• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Hukum Tanggung Jawab Maskapai Penerbangan Sipil Terhadap Kerugian yang Timbul Berdasarkan Konvensi Chicago Tahun 1944

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tinjauan Hukum Tanggung Jawab Maskapai Penerbangan Sipil Terhadap Kerugian yang Timbul Berdasarkan Konvensi Chicago Tahun 1944"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN HUKUM TANGGUNG JAWAB MASKAPAI PENERBANGAN SIPIL TERHADAP KERUGIAN YANG TIMBUL BERDASARKAN

KONVENSI CHICAGO TAHUN 1944

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh:

SAMUEL B NABABAN NIM: 090200375

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

    

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

TINJAUAN HUKUM TANGGUNG JAWAB MASKAPAI PENERBANGAN SIPIL TERHADAP KERUGIAN YANG TIMBUL BERDASARKAN

KONVENSI CHICAGO TAHUN 1944

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir Dalam Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

SAMUEL B NABABAN NIM: 090200375

Disetujui Oleh :

KETUA DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

Arif, SH.MH

NIP : 196403301993031002

Dosen Pembimbing I : Dosen Pembimbing II :

Sutiarnoto. SH.M.Hum Dr. Chairul Bariah, SH.M.Hum NIP : 1956101019866031003 NIP : 195612101986012001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

ABSTRAK

    Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan dengan intensitas penerbangan antar pulau yang cukup tinggi, sehingga diperlukan perlindungan maksimal terhadap para pengguna fasilitas penerbangan dalam hal ini konsumen.

Dalam penelitian ini yang menjadi permasalahan meliputi pengaturan aspek ekonomi penerbangan sipil menurut konvensi chicago 1944, pengaturan aspek teknis dan operasional penerbangan menurut sipil menurut konvensi chicago 1944 dan bentuk pertanggungjawaban maskapai penerbangan sipil menurut konvensi chicago 1944.

Adapun yang menjadi tipe penelitian dari karya ilmiah ini adalah penelitian normatif. Penelitian normatif merupakan penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum dan penelitian terhadap sinkronisasi hukum. Dengan tujuan untuk membandingkan hukum positif di Indonesia yang mengatur tentang penerbangan sipil yakni dalam UU No.1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan dengan Konvensi chicago Tahun 1944 yang merupakan acuan hukum internasional dalam hal penerbangan sipil. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa data sekunder, yang terdiri dari Bahan hukum primer berupa produk-produk hukum berupa peraturan perundang-undangan, yang dalam hal ini berupa undang-undang, konvensi hukum internasional, deklarasi, maupun protokol. Bahan hukum sekunder berupa bahan acuan yang bersumber dari buku-buku,surat kabar, media internet serta media massa lainnya yang berhubungan dengan masalah yang dibahas. Bahan hukum tersier berupa bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, berupa kamus dan sebagainya.

Hasil dari penelitian ini adalah bahwa konvensi chicago telah mengatur secara tegas terkait dengan aspek ekonomi dan aspek teknis dari maskapai penerbangan guna meminimalisir kecelakaan yang terjadi maupun bentuk pertanggungjawaba n dari pihak maskapai penerbangan apabila kecelakaan terjadi yang tentu saja merugikan pihak konsumen.

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang menciptakan segala sesuatunya dengan sempurna dan mengizinkan serta memampukan penulis untuk dapat menyelesaikan perkuliahan dan skripsi ini. Penulis mengetahui bahwa tidak ada yang dapat penulis lakukan selain berkat Kasih KaruniaNya, oleh karena itu penulisan skripsi ini Penulis persembahkan kepada Tuhan yang telah memberikan saya kesempatan untuk dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi yang berjudul :

“TINJAUAN HUKUM TANGGUNG JAWAB MASKAPAI PENERBANGAN SIPIL TERHADAP KERUGIAN YANG TIMBUL

BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO TAHUN 1944”

Penulis sadar bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih ada banyak kesalahan dan ketidaksempurnaan, Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari pihak mana pun sangat diharapkan oleh penulis demi kesempurnaan isi skripsi ini.

Dengan penuh rasa hormat, penulis juga berterima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan selama proses penulisan skripsi dan dalam kehidupan penulis, yakni:

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc.(CTM), Sp.A(K)., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) Medan;

2. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum USU;

3. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH. M.Hum selaku pembantu Dekan I;

4. Syafruddin,SH,DFN selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum USU Medan;

5. Muhammad Husni,SH,M.H selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum USU;

6. Arif, SH, M.H. selaku Ketua Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum USU;

7. Dr. Jelly Leviza. SH. M.Hum. selaku Sekretaris Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum USU;

(5)

9. Dr. Chairul Bariah, SH. M.Hum. selaku Dosen Pembimbing II penulis;

10. Kepada seluruh Dosen dan Pegawai Fakultas Hukum USU yang selama ini telah banyak membantu Penulis;

11. Ucapan terima kasih yang besar kepada abangda Dedy Usmana, SE. selaku Sekretariat Departemen Hukum Internasional yang telah banyak membantu Penulis.

12. Ucapan terima kasih kepada abangda Satria Braja hariandja. SH. MH. yang telah banyak memberi ilmu dan sarannya kepada penulis;

13. Teristimewa kepada kedua orang Tua yang sangat Penulis cintai, Bapak Pangihutan Nababan. Spd dan Ibu Manganar Sihombing yang selalu sabar membimbing dan mengasihi Penulis sampai saat ini dan yang selalu memberikan dukungan Moril dan Materil kepada Penulis;

14. Seluruh Keluarga besar Penulis, Cahaya Desmita Nababan Amk, Mayerni Valentina Nababan Amk, Rosmawati Nababan SH, Sri Ningsih Spd dan keempat keponakan ku tercinta Erin, Amel, Evan dan Robin;

15. Kepada seluruh teman-teman ILSA stambuk 2009 yang baik-baik dan pintar-pintar dan seluruh teman-teman penulis stambuk 2009 terutama spesial buat apara tercinta Gerhad Nababan, SH;

Akhir kata, Penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila terdapat kesalahan, baik itu kata-kata maupun perbuatan. Semoga yang penulis sajikan dalam skripsi ini dapat membawa manfaat bagi kita semua.

Medan, Juli 2013 Penulis ,

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR... ii

DAFTAR ISI... iv

BAB I : PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Rumusan Permasalahan... 5

C. Tujuan Penelitian... 6

D. Manfaat Penelitian... 6

E. Keaslian Penelitian... 7

F. Tinjauan Kepustakaan... 7

G. Metode Penelitian... 13

H. Sistematika Penulisan... 15

BAB II : Pengaturan Aspek Ekonomi Penerbangan Sipil Menurut Konvensi Chicago 1944 ……….. 17

A.Latar Belakang Lhirnya Konvensi Chicago Tahun 1944... 17

B.Tujuan Konvensi Penerbangan sipil Menurut Konvensi Chicago Tahun 1944... 19

C.Aspek Ekonomi Penerbangan Internasional Menurut Konvensi Chicago Tahun 1944... 26

(7)

A. Kedaulatan Negara Dalam Konteks Penerbangan Sipil

Menurut Konvensi Chicago Tahun 1944... 32

B. Aspek Teknis & Operasional Penerbangan Sipil Menurut Konvensi Chicago Tahun 1944... 39

C. Aspek Pendaftaran & Kebangsaan Pesawat Udara Menurut Konvensi Chicago Tahun 1944... 39

BAB IV : Pertanggungjawaban Maskapai Penerbangan Terkait dengan Kerugian Yang Timbul berdasarkan Ketentuan Yang Berlaku ………. 51

A. Pengaturan Kerugian Yang Timbul Dari Penerbangan Sipil Menurut UU No.1/2009 Tentang Penerbangan... 51

B. Pengaturan Kerugian Yang Timbul menurut Konvensi Chicago Tahun 1944... 54

C. Perbandingan Antara UU No.1/2009 Tentang Penerbangan Dengan Konvensi Chicago Tahun 1944... 58

BAB V : KESIMPULAN & SARAN ………. 67

A. Kesimpulan... 67

B. Saran... 68

Daftar Pustaka... 69

Lampiran I Tentang Protokol Naskah Asli Bahasa Keenam dari Konvensi

Penerbangan Sipil Internasional (Chicago, 1944)

(8)

ABSTRAK

    Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan dengan intensitas penerbangan antar pulau yang cukup tinggi, sehingga diperlukan perlindungan maksimal terhadap para pengguna fasilitas penerbangan dalam hal ini konsumen.

Dalam penelitian ini yang menjadi permasalahan meliputi pengaturan aspek ekonomi penerbangan sipil menurut konvensi chicago 1944, pengaturan aspek teknis dan operasional penerbangan menurut sipil menurut konvensi chicago 1944 dan bentuk pertanggungjawaban maskapai penerbangan sipil menurut konvensi chicago 1944.

