• Tidak ada hasil yang ditemukan

RELIGIUSITAS SAINS MENURUT ISLAM PB

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "RELIGIUSITAS SAINS MENURUT ISLAM PB"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

RELIGIUSITAS SAINS MENURUT ISLAM

Oleh:

Purwo Subekti/F361150141, Uiversitas Pasir Pengaraian

Mahasiswa Pascasarjana Teknologi Industri Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Nopember 2015

1. FILSAFAT SAINS

Menurut Aristoteles, Falsafah adalah ilmu yang mencari kebenaran yang pertama, ilmu tentang segala sesuatu yang ada yang menunjukkan adanya yang mengadakan sebagai pengerak pertama. Sedangkan menurut Ibnu Tufail, Usaha-usaha pikiran untuk mengetahui semua prinsip pertama. [1] Dalam filsafat, digunakan nalar dan pernyataan-pernyataan untuk menemukan kebenaran dan pengetahuan akan fakta. Ketika menyelesaikan masalah secara falsafah, seseorang tidak harus merujuk pada sumber lain tapi hendaknya bisa menjawab masalah yang dipikirkannya menggunakan akal budinya, dengan pikiran yang bebas. Jika seseorang berfikir sangat dalam ketika menghadapi suatu masalah dalam hubungannya dengan kebenaran, maka orang itu dapat dikatakan telah berpikir secara filsafati dan kajian yang tersusun oleh pemikirannya itu disebut falsafah.

Kata sains berasal dari kata science yang berarti pengetahuan. Kata sains berasal dari bahasa latin yaitu iscire yang berarti tahu atau mengetahui. Sedangkan dalam bahasa arab disebut dengan al`ilm yang berarti tahu, sedangkan dalam bahasa Indonesia disebut dengan ilmu atau ilmu pengetahuan.[2]

(2)

Perkembangan kajian terkait dengan masalah empiris menimbulkan spesialisasi keilmuan dan menghasilkan kegunaan praktis. Sehingga, filsafat sains merupakan disiplin ilmu yang digunakan sebagai kerangka dasar/landasan berpikir bagi proses keilmuan. Seorang ilmuwan yang mampu berfikir filsafati, diharapkan bisa mendalami unsur-unsur pokok dari ilmu yang ditekuninya secara menyeluruh sehingga bisa memahami sumber, hakikat dan tujuan dari ilmu yang dikembangkannya, termasuk manfaatnya bagi pengembangan masyarakatnya

Kemajuan sains dan teknologi telah memberikan kemudahan-kemudahan dan kesejahteraan bagi kehidupan manusia sekaligus merupakan sarana bagi kesempurnaan manusia sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya karena Allah telah mengaruniakan anugerah kenikmatan kepada manusia yang bersifat saling melengkapi yaitu anugerah agama dan kenikmatan sains teknologi. Penerapan sains dalam dunia modern telah menghasilkan banyak teknologi yang membuat kehidupan manusia lebih baik, lebih nyaman dan aman. Oleh karena itu, sain merupakan sebuah karunia dari Allah SWT.[3]

Adapun teknologi adalah terapan atau aplikasi dari ilmu yang dapat ditunjukkan dalam hasil nyata yang lebih canggih dan dapat mendorong manusia untuk berkembang lebih maju lagi. Sebagai umat Islam kita harus menyadari bahwa dasar-dasar filosofis untuk mengembangkan ilmu dan teknologi itu bisa dikaji dan digali dalam Al-Quran sebab kitab suci ini banyak mengupas keterangan-keterangan mengenai ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebagai contoh adalah firman Allah SWT dalam surat Al-Anbiya ayat 80 yang artinya “Telah kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk kamu guna memelihara diri dalam peperanganmu.” [4]

(3)

Peran religiusitas sangat berarti dalam mencapai kesejahteraan kehidupan manusia, karena dipandang sebagai faktor penting bagi penataan kehidupan manusia serta segala aktivitas yang merujuk pada penguasan ilmu pengetahuan dan teknologi. Semua kebenaran dan pengetahuan yang diperoleh lewat sains, seluruhnya telah Allah tunjukkan dalam

Al-Qur‟an bahkan sebelum fakta sains itu ditemukan. Keberadaannya menunjukkan bahwa penyelidikan dan penguasaan manusia tentang sains merupakan bagian dari berkah Allah SWT, sebagmana firman Allah dalam surat Al Kahfi ayat 109 yang artinya "Katakanlah : Kalau Sekiranya Lautan Menjadi Tinta Untuk (Menuliskan) Kalimat-Kalimat Tuhanku,

Sungguh Habislah Lautan Itu Sebelum Habis (Dituliskan) Kalimat-Kalimat Tuhanku,

Meskipun Kami Datangkan Tambahan Sebanyak Itu (Pula)." [4]

Dengan demikian sains harus memiliki peran dan fungsi spiritual di samping fungsi intelektualnya dalam membantu memenuhi kebutuhan manusia. Diantara kebutuhan tersebut, yang terpenting adalah memperoleh kepastian dalam pengetahuan tentang Allah SWT. Oleh karena itu, hendaknya manusia meyakini bahwa Islam adalah agama yang paling sempurna dan Al-Qur‟an melengkapi kesempurnaan itu dalam kandungan ayat -ayat-Nya yang mencakup seluruh aspek kehidupan.

