• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanggung Jawab Negara Untuk Keselamatan Lalu Lintas Penerbangan Di Timor Leste Berdasarkan Chicago Convention 1944 Dan Timor Leste Civil Aviation Basic Law.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tanggung Jawab Negara Untuk Keselamatan Lalu Lintas Penerbangan Di Timor Leste Berdasarkan Chicago Convention 1944 Dan Timor Leste Civil Aviation Basic Law."

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1

Oleh: Luis Caldeira Alves

ABSTRAK

Pembangunan Bandara Dili, menyebabkan makin bertambahnya trafic

pesawat komersil. Perkembangan lalu lintas udara di Timor Leste sebaiknya

diimbangi dengan pelayanan prima terhadap keamanan dan keselamatan

penerbangan. Tesis ini akan membahas dua permasalahan, yaitu: implikasi

yuridis dari standar internasional keselamatan penerbangan menurut Chicago

Convention 1944 terhadap maskapai penerbangan dan regulator bandar udara di

Timor Leste dan tanggung jawab Pemerintah Timor Leste (dalam hal ini

Kementrian Transportasi) sebagai regulator penerbangan dalam pengawasan

keselamatan lalu lintas penerbangan di Timor Leste menurut Timor Leste Civil

Aviation Basic Law.

LATAR BELAKANG

Penyelenggaraan transportasi udara tidak dapat dilepaskan dari

pertumbuhan ekonomi masyarakat pengguna jasa transportasi udara yang dilayani

dan juga kecenderungan perkembangan ekonomi global.1Di era globalisasi ini, di mana waktu menjadi sesuatu yang sangat penting bagi aparatur negara, pelaku

bisnis dan semua orang pada umumnya, sarana transportasi udara berperan sangat

penting. Oleh karena itu, bisnis transportasi udara merupakan suatu bisnis yang

sangat menjanjikan bagi suatu negara.2 Tersedianya pilihan jasa penerbangan membuat orang akan memilih dalam menggunakan jasa penerbangan. Biasanya

terdapat berbagai faktor bagi seseorang dalam menetapkan pilihan terhadap jasa

1

Soegijatna Tjakranegara, Hukum Pengangkutan Barang dan Penumpang, Rineka Cipta, Jakarta, 1995, hlm. 84.

2 Agus Pramono, Hukum Penyelenggaraan Bisnis Penerbangan, Ghalia Indonesia,

(2)

penerbangan yang digunakannya, antara lain waktu, kualitas pelayanan, harga

tiket, jenis pesawat, kenyamanan, keamanan dan banyak alasan lainnya.3

Pada kenyataannya, perkembangan sarana transportasi udara ini kurang

diikuti oleh kewaspadaan dari para regulator (Pemerintah) karena kepentingan dan

pengaruh kuat dari operator (pengusaha bisnis penerbangan).4 Para pebisnis penerbangan hanya melihat persaingan dalam perebutan penumpang, yang kadang

tanpa mengindahkan aturan keamanan dan keselamatan penerbangan.5 Sebagai akibatnya dalam beberapa tahun terakhir sering terjadi kecelakaan yang apabila

diteliti lebih lanjut merupakan sesuatu hal yang sebenarnya dapat dihindarkan,

paling tidak dapat di minimalisir.6

Keterbatasan Timor Leste dalam masalah keselamatan penerbangan

ditandai dengan pernah terjadinya kecelakaan pesawat udara yang diakibatkan

kurang seriusnya Pemerintah Timor Leste dalam mengatur dan mengelola bidang

penerbangan ini. Sebagai contoh kasus yang terjadi pada tahun 2004 lalu di mana

pesawat IL76 dari Rusia mengalami kecelakaan di Bandara Baucau Timor Leste.