Adapun yang menjadi tipe penelitian dari karya ilmiah ini adalah penelitian normatif. Penelitian normatif merupakan penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum dan penelitian terhadap sinkronisasi hukum. Dengan tujuan untuk membandingkan hukum positif di Indonesia yang mengatur tentang penerbangan sipil yakni dalam UU No.1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan dengan Konvensi chicago Tahun 1944 yang merupakan acuan hukum internasional dalam hal penerbangan sipil. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa data sekunder, yang terdiri dari Bahan hukum primer berupa produk-produk hukum berupa peraturan perundang-undangan, yang dalam hal ini berupa undang-undang, konvensi hukum internasional, deklarasi, maupun protokol. Bahan hukum sekunder berupa bahan acuan yang bersumber dari buku-buku,surat kabar, media internet serta media massa lainnya yang berhubungan dengan masalah yang dibahas. Bahan hukum tersier berupa bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, berupa kamus dan sebagainya.

Hasil dari penelitian ini adalah bahwa konvensi chicago telah mengatur secara tegas terkait dengan aspek ekonomi dan aspek teknis dari maskapai penerbangan guna meminimalisir kecelakaan yang terjadi maupun bentuk pertanggungjawaba n dari pihak maskapai penerbangan apabila kecelakaan terjadi yang tentu saja merugikan pihak konsumen.

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Mengingat negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara kepulauan

yang bercirikan nusantara yang disatukan oleh wilayah perairan dan udara dengan

batas-batas, hak-hak, dan kedaulatan yang ditetapkan oleh undang-undang maka

guna mendukung pertumbuhan ekonomi, diperlukan sarana transportasi nasional

dalam hal penerbangan yang memiliki standar pelayanan yang optimal dengan

mengedepankan keselamatan dan keamanan yang optimal.

Pada perkembangannya, banyak tumbuh perusahaan penerbangan sipil di

Indonesia karena masih sangat terbukanya peluang usaha di bidang jasa

penerbangan sipil ini oleh karena tingginya permintaan dari konsumen untuk

melayani rute-rute penerbangan yang tentunya dari segi bisnis sangat menjanjikan

keuntungan bagi para pelaku usaha.

Untuk itu, diperlukan tanggung jawab dari pihak maskapai penerbangan

dalam memberikan pelayanan yang memberikan jaminan keselamatan dan

keamanan kepada para konsumen yang berlaku secara umum.

Dalam hukum, konsep tanggung jawab ini terdiri dari tanggung jawab

berdasarkan kesalahan sebagaimana yang kita kenal dalam teori pemidanaan di

Indonesia yaitu kesalahan yang berdasarkan kesengajaan (dolus/opzet) dan

kelalaian (culpa).1

Tanggung jawab memiliki pengertian yang sangat luas, namun demikian

menurut Peter Salim dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok besar

masing-      

1

(10)

masing tanggung jawab dalam arti accountability, responsibility, and liability.2

Demikian halnya dengan Ida Bagus Rahmadi Supancana yang memberikan

defenisi dari tanggung jawab itu sama dengan pendapat dari Peter Salim3.

Tanggung Jawab accountability biasanya berkaitan dengan suatu kepercayaan

terhadap lembaga tertentu yang berkaitan dengan keuangan, misalnya dalam

kalimat Komisi Hak-Hak Asasi Manusia (HAM) harus membuat laporan

“pertanggungan jawab” kepada sekretariat negara sebab Sekretaris Negara

memberi subsidi kepada Komisi HAM.4

Tanggung jawab dalam arti responsibility dapat diartikan “ikut memikul

beban” akibat suatu perbuatan, seperti pernah disampaikan oleh mantan Kepala

Staf angkatan Darat (KSAD) dan mantan Panglima TNI, Jenderal Endriartono

Sutarto dalam kasus-kasus pelanggaran hak-hak asasi manusia yang dilakukan

oleh prajurit. Beliau pernah mengatakan yang “bertanggung jawab” (responsible)

adalah mereka yang memegang tongkat komando perintah prajurit. “Tanggung

Jawab yang diartikan di sini diartikan yang memikul beban”.5

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia tanggung jawab dalam arti

responsibility dapat berarti “wajib menanggung segala sesuatunya”, kalau terjadi

sesuatu dapat disalahkan, dituntut, dan diancam hukuman pidana oleh penegak

hukum di depan pengadilan, menerima beban akibat tindakan sendiri atau orang

lain, misalnya dalam kalimat: misalnya seorang dokter yang menyimpang dari

      

2

Peter Salim, contemporary English-Indonesia Dictionary, Edisi Pertama,

(Jakarta:Modern English Press,1985),hal.11.

3 Ida Bagus Rahmadi Supancana,

Peranan Hukum Dalam Pembangunan Kedirgantaraan Kumpulan Makalah & Paparan Ilmiah, (Jakarta:CV.Mitra Karya,2003),hal.102-125.

4

Diskusi Problem Masa Depan Komisi Nasional Hak-Hak Asasi Manusia (HAM), diselenggarakan oleh Laboratorium Sosiologi Fakultas Sosiologi dan Ilmu Politik Universitas Indonesia tanggal, 26 Februari 2002 di Jakarta.

5

(11)

standar medikal (mal praktik) harus “bertanggung jawab”, demikian pula seorang

istri dokter yang menyuntik orang dengan alat suntik milik suaminya seorang

dokter sampai meninggal dunia harus “bertanggung jawab”. Perkataan “tanggung

jawab” di sini diartikan istri maupun dokter tersebut dapat dituntut hukuman

pidana di depan pengadilan oleh penegak hukum.6

Liability dapat diartikan sebagai kewajiban membayar ganti kerugian yang

diderita, misalnya dalam perjanjian transportasi udara, perusahaan penerbangan

“bertanggung jawab” atas keselamatan penumpang dan/atau barang-barang

kiriman, karena itu apabila timbul kerugian yang diderita oleh penumpang

dan/atau pengirim barang, maka perusahaan penerbangan harus “bertanggung

jawab” dalam arti liability. Tanggung jawab di sini diartikan perusahaan

penerbangan “wajib membayar” ganti kerugian yang diderita oleh penumpang

dan/atau pengirim barang akibat perusahaan penerbangan melakukan wanprestasi.

Perusahaan penerbangan dapat digugat di depan pengadilan perdata . dalam uraian

ini yang dimaksud dengan dengan “tanggung jawab” adalah tanggung jawab

hukum dalam arti legal liability dimaksudkan kewajiban membayar segala

kerugian atau biaya yang timbul akibat kecelakaan pesawat udara yang dilakukan

oleh kapten penerbang dan kewajiban tersebut dapat diajukan gugatan di depan

pengadilan perdata.7

Dengan di dasari oleh kepentingan khalayak luas maka diperlukan suatu

pengaturan dalam hal penerbangan sipil ini yang dituangkan dalam suatu bentuk

perjanjian internasional. Perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan

      

6 Lukman Ali, Ed.,

Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,1995), hal.234.

7

(12)

antara anggota masyarakat bangsa-bangsa untuk memberikan akibat hukum

tertentu.8

Dari batasan di atas jelaslah bahwa untuk dapat dinamakan perjanjian

internasional, perjanjian itu harus diadakan oleh subjek hukum internasional yang

menjadi anggota masyarakat internasional.

Dalam hukum internasional dewasa ini ada kecenderungan mengatur

hukum perjanjian antara organisasi internasional dengan organisasi internasional

atau antara organisasi internasional dengan subjek hukum internasional lain secara

tersendiri. Kecenderungan yang disebabkan oleh perkembangan yang pesat dari

organisasi internasional di lapangan ini dan adanya ciri khusus perjanjian yang

diadakan badan-badan demikian tampak misalnya dalam konferensi Internasional

mengenai hukum perjanjian internasional yang diadakan di Vienna pada tahun

1968,9 dan seperti Konvensi Chicago Tahun 1944 Tentang Penerbangan sipil.

Berdasarkan uraian di atas konvensi Chicago tahun 1944 lahir untuk

memberikan suatu batasan yang jelas yang mana konvensi ini mengatur

aspek-aspek ekonomi penerbangan sipil disambung dengan kedaulatan atas wilayah

udara, pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara, SAR, dokumen penerbangan

dan organisasi penerbangan sipil internasional yang digunakan sebagai acuan bagi

seluruh operator penerbangan sipil di dunia yang kita ketahui bersama Indonesia

sendiri telah mengeluarkan UU No.1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan yang

mana pada kesempatan yang baik ini penelitian ini dapat dijadikan sebagai sarana

      

8

Mochtar Kusumaatmadja & Etty.R.Agoes, Pengantar Hukum Internasional,

(Bandung:Alumni,2003),hal.117.

