• Tidak ada hasil yang ditemukan

Exchange Rate Pass-Through dalam Konteks Inflation Targeting Framework: Kasus Empiris di 19 Negara di Dunia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Exchange Rate Pass-Through dalam Konteks Inflation Targeting Framework: Kasus Empiris di 19 Negara di Dunia"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

EXCHANGE RATE PASS-THROUGH DALAM KONTEKS

INFLATION TARGETING FRAMEWORK: KASUS EMPIRIS

DI 19 NEGARA DI DUNIA

SALSA DILLA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK

CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Exchange Rate Pass-Through dalam Konteks Inflation Targeting Framework: Kasus Empiris di 19 Negara di Dunia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2014

(4)
(5)

RINGKASAN

SALSA DILLA. Exchange Rate Pass-Through dalam Konteks Inflation Targeting Framework: Kasus Empiris di 19 Negara di Dunia. Dibimbing oleh NOER AZAM ACHSANI dan LUKYTAWATI ANGGRAENI.

Sejak terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997/1998 banyak negara di dunia mengubah kebijakan moneternya baik dalam rezim nilai tukar maupun kerangka kebijakan moneter yang diadopsi. Semakin meluasnya keterbukaan ekonomi serta semakin pentingnya pengendalian inflasi di suatu negara, menjadi alasan utama yang melatarbelakangi banyak negara untuk mengubah rezim nilai tukar yang dianut menjadi rezim nilai tukar mengambang bebas (floating exchange rate) dan mengadopsi kerangka kebijakan moneter yang baru yaitu inflation targeting framework (ITF).

Exchange rate pass-through (ERPT) didefinisikan sebagai persentase perubahan harga (domestik, impor maupun ekspor) sebagai akibat dari perubahan satu persen dalam kurs. Besaran ERPT digunakan untuk melihat besarnya pengaruh pergerakan nilai tukar terhadap pembentukan harga pada suatu negara. Dengan diadopsinya ITF, peran nilai tukar dalam mempengaruhi pembentukan tingkat inflasi menjadi semakin kecil atau dengan kata lain besaran koefisien ERPT nya akan mengalami penurunan atau sering disebut dengan istilah loss of pass-through. Hal ini disebabkan karena adanya kewajiban Bank Sentral untuk fokus dan komitmen terhadap pencapaian sasaran target inflasi.

Penelitian ini menitikberatkan pada dampak implementasi ITF terhadap koefisien jangka pendek dan jangka panjang ERPT di sembilan belas negara yang mengadopsi ITF di dunia dengan mengelompokan negara tersebut menjadi kelompok high income countries dan kelompok middle income countries. Berdasarkan hasil perhitungan ERPT dengan menggunakan Autoregressive Distributed Lag (ARDL) ditemukan bahwa implementasi ITF lebih berhasil menurunkan koefisien jangka pendek dan jangka panjang ERPT di kelompok high income countries dibandingkan dengan di kelompok middle income countries. Jika dilihat dari besaran koefisien ERPT, negara-negara yang berada pada kelompok middle income countries memiliki koefisien ERPT yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara yang berada pada kelompok high income countries. Hal ini menunjukkan bahwa nilai tukar masih memegang peranan yang penting dalam mempengaruhi pembentukan tingkat inflasi di kelompok middle income countries.

Belum terjadinya penurunan koefisien jangka pendek ERPT setelah mengimplementasikan ITF di kelompok middle income countries menunjukkan bahwa dibutuhkan waktu yang lebih panjang bagi kelompok negara tersebut untuk mengalami penurunan ERPT. Dengan kata lain bagi kelompok middle income countries, ITF baru akan optimal dimplementasikan jika diterapkan pada periode waktu yang lebih panjang, dimana diperlukan waktu yang berbeda bagi setiap negara untuk mengalami penurunan ERPT setelah mengimplementasikan ITF tergantung dari kondisi struktur makroekonomi secara keseluruhan.

