jasa yang diminta untuk didistribusikan menjadi produk
lainnya. Dan secara skematis kerangka pemikiran dalam penelitian ini digambarkan
Gambar 1. Kerangka pemikiran Faktor-faktor yang Mempengaruhi Permintaan Komoditi Kopi di Sumatera Utara.
2.7. Hipotesis Penelitian.
Berdasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan diatas, maka
dikemukakan hipotesis sebagai berikut :
1. Harga kopi domestik berpengaruh negatif terhadap permintaan komoditi kopi di
Sumatera Utara, ceteris paribus.
2. Harga Ekspektasi kopi domestik berpengaruh negatif terhadap permintaan
komoditi kopi di Sumatera Utara, ceteris paribus
3. Harga teh berpengaruh positif terhadap permintaan komoditi kopi di Sumatera
Utara, ceteris paribus.
4. Harga gula berpengaruh negatif terhadap permintaan komoditi kopi di Sumatera
Utara, ceteris paribus.
5. Pendapatan perkapita masyarakat berpengaruh positif terhadap permintaan
komoditi kopi di Sumatera Utara, ceteris paribus.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini memfokuskan kepada masalah permintaan komoditi kopi di
Sumatera Utara, dimana pembahasan dalam penelitian ini mencakup beberapa faktor
seperti; harga kopi domestik, harga ekspektasi kopi domestik, harga teh (barang
substitusi), harga gula (barang komplementer) dan pendapatan perkapita masyarakat
terhadap permintaan komoditi kopi di Sumatera Utara.
3.2. Jenis dan Sumber Data.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder yang bersumber
dari lembaga resmi pemerintah. Adapun data yang digunakan adalah data time series
21 tahun, mulai dari tahun 1985 – 2005, yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik
(BPS), Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sumatera Utara, dan sumber-sumber
lain seperti jurnal dan hasil penelitian.
3.3. Metode Analisis Data.
Setelah data dikumpulkan dan ditabulasi, selanjutnya akan dianalisis sesuai
dengan hipotesa yang diajukan. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian
3.4. Model Analisis.
Dalam analisis regresi hubungan antara variabel independent dan variabel
dependent adalah dalam bentuk linier maka untuk itu fungsi persamaan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah :
Qdc = f (Pcd, Pt, Ps, I, T)………..………(8)
Dari fungsi tersebut diatas kemudian diderivasikan ke dalam model
persamaan ekonometrika dalam bentuk Model Koyck (Model Ekspektasi) untuk
melihat permintaan komoditi kopi di Sumatera Utara sebagai berikut :
Model Koyck(Model Ekspektasi) :
Qdc = a + b1Pcd + b2Pcde + b3Pt + b4Ps + b5 I + µ ………..…….………..(9)
Dimana :
Qdc : Jumlah permintaan kopi di Sumatera Utara (Kg)
a : Intercept
b1-b5 : Koefisien regresi. Pcd : Harga kopi domestik (Rp/ kg).
Pcde : Harga ekspektasi kopi domestik di Sumatera Utara (Rp/ kg). Pt : Harga komoditi teh (Rp/ Kg).
Ps : Harga gula (Rp/ kg). I : Pendapatan perkapita (Rp)
3.5. Variabel Penelitian.
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah variabel-variabel