BAB II
Pengaturan Aspek Ekonomi Penerbangan Sipil Menurut
Konvensi Chicago 1944
A. Latar Belakang Lahirnya Konvensi Chicago 1944
Setelah ditemukannya moda transportasi udara, para ahli hukum udara
internasional mulai membahas masalah yurisdiksi terhadap tindak pidana
pelanggaran maupun kejahatan yang terjadi dalam pesawat udara. Hal ini dirintis
dari tahun 1902 oleh Prancis yang telah membahas kompetensi yurisdiksi
terhadap tindak pidana pelanggaran maupun kejahatan yang terjadi dalam pesawat
udara, serta tindakan-tindakan yang perlu diambil selama penerbangan maupun
pelanggaran dan kejahatan yang terjadi dalam pesawat udara, serta
tindakan-tindakan yang perlu diambil selama penerbangan berlangsung. Lalu dilanjutkan
dengan Konvensi warsawa 1929 beserta protokol serta suplemenya. Konvensi
tersebut mengatur tanggung jawab hukum terhadap pihak ketiga (third parties
liability) beserta protokolnya, konvensi mengenai pengakuan hak atas pesawat
udara, di samping hukum nasional perdata maupun publik sebagai implementasi
konvensi internasional tersebut di atas dan kemudian dilanjutkan dengan
Konvensi Chicago 1944.
Dalam hukum udara internasional ada beberapa hukum positif yang
menjadi acuan penerbangan sipil diantaranya Konvensi Chicago 1944 yang
merupakan konstitusi penerbangan sipil internasional. Konvensi tersebut dijadikan
sebagai acuan dalam pembuatan hukum nasional bagi negara anggota Organisasi
Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) untuk menyelenggarakan penerbangan
Menjelang perang dunia kedua (PD II), Presiden Amerika Serikat
Roosevelt mengundang sekutu-sekutunya pada PD untuk mengadakan konfrensi
Penerbangan Sipil Internasional di Chicago Pada tahun 1944. Hadir dalam
konfrensi tersebut lima puluh empat delegasi, dua delegasi dalam kapasitasnya
sebagai pribadi, sedangkan lima puluh dua delegasi mewakili negara
masing-masing. Dua negara yang diundang, masing-masing Saudi Arabia dan Uni Soviet
tidak hadir dalam konfrensi penerbangan sipil internasional tersebut.21
Ketidak hadiran Saudi Arabia tidak ada yang memasalahkan, hal ini
berbeda dengan ketidakhadiran Uni Soviet yang dipermasalahkan kenapa Uni
Soviet tidak hadir dalam konfrensi, padahal delegasi Uni Soviet sudah dalam
perjalanan menuju Chicago, tiba-tiba diinstruksikan oleh pemerintahnya untuk
tidak ikut dalam konfrensi penerbangan sipil Internasional tersebut. Diantaranya
spekulasi pendapat mengapa Uni Soviet tidak hadir dalam konfrensi penerbangan
sipil antara lain :
a. Uni Soviet tidak menghendaki pesawat udara asing beroperasi di Uni
Soviet, sebab angkutan udara nasional akan dieksploitasi sendiri;
b. Uni soviet tidak mau hadir dalam konfrensi penerbangan Internasional,
karena Uni Soviet mengutamakan keamanan nasional (national security)
dari pada kesejahteraan nasional (national prosperity).22
Uni Soviet tidak mau hadir dalam konfrensi penerbangan sipil
Internasional dengan alasan angkutan udara nasional akan dieksploitasi sendiri,
walaupun delegasinya sudah dalam perjalanan, kemungkinan ada benarnya sebab
Uni Soviet mempunyai daerah yang cukup luas dan angkutan udara yang cukup
21
H.K.Martono, Hukum Udara Nasional & Internasional Publik (Publik Internasional And National Air Law), ( Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2012), Hal.55.
22
banyak, tidak perlu mengadakan tukar menukar hak-hak penerbangan dengan
negara lain, cukup mengeksploitasi sendiri tanpa adanya perusahaan penerbangan
asing melakukan penerbangan ke atau dari Uni Soviet.