(6)

SUMMARY

SALSA DILLA. Exchange Rate Pass-Through in The Perspective of Inflation Targeting Framework: Empirical Case in 19 Countries in the World. Supervised

by NOER AZAM ACHSANI and LUKYTAWATI ANGGRAENI.

Since the economic crisis in 1997/1998 many countries in the world have changed their monetary policy in both exchange rate regimes and monetary policy framework. The higher degree of market openness among the world and the urgency of controlling inflation become the main reason to change the exchange rate regimes into floating exchange rate and started to adopt inflation targeting framework (ITF) as the new monetary policy framework.

Exchange rate pass-through (ERPT) is difined as the change in local currency prices (domestic, import or export) resulting from one percent change in the exchange rate. The degree of ERPT is used to identify the role of exchange rate in influencing the domestic price. By adopting ITF, the role of exchange rate in influencing the inflation rate has decreased or in the other word the degree of ERPT will decrease which also known as loss of pass-through phenomenon. This is because the obligation of Central Bank to focus and commit on reaching the inflation target.

This research is focusing on the impact of ITF implementation on the short term and long term degree of ERPT in nineteen countries who adopt ITF by classifying the countries into high income countries and middle income countries. Based on the result of ERPT estimation using Autoregressive Distributed Lag (ARDL), it was found that the implementation ITF is more successful in decreasing the short term and long term degree of ERPT in high income countries rather than in middle income countries. Moreover if we see from the perspective of the ERPT degree, the countries in the middle income countries group have a higher degree of ERPT than the countries in high income countries group. This finding strengthen the fact that exchange rate still plays an important role in influencing the inflation rate in the middle income countries.

The finding that shows there hasn’t a decrease in short term degree of ERPT after implementing ITF in middle income countries indicate that it takes a longer time for these countries to fall on the decrease of ERPT. In the other word, ITF will optimally adopted for middle income countries if it is implemented in the long term period which needs a different period of time for each country to fall on a decrease of ERPT after implementing ITF, depends on the overall macroeconomic condition.

(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(8)
(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi

EXCHANGE RATE PASS-THROUGH DALAM KONTEKS

INFLATION TARGETING FRAMEWORK: KASUS EMPIRIS

DI 19 NEGARA DI DUNIA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(10)
(11)

Judul Penelitian : Exchange Rate Pass-Through dalam Konteks Inflation Targeting Framework: Kasus Empiris di 19 Negara di Dunia

Nama : Salsa Dilla

NIM

Program Studi : :

H151130476 Ilmu Ekonomi

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof. Noer Azam Achsani, Ph.D Dr. Lukytawati Anggraeni, SP, M.Si

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi

Dr. Ir.R. Nunung Nuryartono, M.Si Dr. Ir. Dahrul Syah, MscAgr

(12)
(13)

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga karya ilmiah dengan judul “Exchange Rate Pass-Through dalam Konteks Inflation Targeting Framework: Kasus Empiris di 19 Negara di Dunia” berhasil diselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Noer Azam Achsani, Ph.D dan Ibu Dr. Lukytawati Anggraeni, SP, M.Si selaku dosen pembimbing atas arahan, masukan serta motivasi yang sangat berharga dalam menyelesaikan penelitian ini serta kepada Bapak Dr.Ir. Sri Hartoyo, MS selaku penguji luar komisi dan Ibu Dr.Ir. Sri Mulatsih, M.ScAgr selaku dosen penguji komisi pendidikan atas kritik dan sarannya dalam menyempurnakan penelitian ini. Tak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada Heni Hasanah, SE, M.Si dan Sri Retno Wahyu Nugraheni, SE, M.Si selaku asisten dosen yang senantiasa memberikan masukan yang sangat bermanfaat.