9

(13)

pembanding bagi ketentuan hukum positif penerbangan yang berlaku di Indonesia

karena peneliti merasa bahwa masih tingginya kerugian yang timbul akibat ulah

operator maskapai penerbangan sipil yang telah merugikan konsumen dengan

nilai kerugian yang tidak sedikit pula.

Penelitian ini membahas aspek ekonomi yang diatur dalam Konvensi

Chicago Tahun 1944 dalam konteks penerbangan sipil dan juga membahas aspek

teknis dan operasional penerbangan sipil dan juga pembahasan terkait dengan

perbandingan antara ketentuan tanggung jawab terhadap kerugian yang timbul

oleh maskapai penerbangan sebagaimana yang diatur dalam Konvensi Chicago

Tahun 1944 dan juga sebagaimana pengaturanya dalam UU No.1 tahun 2009.

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu input

yang dapat menekan laju kerugian yang ditimbulkan oleh ulah oknum

penerbangan sipil seperti terlambatnya pesawat yang memakan waktu yang sangat

lama, ketersediaan sarana dan prasarana penunjang keselamatan penerbangan sipil

yang tidak memadai dan ketidak cakapan dari sumber daya manusia dari operator

penerbangan yang mengakibatkan tingginya resiko yang ditimbulkan.

Berdasarkan uraian di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian skripsi yang berjudul “Tinjauan Hukum Tanggung Jawab Maskapai

Penerbangan Sipil Terhadap Kerugian Yang Timbul Berdasarkan Konvensi

Chicago Tahun 1944”.

B. Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian skripsi ini adalah :

1. Bagaimana Pengaturan Aspek Ekonomi Penerbangan Sipil Menurut Konvensi

(14)

2. Bagaimana Pengaturan Aspek Teknis dan Operasional Penerbangan Sipil Menurut

Konvensi Chicago Tahun 1944?

3. Bagaimana bentuk pertanggungjawaban Maskapai Penerbangan sipil menurut

Konvensi Chicago Tahun 1944 Terkait dengan tinjauan Kerugian yang timbul

dalam penerbangan sipil?

C. Tujuan Penelitian

Adapun Tujuan Penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui Aspek Ekonomi dari pengaturan konvensi Chicago

sebagai panduan resmi dari instrumen penerbangan sipil yang diantaranya

meliputi: rute penerbangan, tiket pesawat, jadwal penerbangan, dll.

2. Untuk mengetahui Aspek teknis dan Operasional penerbangan sipil menurut

Konvensi Chicago tahun 1944 meliputi : zona larangan terbang, navigasi

penerbangan, dan pencarian dan pertolongan pesawat udara, dll.

3. Untuk mengetahui bentuk pertanggungjawaban kerugian yang timbul dalam

lingkup pernebangan sipil seperti kecelakaan yang mengakibatkan kerugian

pesawat terbang, asuransi penerbangan, penanggungan biaya korban yang

cacat.

D. Manfaat Penelitian

Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, maka penelitian ini

diharapkan dapat memberikan kontribusi atau manfaat baik dari sisi teoritis

(15)

1. Manfaat secara teoritis

Memberikan sumbangan akademis bagi perkembangan ilmu hukum pada

umumnya, dan Hukum Internasional pada khususnya. Serta memberikan

sumbangan akademis dalam merumuskan peraturan perundang-undangan yang

berkaitan dengan penerbangan , khususnya yang berkaitan dengan penerbangan

sipil.

2. Manfaat praktis

Membantu aparat penegak hukum dan pemerintah dalam penerapan

pengaturan hukum internasional mengenai penerbangan sipil dan juga

memberikan pengetahuan yang berguna bagi masyarakat mengenai haknya

sebagai pengguna jasa penerbangan sipil.

E. Keaslian Penulisan

Sebagai suatu karya tulis ilmiah yang dibuat untuk memenuhi syarat

memperoleh gelar Sarjana, maka seyogyanya skripsi ditulis berdasarkan buah

pikiran yang benar-benar asli tanpa melakukan tindakan peniruan (plagiat) baik

sebagian ataupun seluruhnya dari karya orang lain. Judul yang penulis pilih telah

diperiksa dalam arsip bagian Hukum Internasional dan judul tersebut dinyatakan

tidak ada yang sama dan telah disetujui oleh Ketua Departemen Hukum

(16)

F. Tinjauan Kepustakaan

1. Hukum Internasional

Menurut Mochtar Kusumaatmadja10 Hukum Internasional adalah  keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang

melintasi batas negara antara:

(1) negara dengan negara;

(2) negara dengan subjek hukum lain bukan negara satu sama lain.

Sebagai salah satu dari cabang ilmu Hukum Internasional maka hukum

udara (air law) atau hukum penerbangan (aviation law) menurut verschoor adalah

hukum dan regulasi yang mengatur penggunaan ruang udara yang bermanfaat

bagi penerbangan kepentingan umum dan bangsa-bangsa di dunia.11

Hukum atau keseluruhan kaedah dan azas yang dimaksud adalah

keseluruhan kaedah dan azas yang terkandung di dalam perjanjian-perjanjian

internasional maupun hukum kebiasaan internasional, yang berobjek penerbangan

sipil, yang oleh masyarakat internasional, yaitu masyarakat negara-negara,

termasuk subjek-subjek hukum internasional bukan negara, diwujudkan dalam

kehidupan bermasyarakat melalui lembaga-lembaga dan proses kemasyarakatan

internasional.12

2. Tanggung Jawab

Penekanan dalam arti tangung jawab disini ialah kewajiban memperbaiki

kembali kesalahan yang pernah terjadi.13

Liability dapat diartikan sebagai

      

10

Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional,(Bandung: Alumni, 2003), hal. 4.

11

H.K.Martono, Hukum Udara Nasional dan Internasional Publik, (Jakarta:Rajawali Pers,2012), hal.3-4.

12

Ibid. 13

(17)

kewajiban membayar ganti kerugian yang diderita, misalnya dalam perjanjian

transportasi udara, perusahaan penerbangan “bertanggung jawab” atas

keselamatan penumpang dan/atau barang-barang kiriman, karena itu apabila

timbul kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim barang, maka

perusahaan penerbangan harus “bertanggung jawab” dalam arti liability.

Tanggung jawab di sini diartikan perusahaan penerbangan “wajib membayar”

ganti kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim barang akibat

perusahaan penerbangan melakukan wanprestasi. Perusahaan penerbangan dapat

digugat di depan pengadilan perdata. dalam uraian ini yang dimaksud dengan

dengan “tanggung jawab” adalah tanggung jawab hukum dalam arti legal liability

dimaksudkan kewajiban membayar segala kerugian atau biaya yang timbul akibat

kecelakaan pesawat udara yang dilakukan oleh kapten penerbang dan kewajiban

tersebut dapat diajukan gugatan di depan pengadilan perdata.14

3. Penerbangan Sipil

Penerbangan sipil yang dimaksudkan di sini ialah penerbangan yang

ditujukan bukan untuk perang dan berlaku bagi kalangan umum bukan militer

menjelang berakhirnya Perang dunia kedua yang mana penerbangan sipil ini dapat

dimanfaatkan sebagai peningkatan persahabatan, memelihara perdamaian, dan

saling mengerti antar bangsa, saling mengunjungi masyarakat dunia dan dapat

mencegah dua kali perang dunia yang sangat mengerikan, dapat mencegah friksi

dan dapat digunakan sebagai kerjasama antar bangsa yang dapat memelihara

perdamaian dunia. Karena itu, negara-negara peserta konfrensi sepakat mengatur

prinsip-prinsip dasar penerbangan sipil internasional, menumbuh kembangkan

      

14

(18)

penerbangan sipil yang aman, lancar, teratur, dan memberikan kesempatan yang

sama kepada negara-negara anggota untuk menyelenggarakan angkutan udara

internasional dan mencegah persaingan yang tidak sehat.15 Bila dirujuk pada

konsep penerbangan dalam UU No.1 Tahun 2009 Tentang penerbangan,

penerbangan merupakan satu kesatuan sistem yang terdiri atas pemanfaatan

wilayah udara, pesawat udara, bandar udara, angkutan udara, navigasi

penerbangan, keselamatan dan keamanan, lingkungan hidup, serta fasilitas

penunjang dan fasilitas umum lainya.16

4. Sumber Hukum Udara Internasional

Pada hakekatnya sumber hukum udara internasional bersumber pada

hukum internasional dan hukum nasional. Pasal 38 Piagam Mahkamah

Internasional mengatakan “international Custom, as evidence of a general

practices accepted as law”. Sumber hukum udara internasional dapat berupa

multilateral maupun bilateral diantaranya :

a. Multilateral & Bilateral

Sumber hukum udara internasional yang bersifat multilateral adalah

berupa konvensi-konvensi internasional yang bersifat multilateral juga bersifat

bilateral. Pada saat ini Indonesia telah mempunyai perjanjian angkutan udara

timbal balik (bilateral air transport agreement) tidak kurang dari 67 negara yang

dapat digunakan sebagai sumber hukum internasional.

b. Hukum Kebiasaan Internasional

Dalam pasal 38 ayat (1) Piagam Mahkamah Internasional, hukum

kebiasaan internasional juga merupakan salah satu sumber hukum internasional.