Berdasarkan Webster New Collegiate Dictionary definisi dari sains adalah

“Pengetahuan yang diperoleh melalui pembelajaran dan pembuktian” atau “pengetahuan

yang melingkupi suatu kebenaran umum dari hukum – hukum alam yang terjadi misalnya didapatkan dan dibuktikan melalui metode ilmiah. Sains dalam hal ini merujuk kepada sebuah sistem untuk mendapatkan pengetahuan yang dengan menggunakan pengamatan dan eksperimen untuk menggambarkan dan menjelaskan fenomena – fenomena yang terjadi di alam .[5]

Pengertian sains juga merujuk kepada susunan pengetahuan yang orang dapatkan melalui metode tersebut atau bahasa yang lebih sederhana, sains adalah cara ilmu pengetahuan yang didapatkan dengan menggunakan metode tertentu.

Sains secara epistimologinya berbeda dengan ilmu karena sains hanya digunakan oleh Barat yang berupa fisik saja seperti kekalaman/fisika. Sedangkan ilmu yang membahas fisik dan non fisik seperti metafisika, seperti pendapat Mulyadhi guru besar Filsafat istilah ilmu dalam spistimologi Islam mempunyai kemiripan dengan istila science dalam epistimologi Barat. Sebagaimana sains dalam epistimology Barat dibedakan dengan

(4)

Pengertian ilmu sebenarnya tidak berbeda dengan sains hanya saja sains hanya dibatasi dalam bidang fisik dan indrawi, sedangkan ilmu melampauinya pada bidang-bidang non fisik seperti metafisika.[6]

2. PANDANGAN ISLAM TERHADAP SAINS

Masalah ilmu apa saja yang dianjurkan oleh Islam, menjadi pokok penting yang mendasar sejak hari-hari pertama Islam. Apakah ada ilmu khusus yang harus dicari?. Para ulama besar Islam hanya memasukkan cabang ilmu yang secara langsung berhubungan dengan masalah agama. Sedangkan masalah ilmu-ilmu lain mereka menyerahkannya

kepada masyarakat sesuai dengan kebutuhan dan kemaslahatan mereka. Hadist “Menuntut ilmu itu hukumnya wajib bagi setiap muslim” melahirkan berbagai pembahasan, seperti ilmu mana yang harus dipelajari dan dicari oleh orang muslim.

Imam Al-Ghazali lebih memandang bahwa ilmu yang wajib dipelajari atau dituntut sebatas pada pada pelaksanaan kewajiban-kewajiban syariat saja. Sebagai contoh, seorang pedagang untuk menghindari terjerumus dalam riba, maka dia harus mempelajari ilmu berdagang sehingga ia dapat menjauhinya.

Selanjutnya Al-Ghazali, mengklasifikasikan ilmu kedalam dua kategori, yaitu “ilmu

agama” dan ilmu “non agama”. Ilmu agama yaitu ilmu yang diajarkan lewat ajaran-ajaran nabi dan wahyu, sedangkan ilmu ilmu non agama beliau mengklasifikasikannya dengan tiga kategori, yaitu mahmud, mubah dan madzmum. Beliau memasukkan hukum mubah

terhadap sejarah; ilmu sihir termasuk kategori ilmu madzmum; ilmu-ilmu terpuji yang penting didalam kehidupan sehari-hari termasuk fardu kifayah, seperti contoh ilmu obat-obatan, matematika dan ilmu lain yang menunjang kemaslahatan masyarakat termasuk fardu kifayah.[7]

Mulla Muhsin Faiydh Al-Kasyani mengemukakan: Mempelajari hukum Islam sesuai dengan kebutuhannya sendiri hukumnya wajib `ainy bagi setiap orang Islam. Lebih lanjut, belajar fiqih untuk memenuhi kebutuhan orang lain adalah wajib kifayah baginya.

Shadr al-Din Syirazi meragukan pendapat Al-Ghazali dan Alamah Kasyani terhadap kategori yang termasuk fardu kifayah, beliau mengemukakan: [7]

(5)

hadis, konsep ilmu secara mutlak muncul dalam maknanya yang umum, seperti dalam Al-Quran surat Al-Baqorah ayat 31 yang Artinya “Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian

mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah

kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar"

[4]

b. Beberapa ayat Quran dan hadits secara eksplisit menunjukkan bahwa ilmu tiu tidak hanya belajar prinsip-prinsip dan hukum-hukum agama saja, sebagai contoh dalam surat An-Naml ayat 15-16 yang artinya “Dan Sesungguhnya kami Telah memberi ilmu kepada Daud dan Sulaiman; dan keduanya mengucapkan:

"Segala puji bagi Allah yang melebihkan kami dari kebanyakan

hamba-hambanya yang beriman". Dan Sulaiman Telah mewarisi Daud, dan dia

berkata: "Hai manusia, kami Telah diberi pengertian tentang suara burung dan

kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) Ini benar-benar suatu kurnia

yang nyata". [4]. Dalam hadits disebutkan, “Tuntutlah ilmu walaupun di negeri

Cina, karena sesungguhnya menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.