Pesawat IL76 ini adalah pesawat yang disewa Perusahaan Timor Telkom dari

Rusia. Kecelakaan pesawat ini terjadi tidak adanya komunikasi antara pilot

dengan air traffic control Komoro.7

Jika merujuk pada Pasal 37 Chicago Convention 1944 maka dapat

dijelaskan bahwa salah satu standar keselamatan penerbangan adalah adanya

komunikasi antara Pilot dengan petugas air traffic control. Air Traffic Control

memiliki tugas utama sebagai pemandu lalu lintas udara yang tercantum di dalam

Annex 2 dan Annex 11 Chicago Convention 1944, yaitu mencegah tabrakan antar

pesawat udara, mencegah tabrakan pesawat udara dengan obstacle, mengatur arus

lalu lintas pesawat udara yang aman, cepat dan teratur.

3 Ridwan Khairandy, “Tanggung Jawab Pengangkut dan Asuransi Tanggung Jawab

Sebagai Instrumen Perlindungan Konsumen Angkutan Udara”,Jurnal Hukum Bisnis, Volume 25

Nomor 4, Oktober 2006, hlm. 58.

4 Saefullah Wiradipradja, “Tanggung Jawab Perusahaan Penerbangan Terhadap

Penumpang Menurut Hukum Udara Indonesia”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 25, Nomor 1, tahun 2006, hlm.5

5

Ibid., hlm. 5.

6 Ibid., hlm. 1.

7Berdasarkan pengamatan peneliti sebagai air traffic control di lapangan setelah insiden

(3)

Dasar hukum yang dipakai oleh Timor Leste dalam hal pengaturan

keselamatan penerbangan adalah Alinea XVII Chicago Convention 1944 dan

Timor Leste Civil Aviation Basic Law. Kedua peraturan yang digunakan Timor

Leste dalam mengatur masalah keselamatan lalu lintas penerbangan dirasakan

masih bersifat umum, hal-hal teknis seperti panjang landasan pesawat udara,

penempatan air traffic control dan lain sebagainya belum diatur secara rinci.

Keselamatan penerbangan menjadi persyaratan utama dalam industri

transportasi udara yang harus ditaati dan dilaksanakan sebaik-baiknya oleh setiap

maskapai. Namun, persyaratan keselamatan penerbangan dalam sebuah maskapai

juga berkaitan sangat erat dengan sistem keselamatan di pihak otorita

penerbangan sipil, bandar udara, pengatur lalu-lintas udara, ground handling,

bengkel perawatan pesawat, badan meteorologi, dan menyangkut pemahaman

masyarakat yang dalam hal ini diwakili para pengguna jasa transportasi udara,

sehingga sistem keselamatan industri penerbangan menjadi sangat unik, karena

sangat tergantung dengan budaya keselamatan dan keamanan sebuah bangsa

secara keseluruhan.8

Pada dasarnya, keselamatan penerbangan merupakan tanggung jawab

bersama baik secara langsung maupun tidak langsung melibatkan berbagai pihak

Pemerintah selaku regulator, operator penerbangan dan serta berbagai pihak

lainnya yang terlibat dalam operasi penerbangan. Salah satu asas dalam

penyelenggaraan penerbangan secara universal adalah asas adil dan merata yang

dimaksudkan agar penyelenggaraan penerbangan harus dapat memberikan

pelayanan yang adil dan merata tanpa diskriminasi kepada segenap lapisan

masyarakat. Masyarakat diharapkan juga hendaknya dapat membantu

terwujudnya keselamatan penerbangan dengan memberikan masukan kepada

Pemerintah dalam rangka pembinaan, penyelenggaraan dan pengawasan

penerbangan.9

Pemerintah tidak hanya bertugas menerbitkan berbagai aturan, tetapi juga

melaksanakan sertifikasi dan pengawasan guna menjamin terselenggaranya

8H. Mahbud, “Aspek Hukum Keselamatan Penumpang Pada Moda Transportasi Udara,

Jurnal Hukum dan Pembangunan”, Volume IV Nomor 1, Agustus 2008, hlm. 16.