      

15

Convention on International Civil aviation, signed at Chicago on 7 December 1944.

16

(19)

Di dalam hukum udara internasional juga dikenal adanya hukum udara kebiasaan

internasional. Namun demikian peran hukum kebiasaan internasional tersebut

semakin berkurang dengan adanya konvensi internasional, mengingat hukum

kebiasaan internasional kurang menjamin adanya kepastian hukum. Namun dalam

Konvensi Chicago Tahun 1944 diakomodasi dalam Pasal 1.

c. Ajaran Hukum (Doktrin)

Ajaran Hukum (Doktrin) dalam hukum internasional dapat digunakan

sebagai salah satu sumber hukum udara. Dalam common law system, atau anglo

saxon System dikenal adanya ajaran hukum mengenai pemindahan resiko dari

pelaku kepada korban. Menurut ajaran hukum tersebut, perusahaan penerbangan

yang menyediakan transportasi umum bertanggung jawab terhadap kerugian

negara yang diderita korban. Tanggung jawab tersebut berpindah dari korban

(injured people) kepada pelaku (actor). Demikian pada ajaran hukum (doktrine)

mengenai bela diri. Menurut ajaran hukum bela diri suatu tindakan disebut

sebagai bela diri bila tindakan tersebut seimbang dengan ancaman yang dihadapi.

Oleh karena itu, pesawat udara sipil yang tidak dilengkapi dengan senjata, tidak

boleh ditembak karena pesawat udara sipil tidak ada ancaman yang

membahayakan. Di samping itu, penembakan pesawat udara sipil juga tidak

sesuai dengan dengan semangat konvensi Chicago Tahun 1944 yang

mengutamakan keselamatan penumpang, awak pesawat udara, pesawat udara

maupun barang-barang yang diangkut.

d. Yurisprudensi

Ada beberapa yurisprudensi yang dapat dikategorikan sebagai salah satu

(20)

kasus sengketa yang berkenaan dengan hukum udara, terutama berkenaan dengan

tanggung jawab hukum perusahaan penerbangan terhadap penumpang dan atau

pengirim barang maupun terhadap pihak ketiga. Di Indonesia terdapat paling tidak

dua macam yurisprudensi yang menyangkut hukum udara perdata, masing-masing

gugatan Ny.Oswald terhadap Garuda Indonesia Airways, dalam tahun 1961 dan

gugatan penduduk cengkareng VS Japan Airlines (JAL) pada tahun 2000. Dalam

kasus penduduk cengkareng VS JAL mengenai tanggung jawab hukum terhadap

pihak ketiga, sedangkan Ny.Oswald VS Garuda Indonesia Airways (GIA)

mengenai ganti rugi nonfisik. Pada prinsipnya, keputusan pengadilan tersebut

hanya berlaku terhadap para pihak, tetapi seorang hakim boleh mengikuti

yurisprudensi yang telah diputuskan hakim sebelumnya (The decision of the court

has nobinding force except the parties and in respect if that particular cases).

Artinya keputusan mahkamah internasional tidak mempunyai kekuatan mengikat

kecuali bagi pihak-pihak yang bersangkutan tertentu itu.

5. Sumber Hukum Nasional

Pada saat ini tataran hukum nasional terkait dengan hukum nasional

terdapat pada Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan.

Undang-Undang tersebut merupakan perubahan atas UU Nomor 15 Tahun 1992

Tentang Penerbangan. Dan juga Peraturan Menteri Perhubungan No.77 tahun

2011 Tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara guna

mengakomodasi ketentuan dari Pasal 62 ayat (1) huruf c & d dan ayat (3), Pasal

165, Pasal 168, Pasal 170, Pasal 172, Pasal 179, Pasal 18 ayat (3), dan Pasal 186

(21)

G. Metode Penelitian

Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang

didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan

untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan

menganalisisnya, kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam

terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan

atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala bersangkutan.17

a. Tipe Penelitian

Adapun yang menjadi tipe penelitian dari karya ilmiah ini adalah

penelitian normatif. Penelitian normatif merupakan penelitian terhadap asas-asas

hukum, penelitian terhadap sistematika hukum dan penelitian terhadap

sinkronisasi hukum.18 Dengan tujuan untuk membandingkan hukum positif di

Indonesia yang mengatur tentang penerbangan sipil yakni dalam UU No.1 Tahun

2009 Tentang Penerbangan dengan Konvensi chicago Tahun 1944 yang

merupakan acuan hukum internasional dalam hal penerbangan sipil.

b. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa data

sekunder, yang terdiri dari :19

1. Bahan hukum primer berupa produk-produk hukum berupa peraturan

perundang-undangan, yang dalam hal ini berupa undang-undang, konvensi

hukum internasional, deklarasi, maupun protokol.

      

17

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum,(Jakarta: UI Press, 2005), hal. 43.

18

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta:UI Press, 2003), hal. 15.

19

(22)

2. Bahan hukum sekunder berupa bahan acuan yang bersumber dari

buku-buku,surat kabar, media internet serta media massa lainnya yang berhubungan

dengan masalah yang dibahas.

3. Bahan hukum tersier berupa bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, berupa kamus dan

sebagainya.

Cara mendapatkan data sekunder adalah dengan melakukan penelitian

kepustakaan (library research). Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah

studi dokumen dimana selanjutnya dilakukan analisis dengan mengumpulkan

fakta-fakta yang didapat dari studi kepustakaan sebagai acuan umum dan

kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis untuk mencapai

kejelasan masalah yang dimaksud berdasarkan bahan-bahan hukum yang telah

dikumpulkan.

c. Analisis Data

Setelah data terkumpul, analisis dilakukan dengan menggunakan analisis

isi sebagaimana dirumuskan oleh Berndl Berson:20

“Content analysis is a research technique for the obyektive, systematic

and quantitative description of the manifest content of communication.” (Kajian

isi adalah teknik penelitian untuk keperluan mendeskripsikan secara obyektif,

sistematik dan kuantitatif dari suatu bentuk komunikasi).

Sedangkan menurut Holsti bahwa kajian isi adalah tehnik apapun yang

digunakan untuk menarik kesimpulan melalui usaha menemukan karakteristik

      

20

(23)

pesan dan dilakukan secara obyektif dan sistematis. Secara keseluruhan analisis di

atas dilakukan dengan menggunakan analisis kualitatif untuk mengungkapkan

secara mendalam mengenai pandangan dan konsep yang diperlukan dan kemudian

akan diurai secara menyeluruh untuk menjawab persoalan yang ada dalam skripsi

ini, serta melakukan penarikan kesimpulan dengan pendekatan deduktif-induktif,

yakni berawal dari hal-hal yang umum kepada hal-hal yang khusus.

H. Sistematika Penulisan

Skripsi ini terdiri dari lima bab yang disusun secara sistematis dalam suatu

sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab I : Berisi tentang gambaran dari seluruh isi skripsi, yang terdiri dari

latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan,

keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan

sistematika penulisan.

Bab II : Meliputi latar belakang lahirnya Konvensi Chicago Tahun 1944,

dan tujuan dari lahirnya konvensi Chicago tahun 1944 dan

pembahasan aspek ekonomi dalam konteks penerbangan sipil

dalam konvensi Chicago Tahun 1944.

Bab III : Mengenai aspek teknis dan operasional dari penerbangan sipil

Internasional yang diatur dalam konvensi Chicago Tahun 1944 dan

Aspek pendaftaran dan Kebangsaan Pesawat Udara menurut

Konvensi Chicago Tahun 1944.

Bab IV : Mengenai pengaturan terhadap tanggung jawab kerugian yang

(24)

Tahun 2009 Tentang penerbangan di Indonesia serta perbandingan

antara kedua Instrumen Hukum Positif ini.

