4 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Eksploratif Data
3. Nilai Tukar
Nilai tukar merupakan ukuran perbandingan harga relatif pada suatu negara terhadap negara lain. Pergerakan nilai tukar di suatu negara tergantung dari rezim nilai tukar yang dianutnya. Pada negara yang mengimplementasikan ITF secara umum seluruh negara menganut rezim nilai tukar mengambang bebas (floating exchange rate regime) yang berarti pergerakan nilai tukar dibiarkan bergerak bebas sesuai dengan mekanisme pasar. Namun di sisi lain, pergerakan nilai tukar memiliki pengaruh yang cukup besar dalam mempengaruhi tingkat inflasi di suatu negara. Secara teoritis, pada negara yang mengadopsi ITF pengaruh pergerakan nilai tukar terhadap pembentukan inflasi relatif lebih kecil dibandingkan sebelum mengimplementasikan ITF. Hal ini disebabkan karena setelah mengadopsi ITF otoritas moneter pada masing-masing negara akan lebih fokus terhadap pencapaian sasaran tunggal yaitu target inflasi.
Gambar 10 menunjukkan plot pergerakan nilai tukar dan tingkai inflasi pada periode delapan tahun sebelum dan sesudah diimplementasikannya ITF di kelompok high income countries. Secara umum implementasi ITF memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap pengaruh pergerakan nilai tukar dalam mempengaruhi pembentukkan tingkat inflasi di kelompok high income countries. Gambar 10 menunjukkan bahwa secara umum high income countries memiliki pola perilaku pergerakan nilai tukar dan tingkat inflasi yang identik dimana korelasi antara nilai tukar dan tingkat inflasi relatif lebih tinggi pada periode sebelum ITF. Berbeda halnya pada saat periode setelah ITF, korelasi antara pergerakan nilai tukar dan inflasi cenderung melemah. Pergerakan nilai tukar dan inflasi relatif lebih stabil dan bergerak searah pada saat periode setelah ITF. Hal ini menunjukkan bahwa pada saat mata uang domestik di suatu negara mengalami depresiasi atau mengalami kenaikan mata uang nominal maka akan direspon dengan meningkatnya inflasi. Relatif lebih stabilnya pengaruh pergerakan nilai tukar terhadap pembentukkan tingkat inflasi di kelompok high income countries menunjukkan implementasikan ITF menjadikan pergerakan nilai tukar bukan lagi menjadi isu utama dalam upaya stabilisasi kebijakan moneter. Otoritas moneter
23
Australia Polandia
pada negara yang mengimplementasikan ITF menjadi lebih fokus terhadap pencapaian sasaran tunggal yaitu target inflasi.
Sumber : International Financial Statistic (IFS), diolah Keterangan : Nilai tukar (mata uang domestik/USD)
Tingkat Inflasi (%)
Gambar 10 Plot Pergerakan Nilai Tukar (mata uang domestik/$) dan Tingkat Inflasi di Kelompok High Income Countries