(4)

transportasi udara yang memenuhi standar keselamatan penerbangan berdasarkan

Chicago Convention 1944. Penyelenggaraan transportasi udara tergantung dari

ideologi negara yang bersangkutan apakah sosialis atau liberal. Bagi

negara-negara yang menganut ideologi sosialis seperti China, Uni Soviet, Cuba

transportasi udara dikuasai dan diselenggarakan oleh pemerintah seperti Civil

Aviaton Administration of China (CAAC) di China semuanya diselenggarakan

oleh pemerintah, sedangkan bagi negara yang ideologinya liberal semua

perusahaan penerbangan diselenggarakan oleh swasta. Di Amerika Serikat tidak

terdapat perusahaan penerbangan milik pemerintah, semua diselenggarakan oleh

swasta. Bagi negara yang menganut ideologi gabungan penyelenggaraan

transportasi udara termasuk penunjangnya diselenggarakan oleh pemerintah

bersama-sama dengan swasta misalnya Indonesia, Canada, Inggris dan Belanda.10 Di Timor Leste sistem penyelenggaraan transportasi udara masih dipegang

sepenuhnya oleh Pemerintah dan hal ini bukan berarti bahwa Timor Leste

berideologi sosialis tetapi lebih disebabkan belum mapannya sistem

penyelenggaraan transportasi udara yang ada saat ini. Pemerintah Timor Leste

masih terus berusaha membangun sistem penyelenggaraan transportasi udaranya

termasuk membuat peraturan perundang-undangan di bidang penerbangan.

IDENTIFIKASI MASALAH

Bertitik tolak dari uraian dalam latar belakang sebagaimana diuraikan di

atas, beberapa masalah penelitian yang dapat dirumuskan adalah sebagai

berikut:

1. Apakah implikasi yuridis dari standar internasional keselamatan

penerbangan menurut Chicago Convention 1944 terhadap maskapai

penerbangan dan regulator bandar udara di Timor Leste?

2. Bagaimana tanggung jawab Pemerintah Timor Leste (dalam hal ini

Kementrian Transportasi) sebagai regulator penerbangan dalam

melakukan pengawasan terhadap keselamatan lalu lintas penerbangan di

Timor Leste menurut Timor Leste Civil Aviation Basic Law?

10 H. K. Martono, Sistem Penyelenggaraan dan Pengusahaan Transportasi Udara,

(5)

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah yuridis normatif

dan spesifikasi penelitian bersifat deskriptif analitis dengan mengkaji bahan-bahan

kepustakaan dan penelitian lapangan. Selanjutnya dianalisis dengan metode

normatif kualitatif, artinya dalam penulisan ini mengkualifikasikan dengan

menganalisis sesuai aturan yang berlaku tanpa mempergunakan rumus matematis

dan angka-angka. Data yang tersaji merupakan analisis yuridis berdasarkan

hukum positif Timor Leste dan Konvensi Internasional mengenai lalu lintas

penerbangan di Timor Leste.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Implikasi Yuridis Dari Standar Internasional Keselamatan Penerbangan Menurut Chicago Convention 1944 Terhadap Maskapai Penerbangan dan Regulator Bandar Udara Di Timor Leste

Adanya standar intenasional yang telah baku maka Negara sebagai

regulator ketika membuat suatu peraturan yang akan diterapkan kepada maskapai

penerbangan yang ada di Negara tersebut hendaknya mengacu kepada ketentuan

yang sudah ada. Ketika melihat yang seperti ini terlihat keterkaitan yang sangat

jelas antara ICAO dan maskapai penerbangan tersebut. Disini terlihat bahwa

maskapai penerbangan dalam menerapkan sebuah standar pasti mengacu kepada

standar yang dikeluarkan oleh ICAO. Karena standar yang dikeluarkan ICAO

bersifat internasional yang sudah tidak diragukan lagi.11

Prinsip tanggung jawab pengangkut yang dianut dalam Ordonansi

Pengangkut Udara 1939 adalah sama dengan prinsip yang dianut dalam Konvensi

Warsawa 1929 atau Konvensi Warsawa Hague 1955, yaitu Prinsip tanggung

jawab berdasarkan asas praduga (rebuttble presumption of liability). Berdasarkan

prinsip ini, pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab atas kerugian yang

timbul kecuali bila dia dapat membuktikan bahwa dia dan/atau para pegawainya

telah mengambil tindak yang perlu untuk menghindari kerugian atau bahwa hal itu

tidak mungkin mereka lakukan dengan menerapkan prinsip tanggung jawab ini,

11 D. Danny H. Simanjuntak, Standar Keamanan dan Keselamatan Jasa Penerbangan.

(6)