Sesungguhnya para malaikat meletakkan sayap-sayap mereka kepada para

penuntut ilmu karena senang (rela) dengan yang ia tuntut. (H.R. Ibnu Abdil Bar).

c. Alasan lain untuk mempercayai bahwa ilmu terpuji tidak hanya sebatas pada studi-studi teologis dan hukum-hukum agama saja yang berhubungan dengan halal haram saja. Hal ini dikukuhkan oleh sejarawan-sejarawan pada masa kini bahwa selama beberapa abad para ulama-ulama Islam merupakan pembawa obor pengetahuan, karya-karya mereka dipakai sebagai buku-buku teks di Eropa selama berabad-abad.

d. Memilah-milah kelompok ilmu dengan alasan ilmu itu tidak memiliki kesamaan nilai dengan studi-studi agama, tidaklah benar. Karena bidang ilmu apapun yang konsusif terhadap pemeliharan dan kekuatas vitalisas masyarakat Islam, ilmu tersebut wajib kifayah.[8]

(6)

yang berguna bagi manusia. Jelas bahwa menyembah Allah tidak hanya shalat, haji dan sebagainya, suatu gerakan menuju taqarrub (kedekatan) kepada Allah SWT juga dianggap sebagai ibadah. Salah satu cara untuk menolong manusia dalam perjalanannya menuju Allah adalah ilmu, dan hanya dalam hal inilah ilmu dpandang bernilai.

Di dalam Islam batasan mencari ilmu hanyalah bahwa orang Islam harus menuntut ilmu yang berguna. Islam hanya melarang menuntut ilmu yang mudharatnya lebih besar dari manfaatnya, seperti sihir, judi dan sebagainya. Semua ilmu, baik ilmu-ilmu theologi maupun ilmu kealaman merupakan alat untuk mendekatkan diri kepada Allah, selama memerankan peranan ini, maka ilmu dianggap suci.

3. PENDEKATAN AL-QURAN TERHADAP SAINS

Sikap yang paling umum di dunia Islam adalah melihatnya sebagai suatu kajian yang objektif terhadap alam dunia, yaitu sebagai suatu cara untuk menguraikan ayat-ayat Tuhan tentang alam semesta. [9]

Sains dan ilmu pengetahuan adalah merupakan salah satu isi pokok kandungan kitab suci al-Qur‟an. Bahkan kata „ilm itu sendiri disebut dalam al-Qur‟an sebanyak 105 kali, tetapi dengan kata jadiannya ia disebut lebih dari 744 kali. Sains merupakan salah satu kebutuhan agama Islam, betapa tidak setiap kali umat Islam ingin melakasanakan ibadah selalu memerlukan penentuan waktu dan tempat yang tepat, umpamanya melaksanakan shalat, menentukan awal bulan Ramadhan, pelaksanaan haji semuanya punya waktu-waktu tertentu dan untuk mentukan waktu yang tepat diperlukan ilmu astronomi. Maka dalam

Islam pada abad pertengahan dikenal istilah “ sains mengenai waktu-waktu tertentu”. Banyak lagi ajaran agama yang pelaksanaannya sangat terkait erat dengan sains dan teknelogi, seperti untuk menunaikan ibadah haji, bedakwah menyebarkan agama Islam diperlukan kendraan sebagai alat transportasi. Allah telah meletakkan garis-garis besar sains dan ilmu pengetahuan dalam al-Qur‟an, manusia hanya tinggal menggali, mengembangkan konsep dan teori yang sudah ada, antara lain sebagaimana terdapat dalam surat Ar-Rahman ayat 33 yang artinya Hai jama‟ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, Maka lintasilah, kamu tidak dapat

(7)

Ayat di atas pada masa empat belas abad yang silam telah memberikan isyarat secara ilmiyah kepada bangsa Jin dan Manusia, bahwasanya mereka telah di persilakan oleh Allah untuk mejelajah di angkasa luar asalkan saja mereka punya kemampuan dan kekuatan (sulthan); kekuatan yang dimaksud di sisni sebagaimana di tafsirkan para ulama adalah ilmu pengetahuan atau sains dan teknelogi, dan hal ini telah terbukti di era mederen sekarang ini, dengan di temukannya alat transportasi yang mampu menmbus angksa luar bangsa-bangsa yang telah mencapai kemajuan dalam bidang sains dan teknelogi telah berulang kali melakukan pendaratan di Bulan, pelanet Mars, Juipeter dan pelanet-pelanet lainnya.[10]

Sains dan teknologi baik itu yang ditemukan oleh ilmuan muslim maupun oleh ilmuan barat pada masa dulu, sekarang dan yang akan datang, itu semua sebagai bukti kebenaran informasi yang terkandung di dalam al-qur‟an, karena jauh sebelum peristiwa penemuan -penemuan itu terjadi al-Qur‟an telah memberikan isyarat-isyarat tentang hal itu, dan ini termasuk bagian dari kemukjizatan al-Qur‟an, dimana kebenaran yang terkandung didalamnya selalu terbuka untuk dikaji, didiskusikan, diteliti, diuji dan dibuktikan secara ilmiyah oleh siapa pun.