Berbeda halnya dengan kelompok middle income countries plot pergerakan nilai tukar dan tingkat inflasi setelah mengimplementasikan ITF tidak berbeda secara signifikan dibandingkan dengan pada periode sebelum mengimplementasikan ITF. Jika dilihat pada Gambar 11 negara India memiliki tren tingkat inflasi yang terus meningkat setelah mengimplementasikan ITF, sedangkan pada pergerakan nilai tukarnya tidak ada perbedaan perilaku antara periode sebelum dan sesudah ITF. Negara Brazil mengalami hiperinflasi pada periode sebelum ITF yang pada tahun 1994 sempat mencapai 3104.7% namun pada periode setelah ITF berhasil turun pada kisaran satu digit yaitu pada periode pasca krisis nilai tukar 1997/1998. Kemudian pada negara Afrika Selatan, Meksiko, Hungaria, Peru, Indonesia, Romania dan Turki pergerakan nilai tukar dan tingkat inflasi setelah ITF relatif lebih stabil dibandingkan sebelum ITF. Namun jika dibandingkan dengan kelompok high income countries, plot pergerakan nilai tukar relatif berfluktuasi dan tingkat inflasi masih cukup tinggi. Tingginya tingkat inflasi pada kelompok middle income countries membuat nilai tukarnya menjadi kurang kompetititf dibandingkan dengan kelompok high income countries. Hal ini disebabkan negara-negara pada kelompok middle income countries sempat mengalami krisis nilai tukar pada tahun 1997/1998 yang
0 2 4 0 10 20 0 5 10 0 1 2 3 0 5 10 15 -5 0 5 10 15 -5 0 5 10 15 0 1 2 3 0 5 10 0 100 200 300 -2 0 2 4 6 0 1 2 3 0 1000 2000 3000 0 5 10 -5 0 5 10 0 5 10 15 Pre-ITF Post-ITF Selandia Baru Pre-ITF Post-ITF Kanada Swedia Pre-ITF Post-ITF Switzerland Korea Selatan Norwegia
Pre-ITF Pre-ITF Pre-ITF
Pre-ITF Pre-ITF
Post-ITF
Post-ITF Post-ITF
24
Romania
Meksiko Thailand
berdampak cukup besar terhadap pergerakan nilai tukar dan tingkat inflasinya. Korelasi antara pergerakan nilai tukar dan tingkat inflasi cenderung lebih tinggi pada saat periode setelah krisis 1997/1998 dimana pada kelompok negara middle income countries, implementasi ITF baru dimulai sejak tahun 2000-an tepat setelah terjadinya krisis nilai tukar 1997/1998 sehingga dampak dari implementasi ITF belum cukup optimal dibandingkan dengan kelompok high income countries yang sudah mengimplementasikan ITF sejak tahun 1990-an.
Sumber : International Financial Statistic (IFS), diolah Keterangan : Nilai tukar (mata uang domestik/USD)
Tingkat Inflasi (%)
Gambar 11 Plot Pergerakan Nilai Tukar (mata uang domestik/$) dan Tingkat Inflasi di Kelompok Middle Income Countries
0 5 10 15 20 0 20 40 60 80 0 2 4 6 0 2000 4000 6000 0 10 20 0 10 20 -5 0 5 10 15 0 50 100 0 10 20 30 0 20 40 60 0 200 400 600 0 20 40 0 2 4 6 -20 0 20 40 -5 0 5 10 15 0 50 100 0 10000 20000 30000 -50 0 50 100 0 2 4 6 0 100 200 0 100 200 0 2 4 India Brazil Filipina Peru Hungaria Afrika Selatan Turki Indonesia Pre-ITF Pre-ITF Pre-ITF
Pre-ITF Pre-ITF Pre-ITF
Pre-ITF Pre-ITF Pre-ITF Pre-ITF Pre-ITF Post-ITF Post-ITF Post-ITF Post-ITF
Post-ITF Post-ITF
Post-ITF Post-ITF Post-ITF
Post-ITF
25
(%)
4. Impor
Pergerakan nilai tukar pada suatu negara tentu akan mempengaruhi kegiatan perdagangan internasionalnya termasuk impor. Pada penelitian ini digunakan data rata-rata perbahan value of import (%) sebagai proksi dari harga impor pada masing-masing negara. Pergerakan nilai tukar dapat mempengaruhi perilaku impor di suatu negara. Jika mata uang di suatu negara mengalami depresiasi maka harga barang impor pada negara tersebut akan cenderung lebih mahal, akibatnya industri yang menggunakan bahan baku impor akan mengalami peningkatan biaya produksi yang akhirnya dapat menyebabkan inflasi.