pihak korban tidak diharuskan untuk membuktikan adanya unsur kesalahan apa

pun pada pihak pengangkut untuk menuntut pembayaran santunan atas kerugian

yang dideritanya.12

Pertanggungjawaban perusahaan penerbangan berdasarkan prinsip

presumption of liability (dalam konnensi Warsawa) atau prinsip strict liability

(dalam Konvensi Montreal), yaitu jika pengangkut ingin membebaskan diri dari

tanggung jawabnya, dia harus membuktikannya (beban pembuktian terletak

dipundaknya), sehingga tanggung jawab pengangkut dibatasi sampai sejumlah

tertentu (limited liability). Hal ini berbeda dengan prinsip tanggung jawab

berdasarkan atas kesalahan (based on fault liability), yaitu beban pembuktian ada

pada pundak penggugat (korban), dan tanggung jawabnya tak terbatas

(unlimited).13

Keberadaan asuransi untuk mengganti kerugian terhadap penumpang

sangat penting. Mengingat konvensi menerapkan strict liability principle dengan

jumlah batas santunan (kompensasi) yang cukup tinggi, sehingga bila tanggung

jawabnya itu tidak ditutup asuransi tentu akan sangat memberatkan perusahaan.

Penerapan kewajiban asuransi ini dapat dikatakan sebagai imbalan atas

diterapkannya prinsip tanggung jawab mutlak dan dinaikannya batas tanggung

jawab pengangkut.14

Perusahaan penerbangan untuk ketertiban dalam lalu lintas udara,

sebaiknya mengikuti arahan dari Pemandu Lalu Lintas Udara (Air Traffic

Controller) yang disingkat ATC. ATC merupakan pengatur lalu lintas udara yang

tugas utamanya mencegah pesawat terlalu dekat satu sama lain dan

menghindarkan dari tabrakan (making separation). Selain tugas separation, ATC

juga bertugas mengatur kelancaran arus traffic (traffic flow), membantu pilot

dalam menghandle emergency/darurat, dan memberikan informasi yang

dibutuhkan pilot (weather information atau informasi cuaca, traffic information,

12Saefullah Wiradipradja, Hukum Transportasi Udara dari Warsawa 1929 ke Montreal

1999, PT. Kiblat Buku Utama, Bandung, 2008, hlm. 228.

13 E. Saefullah Wiradipradja, Pengantar Hukum Udara dan Ruang Angkasa: Buku I

Hukum Udara, Op.cit., hlm. 206.

(7)

navigation information, dll). ATC adalah rekan dekat seorang Pilot disamping

unit lainnya, peran ATC sangat besar dalam tercapainya tujuan penerbangan.

Semua aktifitas pesawat di dalam area pergerakan diharuskan mendapat izin

terlebih dahulu melalui ATC, yang nantinya ATC akan memberikan informasi,

insturksi, clearance/izin kepada Pilot sehingga tercapai tujuan keselamatan

penerbangan, semua komunikasi itu dilakukan dengan peralatan yang sesuai dan

memenuhi aturan Keadaan ruang Pengatur lalu-lintas udara.15

Tujuan pelayanan lalulintas udara yang diberikan oleh ATC berdasarkan

Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil (PKPS) bagian 170 atau sering disebut

dengan istilah 5 objective of ATS dalam ICAO dokumen ANNEX 11 tentang Air

Traffic Service:16

1) Mencegah Tabrakan antar pesawat.

2) Mencegah Tabrakan antar pesawat di area pergerakan rintangan di area

tersebut.

3) Mempercepat dan mempertahankan pergerakan Lalu Lintas udara.

4) Memberikan saran dan informasi yang berguna untuk keselamatan dan

efisiensi pengaturan lalu lintas udara.

5) Memberitahukan kepada organisasi yang berwenang dalam pencarian

pesawat yang memerlukan pencarian dan pertolongan sesuai dengan

organisasi yang dipersyaratkan.