Spekulasi Uni soviet tidak hadir dalam konfrensi penerbangan sipil
internasional dengan alasan keamanan nasional (national security) kemungkinan
juga ada benarnya sebab Uni Soviet tidak menghendaki adanya pesawat udara
asing terbang di atas Uni Soviet tanpa melakukan pendaratan. Hal ini dibuktikan
bahwa setiap perjanjian angkutan udara angkutan udara internasional timbal balik,
posisi Uni freedom Soviet selalu tidak menukarkan hak-hak penerbangan pertama
(first freedom of the air) yang memberi hak pesawat udara terbang di atas negara
yang bersangkutan tanpa pendaratan (over flying), Pada umumnya sebelumnya
mempertukarkan hak-hak penerbangan pertama (traffic right), ketiga(3rd freedom
of the air) dan hak-hak penerbangan (traffic right), keempat (4th freedom of the
air) selalu didahului dengan pertukaran hak-hak penerbangan kesatu (1st freedom
of the air) dan kebebasan udara kedua (2nd freedom of the air).23
B. Tujuan konvensi penerbangan sipil menurut konvensi chicago tahun 1944
Editorial Media Indonesia, Jumat 7 agustus 2009 menyatakan bahwa
faktor keselamatan penumpang merupakan indikator yang paling gampang untuk
melihat seberapa maju dan beradab suatu dan negara.24
Penerbangan khususnya dan transportasi umumnya memang harus
dikelola berlandaskan kebenaran-kebenaran dari bangsa yang beradab yang telah
23
Perjanjian angkutan udara internasional timbal balik antara Indonesia dengan Uni Soviet tidak mempertukarkan kebebasan udara pertama (1st freedom of the air), sebab Uni Soviet tidak menghendaki pesawat udara Indonesia terbang di atas Uni Soviet tanpa mendarat.
24
dituangkan dalam berbagai SARPs (Standard and Recomemmended Practices)25
keamanan dan keselamatan transportasi. Bila tidak yang terjadi adalah bencana
(cattasthrope) yang beruntun.
Untuk itu Konfrensi Chicago 1944 yang mengatur tentang penerbangan
sipil Internasional tampak dengan jelas pada pembukaan konvensi Chicago
1944.26 Dalam pembukaan tersebut dijelaskan bahwa pertumbuhan penerbangan
sipil yang akan datang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan persahabatan,
memelihara perdamaian, dan saling mengerti antarbangsa, saling mengunjungi
masyarakat dunia dan dapat mencegah dua kali perang dunia yang sangat
mengerikan, dapat mencegah friksi dan dapat digunakan untuk kerja sama antar
bangsa yang dapat memelihara perdamaian dunia. Karena itu, negara-negara
peserta konferensi sepakat mengatur prinsip-prinsip dasar penerbangan sipil
international, menumbuhkembangkan penerbangan sipil yang aman, lancar,
teratur, dan memberi kesempatan yang sama kepada negara anggota untuk
menyelenggarakan angkutan udara internasional dan mencegah adanya persaingan
yang tidak sehat.27
Konvensi internasional yang mengatur penerbangan sipil internasional dan
telah mengikat 190 negara adalah Convention on International Civil Aviation atau
sering dikenal dengan Konvensi Chicago 1944.
Tujuan dari Konfrensi Penerbangan sipil Internasional tampak dengan
jelas pada pembukaan Konvensi Penerbangan sipil Internasional yang
25
Kebijakan ICAO yang dituangkan dalam 18 Annex dan berbagai dokumen turunannya yang selalu dan terus menerus diperbarui oleh ICAO.
26Convention on International Civil Aviation,
signed at Chicago on 7 December 1944.