Sumber: International Financial Statistic (IFS), diolah
Gambar 12 Rata-rata Pertumbuhan Value of Import (%) di Kelompok High Income Countries dan Middle Income Countries
Gambar 12 menunjukkan perkembangan rata-rata value of import (%) di kelompok high income countries dan middle income countries pada periode delapan tahun sebelum dan sesudah mengimplementasikan ITF. Pada periode setelah ITF kedua kelompok negara mengalami kenaikan persentase value of import namun, kelompok middle income countries memiliki rata-rata value of import yang relatif lebih tinggi dibandingkan kelompok high income countries. Hal ini disebabkan ketergantungan impor pada kelompok middle income countries relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok high income countries.
Perkembangan rata-rata value of import (%) per kawasan pada periode delapan tahun sebelum dan sesudah ITF ditunjukkan pada Gambar 13.
Sumber: International Financial Statistic (IFS), diolah
Gambar 13 Rata-rata Pertumbuhan Value of Import (%) per Kawasan
Terjadi peningkatan persentase value of import di seluruh kawasan pada periode setelah ITF. Pada kawasan Asia Selatan & Asia Timur serta kawasan Sub Sahara Afrika memiliki rata-rata value of import tertinggi yaitu mencapai 24.80% dan 24.09% pada periode setelah ITF. Hal ini menunjukkan negara India, Thailand, Indonesia, Filipina dan Afrika Selatan memiliki proporsi persentase value of import tertinggi dibandingkan dengan negara lainnya.
Data Generating Process
Data Generating Process merupakan langkah-langkah pra estimasi yang dilakukan sebelum melakukan tahap estimasi dan analisis model. Pada tahap ini akan dilakukan beberapa uji pra estimasi yang meliputi uji non stasioneritas, uji kointegrasi dan uji lag optimum.
22.17 22.43 22.73 23.32 20
22 24
Sebelum ITF Setelah ITF
High Income Countries Middle Income Countries
23.96 22.04 21.76 22.77 22.92 20.96 24.80 22.86 22.35 23.32 24.09 21.51 15.00 20.00 25.00 30.00 South East Asia
Europe Latin America North America
Sub Sahara African
Australia & New Zealand Sebelum ITF Setelah ITF
26
Uji Non Stasioneritas
Metode pengujian yang digunakan untuk uji non stasioneritas data adalah Phillips - Perron Test (PP Test). Pemilihan uji non stasioneritas data dengan menggunakan PP Test didasari karena adanya structural break pada periode sebelum ITF dan setelah ITF. Pengujian data dilakukan pada tingkat level sampai dengan first difference. Kriteria hasil uji adalah jika nilai Z-statistik lebih kecil dari nilai critical value maka dapat disimpulkan bahwa data tersebut stasioner. Hasil dari uji non stasioneritas menunjukkan bahwa variabel inflasi, output, nilai tukar dan harga impor stasioner pada first difference hampir di semua negara dan semua periode. Hanya pada negara Brazil variabel inflasi dan nilai tukar pada periode delapan tahun dan tujuh tahun sebelum ITF tidak stasioner pada first difference. Hal ini disebabkan pada periode tersebut terjadi hyperinflation pada negara Brazil. Hasil uji non stasioneritas data untuk masing-masing negara dan masing-masing periode dapat dilihat secara lengkap dalam lampiran.
Uji Kointegrasi
Pengujian kointegrasi dilakukan dengan melakukan Bound Testing Cointegration yaitudengan membandingkan nilai F-Statistik dan nilai kritis yang telah disusun pada tabel Pesaran dan Pesaran (1997). Apabila nilai F-statistik berada dibawah nilai kritis terendah (lower bound) maka dapat disimpulkan tidak terjadi kointegrasi. Apabila nilai F-statistik berada di atas nilai kritis tertinggi (upper bound) maka dapat disimpulkan terjadi kointegrasi. Namun apabila F- statistik berada di antara lower bound dan upper bound maka hasilnya adalah tidak dapat disimpulkan.