Bab V : Sebagai penutup, berisi tentang kesimpulan yang diperoleh dari

hasil penelitian dan saran sebagai rekomendasi yang berkaitan

(25)

BAB II

Pengaturan Aspek Ekonomi Penerbangan Sipil Menurut

Konvensi Chicago 1944

A. Latar Belakang Lahirnya Konvensi Chicago 1944

Setelah ditemukannya moda transportasi udara, para ahli hukum udara

internasional mulai membahas masalah yurisdiksi terhadap tindak pidana

pelanggaran maupun kejahatan yang terjadi dalam pesawat udara. Hal ini dirintis

dari tahun 1902 oleh Prancis yang telah membahas kompetensi yurisdiksi

terhadap tindak pidana pelanggaran maupun kejahatan yang terjadi dalam pesawat

udara, serta tindakan-tindakan yang perlu diambil selama penerbangan maupun

pelanggaran dan kejahatan yang terjadi dalam pesawat udara, serta

tindakan-tindakan yang perlu diambil selama penerbangan berlangsung. Lalu dilanjutkan

dengan Konvensi warsawa 1929 beserta protokol serta suplemenya. Konvensi

tersebut mengatur tanggung jawab hukum terhadap pihak ketiga (third parties

liability) beserta protokolnya, konvensi mengenai pengakuan hak atas pesawat

udara, di samping hukum nasional perdata maupun publik sebagai implementasi

konvensi internasional tersebut di atas dan kemudian dilanjutkan dengan

Konvensi Chicago 1944.

Dalam hukum udara internasional ada beberapa hukum positif yang

menjadi acuan penerbangan sipil diantaranya Konvensi Chicago 1944 yang

merupakan konstitusi penerbangan sipil internasional. Konvensi tersebut dijadikan

sebagai acuan dalam pembuatan hukum nasional bagi negara anggota Organisasi

Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) untuk menyelenggarakan penerbangan

(26)

Menjelang perang dunia kedua (PD II), Presiden Amerika Serikat

Roosevelt mengundang sekutu-sekutunya pada PD untuk mengadakan konfrensi

Penerbangan Sipil Internasional di Chicago Pada tahun 1944. Hadir dalam

konfrensi tersebut lima puluh empat delegasi, dua delegasi dalam kapasitasnya

sebagai pribadi, sedangkan lima puluh dua delegasi mewakili negara

masing-masing. Dua negara yang diundang, masing-masing Saudi Arabia dan Uni Soviet

tidak hadir dalam konfrensi penerbangan sipil internasional tersebut.21

Ketidak hadiran Saudi Arabia tidak ada yang memasalahkan, hal ini

berbeda dengan ketidakhadiran Uni Soviet yang dipermasalahkan kenapa Uni

Soviet tidak hadir dalam konfrensi, padahal delegasi Uni Soviet sudah dalam

perjalanan menuju Chicago, tiba-tiba diinstruksikan oleh pemerintahnya untuk

tidak ikut dalam konfrensi penerbangan sipil Internasional tersebut. Diantaranya

spekulasi pendapat mengapa Uni Soviet tidak hadir dalam konfrensi penerbangan

sipil antara lain :

a. Uni Soviet tidak menghendaki pesawat udara asing beroperasi di Uni

Soviet, sebab angkutan udara nasional akan dieksploitasi sendiri;

b. Uni soviet tidak mau hadir dalam konfrensi penerbangan Internasional,

karena Uni Soviet mengutamakan keamanan nasional (national security)

dari pada kesejahteraan nasional (national prosperity).22

Uni Soviet tidak mau hadir dalam konfrensi penerbangan sipil

Internasional dengan alasan angkutan udara nasional akan dieksploitasi sendiri,

walaupun delegasinya sudah dalam perjalanan, kemungkinan ada benarnya sebab

Uni Soviet mempunyai daerah yang cukup luas dan angkutan udara yang cukup

      

21 H.K.Martono,

Hukum Udara Nasional & Internasional Publik (Publik Internasional And National Air Law), ( Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2012), Hal.55.

22

(27)

banyak, tidak perlu mengadakan tukar menukar hak-hak penerbangan dengan

negara lain, cukup mengeksploitasi sendiri tanpa adanya perusahaan penerbangan

asing melakukan penerbangan ke atau dari Uni Soviet.

Spekulasi Uni soviet tidak hadir dalam konfrensi penerbangan sipil

internasional dengan alasan keamanan nasional (national security) kemungkinan

juga ada benarnya sebab Uni Soviet tidak menghendaki adanya pesawat udara

asing terbang di atas Uni Soviet tanpa melakukan pendaratan. Hal ini dibuktikan

bahwa setiap perjanjian angkutan udara angkutan udara internasional timbal balik,

posisi Uni freedom Soviet selalu tidak menukarkan hak-hak penerbangan pertama

(first freedom of the air) yang memberi hak pesawat udara terbang di atas negara

yang bersangkutan tanpa pendaratan (over flying), Pada umumnya sebelumnya

mempertukarkan hak-hak penerbangan pertama (traffic right), ketiga(3rd freedom

of the air) dan hak-hak penerbangan (traffic right), keempat (4th freedom of the

air) selalu didahului dengan pertukaran hak-hak penerbangan kesatu (1st freedom

of the air) dan kebebasan udara kedua (2nd freedom of the air).23

B. Tujuan konvensi penerbangan sipil menurut konvensi chicago tahun 1944

Editorial Media Indonesia, Jumat 7 agustus 2009 menyatakan bahwa

faktor keselamatan penumpang merupakan indikator yang paling gampang untuk

melihat seberapa maju dan beradab suatu dan negara.24

Penerbangan khususnya dan transportasi umumnya memang harus

dikelola berlandaskan kebenaran-kebenaran dari bangsa yang beradab yang telah

      

23

Perjanjian angkutan udara internasional timbal balik antara Indonesia dengan Uni Soviet tidak mempertukarkan kebebasan udara pertama (1st freedom of the air), sebab Uni Soviet tidak menghendaki pesawat udara Indonesia terbang di atas Uni Soviet tanpa mendarat.

24

(28)

dituangkan dalam berbagai SARPs (Standard and Recomemmended Practices)25

keamanan dan keselamatan transportasi. Bila tidak yang terjadi adalah bencana

(cattasthrope) yang beruntun.

Untuk itu Konfrensi Chicago 1944 yang mengatur tentang penerbangan

sipil Internasional tampak dengan jelas pada pembukaan konvensi Chicago

1944.26 Dalam pembukaan tersebut dijelaskan bahwa pertumbuhan penerbangan

sipil yang akan datang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan persahabatan,

memelihara perdamaian, dan saling mengerti antarbangsa, saling mengunjungi

masyarakat dunia dan dapat mencegah dua kali perang dunia yang sangat

mengerikan, dapat mencegah friksi dan dapat digunakan untuk kerja sama antar

bangsa yang dapat memelihara perdamaian dunia. Karena itu, negara-negara

peserta konferensi sepakat mengatur prinsip-prinsip dasar penerbangan sipil

international, menumbuhkembangkan penerbangan sipil yang aman, lancar,

teratur, dan memberi kesempatan yang sama kepada negara anggota untuk

menyelenggarakan angkutan udara internasional dan mencegah adanya persaingan

yang tidak sehat.27

Konvensi internasional yang mengatur penerbangan sipil internasional dan

telah mengikat 190 negara adalah Convention on International Civil Aviation atau

sering dikenal dengan Konvensi Chicago 1944.

Tujuan dari Konfrensi Penerbangan sipil Internasional tampak dengan

jelas pada pembukaan Konvensi Penerbangan sipil Internasional yang

      

25

Kebijakan ICAO yang dituangkan dalam 18 Annex dan berbagai dokumen turunannya yang selalu dan terus menerus diperbarui oleh ICAO.

26

Convention on International Civil Aviation, signed at Chicago on 7 December 1944.

27

(29)

ditandatangani di Chicago Tahun 1944.28 Dalam pembukaan tersebut dijelaskan

bahwa pertumbuhan penerbangan sipil yang akan datang dapat dimanfaatkan

untuk meningkatkan persahabatan, memelihara perdamaian, dan saling mengerti

antar bangsa, saling mengunjungi masyarakat dunia dan dapat mencegah dua kali

perang dunia yang sangat mengerikan, dapat mencegah friksi dan dapat digunakan

untuk kerjasama antar bangsa yang dapat memelihara perdamaian dunia. Karena

itu, negara-negara peserta konfrensi sepakat mengatur tentang prinsip-prinsip

dasar penerbangan sipil internasional, menumbuhkembangkan penerbangan sipil

yang aman, lancar, teratur, dan memberi kesempatan yang sama kepada negara

anggota untuk menyelenggarakan angkutan udara internasional dan mencegah

adanya persaingan yang tidak sehat.29

Dalam Pasal 37 Konvensi Chicago dinyatakan :

Each contracting State Undertakes to collaborate in securing the highest

practicable degree of uniformity in regulations, standards, procedures, and

organization inrelation to aircraft, personnel, airways and auxiliary services in

all matters in which such uiformity will facilitate and improve navigation...”.30

      

28

Convention On Iternational Civil Aviation, Signed at Chicago on 7 December 1944. 29

H.K.Martono,Op.cit, hal.56-57.