Pengaturan lalu-lintas udara dilakukan di atas menara (Tower), agar dapat

melihat dengan jelas keadaan runway Landas pacu. Prinsip tugas air traffic control

yaitu menjaga keselamatan pesawat terbang di bandara dan sekitarnya. Pemandu

Lalu Lintas Udara (Air Traffic Controller, ATC) adalah penyedia layanan yang

mengatur lalu lintas di udara terutama pesawat terbang untuk mencegah pesawat

terlalu dekat satu sama lain dan tabrakan. ATC atau yang disebut dengan Air

Traffic Controller merupakan pengatur lalu lintas udara yang tugas utamanya

15

http://overseaszonemagazine.wordpress.com/2013/01/11/pemandu-lalu-lintas-udara/

http://overseaszonemagazine.wordpress.com/2013/01/11/pemandu-lalu-lintas-udara/, PADA TANGGAL 21 Noember 2014, pada pukul 05.11 WIB

(8)

mencegah pesawat terlalu dekat satu sama lain dan menghindarkan dari tabrakan

(making separation).17

ATC memiliki tugas lain, yaitu mengatur kelancaran arus traffic (traffic

flow), membantu pilot dalam menghandle emergency/darurat, dan memberikan

informasi yang dibutuhkan pilot (weather information atau informasi cuaca,

traffic information, navigation information, dll). ATC adalah rekan dekat seorang

Pilot disamping unit lainnya, peran ATC sangat besar dalam tercapainya tujuan

penerbangan. Semua aktifitas pesawat di dalam area pergerakan diharuskan

mendapat izin terlebih dahulu melalui ATC, yang nantinya ATC akan

memberikan informasi, insturksi, clearance/izin kepada Pilot sehingga tercapai

tujuan keselamatan penerbangan, semua komunikasi itu dilakukan dengan

peralatan yang sesuai dan memenuhi aturan.

Keadaan ruang Pengatur lalu-lintas udara.18

Pasal 47 ayat (1) Basic Law on Civil Aviation, menegaskan: “The operator of the aircraft is responsible for damage resulting from collision”.

Pihak maskapai bertanggungjawab atas tabrakan yang terjadi. Yang jadi

permasalahan tabrakan dapat juga disebabkan kelalaian dari operator menara yang

merupakan pegawai pemerintah. Karena di Timor Leste pengelolaan bandara

masih di bawah Kementrian Transportasi

Pengaturan yang ada pada konensi internasional, akan mewajibkan negara

memberlakukannya. Sedangkan kewajiban bagi maskapai wajib mematuhi aturan

yang ada, pengelolaan bandara di Timor Leste, masih dilakukan pemerintah.

Pemerintah sebagai pengawas maskapai penerbangan dan juga pengelola bandara.

B. Tanggung Jawab Pemerintah Timor Leste Sebagai Regulator Penerbangan Dalam Pengawasan Keselamatan Lalu Lintas Penerbangan Di Timor Leste Menurut Timor Leste Civil Aviation Basic Law

Tanggung jawab pemerintah Timor Leste selaku pengawas dan pelaksana

yang timbul terkait lalu lintas juga melekat pada negara. Tanggung jawab negara

(9)

terkait kewajiban menjaga lalu lintas penerbangan yang mencakup kewajiban

untuk mencegah kelalaian-kelalaian yang membahayakan keselamatan (safety

oversight), serta kewajiban untuk menghukum tindakan kriminal yang

membahayakan keselamatan penerbangan.

Pasal 3 on Timor Leste Civil Aviation Basic Law , menegaskan mengenai

tanggung jawab negara atas kaeamanan penerbangan sipil. Tanggung jawab yang

dikedapankan adalah tanggung jawab negara, ini berarti tanggung jawab

masyarakat dan pemerintah. Isi pasal tersebut antara lain:

Defence, security, orientation, coordination, monitoring and control of all activities related to civil aviation and the national and international airspace under East Timorese jurisdiction, i.e. provision of air transport services, running of airport public services and air navigation support services, shall be the responsibility of the State.”