4. RELIGIUSITAS SAINS

Ketakwaan terhadap Allah Subhanahu Wa ta'ala sangat di butuhkan oleh para pemikir dalam mengembangkan ilmu pengetahuan untuk kemakmuran dan kemajuan peradaban dunia seisinya. Untuk itu diperlukan upaya memasukkan aspek religiusitas ke dalam setiap aktivitas ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, integrasi imtak (iman dan takwa) merupakan alternatif yang dapat ditempuh, dengan demikian diharapkan setiap hasil pemikiran dan karya akan senantiasa berada dalam bingkai nilai dan spiritualisme.

Upaya ini, setidaknya sejalan dengan rekomendasi Nasr, yang menyatakan bahwa Pendidikan sains yang sesuai dengan perspektif Islam harus dimulai dan memiliki pandangan kosmos yang qurani sebagai latar belakang di setiap jenjang pendidikannya. [11]. Ada beberapa kosep religiusitas sebagaimana dikembangkan oleh Glock & Stark dimana spiritualitas dapat diartikan terdiri dari 5 dimensi, yaitu: [12,13]

a. Dimensi ideologis (religious belief), yaitu dimensi yang menunjukkan tingkat

(8)

b. Dimensi ritualistik (religious practice), yaitu dimensi yang menunjukkan tingkat

kepatuhan seseorang dalam mengerjakan kegiatan-kegiatan ritual yang dianjurkan di dalam agamanya. Kepatuhan ini ditunjukkan dengan kepatuhan seseorang dalam melaksanakan ibadah, sembahyan, puasa, dll.

c. Dimensi eksperiensial (religious feeling atau experiental dimension), yaitu yang

menunjukkan seberapa jauh tingkat seseorang dalam merasakan dan mengalami perassaan-perasaan atau pengalaman-pengalaman religiusnya. Misalnya seberapa besar seseorang merasakan kedekatan dengan orang lain, keyakinan akan doanya terkabul atau keyakinannya bahwa Tuhan akan memberikan pertolongan.

d. Dimensi intelektual (religious knowledge), yaitu yang menunjukkan tingkat

pengetahuan dan pemahaman seseorang terhadap ajaran-ajaran agamanya, terutama yang termuat dalam kitab suci atau pedoman pokok agamanya. Misalnya, apakah individu memahami bagaiman cara melakukan sholat, bagaimana cara mensucikan diri dari kotoran, berpuasa yang benar, dll.

e. Dimensi konsekuensial (religious effect), yaitu yang menunjukkan tingkatan

seseorang dalam berprilaku yang dimotivasi oleh ajaran agamanya atau seberapa jauh seseorang mampu menerapkan ajaran agamanya dalam prilaku hidupnya sehari-hari. Misalnya jika ajaran agamanya mengajarkan untuk beramal, maka dengan senang hati mendermakan uangnya untuk kegiatan sosial dan keagamaan. Bisa menahan diri dari mengerjakan hal-hal yang dilarang oleh agama seperti menolak untuk mencuri, berbohong atau memakai narkoba.

Untuk merealisasikan pandangan-pandangan di atas, perlu ditelaah lebih jauh kehidupan dan karya ilmuwan muslim. Para tokoh Islam terkemuka mengatakan bahwa Al-Quran bukanlah sebuah buku ilmu kealaman, tetapi kitab petunjuk dan pencerahan. Rujukan Al-Quran terhadap fenomena alam dimaksudkan untuk menarik perhatian manusia pada Pencipta Alam yang Maha Mulia sebagaiman Surat Ar-Rum ayat 22 yang artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu

benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang Mengetahui.”

(9)

pengenalan Allah SWT dan memungkinkannya untuk dapat lebih baik dalam memanfaatkan pemberian Allah SWT demi kebahagian dan kesejahteraannya.