27
ditandatangani di Chicago Tahun 1944.28 Dalam pembukaan tersebut dijelaskan
bahwa pertumbuhan penerbangan sipil yang akan datang dapat dimanfaatkan
untuk meningkatkan persahabatan, memelihara perdamaian, dan saling mengerti
antar bangsa, saling mengunjungi masyarakat dunia dan dapat mencegah dua kali
perang dunia yang sangat mengerikan, dapat mencegah friksi dan dapat digunakan
untuk kerjasama antar bangsa yang dapat memelihara perdamaian dunia. Karena
itu, negara-negara peserta konfrensi sepakat mengatur tentang prinsip-prinsip
dasar penerbangan sipil internasional, menumbuhkembangkan penerbangan sipil
yang aman, lancar, teratur, dan memberi kesempatan yang sama kepada negara
anggota untuk menyelenggarakan angkutan udara internasional dan mencegah
adanya persaingan yang tidak sehat.29
Dalam Pasal 37 Konvensi Chicago dinyatakan :
“Each contracting State Undertakes to collaborate in securing the highest
practicable degree of uniformity in regulations, standards, procedures, and
organization inrelation to aircraft, personnel, airways and auxiliary services in
all matters in which such uiformity will facilitate and improve navigation...”.30
28
Convention On Iternational Civil Aviation, Signed at Chicago on 7 December 1944.
29
H.K.Martono,Op.cit, hal.56-57.
30
Chapter VI International Standard And Recommended Practices Article 37 :
To This end the International Civil aviation Organization Shall adopt and amend from time to time, as may be necessary, international standards and recommamnded practices and procedue dealing with :
a. Communications systems and air navigation aids, including ground making; b. Characteristics of airports and landings area;
c. Rules of The air and air traffic control practices; d. Licensing of operating and mechanical personnel; e. Airworthinness of aircraft;
f. Registration and idenification of aircraft;
g. Collection and exchange of meteorological Information; h. Log book;
i. Aeronautical Maps;
j. Customs and immigration procedures;
Yang apabila diartikan dalam Bahasa Indonesia bahwa untuk
meningkatkan keamanan dan keselamatan penerbangan negara peserta Konvensi
Chicago 1944 harus berupaya mengelola penerbangan sipil (personil, pesawat,
jalur penerbangan dan lain-lain) dengan peraturan standar, prosedur dan
organisasi yang sesuai (uniform) dengan standar International Civil Aviation
Organication (ICAO). Untuk itu ICAO selalu membuat dan memperbaharui
standar and Recommended practices (SARPs) yang dituangkan dalam Annexes
1-18 dengan berbagai dokumen dan circular penjabarannya yang harus dipatuhi oleh
negara peserta Konvensi Chicago.
Bila negara tidak bisa melaksanakan atau tidak bisa mematuhi pasal-pasal
tertentu dalam annex tersebut, negara tersebut harus segara memberitahu ICAO
untuk kemudian diumumkan melalui lampiran dari annex terkait (Pasal 38).
Demikian juga bila ada perubahan atau amandemen annex yang tidak bisa
dipatuhi, maka negara tersebut harus memberitahu ICAO dalam kurun waktu 60
hari setelah pemberlakuan pemberitahuan tersebut.
Kepatuhan terhadap standar penerbangan internasional adalah aspek yang
sangat fundamental. Ada kurang lebih 10.000 standar dan 40 Quasi-Standar yang
tercantum dalam Annex 1-18, ICAO beserta dokumen dan sirkulernya (circular).
Bila suatu negara tidak pernah mengirim perbedaan (differences) kepada ICAO
maka berarti negara tersebut harus mematuhi semua standard yang dibuat ICAO.
Indonesia termasuk negara yang tidak pernah mengirim nota perbedaan kepada
ICAO. Ini berarti Indonesia harus mematuhi semua standar yang telah ditetapkan
ICAO.
l. And other matters concerned with the safety, regularity, and efficenttly of air
ICAO selalu membuat dan merubah standar-standar yang tertuang dalam
Pasal-Pasal Annex maupun pedoman-pedoman dalam dokumen dan circular
ICAO sesuai dengan perkembangan penelitian dan teknologi penerbangan. Di
masa lalu ICAO seolah-olah tidak peduli dan tidak mau tahu apakah standar itu
dipatuhi dan dilaksanakan oleh suatu negara atau tidak. Dalam posisi ini ICAO
berperan sebagai Passive International Standar Setting Body. Perannya hanya
membuat standar-standar yang berlaku bagi penerbangan sipil International.