Keselamatan penerbangan sebenarnya merupakan isu yang sifatnya teknis,

namun dapat menjadi isu hukum hukum publik ketika terjadi suatu keterlibatan

masyarakat publik itu dan individu-individu yang tergabung di dalamnya

berpartisipasi di dalam pemerintahan.19 Dalam perspektif ini, keselamatan penerbangan sipil hanya dilihat dari penerapan dalam tingkat nasional dan tidak

menjelaskan bagaimana kewajiban menjaga keselamatan penerbangan itu berlaku

dalam tingkatan internasional. Konvensi Chicago 1944 menentukan bahwa badan

legislatif suatu negara yang berdaulat memiliki kewenangan untuk menentukan

seberapa ketat aturan keselamatan penerbangan sipil sesuai dengan wilayah

jurisdiksi negara masing-masing, legislatif Timor Leste dalam membuat

undang-undang harus sejalan dengan peraturan internasional, akan tetapi tidak menutup

kemungkinan untuk memperlonggar atau memperketat aturan internasional yang

ada.20

19Wassenbergh, “Safety in Air Transportationand Market Entry”, Air and Space Law

XXIII:2, 1998, hlm. 83.

(10)

Dalam tingkat internasional, kewajiban untuk menjaga keselamatan

penerbangan secara umum dianggap merupakan suatu kewajiban yang bersifat

erga omnes dan setiap negara di dunia memiliki kepentingan terhadapnya.21

Dengan demikian jika hal ini dianalogikan terhadap sandar-standar keselamatan

yang terdapat di dalam Konvensi Chicago 1944 disusun oleh ICAO dengan tujuan

untuk melindungi kepentingan bersama komunitas penerbangan sipil

internasional, maka secara prinsip keberlakuannya sendiri tidak hanya inter se

terhadap negara-negara yang menjadi negara anggota ICAO saja, tetapi juga

kepada non-anggota.22

Meskipun keselamatan penerbangan sipil secara umum merupakan

kewajiban yang harus ditaati oleh seluruh negara baik anggota maupun

nonanggota ICAO, kewajiban untuk menaati standar keselamatan lalu lintas

penerbangan. Konvensi Chicago 1944 memberikan kesempatan bagi negara

berdaulat untuk menentukan seberapa ketat peraturan keselamatan penerbangan

yang diberlakukan di dalam jurisdiksi wilayah negaranya masing-masing.23

Suatu penyelidikan kecelakaan penerbangan wajib dilakukan melalui 2

jalur yang terpisah, dengan prinsip-prinsip/syarat-syarat yang jauh berbeda dan

kadangkala bertentangan. Jalur yang ditempuh itu adalah investigasi

teknis dan investigasi yuridis. Dan pada kenyataannya penulis tidak menemukan

pembagian jalur semacam ini yang dengan secara tegas-jelas di dalam legislasi

nasional, tidak jelas atau belum diatur, walaupun Annex 13 itu berlaku

mengikat.24

Dalam pertemuan ICAO 1992 ke dalam Annex 13 Konvensi Chicago 1944

(accidents, serious incidents and other incidents) jelas-jelas menghendaki suatu

ketegasan/kepatuhan mutlak terhadap berbagai pengaturan tercantum di dalam

Standard and Recommended Practices, Annex 13 tersebut. Ditarik dari isi Annex

21

CJ. Tams, Enforcing Obligations Erga Omnes in International Law, Cambridge University Press, 2005, hlm. 73.

22Barcelona Traction (Belgium v. Spain), Second Phase, ICJ Reports 1970, hlm. 32. 23

Huang Jiefang, “Aviation Safety, ICAO, and Obligations Erga Omnes,” Chinese Journal of International Law VIII:1, 2009, hlm. 64.

24

(11)

13 ini, kita harus menyikapi apa yang dimaksud dengan pengklasifikasian

kejadian-kejadiannya yang diarahkan kepada “accident investigation”, karena secara alamiah, investigasi semacamnya merupakan “sikap reaktif”, dan di mana

dari “safety” penerbangan, “accidents”/incidents itu dapat dikatakan jarang-jarang

terjadi, akibat ketatnya tata cara dan sifat teknologi (penerbangan itu sendiri).

Pemisahan tata cara investigasi disebabkan titik tolak yang berbeda.