Islam melalui Al-Qur‟an telah memotivasi seluruh umat Islam untuk berfikir dan merenungkan alam semesta ini untuk mengenal kebesaran Tuhan,sebagaimana tersebut dalam Surat Al-Baqarah ayat 164 yang artinya “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi,silih bergantinya siang dan malam, bahtera yang berlayar di laut membawa apa

yang berguna bagi manusia dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air lalu

dengan air itu kami hidupkan bumi sesudah mati (keringnya) dan Dia sebarkan di bumi

itu segala jenis hewan,dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit

dan bumi, sesungguhnya terdapat tanda-tanda (ke-Esaan dan Kebesaran Allah) bagi

kaum yang memikirkan”.[4]

Dalam paradigma filsafat, konsep ilmu dapat diklasifikasi dalam tiga dimensi, yaitu:

a. Pertama, dimensi epistemologis, yakni kajian filsafat dari aspek bagaimana cara memperoleh ilmu pengetahuan. Bagian filsafat ini disebut teori ilmu pengetahuan, yaitu metodologi untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, atau cara mendapatkan pengetahuan yang benar. Dapat dikatakan bahwa al-Qur‟an menggunakan kata ilmu dalam berbagai bentuk dan artinya antara lain, sebagai proses pencapaian ilmu pengetahuan dan objek ilmu pengetahuan tentang sumber-sumber ilmu pengetahuan, di samping klasifikasi dan ragam disiplinnya. Sehingga sebagian ilmuwan muslim berpendapat bahwa ilmu menurut al-Qur‟an mencakup segala macam pengetahuan yang berguna bagi manusia dalam kehidupannya, baik masa kini maupun masa depan, baik tentang ilmu-ilmu fisika (empirik) maupun metafisika (non empirik).[15] b. Kedua,dimensi ontologis, yakni cabang filsafat yang membahas tentang objek

(10)

Hakikat ilmu berdasarkan tingkat kepentingannya bagi manusia dapat

diklasifikasi kepada “ilmu yang wajib diketahui”, “yang dianjurkan untuk diketahui”, dan “yang boleh diketahui serta dapat diketahui manusia untuk kemaslahatan dan kebaikan hidupnya baik secara individual maupun secara

sosial, di dunia maupun di kehidupanakhirat.”

Dikatakan wajib diketahui karena ada cabang-cabang ilmu yang secara shar„i> hukumnya wajib diketahui seperti ilmu akidah untuk memperoleh keimanan yang benar dan ilmu-ilmu syariah untuk mematuhi dan menjalankan aturan Tuhan dengan benar, dan ada ilmu akhlak untuk membimbing perilaku yang baik dan terpuji serta meninggalkan perilaku yang tercela. Ada pula cabang-cabang ilmu yang wajib diketahui tetapi bersifat fardu kifayah, yaitu hanya diwajibkan kepada sebagian orang dan tidak kepada setiap individu. Jika sebagian orang sudah mempelajarinya, maka gugurlah kewajiban bagi yang lainnya. Termasuk dalam kategori ini adalah ilmu-ilmu yang berkaitan dengan keahlian atau profesi yang dibutuhkan untuk kepentingan masyarakat luas. Misalnya, ilmu kedokteran memang diperlukan untuk mengobati orang sakit, tetapi tidak setiap orang diwajibkan belajar ilmu kedokteran. Demikian pula ilmu-ilmu lainnya yang diperlukan untuk kepentingan orang banyak tetapi tidak mungkin semua orang dapat menguasainya. Seperti ilmu-ilmu fisika, kimia, biologi, zoologi, ekonomi, politik, filsafat, dll. Ilmu seni dengan berbagai cabangnya jika digunakan untuk kebaikan dan dilakukan dalam batasbatas

moral yang dibolehkan oleh shari„at merupakan contoh ilmu yang dibolehkan

untuk dipelajari. Ada pula ilmu-ilmu yang haram dipelajari jika bertujuan untuk merusak kehidupan dan merusak keyakinan aqidah manusia, seperti ilmu sihir dan ilmu-ilmu seni yang dapat merusak moral masyarakat.[15]

(11)

Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan

darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” Dalam konteks ini, tujuan ilmu pengetahuan adalah: - Dalam kedudukannya sebagai khalifah, manusia dituntut untuk memiliki

pengetahuan tentang kepemimpinan, kemasyarakatan, kebudayaan, kealaman, dan pengetahuan-pengetahuan praktis yang bersifat profesional, di mana masing-masing individu satu sama lain saling membutuhkan dan tidak mungkin dimiliki atau dilakukan semuanya oleh seorang individu. Di samping itu, manusia juga dituntut untuk memiliki ilmu-ilmu tentang akhlak, etika dan moralitas yang terpuji serta aturan-aturan hukum (syari„ah). Semua ilmu pengetahuan tersebut dibutuhkan manusia untuk dapat menciptakan kesejahteraan, kemakmuran, keadilan, ketertiban dan kedamaian dalam kehidupan masyarakat serta menjaga keseimbangan dan kelestarian alam sebagai tempat manusia berkiprah.

- Dalam kedudukannya sebagai hamba Tuhan, manusia dituntut selain untuk memiliki pengetahuan tentang keyakinan yang benar akan eksistensi Tuhan, sifat-sifat Tuhan, makna dan eksistensi kehidupannya di alam dunia maupun alam akhirat, mahluk-mahluk Tuhan yang tidak tampak kasat mata tetapi mereka ada di sekitar kita dan saling berhubungan, tentang kehidupan sesudah mati, alam barzakh, kiamat, surga dan neraka, dll. Juga untuk memiliki ilmu tentang aturan-aturan Tuhan yang diperuntukkan bagi manusia, tentang tata cara penyembahan (ritual) yang benar, seperti salat, berdoa, berzikir, puasa dan haji (syari`ah dalam arti sempit). Semuanya itu diperlukan semata-mata sebagai bekal penghambaan manusia kepada Tuhan.