Di samping itu, ucapan terimakasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta kakak tercinta atas segala doa dan kasih sayangnya. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada teman satu perjuangan Fastrack Angkatan 1 Maria Utari, Perdana, Andrian, Farhana, Friska, Nandha, Nida, Bintan, Manda dan Bram. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada para sahabat terdekat Vicky Alditiara, Rissa Febrina, Risya Maulida, Sri Wulan, Mellida, Meiyora, Farah Meiska, Puspita Mega, Meiryanti, Amelia, Juwitania, Anindyah, Justisia, Ditri, Yuki, Nur Nabilah, Annisa dan Maya. Serta pihak-pihak yang ikut membantu dalam penyelesaian skripsi ini baik berupa saran, masukan maupun dukungan kepada penulis. Ucapan terimakasih juga diberikan kepada seluruh civitas Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi FEM IPB.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2014

(14)
(15)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 5

Manfaat Penelitian 5

Ruang Lingkup Penelitian 5

2 TINJAUAN PUSTAKA 6

Penelitian Terdahulu 6

Kerangka Pemikiran 8

3 METODOLOGI 10

Jenis dan Sumber Data 10

Metode Analisis 11

Perumusan Model 17

Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel 18

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 19

Analisis Eksploratif Data 19

Data Generating Process 25

Hasil Perhitungan Jangka Pendek dan Jangka Panjang Exchange Rate Pass-Through pada Periode Sebelum dan Sesudah ITF 26

5 SIMPULAN DAN SARAN 33

Simpulan 33

Saran 34

DAFTAR PUSTAKA 35

LAMPIRAN 39

(16)

DAFTAR TABEL

1 Daftar Periode Estimasi Negara-negara Pengadopsi ITF 10

2 Variabel dan Sumber Data 11

3 Hasil Perhitungan Exchange Rate Pass-Through di Kelompok High Income Countries dan Middle Income Countries (Periode: 8 Tahun

Sebelum dan 8 Tahun Sesudah ITF) 27

4 Perbandingan Hasil Perhitungan Perubahan Koefisien ERPT di

Kelompok Middle Income Countries 32

DAFTAR GAMBAR

1 Perkembangan Rata-rata Tingkat Inflasi pada Negara Pengadopsi ITF 2 2 Perbandingan Koefisien ERPT di Negara Maju dan Negara

Berkembang 4

3 Kerangka Pemikiran Teoritis 8

4 Kerangka Pemikiran Operasional 9

5 Plot Pergerakan Rata-rataTingkat Inflasi Tahunan (%) pada Periode

Sebelum dan Sesudah ITF 19

6 Rata-rataTingkat Inflasi Tahunan (%) pada Kelompok High Income

Countries dan Middle Income Countries 20

7 Rata-rataTingkat Inflasi Tahunan (%) per Kawasan 20

8 Rata-rataTingkat Pertumbuhan Ekonomi (%) pada Kelompok High Income Countries dan Middle Income Countries 21

9 Rata-rataTingkat Pertumbuhan Ekonomi (%) per Kawasan 21

10 Plot Pergerakan Nilai Tukar (mata uang domestik/$) dan Tingkat Inflasi

di Kelompok High Income Countries 23

11 Plot Pergerakan Nilai Tukar (mata uang domestik/$) dan Tingkat Inflasi

di Kelompok Middle Income Countries 24

12 Rata-rata Pertumbuhan Value of Import (%) di Kelompok High Income Countries dan Middle Income Countries 25 13 Rata-rata Pertumbuhan Value of Import (%) per Kawasan 25 14 Hasil Perhitungan Rata-rata Perubahan Koefisien ERPT pada

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Uji Akar Unit (Periode: 8 tahun Sebelum ITF dan 8 tahun Setelah ITF) 40 2 Uji Akar Unit (Periode: 7 tahun Sebelum ITF dan 7 tahun Setelah ITF) 41 3 Uji Akar Unit (Periode: 6 tahun Sebelum ITF dan 6 tahun Setelah ITF) 41 4 Uji Akar Unit (Periode: 5 tahun Sebelum ITF dan 5 tahun Setelah ITF) 42 5 Ringkasan Hasil Uji Kointegrasi dan Penetapan Lag Optimum (Periode