Sebagian besar hasil uji kointegrasi antara inflasi, output growth, nilai tukar nominal dan value of import untuk masing-masing negara baik pada periode sebelum ITF maupun sesudah ITF menunjukkan tidak adanya hubungan jangka panjang atau tidak terkointegrasi. Hal ini menjadikan estimasi tidak dapat dilanjutkan dengan menggunakan Error Correction Model (ECM) tetapi estimasi akan dilanjutkan dengan menggunakan ARDL first difference. Hasil uji kointegrasi di seluruh negara pada periode sebelum dan sesudah ITF secara lengkap dapat dilihat dalam lampiran.
Uji Lag Optimum
Penentuan lag optimum pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan kriteria Schwarz Bayesian Criteria terbesar pada selang lag yang digunakan. Secara umum hasil uji lag optimum berbeda antar negara dan antar periode ITF namun rata-rata berkisar pada lag satu hingga lag lima. Hasil keseluruhan pengujian lag optimum untuk seluruh negara pada periode sebelum dan sesudah ITF dapat dilihat dalam lampiran.
Hasil Perhitungan Jangka Pendek dan Jangka Panjang Exchange Rate Pass- Through pada Periode Sebelum dan Sesudah ITF
Setelah melakukan analisis eksploratif data, selanjutnya akan dibahas mengenai analisis hasil perhitungan koefisien exchange rate pass-through (ERPT) pada jangka pendek dan jangka panjang dengan membedakan periode menjadi periode sebelum ITF dan periode setelah ITF. Koefisien ERPT menunjukkan besarnya persentase perubahan harga domestik sebagai akibat dari perubahan satu
27
persen dalam kurs. Perhitungan koefisien ERPT baik jangka pendek maupun jangka panjang dilakukan dengan menggunakan estimasi Autoregressive Distributed Lag (ARDL) first difference.
Perbandingan Koefisien Jangka Pendek dan Jangka Panjang ERPT pada kelompok High Income Countries dan Middle Income Countries
Penelitian ini menitikberatkan pada dampak implementasi ITF terhadap koefisien jangka pendek dan jangka panjang ERPT di sembilan belas negara yang mengadopsi ITF di dunia dengan mengelompokan negara tersebut menjadi kelompok high income countries dan kelompok middle income countries. Secara teoritis implementasi ITF seharusnya dapat menurunkan besaran koefisien ERPT atau mengalami fenomena loss of pass-through baik dalam jangka pendek maupun pada jangka panjang. Apabila suatu negara terbukti mengalami penurunan koefisien ERPT setelah mengimplementasikan ITF maka besarnya change in pass-through pada negara tersebutakan bernilai negatif.
Tabel 3 Hasil Perhitungan Exchange Rate Pass-Through di Kelompok High Income Countries dan Middle Income Countries (Periode: 8 Tahun Sebelum dan 8 Tahun Sesudah ITF)
High Income
Countries Sebelum ITF Setelah ITF
Change in pass- through Short-run Long-run Short-run Long-run Short-run Long-run Selandia Baru 0.006 0.078 -0.002 -0.030 -0.008 -0.108 Kanada 0.038 0.028 -0.006 -0.088 -0.044 -0.116 Swedia 0.026 0.286 -0.007 -0.007 -0.033 -0.293 Australia 0.004 0.117 0.001 0.007 -0.003 -0.110 Polandia 0.043 0.105 -0.004 -0.009 -0.047 -0.114 Switzerland 0.002 0.002 -0.010 -0.005 -0.012 -0.007 Korea Selatan 0.041 0.099 0.022 0.035 -0.019 -0.064 Norwegia -0.023 -0.023 -0.006 -0.006 0.017 0.017 Middle Income
Countries Sebelum ITF Setelah ITF
Change in pass- through Short-run Long-run Short-run Long-run Short-run Long-run
India 0.010 0.028 0.014 0.032 0.004 0.004 Brazil 0.302 0.985 -0.023 0.082 -0.325 -0.903 Afrika Selatan 0.021 0.028 -0.006 0.039 -0.027 0.011 Thailand 0.009 0.037 0.003 0.004 -0.006 -0.033 Meksiko 0.044 0.475 0.021 0.030 -0.023 -0.445 Hungaria -0.347 -0.714 0.018 -0.024 0.365 0.690 Peru -0.760 0.211 0.032 0.052 0.792 -0.159 Filipina 0.019 0.019 0.031 -0.038 0.012 -0.057 Indonesia 0.028 0.286 0.006 0.012 -0.022 -0.274 Romania 0.044 0.126 0.000 0.000 -0.044 -0.126 Turki 0.112 0.386 0.003 0.004 -0.109 -0.382