(12)

memakai pakaian yang bersih, kemudian shalat istikharah, berdoa dan menyampaikan hajatnya kepada Allah SWT, kemudian bershadaqah. Dari gambaran tersebut, diharapkan seluruh ilmuwan menyadari betul bahwa ilmu pengetahuan pada hakekatnya berasal dari Allah SWT, al-„Alīm, yang karena itu, kepada Nya jualah, permohonan untuk untuk mendapatkan ilmu dipanjatkan.

Nasehat dan praktek spiritualisasi yang dilakukan tersebut, pada dasarnya merupakan bagian dari upaya penciptaan suasana religius dalam pengembangan ilmu pengetahuan di modern. Spiritualisasi sains nampaknya juga menjadi kecendrungan perkembangan sains modern, baik di Barat maupun di dunia Islam. Dalam upaya ini, dunia Islam mengenal tokoh-tokoh yang menggaungkan pentingnya Islamisasi Ilmu Pengetahuan, semisal Jabir bin Hayyan, Ismail Raji Al-Faruqi, Nequib al-Attas, Ziauddin Sardar, Mehdi Ghoulsyani, dan lain lainnya.

Tokoh paling populer dalam hal ini adalah Maurice Bucaille. Menurut dokter asal Perancis ini, penemuan sains modern sesuai dengan al-Qur‟an. Hal ini membuktikan bahwa Al-Qur‟an, kitab yang tertulis 14 abad yang lalu, adalah wahyu Tuhan, bukan karangan Muhammad. Ilmuwan lain yang mengembangkan Islamisasi dengan pendekatan justifikasi ini adalah Harun Yahya, Zaghlul An-Najjar, Afzalur Rahman dll. Namun, konsep ini menuai banyak kritik, misalnya dari Ziauddin Sardar yang mengatakan bahwa legitimasi kepada al-Quran dalam kerangka sains modern tidak diperlukan oleh Kitab suci. Meskipun bukan termasuk dalam kategori Islamisasi sains yang hakiki, pendekatan konsep ini sangat efektif mudah diterima oleh banyak Muslim serta meningkatkan kebanggaan mereka terhadap Islam. Namun demikian proses tersebut tidak cukup dan harus dikembangkan ke dalam konsep yang lebih mendasar dan menyentuh akar masalah kemunduran umat.

5. SEKULERITAS SAINS

(13)

ia melarang Tuhan masuk dalam memasuki ilmu alam dan mengizinkannya masuk dalam proses-proses emosional.

Tidaklah berlebihan jika Engels menuliskan dalam Dialectics of Naturenya, bahwa Tuhan tidak pernah diperlakukan lebih buruk oleh para ilmuwan yang percaya pada Nya.Laplace(1749-1827) misalnya, seorang matemati kawan dan fisikawan terkemuka yang terkenal dengan transformasi Laplacenya, ketika ditanyakan oleh Napoleon Bonaparte, mengapa ia tidak menyebut nama Tuhan ketika membahasa mekanika

angkasanya? Ia menjawab: “Hal-hal seperti itu tidak ada gunanya bagiku”. Charles Darwin (1809-1882) secara lebih halus menyatakan bahwa ia tidak menentang eksistensi Tuhan, namun ia menyatakan bahwa Tuhan tidak menciptakan semua spesies yang ada. Tuhan hanya menciptakan spesies-spesies awal dan hukum seleksi alamlah yang membentuk keragaman spesies. Ia membantah Teori Penciptaan dengan menuliskan:

“This grand fact of the grouping of all organic beings under what is called the Natural System, is utterly inexplicable on the theory of creation” (Fakta besar tentang pengelompokan semua makhluk hidup melalui apa yang disebut dengan Sistem Alam, sama sekali tidak dapat dijelaskan pada teori penciptaan)

Darwin memposisikan Tuhan sebagai Pencipta makhluk hidup dalam tahap permulaan namun makhluk hidup itu sendiri yang beradaptasi dengan lingkungan sehingga membentuk keragaman. Sikap Darwin terhadap posisi Tuhan ini parallel dengan sikap saintis dan filsuf awal yang menempatkan Tuhan hanya sebagai Prima Causa atau sekadar sebagai Pembuat Jam, sebuah pandangan yang dikenal juga sebagai Deisme. Serangan halus terhadap Tuhan dari Darwin dapat dimaklumi karena iklim kegamaan masih cukup kuat di Eropa, sebagaimana cara untuk menghindarkan dari serangan frontal kaum agamawan.

(14)

“God and immortality, the central dogma of Christian religion, find no support in science…The Christian God may exist; so may God of Olympus, or of ancient Egypt, or of Babylon” (Tuhan dan keabadian, dogma sentral dari agama Kristen, tidak memiliki dukungan sains…Tuhan Kristen bolehjadi ada; demikian juga Tuhan Olimpus, atau (tuhan) Mesir Kuno, atau (tuhan) Babilonia).