Estimasi: 8 tahun Sebelum ITF dan 8 tahun Setelah ITF) 43 6 Ringkasan Hasil Uji Kointegrasi dan Penetapan Lag Optimum (Periode

Estimasi: 7 tahun Sebelum ITF dan 7 tahun Setelah ITF) 43 7 Ringkasan Hasil Uji Kointegrasi dan Penetapan Lag Optimum (Periode

Estimasi: 6 tahun Sebelum ITF dan 6 tahun Setelah ITF) 44 8 Ringkasan Hasil Uji Kointegrasi dan Penetapan Lag Optimum (Periode

Estimasi: 5 tahun Sebelum ITF dan 5 tahun Setelah ITF) 44 9 Hasil Perhitungan Exchange Rate Pass-Through di Kelompok Middle

Income Countries (Periode Estimasi: 7 tahun Sebelum dan 7 tahun

Sesudah ITF) 45

10 Hasil Perhitungan Exchange Rate Pass-Through di Kelompok Middle Income Countries (Periode Estimasi: 6 tahun Sebelum dan 6 tahun

Sesudah ITF) 45

11 Hasil Perhitungan Exchange Rate Pass-Through di Kelompok Middle Income Countries (Periode Estimasi: 5 tahun Sebelum dan 5 tahun

(18)

DAFTAR ISTILAH

No Istilah Keterangan

1. Inflation targeting framework Kerangka kebijakan moneter yang menitikberatkan pada indikator tingkat inflasi yang harus dicapai pada suatu periode tertentu,

2. Exchange rate pass-through Persentase perubahan harga (domestik, impor maupun ekspor) sebagai akibat dari perubahan satu persen dalam kurs

3. Loss of pass-through Kondisi dimana terjadi penurunan

koefisien ERPT setelah

mengimplementasikan ITF, 4. Floating exchange rate

regimes

Nilai tukar dibiarkan bergerak bebas sesuai dengan kekuatan permintaan dan penawaran yang terdapat di pasar,

5. Fixed exchange rate Nilai tukar dibatasi pada suatu tingkat tertentu,

(19)

1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sejak terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997/1998 banyak negara di dunia mengubah kebijakan moneternya baik dalam rezim nilai tukar maupun kerangka kebijakan moneter yang dianutnya. Perubahan rezim nilai tukar yang sebelumnya merupakan nilai tukar tetap (fixed exchange rate) berubah menjadi nilai tukar mengambang bebas (floating exchange rate). Sedangkan dalam konteks kerangka kebijakan moneter, terjadi pergeseran jangkar nominal yang digunakan yaitu dari yang sebelumnya mengadopsi pentargetan jumlah uang beredar (money targeting) atau pentargetan nilai tukar (exchange rate targeting) menjadi penargetan inflasi (inflation targeting) (Bank Indonesia, 2004).

Penerapam rezim nilai tukar mengambang bebas (floating exchange rate) menjadikan pergerakan nilai tukar tidak lagi dibatasi pada suatu tingkat tertentu tetapi dibiarkan bergerak bebas sesuai dengan kekuatan permintaan dan penawaran yang terjadi di pasar. Besarnya pengaruh pergerakan nilai tukar terhadap tingkat inflasi dalam suatu negara tergantung pada tingkat keterbukaan ekonomi pada negara tersebut. Keterbukaan ekonomi yang semakin luas menjadikan pergerakan nilai tukar memegang peran yang penting terhadap pembentukan variabel sasaran kebijakan moneter khususnya terhadap pembentukkan inflasi. Oleh karena itu, prasyarat terjadinya nilai tukar yang stabil akan membantu bank sentral untuk dapat lebih memfokuskan kebijakannya dalam pencapaian sasaran inflasi yang ditetapkan.