30

Chapter VI International Standard And Recommended Practices Article 37 :

To This end the International Civil aviation Organization Shall adopt and amend from time to time, as may be necessary, international standards and recommamnded practices and procedue dealing with :

a. Communications systems and air navigation aids, including ground making; b. Characteristics of airports and landings area;

c. Rules of The air and air traffic control practices; d. Licensing of operating and mechanical personnel; e. Airworthinness of aircraft;

f. Registration and idenification of aircraft;

g. Collection and exchange of meteorological Information; h. Log book;

i. Aeronautical Maps;

j. Customs and immigration procedures;

(30)

Yang apabila diartikan dalam Bahasa Indonesia bahwa untuk

meningkatkan keamanan dan keselamatan penerbangan negara peserta Konvensi

Chicago 1944 harus berupaya mengelola penerbangan sipil (personil, pesawat,

jalur penerbangan dan lain-lain) dengan peraturan standar, prosedur dan

organisasi yang sesuai (uniform) dengan standar International Civil Aviation

Organication (ICAO). Untuk itu ICAO selalu membuat dan memperbaharui

standar and Recommended practices (SARPs) yang dituangkan dalam Annexes

1-18 dengan berbagai dokumen dan circular penjabarannya yang harus dipatuhi oleh

negara peserta Konvensi Chicago.

Bila negara tidak bisa melaksanakan atau tidak bisa mematuhi pasal-pasal

tertentu dalam annex tersebut, negara tersebut harus segara memberitahu ICAO

untuk kemudian diumumkan melalui lampiran dari annex terkait (Pasal 38).

Demikian juga bila ada perubahan atau amandemen annex yang tidak bisa

dipatuhi, maka negara tersebut harus memberitahu ICAO dalam kurun waktu 60

hari setelah pemberlakuan pemberitahuan tersebut.

Kepatuhan terhadap standar penerbangan internasional adalah aspek yang

sangat fundamental. Ada kurang lebih 10.000 standar dan 40 Quasi-Standar yang

tercantum dalam Annex 1-18, ICAO beserta dokumen dan sirkulernya (circular).

Bila suatu negara tidak pernah mengirim perbedaan (differences) kepada ICAO

maka berarti negara tersebut harus mematuhi semua standard yang dibuat ICAO.

Indonesia termasuk negara yang tidak pernah mengirim nota perbedaan kepada

ICAO. Ini berarti Indonesia harus mematuhi semua standar yang telah ditetapkan

ICAO.

        l. And other matters concerned with the safety, regularity, and efficenttly of air

(31)

ICAO selalu membuat dan merubah standar-standar yang tertuang dalam

Pasal-Pasal Annex maupun pedoman-pedoman dalam dokumen dan circular

ICAO sesuai dengan perkembangan penelitian dan teknologi penerbangan. Di

masa lalu ICAO seolah-olah tidak peduli dan tidak mau tahu apakah standar itu

dipatuhi dan dilaksanakan oleh suatu negara atau tidak. Dalam posisi ini ICAO

berperan sebagai Passive International Standar Setting Body. Perannya hanya

membuat standar-standar yang berlaku bagi penerbangan sipil International.

Kini peran ICAO telah berubah, ICAO saat ini melakukan tiga peran.

ICAO bukan hanya berperan sebagai pembuat standar saja, tetapi juga (peran

kedua) memonitor kepatuhan (compliance) yaitu memonitor pelaksanaan

standar-standar yang telah ditetapkan untuk kemudian (peran ketiga) meminta negara

mematuhi dan melaksanakan standar-standar yang belum atau tidak dipatuhi.

ICAO kini berperan sebagai Proactive International Regulatory Body.31

Untuk mengetahui kepatuhan negara terhadap standar-standar yang telah

ditetapkan, ICAO membuat program Universsal Safety Oversight Safety Audit

(USOAP) yang dicetuskan pertama kali tanggal 1 Januari 1999 dalam resolusi

sidang umum ICAO No.A32-11 setelah memperhatikan rekomendasi pertemuan

para Direktur Jenderal Perhubungan Udara pada tahun 1997. Sedangkan audit

yang berkaitan dengan keamanan penerbangan dilakukan dengan program

Universal Security Audit Program (USAP), USOAP dengan pola pendekatan

sistematik mulai dilakukan pada 1 Januari 2005 setelah sebelumnya dilakukan

audit dengan pola per Annex dan bersifat sukarela.32

      

31 Yaddy Supriyadi,

Keselamatan Penerbangan Teori & Problematika, (Tangerang:Telaga Ilmu Indonesia, 2012), hal.6.

32

(32)

Hasil audit ICAO merupakan dokumen yang sangat kuat (powerfull) untuk

memaksa negara anggota ICAO mematuhi standar keamanan dan keselamatan

penerbangan. Hasil audit ICAO dapat dilihat di website ICAO, bisa dibaca oleh

umum. Dengan mempublikasikan hasil audit ini maka ICAO telah melakukan

“naming and shaming” yaitu mengungkapkan ketidakpatuhan suatu negara dan

mempermalukannya di masyarakat internasional.33

Dari audit kepatuhan USOAP tersebut ICAO menemukan 121 butir

ketidakpatuhan tentang keselamatan yang perlu dibenahi oleh Indonesia melalui

rencana aksi perbaikan (corrective action plan). Sedangkan dari USAP ada 41

butir temuan ketidakpatuhan dalam aspek keamanan.34

Kepatuhan terhadap standar penerbangan international adalah aspek yang

sangat fundamental, meskipun kepatuhan terhadap standar bukan jaminan mutlak

tidak akan terjadi kecelakaan, namun penerbangan yang tidak dikelola dengan

standar yang telah ditetapkan adalah sangat berbahaya. Penerbangan adalah

aktivitas yang sangat sarat dengan peraturan dan prosedur yang ketat.

Dalam Safety Culture Evolution Spectrum ada lima tataran kategori

organisasi penerbangan dalam berprilaku. Kategori pertama adalah organisasi

yang tidak mau atau sulit mematuhi standar-standar ICAO karena menganggap

bahwa kepatuhan tesebut hanya membuang-buang uang. Organisasi ini selalu

berupaya menghindar dari mematuhi standar-stadar sehingga bisa menekan

pengeluaran (ongkos). Organisasi memperoleh keuntungan (profit) karena

penekanan terhadap pengeluaran biaya-biaya pelaksanaan standar-standar

keselamatan penerbangan. Perusahaan memandang bahwa mematuhi peraturan

      

33

http: www.icao.int/ diunduh pada hari Senin, 15 April 2013, Pukul.15.00 WIB.

34

(33)

adalah ongkos yang sia-sia. Sejauh mungkin berupaya mengurangi kepatuhan

(Compliance) terhadap peraturan. Perbaikan yang dilakukan hanya bibir manis

dan hanya untuk membuat senang auditor. Organisasi atau negara yang

berperilaku seperti ini disebut sebagai organisasi atau negara yang patologis.

Dalam kategori kedua adalah, organisasi yang selalu berupaya mematuhi

standar yang ditetapkan ICAO. Organisasi itu telah memiliki perangkat inspeksi

dan audit internal. Dalam berpikir tentang keselamatan perusahaan ini bersifat

taktis dan bukan strategis. Organisasi ini disebut organisasi reaktif, yaitu selalu

bereaksi positif terhadap setiap perubahan standar dalam penerbangan.

Dalam kategori ketiga adalah organisasi yang telah mematuhi standar yang

berlaku dan dibarengi dengan manajemen risiko. Mereka menyadari bahwa

kepatuhan terhadap peraturan saja tidak dapat menggatasi setiap isu keselamatan.

Mereka mengantisipasi dan berupaya mengidentifikasi ancaman (hazards)

terhadap penerbangan. Mereka mengeliminasi ancaman atau penerbangan yang

berbahaya dan mengambil tindakan untuk mengurangi ancaman tersebut.

Organisasi ini menyadari bahwa disamping harus patuh juga harus selalu

mengidentifikasi ancaman-ancaman dalam keselamatan penerbangan dan

menganalisis resikonya. Organisasi ini telah melaksanakan Safety Management

System (SMS), telah melaksanakan sistem pelaporan (reporting system) dan

terintegrasi serta dilaksanakan di semua lini operasional. Perusahaan telah

berjalan dari pola kepatuhan ke pemikiran safety management. organisasi disebut

organisasi kalkulatif.

Dalam kategori keempat adalah organisasi yang telah menyadari bahwa

(34)

tercipta keselamatan dan keamanan yang tinggi yang merupakan peluang dalam

meraih keuntungan. Organisasi ini dapat keuntungan ekonomi bila perusahaan ini

bisa melaksanakan standar-standar keselamatan yang tinggi. Perusahaan ini bisa

membuat peraturan sendiri yang lebih tinggi dari peraturan standar. Organisasi ini

disebut organisasi proaktif.

Dalam kategori kelima adalah organisasi yang memadukan keselamatan

dan keamanan penerbangan secara terintegrasi secara penuh dalam bisnisnya.