Kedua-duanya harus independen – bebas dan tidak dibenarkan dicampuri –

diintervensi oleh pihak manapun juga, terutama oleh lembaga-lembaga

pemerintah. Dalam melaksanakan tugasnya kedua badan investigasi tersebut

seringkali bertentangan, karena dimana investigasi teknis diarahkan kepada cara

bagaimana “accidents– incidents” semacamnya tidak terulang lagi/dapat dicegah

seraya meningkatkan “air safety” kegiatan penerbangan sipil-komersial, maka

investigasi yuridis mencari bidang-bidang kesalahan kriminal – perdata yang

berkaitan dengan “legal liability”tanggung jawab hukum yang berbentuk ganti

rugi jumlah financial. Disinilah harus diteliti peranan pihak asuransi.25

PENUTUP A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dan penelitian yang dilakukan penyusun,

disimpulkan beberapa hal di bawah ini, antara lain:

1. Implikasi yuridis terhadap maskapai penerbangan dan regulator bandar udara

di Timor Leste sesuai dengan Pasal 37 Chicago Convention 1944, pemerintah

Timor Leste berjanji untuk mengadopsi standar internasional sesuai

perkembangan zaman ke dalam regulasi yang dibuat, meliputi:

a. Sistem komunikasi dan alat bantu navigasi udara, termasuk tanah

menandai;

b. Karakteristik bandara dan daerah pendaratan;

c. Peraturan praktik udara dan kontrol lalu lintas udara;

d. Perizinan operasi dan personel mekanik;

e. Kelaiakan pesawat Udara;

(12)

f. Pendaftaran dan identifikasi pesawat udara;

g. Pengumpulan dan pertukaran informasi meteorologi;

h. Log book;

i. Peta Aeronautical dan grafik;

j. Prosedur Bea dan Imigrasi ;

k. Pesawat dalam kesusahan dan investigasi kecelakaan; dan hal-hal lain

seperti berkaitan dengan keselamatan, keteraturan, dan efisiensi navigasi

udara sebagaimana diperlukan dari waktu ke waktu muncul tepat.

2. Pemerintah Timor Leste memiliki tanggung jawab untuk memfasilitasi

bandara dan menerapkan regulasi terhadap maskapai yang sesuai dengan

standar internasional. Pemerintah pun bertanggungjawab memfasilitasi Air

Traffic Cotroller (ATC) untuk keselamatan pesawat penumpang komersil,

yang memiliki tugas utama untuk mencegah pesawat terlalu dekat satu sama

lain dan menghindarkan tabrakan (making separation). Pemerintah pun

bertanggungjawab untuk memiliki lembaga search and rescue (SAR) sebagai

bantuan reaksi cepat jika terjadi kecelakaan penerbangan.

B. Saran

Ada beberapa masukan penyusun atas permasalahan yang dihadapi

penerbangan di Timor Leste, diantaranya:

1. Pemerintah dan maskapai harus senantiasa mengikuti standar internasional di

bidang keselamatan, karena seiring dengan perkembangan teknologi yang ada,

keselamatan terhadap penerbanganan akan meningkat. Pemerintah diharapkan

bekerjasama dengan perusahaan atau pemerintah di negara lain untuk

senantiasa membangun fasilitas bandara sesuai dengan standar internasional.

2. Pemerintah sebaiknya menggantikan kegiatan operasional di bandara. Karena

pemerintah hanya berfungsi sebagai pengawas dan regulator saja. Pelayanan

bandara sebaiknya dilakukan swasta atau badan usaha milik negara, karena

akan bersikap profesional. Pemerintah jika terjadi kecelakaan hanya berperan

(13)

jika ada kerugian, pemerintah harus bertanggungjawab serta mengeluarkan

biaya pertanggungjawaban tersebut dari anggaran pendapatan nasional.

DAFTAR PUSTAKA Buku-buku

Agus Pramono, Hukum Penyelenggaraan Bisnis Penerbangan, Ghalia Indonesia,

Bogor, 2009.

CJ. Tams, Enforcing Obligations Erga Omnes in International Law, Cambridge

University Press, 2005.

D. Danny H. Simanjuntak, Standar Keamanan dan Keselamatan Jasa

Penerbangan. Pustaka Yustisia, 2007,Yogyakarta.