Tidak terhitung ilmuwan dan saintis Barat pada akhir masa Pencerahan yang menyerang secara terbuka ketuhanan dan agama, khususnya Kristen danYahudi, dan mengungkapkan kemuakannya padahal-hal metafisika. Penentangan ilmuwan dan saintis terhadap hal-hal metafisika seperti Tuhan dan agama berlanjut hingga masa modern saat ini, sebagaimana dinyatakan sendiri oleh ahli Fisika terkemuka Stephen Hawking bahwa

“Tuhan tidak menciptakan alam semesta”, dalam karyanya “The Grand Design”.

Demikian juga saintis ahli Biologi Richard Dawkins seorang penganut ateisme terkemuka.Melalui sederet karya tulis dalam bentuk buku, website, dan videonya ia dengan gigih mempromosikan gagasannya tentang ateisme dan ilusi agama dan ketuhanan, ia menyerang berbagai keyakinan dan kepercayaan terhadap Tuhan sebagai sesuatu yang tidak bisa diterima sains modern.

Sekularisasi perlahan namun pasti tidak hanya merambah pada wilayah filsafat, politik, agama, namun juga wilayah sains alam dan metoda ilmiahnya. Sekularisasi mulai mempertanyakan tentang kebenaran dan pengetahuan yang berasal dari Kitab Suci dan kaum agamawan, dan mereka mulai berfikir tentang pencapaian kebenaran melalui akal manusia dan pengamatan terhada palam.Pada akhirnya dua aliran pemikiran ini mengkristal menjadi dua pilar dalam pembentukan metoda untuk memperoleh pengetahuan yang disebut dengan metoda saintifik (scientific methods). Hal inilah yang disebutkan oleh Prof. S.M.N Al-Attas bahwa sekularisme memiliki bagian-bagian utama:

„„penghilangan pesona dari alam tabii‟ (disenchantment of nature), peniadaan kesucian dan kewibawaan agama dari politik (desacralization of politics) dan penghapusan kesucian dan kemutlakan nilai-nilai agama dari kehidupan (deconsecration of values).

(15)

semesta. Prof. DR. H.M, Rasjidi mencoba meringkaskan keadaan di Inggris dan Prancis pada masa Pencerahan tersebut, bahwa pemikiran berkisar pada tiga unsur :

1. Kepercayaan penuh kepada metoda ilmu pengetahuan (metoda saintifik)

2. Kehilangan kepercayaan kepada dogma agama (yang dimaksud adalah agama yang dikenal di Barat, yakni agama Kristen).

3. Serta makin meresapnya faham materialisme, yakni pendapat yang mengatakan bahwa yang ada hanyalah benda (materie), karena dapat disadari dengan panca-indera, sedangkan jiwa tidak demikian (tidak merasakan).

Cara pandang khas Barat seperti di atas merambah pada dunia Muslim. Akibat dari

sekularisasi sains, banyak saintis muslim yang tidak lagi tertarik pada “ilmu-ilmu Agama”. Agama kalaupun masih dipraktikkan, ia tidak menjadi suatu pandangan-alam (worldview) atau paradigma berfikir, ia sekadar sebagai ritual yang terpisah dari dunia ilmiah dan sekadar obat penenang dari masalah-masalah hidup. Tidak sedikit lembaga-lembaga

“pendidikan” yang memicingkan mata pada perkuliahan agama di perguruan tinggi,

kalaupun tak cukup berani menghilangkannya, sekurangnya diarahkan pada sekdar perkuliahan etika profesional.

Sejauh ini, tidak ada masalah serius di kalangan muslim saintis di masa lalu. Mereka mampu menjawab masalah-masalah sains dalam hubungannya dengan agama dengan baik. Ini menunjukkan bahwa mereka memiliki kekokohan epistemologis dan memahami dengan baik kedudukan sains dan agama. Masalah muncul di kalangan saintis muslim saat ini disebabkan mereka mengambil framework (kerangka-kerja) Barat sebagai saintis muslim.

(16)

lagi bermakna petunjuk, ia sekadar objek yang tidak menunjukkan pada sesuatu yang lain, kecuali fakta dan data atau hukum-hukum relasinya.