28
Perbandingan hasil perhitungan koefisien jangka pendek dan jangka panjang ERPT di kelompok high income countries dan kelompok middle income countries pada periode sebelum dan sesudah ITF dapat dilihat secara lebih detail pada Tabel 3. Hasil perhitungan ERPT di kelompok high income countries menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan dibandingkan dengan pada kelompok middle income countries. Secara umum sebagian besar negara yang masuk kedalam kelompok high income countries terbukti mengalami fenomena loss of pass- through baik pada jangka pendek maupun jangka panjang. Hal ini ditunjukkan dengan besaran koefisien change in pass-through pada Tabel 3 yang bernilai negatif. Hanya pada negara Norwegia yang ternyata tidak ditemukan adanya loss of pass-through pada jangka pendek dan jangka panjang setelah mengimplementasikan ITF. Hal ini diduga karena dalam sejarahnya Norwegia menerapkan kebijakan moneter exchange rate targeting dalam kurun waktu yang cukup panjang. Soikkeli (2002) menyatakan bahwa Norwegia merupakan salah satu negara pengekspor minyak mentah dan gas alam terbesar yang mana komoditi ini menyumbang 57% dari total ekspor barang dan jasa nya pada tahun 2001. Sehingga stabilitas nilai tukar menjadi sangat penting untuk menjaga kestabilan ekspornya, meskipun sejak tahun 2001 negara ini sudah merubah kebijakan moneternya menjadi inflation targeting. Namun secara umum dapat disimpulkan bahwa implementasi ITF terbukti berhasil menurunkan besarnya pengaruh pergerakan nilai tukar terhadap pembentukan tingkat inflasi di kelompok high income countries. Menurut Gagnon dan Ihrig (2004) bagi negara- negara yang memiliki tingkat inflsi yang rendah cenderung memiliki koefisien ERPT yang rendah pula. Rendahnya besaran koefisien ERPT setelah mengimplementasikan ITF di kelompok high income countries menunjukkan Bank Sentral pada negara tersebut sudah dapat sepenuhnya kredibel untuk fokus dalam pencapaian target inflasi, sehingga pengaruh pergerakan nilai tukar bukan lagi menjadi isu sentral dalam pencapaian sasaran kebijakan moneter.
Berbeda halnya dengan yang terjadi pada negara-negara yang masuk kedalam kelompok middle income countries, hanya negara Brazil, Thailand, Meksiko, Indonesia, Romania dan Turki yang mengalami penurunan koefisien jangka pendek dan jangka panjang ERPT atau mengalami fenomena loss of pass- through setelah mengimplementasikan ITF. Negara Afrika Selatan hanya mengalami penurunan koefisien ERPT dalam jangka pendek namun tidak mengalami penurunan koefisien ERPT dalam jangka panjang. Negara Peru dan Filipina hanya mengalami penurunan koefisien ERPT pada jangka panjang namun tidak mengalami penurunan koefisien ERPT dalam jangka pendek. Sedangkan untuk negara India dan Hungaria tidak ditemukan adanya penurunan koefisien jangka pendek maupun jangka panjang ERPT setelah mengimplementasikan ITF. Hal ini menunjukkan pengaruh perubahan harga domestik akibat pergerakan dalam kurs di kelompok middle income countries masih cukup besar setelah mengimplementasikan ITF. Masih tingginya koefisien ERPT di kelompok middle income countries menunjukkan masih besarnya peran nilai tukar dalam mempengaruhi pembentukan tingkat inflasi. Hal ini mengindikasikan Bank Sentral pada kelompok negara tersebut belum sepenuhnya komitmen terhadap pencapaian sasaran tunggal target inflasi tetapi masih terjebak dalam pengendalian nilai tukar itu sendiri.