Keselamatan telah terintegrasi penuh kedalam sistem. Perusahaan berpikir tentang

bussiness sustainbility dan memaksimalkan profit dalam jangka panjang.

Strateginya adalah membangun keselamatan dan isu-isu sosial lainnya dalam

model bisnis perusahaan. Organisasi terbaik ini disebut organisasi generatif.35

C. Aspek Ekonomi Penerbangan Internasional Menurut Konvensi Chicago

Tahun 1944

Pada dasarnya masalah ekonomi mengatur terkait rute penerbangan,

frekuensi penerbangan, jenis pesawat udara, kapasitas tempat duduk, dan tarif

transportasi udara. Dalam konfrensi Chicago masalah terkait dengan pembahasan

ekonomi ini mengalami banyak kesulitan.

Amerika berpendapat bahwa hal tersebut biarlah diatur sendiri oleh

perusahaan penerbangan yang bersangkutan berdasarkan hukum pasar (supply &

Demand). Biarlah perusahaan penerbangan mengatur sendiri sesuai dengan

kemampuannya, bilamana mampu bersaing biarlah berkembang dengan pesat,

tetapi bilamana tidak mampu biarlah bangkrut dengan sendirinya.

      

35

(35)

Sedangkan posisi Inggris menyatakan aspek ekonomi biarlah pemerintah

yang mengatur. Tidak ada penerbangan internasional yang dapat dilakukan dari

atau ke Inggris, termasuk jajahannya tanpa persetujuan pemerintah Inggris. Posisi

demikian memang disadari oleh Inggris tidak ada jalan lain kecuali arus

melindungi armada nasionalnya terhadap persaingan dengan armada lain termasuk

dengan Amerika Serikat.

Usul gabungan (join proposal) yang disampaikan oleh australia dengan

Selandia baru adalah dibentuk perusahaan penerbangan yang saham-sahamya

dimilki oleh negara negara anggota organisasi penerbangan sipil internsional.

Perusahaan penerbangan yang dibentuk tersebut melakukan rute-rute penerbangan

internasional seperti dari Melbourne ke London dan sebaliknya, sedangkan rute

regional maupun nasional dilayani oleh perusahaan penerbangan yang ada di

wilayah bersangkutan. Usul yang diajukan oleh Australia dan Selandia baru ini

ditolak oleh konfrensi namun usul ini mengilhami lahirnya Pasal 77 Konvensi

Chicago 1944.36

Semua usul yang dikemukakan ditolak oleh konferensi penerbangan sipil

internasional sehingga melahirkan Pasal 6 Konvensi Chicago 1944.37 Menurut

Pasal tersebut “tidak ada penerbangan internasional berjadwal dapat dilakukan di

negara anggota lainnya, kecuali telah memperoleh izin lebih dahulu. Izin

      

36

Nothing in this Convention shall prevent two or more contracting states from constituting joint air transport operating organiczation or international operating agencies and from pooling their air serviceces on any routes or in any regions, but such organization or agenies and such pooled services shall be subject to all the provisions of this Convention. Including those relating to the registration of aggrements with the council. The Councill shall determine in what mannerthe provisions of this convention relating to nationality or aircraft shall apply to aircraft operated by international operating agencies.

37

(36)

demikian biasanya diatur dalam perjanjian angkutan udara internasional timbal

balik yang akan dibahas pada kesempatan yang lain.”

Di samping Pasal 6 Konvensi Chicago 1944 yang mengatur pertukaran

penerbangan internasional secara multilateral adalah Pasal 5 Konvensi Chicago

1944. Menurut pasal tersebut, “pesawat udara negara anggota organisasi

penerbangan sipil internasional yang melakukan penerbangan sipil internasional

tidak berjadwal dapat melakukan ke negara anggota lainnya tanpa memperoleh

izin lebih dahulu, tetapi negara tempat pesawat udara melakukan penerbangan

(flown states) berhak menentukan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi

oleh penerbangan internasional tidak berjadwal tersebut. Dalam praktiknya

persyaratan-persyaratan tersebut begitu sulitnya sehingga ketentuan dalam Pasal 5

Konvensi Chicago 1944 praktis tidak dapat dilaksanakan atau dapat dikatakan

Pasal yang mati (dead Letter).

Kegagalan untuk menyepakati pertukaran hak-hak penerbangan secara

multilateral tetap diusahakan untuk mengurangi tingkat kegagalan, karena itu

konform Aggrement yang akan digunakan sebagai panduan dalam referensi

penerbangan sipil Internsional tersebut masih berusaha dengan mengesahkan

International Air Service Transit Aggrement dan International Air Transport

Aggrement akan dibahas lebih lanjut. Di samping itu, konfrensi penerbangan sipil

Internasional juga mengesahkan dokumen tentang International Civil Aviation,

signed at Chicago on 7 December 1944, interim Aggrement on International Civil

Aviation Organization yang melahirkan Provisional International Civil Aviation

(37)

sebagai panduan dalam pembuatan perjanjian angkutan udara internasional timbal

balik.

Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa konfrensi Chicago yang

ditandatangani pada 7 desember 1944 tersebut gagal menyetujui pertukaran secara

multilateral mengenai hak-hak penerbangan, untuk mengurangi tingkat kegagalan

tersebut, Konfrensi Chicago menyepakati persetujuan penerbangan lintas yang

tercantum dalam international Air Service Transit Aggrement (IASTA), dan

International Air Transport Aggrement (IATA) sebagai berikut.

a. International Air Srvices Transit greement (IASTA)

persetujuan penerbangan lintas internasional atau International Air Service

Transit agreement (IASTA)38

of 1944 yang ditanda tangani di Chicago tersebut

merupakan perjanjian internasional yang bersifat multilateral mempertukarkan

hak-hak penerbangan (five freedom of the air ), yang sering dipertukarkan dalam

perjanjian angkutan udara internasional. Hak-hak kebebasan udara tersebut adalah

kebebasan udara ke-1 (1st freedom of the air), yaitu hak untuk terbang melintasi

(over fly) negara lain tanpa melakukan pendaratan, dan hak kebebasan udara ke-2

(2nd freedom of the air), yaitu hak untuk melakukan pendaratan di negara lain

untuk keperluan operasional (technical landing), dan tidak berhak untuk

mengambil dan /atau menurunkan penumpang dan/atau kargo secara komersial.

b. International Air Transport Agerement (IATA)

Persetujuan trasportasi udara internasional atau International Air

Transport Aggreement (IATA) of 1944 yang ditanda tangani di Chicago pada 7

      

38

(38)

Desember 1944 tersebut juga merupakan perjanjian internasional secara

multilateral yang mempertukarkan hak-hak kebebasan udara (five freedom of the

air) masing-masing kebebasan udara ke1,2,3,4,dan 5.39

Kebebasan udara ketiga (3rd freedom of the air) adalah hak untuk

mengangkut penumpang, barang, dan pos secara komersial dari negara pendaftar

pesawat udara ke-4 (4th freedom of the air) adalah hak untuk mengangkut

penumpang, kargo, dan pos secara komersial dari negara yang berjanji lainnya ke

negara pesawat udara didaftarkan, sedangkan kebebasan udara ke lima (5th freedom

of the air) ke negara ketiga di luar negara yang berjanji.40 Kebebasan udara

tersebut biasanya dipertukarkan dalam perjanjian angkutan udara internasional

timbal balik (bilateral air transport agreement).41

Sebenarnya secara teoritis terdapat delapan kebebasan udara (eight

freedom of the air), namun dalam praktik hanya terdapat lima hak kebebasan

udara (five freedom of the air). Kebebasan udara keenam (66th freedom of the air)

adalah pengangkutan penumpang, barang maupun pos secara komersial dari

negara ketiga melewati negara tempat pesawat udara didaftarkan, kemudian

diangkut kembali ke negara tujuan, misalnya penumpang dari Melbourne

(Australia) diangkut oleh Garuda Indonesia melalui Jakarta, kemudian diangkut

ke Bangkok (Thailand) kebebasan udara ke 7 (7th freedom of the air) adalah

      

39

Kebebasan udara (traffic right) 1,2,3,4 dan 5, dijelaskan secara lengkap dalam

McWhinney and Bradley Eds., Freedom of the Air. (Leyden: Oceana Publication.Dobb Press NY 1968).

40 Perjanjian transportasi udara timbal balik dan praktik angkutan udara internasional

dapat dibaca Lambtus Hendrik Slotemaker, Freedom Of Passage for International Air Services. (Leiden:A.W sijthoff’s Uitgevermijs NV, 1932).