Kini peran ICAO telah berubah, ICAO saat ini melakukan tiga peran.
ICAO bukan hanya berperan sebagai pembuat standar saja, tetapi juga (peran
kedua) memonitor kepatuhan (compliance) yaitu memonitor pelaksanaan
standar-standar yang telah ditetapkan untuk kemudian (peran ketiga) meminta negara
mematuhi dan melaksanakan standar-standar yang belum atau tidak dipatuhi.
ICAO kini berperan sebagai Proactive International Regulatory Body.31
Untuk mengetahui kepatuhan negara terhadap standar-standar yang telah
ditetapkan, ICAO membuat program Universsal Safety Oversight Safety Audit
(USOAP) yang dicetuskan pertama kali tanggal 1 Januari 1999 dalam resolusi
sidang umum ICAO No.A32-11 setelah memperhatikan rekomendasi pertemuan
para Direktur Jenderal Perhubungan Udara pada tahun 1997. Sedangkan audit
yang berkaitan dengan keamanan penerbangan dilakukan dengan program
Universal Security Audit Program (USAP), USOAP dengan pola pendekatan
sistematik mulai dilakukan pada 1 Januari 2005 setelah sebelumnya dilakukan
audit dengan pola per Annex dan bersifat sukarela.32
31
Yaddy Supriyadi, Keselamatan Penerbangan Teori & Problematika, (Tangerang:Telaga Ilmu Indonesia, 2012), hal.6.
32
Hasil audit ICAO merupakan dokumen yang sangat kuat (powerfull) untuk
memaksa negara anggota ICAO mematuhi standar keamanan dan keselamatan
penerbangan. Hasil audit ICAO dapat dilihat di website ICAO, bisa dibaca oleh
umum. Dengan mempublikasikan hasil audit ini maka ICAO telah melakukan
“naming and shaming” yaitu mengungkapkan ketidakpatuhan suatu negara dan
mempermalukannya di masyarakat internasional.33
Dari audit kepatuhan USOAP tersebut ICAO menemukan 121 butir
ketidakpatuhan tentang keselamatan yang perlu dibenahi oleh Indonesia melalui
rencana aksi perbaikan (corrective action plan). Sedangkan dari USAP ada 41
butir temuan ketidakpatuhan dalam aspek keamanan.34
Kepatuhan terhadap standar penerbangan international adalah aspek yang
sangat fundamental, meskipun kepatuhan terhadap standar bukan jaminan mutlak
tidak akan terjadi kecelakaan, namun penerbangan yang tidak dikelola dengan
standar yang telah ditetapkan adalah sangat berbahaya. Penerbangan adalah
aktivitas yang sangat sarat dengan peraturan dan prosedur yang ketat.
Dalam Safety Culture Evolution Spectrum ada lima tataran kategori
organisasi penerbangan dalam berprilaku. Kategori pertama adalah organisasi
yang tidak mau atau sulit mematuhi standar-standar ICAO karena menganggap
bahwa kepatuhan tesebut hanya membuang-buang uang. Organisasi ini selalu
berupaya menghindar dari mematuhi standar-stadar sehingga bisa menekan
pengeluaran (ongkos). Organisasi memperoleh keuntungan (profit) karena
penekanan terhadap pengeluaran biaya-biaya pelaksanaan standar-standar
keselamatan penerbangan. Perusahaan memandang bahwa mematuhi peraturan
33
http: www.icao.int/ diunduh pada hari Senin, 15 April 2013, Pukul.15.00 WIB.