29
Pada negara Afrika Selatan loss of pass-through hanya terjadi pada jangka pendek namun tidak terjadi pada jangka panjang setelah mengimplementasikan ITF. Hasil perhitungan, koefisien jangka panjang ERPT setelah mengimplementasikan ITF di Afrika Selatan masih relatif cukup tinggi yaitu sebesar 0.0389. Hal ini diduga disebabkan karena pemilihan periode waktu estimasi dimana digunakan periode delapan tahun setelah ITF yaitu dari tahun 2000 hingga tahun 2008 yang bertepatan dengan terjadinya krisis global pada tahun 2008. Sedangkan pada saat menggunakan periode waktu estimasi yang berbeda yaitu 5 tahun hingga 7 tahun menunjukkan bahwa terjadi loss of pass- through baik pada jangka pendek maupun pada jangka panjang di negara Afrika Selatan. Klein (2012) menyatakan bahwa untuk mendukung aktivitas ekonomi dalam menghadapi perubahan kondisi ekonomi karena krisis 2008, dalam beberapa tahun Afrika Selatan meningkatkan batas atas target inflasi yang telah ditetapkan. Sedangkan pada negara Filipina dan Peru loss of pass-through hanya terjadi pada jangka panjang namun tidak terjadi dalam jangka pendek. Hal ini berarti pada kedua negara masih membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mengalami penurunan ERPT setelah mengimplementasikan ITF.
Debelle dan Lim (1998) menyatakan bahwa bagi negara Filipina, penerapan ITF mengalami beberapa kendala diantaranya kemampuan dalam merespon fluktuasi arus modal masuk. Konflik yang muncul kemudian adalah dilemma antara pencapaian target inflasi atau target nilai tukar. Jika arus modal bersifat sementara maka stabilisasi nilai tukar tidak akan mengganggu target inflasi, namun jika arus modalnya bersifat permanen stabilisasi nilai tukar akan bersifat costly atau akan berakibat pada naiknya tingkat inflasi. Sedangkan untuk negara Peru, Cespedes et al. (2012) menyatakan bahwa mata uang negara Peru masih sensitif terhadap fluktuasi arus modal yang tak menentu dimana pada tahun 2006 Peru mengalami overheating yang menyebabkan inflasi yang tajam pada tahun 2007.
Negara India dan Hungaria tidak ditemukan adanya loss of pass-through baik pada jangka pendek maupun jangka panjang. Freedman dan Robe (2009) menyatakan bahwa penyebab kurang berhasilnya implementasi ITF di negara Hungaria adalah belum terpenuhinya pre-kondisi yang harus dicapai sebelum mengimplementasikan ITF diantaranya yaitu masih menerapkan dual anchor target inflasi dan target nilai tukar dalam waktu yang bersamaan sehingga mengakibatkan kredibilitas bank sentral menjadi dipertanyakan. Selain itu terjadinya penyimpangan inflasi aktual di Hungaria disebabkan karena tidak efektifnya transmisi kebijakan moneter melalui jalur suku bunga. Kemudian pada negara India, Jha (2006) menyebutkan kendala penerapan ITF di India diantaranya adalah masih tingginya defisit fiskal yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir yaitu sekitar 10% dari GDP, transmisi suku bunga kepada sektor riil yang masih lemah, serta tidak sesuainya penerapan high degree of exchange rate flexibility di India dimana India harus menjaga stabilitasi nilai tukar agar dapat mendorong ekspor. Berdasarkan Mohandas (2012) menyatakan bahwa Bank Sentral India lebih efisien dalam mengontrol output gap dibandingkan dengan mengontrol tingkat inflasi sehingga dapat dikatakan bahwa Bank Sentral India melakukan output gap targeting dibandingkan dengan inflation targeting.