41

(39)

pengangkutan penumpang, barang maupun pos secara komersial semata-mata di

luar negara yang mengadakan perjanjian, misalnya dalam perjanjian antara

Indonesia dengan Thailand, suatu pengangkutan dari melbourne (Australia) ke

Singapura, sedangkan kebebasan udara ke-8 (8th freedom of the air) adalah

pengangkutan penumpang, barang, dan pos secara komersial dari satu tempat ke

tempat lain dalam satu wilayah negara berdaulat yang biasa disebut dengan

cabotage. Cabotage adalah hak prerogatif negara berdaulat untuk menentukan

transportasi dalam negeri guna kemanfaatan perusahaan penerbangan nasional.

Hak tersebut tidak pernah diserahkan kepada perusahaan asing mana pun,

ibaratnya uang dari kantong kiri akan dipindahkan ke kantong kanan, pasti tidak

akan menyuruh kepada anak orang lain, melainkan menyuruh anaknya sendiri.42

      

42

(40)

BAB III

PENGATURAN ASPEK TEKNIS DAN OPERASIONAL

PENERBANGAN SIPIL MENURUT KONVENSI CHICAGO

1944

A. Kedaulatan Negara Dalam Konteks Penerbangan Sipil Menurut Konvensi Chicago Tahun 1944

Negara berdaulat adalah negara yang mempunyai kekuasaan tertinggi

(supreme authority) bebas dari kekuasaan negara lain, bebas dalam arti

seluas-luasnya baik kedalam maupun keluar, namun demikian tetap harus

memperhatikan hukum internasional serta sopan santun dalam pergaulan

internasional lainnya. Sebagai negara berdaulat dapat menentukan bentuk negara,

bentuk pemerintahan, organisasi kekuasaan ke dalam maupun keluar, mengatur

hubungan dengan warga negaranya, mengatur penggunaan public domain,

membuat undang-undang dasar beserta peraturan pelaksananya, mengatur politik

keluar negeri maupun dalam negeri, mengadakan hubungan internasional dengan

negara lain, melindungi warga negara di luar negeri maupun dalam negeri,

termasuk warga negara asing yang ada di wilayahnya, walaupun tidak mempunyai

kewarganegaraan (stateless), mengatur wilayah darat, laut, maupun udara untuk

kepentingan pertahanan, keamanan, keselamatan penerbangan maupun kegiatan

sosial lainnya.43

Dalam Konvensi Montevedeo 1933,44 negara berdaulat harus memenuhi

unsur-unsur penduduk tetap, pemerintahan yang diakui oleh rakyat, dapat

mengadakan hubungan internasional, mempunyai wilayah darat, laut maupun

      

43

H.K.Martono, Op.cit, hal.64.

44

(41)

udara,45 walaupun persyaratan wilayah tidak merupakan persyaratan mutlak46

untuk negara berdaulat. Negara berdaulat melaksanakan prinsip yurisdiksi

teritorial (territorial jurisdiction principle) di samping prinsip-prinsip yurisdiksi

lainnya.47

Wilayah kedaulatan suatu negara dapat diperoleh karena penguasaan

(Ocupation), aneksasi, pertumbuhan (accrestion), Cessie, kedaluwarsa dan

perang. Perolehan wilayah karena pengusaan seperti Eastern greenland yang

disengketakan oleh Denmark dan Swedia, Pulau Palmas Yang disengketakan

antara Amerika Serikat dengan Belanda, Pulau Ligitan dan Sipadan yang

disengketakan antara Indonesia dengan Malaysia, sedangkan perolehan karena

aneksasi misalnya Kuwait diserbu dan diduduki oleh Irak kemudian dijadikan

Provinsi ke-19, Korea Utara diduduki oleh Jepang pada 1910. Perolehan wilayah

karena pertumbuhan (accrestion) berdasarkan teori hukum Romawi terjadi secara

alamiah, sedangkan perolehan wilayah karena cessie misalnya Alaska yang

diberikan Uni Soviet kepada Amerika Serikat, Lotharingen diberikan oleh Prancis

kepada Jerman. wilayah kedaulatan Republik Indonesia diperoleh karena perang

kemerdekaan Indonesia dengan Belanda.48

a. Batas Wilayah Udara

1. Batas Wilayah Udara Secara Horizontal

Batas wilayah udara secara horizontal mengacu kepada Pasal 2 konvensi

Chicago 1944 lebih menjelaskan lagi bahwa untuk keperluan konvensi Chicago

      

45

Menurut Konvensi Montevedeo 1933, persyaratan negara berdaulat adalah a permanent populations; a defined territory; a government and a capacity to enter into relation with other states.

46

Dalam praktik hukum internasional, Israel dalam Tahun 1948 tidak mempunyai wilayah, tetapi tetap diakui sebagai negara berdaulat.

47 Prinsip-prinsip yurisdiksi lainnya adalah

Passive National Jurisdiction principole, active national jurisdiction principle & Universal jurisdiction principle.

48

(42)

1944 yang dimaksudkan wilayah adalah batas wilayah negara (state teritory),

walaupun tidak secara tegas disebutkan, semua negara mengakui bahwa tidak ada

negara negara manapun yang berdaulat di laut lepas (high seas),49demikian dapat

meminjam penafsiran Mahkamah Internasional (Permanent Court of International

Justice) dalam kasus sengketa Eastern Greenland. Dalam kasus tersebut

ditafsirkan “The natural meaning of the term is its geographical meaning” yaitu

ruang dimana terdapat “udara (air)”. Lingkup yurisdiksi teritorial suatu negara

diakui dan diterima oleh negara anggota konvensi Chicago 1944 terus keatas

sampai tidak terbatas.

Dalam hubungannya dengan kedaulatan laut teritorial, masih banyak

negara-negara yang menuntut lebar laut teritorial ke arah laut lepas.50 Mereka

menuntut lebar laut teritorial sampai 200 mil laut ke arah laut lepas seperti

Inggris. Tuntutan lebar laut teritorial ke arah laut lepas demikian dapat dimengerti

karena adanya tuntutan negara pantai terhadap Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE)

untuk memperoleh hak berdaulat atas sumber daya alam hayati maupun non

hayati, apalagi dengan adanya praktik secara sepihak Amerika Serikat untuk

menetapkan jalur tambahan di ruang udara yang dikenal dengan Zona Identifikasi

Pertahanan Udara (Air Defence Identification Zone- ADIZ) yang kemudian diikuti

oleh Kanada dengan konsep CADIZ (Canada Air Defense Identification Zone) .

Amerika Serikat dalam ADIZ menyatakan bahwa setiap pesawat udara

yang terbang ke Amerika Serikat, dalam jarak 200 mil Laut sebelum memasuki

wilayah Amerika Serikat harus jati Diri (Ident). Mengenai tindakan sepihak oleh

      

49

Cheng.B, The Law of International Air Transport. (London:Institute of World affair, 1982) hal.120-127.

50 Milde,

(43)

Amerika Serikat dan Kanada berbagai penulis berpendapat tindakan tersebut tidak

ada jaminan dan merupakan pelanggaran hukum internasional,51 sedangkan

penulis lain berpendapat bahwa tindakan sepihak oleh Amerika Serikat dan

Kanada tersebut merupakan “precedent” berdasarkan teori dan perlindungan yang

sejalan dengan konsep jalur tambahan (contiquous zone ) dalam hukum laut

internasional.

Walaupun tindakan sepihak oleh Amerika Serikat dan Kanada tersebut

masih dipertanyakan legalitasnya, kedua negara tersebut tetap mempertahankan

jalur tambahan di ruang udara tersebut meskipun tidak berdaulat secara penuh dan

utuh di jalur tambahan tersebut. Mengenai wilayah udara di Amerika Serikat juga

diatur dalam section 101 Federal Aviation Act of 1958.52 Menurut Section 101

Federal Aviation Act of 1958 tersebut wilayah udara Amerika Serikat terdiri dari

beberapa negara, distrik Columbia dan beberapa wilayah di bawah otoritas

Amerika Serikat termasuk laut teritorial beserta ruang udara di atasnya.

2. Batas wilayah Udara secara Vertikal

Konvensi Chicago 1944, tidak mengatur batas wilayah udara secara

vertikal, walaupun Konvensi Chicago 1944 telah mengatur berbagai masalah

penerbangan seperti ketentuan-ketentuan mengenai cabotage53, pengawasan

pesawat udara tanpa awak pesawat udara,54 kewenangan menetapkan daerah

terlarang (prohibited Area),55 dll. Namun dalam Pasal 1 Konvensi Chicago 1944

telah dinyatakan kewenangan pengaturan kedaulatan mengakui bahwa setiap

      

51 Shawcross and Beumont, 1977: hal. 182. 52

Section 501 Federal Aviation Act of 1958: “United States Means Severl States, the district of Columbia and the Several territorial and possesions of the Unied State including the teritorial waters and overlying airspace.

53 Lihat Pasal 7 Konvensi Chicago 1944. 54

Pasal 8 Konvensi Chicago 1944.

55

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa dalam Konvensi Montreal 1999 ditegaskan apabila dapat dibuktikan bahwa Singapore Airlines lalai menjalankan