34
adalah ongkos yang sia-sia. Sejauh mungkin berupaya mengurangi kepatuhan
(Compliance) terhadap peraturan. Perbaikan yang dilakukan hanya bibir manis
dan hanya untuk membuat senang auditor. Organisasi atau negara yang
berperilaku seperti ini disebut sebagai organisasi atau negara yang patologis.
Dalam kategori kedua adalah, organisasi yang selalu berupaya mematuhi
standar yang ditetapkan ICAO. Organisasi itu telah memiliki perangkat inspeksi
dan audit internal. Dalam berpikir tentang keselamatan perusahaan ini bersifat
taktis dan bukan strategis. Organisasi ini disebut organisasi reaktif, yaitu selalu
bereaksi positif terhadap setiap perubahan standar dalam penerbangan.
Dalam kategori ketiga adalah organisasi yang telah mematuhi standar yang
berlaku dan dibarengi dengan manajemen risiko. Mereka menyadari bahwa
kepatuhan terhadap peraturan saja tidak dapat menggatasi setiap isu keselamatan.
Mereka mengantisipasi dan berupaya mengidentifikasi ancaman (hazards)
terhadap penerbangan. Mereka mengeliminasi ancaman atau penerbangan yang
berbahaya dan mengambil tindakan untuk mengurangi ancaman tersebut.
Organisasi ini menyadari bahwa disamping harus patuh juga harus selalu
mengidentifikasi ancaman-ancaman dalam keselamatan penerbangan dan
menganalisis resikonya. Organisasi ini telah melaksanakan Safety Management
System (SMS), telah melaksanakan sistem pelaporan (reporting system) dan
terintegrasi serta dilaksanakan di semua lini operasional. Perusahaan telah
berjalan dari pola kepatuhan ke pemikiran safety management. organisasi disebut
organisasi kalkulatif.
Dalam kategori keempat adalah organisasi yang telah menyadari bahwa
tercipta keselamatan dan keamanan yang tinggi yang merupakan peluang dalam
meraih keuntungan. Organisasi ini dapat keuntungan ekonomi bila perusahaan ini
bisa melaksanakan standar-standar keselamatan yang tinggi. Perusahaan ini bisa
membuat peraturan sendiri yang lebih tinggi dari peraturan standar. Organisasi ini
disebut organisasi proaktif.
Dalam kategori kelima adalah organisasi yang memadukan keselamatan
dan keamanan penerbangan secara terintegrasi secara penuh dalam bisnisnya.
Keselamatan telah terintegrasi penuh kedalam sistem. Perusahaan berpikir tentang
bussiness sustainbility dan memaksimalkan profit dalam jangka panjang.
Strateginya adalah membangun keselamatan dan isu-isu sosial lainnya dalam
model bisnis perusahaan. Organisasi terbaik ini disebut organisasi generatif.35
C. Aspek Ekonomi Penerbangan Internasional Menurut Konvensi Chicago
Tahun 1944
Pada dasarnya masalah ekonomi mengatur terkait rute penerbangan,
frekuensi penerbangan, jenis pesawat udara, kapasitas tempat duduk, dan tarif
transportasi udara. Dalam konfrensi Chicago masalah terkait dengan pembahasan
ekonomi ini mengalami banyak kesulitan.
Amerika berpendapat bahwa hal tersebut biarlah diatur sendiri oleh
perusahaan penerbangan yang bersangkutan berdasarkan hukum pasar (supply &
Demand). Biarlah perusahaan penerbangan mengatur sendiri sesuai dengan
kemampuannya, bilamana mampu bersaing biarlah berkembang dengan pesat,
tetapi bilamana tidak mampu biarlah bangkrut dengan sendirinya.
35
Sedangkan posisi Inggris menyatakan aspek ekonomi biarlah pemerintah
yang mengatur. Tidak ada penerbangan internasional yang dapat dilakukan dari
atau ke Inggris, termasuk jajahannya tanpa persetujuan pemerintah Inggris. Posisi
demikian memang disadari oleh Inggris tidak ada jalan lain kecuali arus
melindungi armada nasionalnya terhadap persaingan dengan armada lain termasuk
dengan Amerika Serikat.