Metafisika tidak ditempatkan dengan semestinya dan dipisahkan sama sekali dari Fisika. Akibatnya tujuan sains terbatas pada pemuasan rasa ingin tahu (curiousity) atau pencarian hal-hal baru, scientia gratia scientiae, pengetahuan semata hanya demi pengetahuan. Dalam paradigma sains modern, tugas utama seorang saintis alam dalam metoda saintifik adalah bagaimana menemukan hubungan antara besaran-besaran fisis yang dapat diindera atau diukur yang diharapkan bebas dari apriori atau suatu pengetahuan deduktif yang dianut rasionalisme. [16]

6. KESIMPULAN

Menurut al-Qur‟an pengembangan ilmu memiliki tujuan yang mulia yakni untuk menciptakan kemaslahatan bagi umat manusia dan alam semesta. Sebaliknya, ilmu tidak boleh digunakan untuk tujuan yang dapat menimbulkan kerusakan di muka bumi baik merusak manusia secara individu maupun sosial maupun merusak alam dan lingkungan. Dengan demikian, pengembangan ilmu sejatinya terikat dengan nilai-nilai kebaikan dan kemaslahatan (meaningfull). Al-Qur‟an tidak dapat menerima pandangan sebagian filosof dan ilmuan Barat yang berpendapat bahwa ilmu bebas nilai (meaningless). Pandangan yang menyatakan bahwa ilmu bebas nilai dikemukakan oleh para filosof dan ilmuan sekuler yang memisahkan ilmu dari nilai-nilai agama, etika dan moral. Seperti jargon mereka yang mengatakan bahwa “ilmu untuk ilmu” atau “seni untuk seni”, sehingga pengembangan ilmu pengetahuan dan seni tidak perlu memperhatikan nilai-nilai moral, etika dan agama. Pandangan yang demikian jelas bertentangan dengan konsep ilmu dalam al-Qur‟an. Sehingga kedepan ilmuwan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan secara bertahap untuk menerapakn kosep-konsep religiusitas, dengan harapan akan tercipta susana kemajuan peradaban dunia seisinya secara seimbang dan berkelanjutan.

7. UCAPAN TERIMAKASIH

Terimakasih disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. A. Aziz Darwis, MSc

Selaku Dosen Falsafah Sains Program Pascasarjana Teknologi Industri Pertanian

(17)

8. DAFTAR PUSTAKA

[1]. Bahan kuliah Falsafah Sains, semester ganjil TIP-IPB 2015

[2]. Budi Handrianto, Islamisasi Sains Sebagai Upaya dalam Meislamkan Sains Barat Modern (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar) hal. 39

[3]. Ian G. Barbour, Menemukan Tuhan dalam Sains Kontemporer dan Agama, (Bandung: Mizan), Hal. 9

[4]. Departemen Agama Ri, Alhidayah Al-quran Tafsir Per Kata (Jakarta: Kalim) [5]. http://sains4kidz.wordpress.com/2009/07/19/definisi-sains/diakses Tanggal 24 oktober 2015

[6]. Wahid, Ramli Abdul. Ulumul Qu'ran, Grafindo, Jakarta, 1996, hal. 7.

[7]. Mahdi Ghuzani, Filsafat Sains Menurut Al-Quran (Bandung: Mizan 1988). Hal. 41, 44 [8]. Mahdi Gulzani, Op.cit, Hal. 44-47

[9]. Tim, Tuhan, Alam Manusia Prespektif Sains dan Agama (Bandung : Mizan), Hal. 75 [10].http://blitarq-doel.blogspot.co.id/2013/03/ayat-ayat-tentang-ilmu-pengetahuan.html,

diakses tanggal 24 Oktober 2015

[11]. Nasr, Ensikolopedi Tematik Spiritualitas Islam (Buku Pertama):, h. 336. [12]. Ancok, D & Suroso, F.N. 1994. Psikologi Islami: Solusi Islam Atas Problem- ProblemPsikologi. Yogyakarta : Penerbit Pustaka Pelajar

[13]. Safaria, Triantoro. 1999. Peranan Tingkat Religiusitas Terhadap Stres pada mahasiswa UAD. Skripsi. Yogyakarta Fakultas Psikologi UAD.

[14]. Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2007), 106. [15]. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an (Bandung: Mizan, 1992), 62.

Referensi

Dokumen terkait

Hain zuzen ere, material konposatuetan, nanozelulosa kopuru txiki bate- kin, horien indarra eta zurruntasuna asko handitu daitezke; horregatik, na- nozelulosa oso interesgarria

Karakteristik umum para akademisi yang ada di perguruan tinggi adalah (1) Menyampaikan pengetahuan, tetapi hanya sedikit yang mengembangan pengetahuan, (2) Kegiatan akademik

Perencanaan hanya dilakukan pada 1 bulan yakni pada bulan September 2015, untuk itu agar optimasi lebih baik perlu dilakukan peramalan terhadap permintaan selama 1 tahun.

berbeda-beda, yaitu ada yang menerima 1 untuk dilaksanakan peradilan in absentia atas terdakwa yang belum diperiksa pada tingkat penyidikan, dan ada yang

Di dalam suatu ekosistem, setiap komponen biotik memiliki cara hidup berbeda dengan komponen biotik yang lainnya sehingga interaksi yang terjadi dapat menghasilkan berbagai

Metode untuk analisis bangkitan perjalanan kendaraan yang masuk dan keluar Pelabuhan Teluk Lamong menggunakan analisis regresi linear hubungan antara volume lalu

[r]

Tidak berbeda jauh dari mekanisme lima tahunan, pada pemilihan ketua definitif untuk mengisi kekosongan jabatan yang terjadi, PDI Perjuangan menggunakan sistem