Selanjutnya jika dilihat besaran koefisien jangka pendek ERPT di kelompok high income countries, pada periode sebelum ITF negara Polandia memiliki nilai
30
koefisien jangka pendek tertinggi yaitu sebesar 0.0435 sedangkan negara Swedia memiliki koefisien jangka panjang tertinggi yaitu sebesar 0.2862. Negara Norwegia memiliki koefisien jangka pendek dan jangka panjang terendah yaitu sebesar -0.0234 dan -0.0234. Pada periode setelah ITF, negara Korea Selatan memiliki koefisien jangka pendek dan jangka panjang ERPT tertinggi yaitu sebesar 0.0222 dan 0.0346. Hal ini diduga karena negara Korea Selatan merupakan negara industri baru yang sebelumnya sempat masuk kedalam kelompok middle income countries. Kemudian negara Switzerland memiliki koefisien jangka pendek terendah yaitu sebesar -0.0098 serta negara Kanada memiliki koefisien jangka panjang terendah yaitu sebesar -0.0882. Hal ini menunjukkan Bank Sentral di negara Switzerland dan Kanada sudah dapat sepenuhnya kredibel dalam mengimplementasikan ITF.
Berbeda halnya dengan kelompok middle income countries, pada periode sebelum ITF negara Brazil memiliki koefisien jangka pendek tertinggi yaitu sebesar 0.3020 namun pada periode setelah ITF justru memiliki koefisien jangka pendek terendah yaitu sebesar -0.0232. Hal ini menunjukkan implementasi ITF membawa dampak yang cukup signifikan dalam menurunkan pengaruh pergerakan nilai tukar terhadap pembentukan inflasi di Brazil. Berdasarkan Hebbel dan Werner (2002), negara Brazil merupakan salah satu negara di kawasan Amerika Latin yang berhasil mengimplementasikan ITF dimana rata-rata deviasi inflasi aktual terhadap target inflasi nya paling rendah diantara negara Amerika Latin yang mengimplementasikan ITF. Sedangkan untuk negara Peru pada periode sebelum ITF memiliki koefisien jangka pendek terendah yaitu sebesar -0.7598 namun pada periode setelah ITF justru memiliki koefisien jangka pendek tertinggi yaitu sebesar 0.0324. Hal ini berarti implementasi ITF di Peru belum dapat menurunkan besarnya pengaruh pergerakan nilai tukar dalam pembentukan tingkat inflasi. Untuk koefisien jangka panjang pada periode sebelum ITF, negara Brazil memiliki koefisien jangka panjang tertinggi yaitu sebesar 0.9851 dan negara Hungaria memiliki koefisien jangka panjang terendah yaitu sebesar -0.7136. Sedangkan pada periode setelah ITF negara Meksiko memiliki koefisien jangka panjang tertinggi yaitu sebesar 0.7066 dan negara Filipina memiliki koefisien jangka panjang terendah yaitu sebesar -0.0376.
Secara umum hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Nogueira Jr. (2007) dimana juga ditemukan fenomena loss of pass- through baik pada jangka pendek maupun jangka panjang di negara maju seperti negara Swedia dan di beberapa negara berkembang seperti Brazil dan Meksiko. Hal berbeda terjadi di negara Korea Selatan, dimana pada penelitian yang dilakukan oleh Nogueira Jr. (2007) fenomena loss of pass-through hanya terjadi pada jangka panjang namun tidak terjadi pada jangka pendek. Hal ini diduga disebabkan karena perbedaan periode waktu yang digunakan dimana Noguiera menggunakan periode waktu yang lebih pendek yaitu lima tahun sebelum dan sesudah ITF, sedangkan pada penelitian ini menggunakan periode waktu delapan