Usul gabungan (join proposal) yang disampaikan oleh australia dengan
Selandia baru adalah dibentuk perusahaan penerbangan yang saham-sahamya
dimilki oleh negara negara anggota organisasi penerbangan sipil internsional.
Perusahaan penerbangan yang dibentuk tersebut melakukan rute-rute penerbangan
internasional seperti dari Melbourne ke London dan sebaliknya, sedangkan rute
regional maupun nasional dilayani oleh perusahaan penerbangan yang ada di
wilayah bersangkutan. Usul yang diajukan oleh Australia dan Selandia baru ini
ditolak oleh konfrensi namun usul ini mengilhami lahirnya Pasal 77 Konvensi
Chicago 1944.36
Semua usul yang dikemukakan ditolak oleh konferensi penerbangan sipil
internasional sehingga melahirkan Pasal 6 Konvensi Chicago 1944.37 Menurut
Pasal tersebut “tidak ada penerbangan internasional berjadwal dapat dilakukan di
negara anggota lainnya, kecuali telah memperoleh izin lebih dahulu. Izin
36Nothing in this Convention shall prevent two or more contracting states from constituting
joint air transport operating organiczation or international operating agencies and from pooling their air serviceces on any routes or in any regions, but such organization or agenies and such pooled services shall be subject to all the provisions of this Convention. Including those relating to the registration of aggrements with the council. The Councill shall determine in what mannerthe provisions of this convention relating to nationality or aircraft shall apply to aircraft operated by international operating agencies.
37
demikian biasanya diatur dalam perjanjian angkutan udara internasional timbal
balik yang akan dibahas pada kesempatan yang lain.”
Di samping Pasal 6 Konvensi Chicago 1944 yang mengatur pertukaran
penerbangan internasional secara multilateral adalah Pasal 5 Konvensi Chicago
1944. Menurut pasal tersebut, “pesawat udara negara anggota organisasi
penerbangan sipil internasional yang melakukan penerbangan sipil internasional
tidak berjadwal dapat melakukan ke negara anggota lainnya tanpa memperoleh
izin lebih dahulu, tetapi negara tempat pesawat udara melakukan penerbangan
(flown states) berhak menentukan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi
oleh penerbangan internasional tidak berjadwal tersebut. Dalam praktiknya
persyaratan-persyaratan tersebut begitu sulitnya sehingga ketentuan dalam Pasal 5
Konvensi Chicago 1944 praktis tidak dapat dilaksanakan atau dapat dikatakan
Pasal yang mati (dead Letter).
Kegagalan untuk menyepakati pertukaran hak-hak penerbangan secara
multilateral tetap diusahakan untuk mengurangi tingkat kegagalan, karena itu
konform Aggrement yang akan digunakan sebagai panduan dalam referensi
penerbangan sipil Internsional tersebut masih berusaha dengan mengesahkan
International Air Service Transit Aggrement dan International Air Transport
Aggrement akan dibahas lebih lanjut. Di samping itu, konfrensi penerbangan sipil
Internasional juga mengesahkan dokumen tentang International Civil Aviation,
signed at Chicago on 7 December 1944, interim Aggrement on International Civil
Aviation Organization yang melahirkan Provisional International Civil Aviation
sebagai panduan dalam pembuatan perjanjian angkutan udara internasional timbal
balik.