E. Saefullah Wiradipradja, Pengantar Hukum Udara dan Ruang Angkasa: Buku I

Hukum Udara, PT. Alumni, Bandung, 2014.

---, Hukum Transportasi Udara dari Warsawa 1929 ke

Montreal 1999, PT. Kiblat Buku Utama, Bandung, 2008.

H. K. Martono, Sistem Penyelenggaraan dan Pengusahaan Transportasi Udara,

Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2009.

Soegijatna Tjakranegara, Hukum Pengangkutan Barang dan Penumpang, Rineka

Cipta, Jakarta, 1995.

Suwardi, Penentuan Tanggung Jawab Pengangkut yang Terikat dalam Kerjasama

Pengangkutan Udara Internasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional

Departemen Kehakiman, Jakarta,1994.

Peraturan Perundangan-Undangan:

Chicago Convention 1944

Constituição Da RDTL 2002 (Konstitusi Republik Demokratik Timor Leste

Tahun 2002)

Paris Convention 1919

Timor Leste Civil Aviation Basic Law

Sumber Lainnya:

(14)

H. Mahbud, “Aspek Hukum Keselamatan Penumpang Pada Moda Transportasi Udara, Jurnal Hukum dan Pembangunan, Volume IV Nomor 1, Agustus

2008.

http://naufal-indoflyer.blogspot.com/2009/12/menyikapi-peristiwa-dunia-penerbangan.html, dinundah pada tanggal 12 November 2014 pada jam

20.05.

http://overseaszonemagazine.wordpress.com/2013/01/11/pemandu-lalu-lintas-udara/

http://overseaszonemagazine.wordpress.com/2013/01/11/pemandu-lalu-lintas-udara/, PADA TANGGAL 21 Noember 2014, pada pukul 05.11

WIB

Huang Jiefang, “Aviation Safety, ICAO, and Obligations Erga Omnes,” Chinese Journal of International Law VIII:1, 2009.

Kantor Berita Antara, “Timor Leste Luncurkan Maskapai Penerbangan Baru”, www.antaranews.com., yang diakses pada tanggal 22 Mei 2014.

Ridwan Khairandy, “Tanggung Jawab Pengangkut dan Asuransi Tanggung Jawab Sebagai Instrumen Perlindungan Konsumen Angkutan Udara”,

Jurnal Hukum Bisnis, Volume 25 Nomor 4, Oktober 2006.

Wassenbergh, “Safety in Air Transportation and Market Entry”, Air and Space

Law XXIII:2, 1998

www.indonesia-icao.com, Safe, Secure and Sustainable Air Transport in Open

Skies–Challenges and Potential, diakses tanggal 20 Noember 2014, pada

Referensi

Dokumen terkait

[r]

156 Yusuf, M.Pd Guru SMA Al Kautsar Lampung Bahasa dan Sastra Indonesia 157 Safrudin Ahmat Guru SMAN 1 Sumberejo Bahasa dan Sastra Inggris 158 M.Ma'ruf, S.Pd.I Guru SMA

Bila dalam rencana kerja dan syarat-syarat disebutkan nama dan pabrik pembuatan dari suatu bahan dan barang, maka hal ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahan dan barang

Sehubungan dengan Pelelangan Paket Pekerjaan Peningkatan D.I Jongar (100 Ha) pada Dinas Perumahan Rakyat, Kawasan Permukiman dan Pertanahan Kabupaten Aceh Tenggara Sumber Dana APBK

Sebuah elektron memiliki massa diam m o bergerak dengan kecepatan 0,6c, maka energi kinetiknya adalah ..... Radioisotop yang berfungsi khusus dalam bidang antropologi

[r]

Sehari setelah pemilihan presiden dilaksanakan, saya mendapatkan banyak SMS (Short Message Services) dari para aktivis Pemuda Muhammadiyah yang berisi ungkapan

Asal mereka bisa memberikan apa saja kepada anak-anak itu sehingga di dalam satu hari anak itu mempunyai suatu kesadaran bahwa saya harus menggali sebuah pengetahuan, saya