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa konfrensi Chicago yang
ditandatangani pada 7 desember 1944 tersebut gagal menyetujui pertukaran secara
multilateral mengenai hak-hak penerbangan, untuk mengurangi tingkat kegagalan
tersebut, Konfrensi Chicago menyepakati persetujuan penerbangan lintas yang
tercantum dalam international Air Service Transit Aggrement (IASTA), dan
International Air Transport Aggrement (IATA) sebagai berikut.
a. International Air Srvices Transit greement (IASTA)
persetujuan penerbangan lintas internasional atau International Air Service
Transit agreement (IASTA)38 of 1944 yang ditanda tangani di Chicago tersebut
merupakan perjanjian internasional yang bersifat multilateral mempertukarkan
hak-hak penerbangan (five freedom of the air ), yang sering dipertukarkan dalam
perjanjian angkutan udara internasional. Hak-hak kebebasan udara tersebut adalah
kebebasan udara ke-1 (1st freedom of the air), yaitu hak untuk terbang melintasi
(over fly) negara lain tanpa melakukan pendaratan, dan hak kebebasan udara ke-2
(2nd freedom of the air), yaitu hak untuk melakukan pendaratan di negara lain
untuk keperluan operasional (technical landing), dan tidak berhak untuk
mengambil dan /atau menurunkan penumpang dan/atau kargo secara komersial.
b. International Air Transport Agerement (IATA)
Persetujuan trasportasi udara internasional atau International Air
Transport Aggreement (IATA) of 1944 yang ditanda tangani di Chicago pada 7
38
Desember 1944 tersebut juga merupakan perjanjian internasional secara
multilateral yang mempertukarkan hak-hak kebebasan udara (five freedom of the
air) masing-masing kebebasan udara ke1,2,3,4,dan 5.39
Kebebasan udara ketiga (3rd freedom of the air) adalah hak untuk
mengangkut penumpang, barang, dan pos secara komersial dari negara pendaftar
pesawat udara ke-4 (4th freedom of the air) adalah hak untuk mengangkut
penumpang, kargo, dan pos secara komersial dari negara yang berjanji lainnya ke
negara pesawat udara didaftarkan, sedangkan kebebasan udara ke lima (5th freedom
of the air) ke negara ketiga di luar negara yang berjanji.40 Kebebasan udara
tersebut biasanya dipertukarkan dalam perjanjian angkutan udara internasional
timbal balik (bilateral air transport agreement).41
Sebenarnya secara teoritis terdapat delapan kebebasan udara (eight
freedom of the air), namun dalam praktik hanya terdapat lima hak kebebasan
udara (five freedom of the air). Kebebasan udara keenam (66th freedom of the air)
adalah pengangkutan penumpang, barang maupun pos secara komersial dari
negara ketiga melewati negara tempat pesawat udara didaftarkan, kemudian
diangkut kembali ke negara tujuan, misalnya penumpang dari Melbourne
(Australia) diangkut oleh Garuda Indonesia melalui Jakarta, kemudian diangkut
ke Bangkok (Thailand) kebebasan udara ke 7 (7th freedom of the air) adalah
39
Kebebasan udara (traffic right) 1,2,3,4 dan 5, dijelaskan secara lengkap dalam McWhinney and Bradley Eds., Freedom of the Air. (Leyden: Oceana Publication.Dobb Press NY 1968).
40
Perjanjian transportasi udara timbal balik dan praktik angkutan udara internasional dapat dibaca Lambtus Hendrik Slotemaker, Freedom Of Passage for International Air Services. (Leiden:A.W sijthoff’s Uitgevermijs NV, 1932).
41
pengangkutan penumpang, barang maupun pos secara komersial semata-mata di
luar negara yang mengadakan perjanjian, misalnya dalam perjanjian antara
Indonesia dengan Thailand, suatu pengangkutan dari melbourne (Australia) ke
Singapura, sedangkan kebebasan udara ke-8 (8th freedom of the air) adalah
pengangkutan penumpang, barang, dan pos secara komersial dari satu tempat ke
tempat lain dalam satu wilayah negara berdaulat yang biasa disebut dengan
cabotage. Cabotage adalah hak prerogatif negara berdaulat untuk menentukan
transportasi dalam negeri guna kemanfaatan perusahaan penerbangan nasional.
Hak tersebut tidak pernah diserahkan kepada perusahaan asing mana pun,
ibaratnya uang dari kantong kiri akan dipindahkan ke kantong kanan, pasti tidak
akan menyuruh kepada anak orang lain, melainkan menyuruh anaknya sendiri.42
42