Pendekatan mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui saluran nilai tukar terletak pada pengaruh aset finansial dalam valuta asing yang berasal dari hubungan kegiatan ekonomi suatu negara dengan negara lain (Pohan, 2008). Besarnya dampak pengaruh pergerakan nilai tukar terhadap pembentukan harga pada suatu negara dilihat dengan konsep exchange rate pass-through (ERPT) yang sedang menjadi salah satu isu sentral dalam ekonomi internasional dewasa ini. ERPT didefinisikan sebagai persentase perubahan harga (domestik, impor maupun ekspor) sebagai akibat dari perubahan satu persen dalam kurs. Perubahan nilai tukar dapat berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap perkembangan harga-harga barang dan jasa di dalam negeri. Pengaruh langsung (direct exchange rate pass-through) terjadi karena perubahan nilai tukar mempengaruhi pola pembentukan harga oleh perusahaan dan ekspektasi inflasi oleh masyarakat, khususnya terhadap barang impor. Sementara itu, pengaruh tidak langsung (indirect exchange rate pass-through) terjadi karena perubahan nilai tukar memengaruhi kegiatan ekspor dan impor, yang pada gilirannya berdampak pada output dan perkembangan harga-harga barang dan jasa.

(20)

2

Menurut Creel dan Hubert (2008), perkembangannya penerapan ITF di negara maju membawa dampak yang positif terhadap laju inflasi dan kestabilan kondisi perekonomiannya dimana tingkat inflasi cenderung rendah dan terkendali sehingga dapat meningkatkan kinerja perekonomian di negara tersebut.

Kesuksesan implementasi ITF di negara maju membawa negara berkembang, yang pada saat itu sedang terkena krisis nilai tukar 1997/1998, untuk ikut mengadopsi ITF sebagai kerangka kebijakan moneter yang baru. Berdasarkan Roger (2009) implementasi ITF di negara berkembang ternyata tidak sebaik di negara maju. Hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa frekuensi penyimpangan inflasi aktual terhadap target inflasi di negara berpendapatan rendah (low income group) relatif lebih tinggi dibandingkan dengan negara berpendapatan tinggi (high income group). Dimana pada saat terjadi ketidakstabilan harga barang pada tahun 2007, kinerja negara high income group yang mengimplementasikan ITF relatif lebih baik dibandingkan dengan yang tidak mengimplementasikan ITF. Sedangkan kinerja negara low income group yang tidak mengimplementasikan ITF jutru relatif lebih baik dibandingkan dengan yang mengimplementasikan ITF. Hal ini menunjukan bahwa ITF lebih cocok diterapkan di negara maju dibandingkan negara berkembang termasuk di Indonesia.

Perkembangan perbandingan implementasi ITF di berbagai negara di dunia dapat dievaluasi dengan melihat pada tingkat inflasi aktual yang berhasil dicapai pada negara tersebut. Gambar 1 merupakan perkembangan rata-rata tingkat inflasi yang dicapai oleh negara-negara yang mengadopsi ITF di dunia.

Sumber: World Bank (2012), data diolah oleh penulis

Gambar 1. Perkembangan Rata-rata Tingkat Inflasi pada Negara Pengadopsi ITF Gambar 1 menunjukkan bahwa selama sepuluh tahun mengadopsi ITF perkembangan rata-rata tingkat inflasi di kelompok high income countries1relatif lebih rendah dan stabil dibandingkan dengan kelompok middle income countries2. Dimana rata-rata tingkat inflasi pada kelompok high income countries berada pada kisaran 5.49-1.46%, sedangkan pada kelompok middle income countries rata-rata tingkat inflasi yang dicapai berada pada kisaran 7.85-4.56%. Hal ini menunjukkan bahwa implementasi ITF lebih berhasil menciptakan inflasi yang rendah dan stabil pada kelompok high income countries dibandingkan dengan

1

Peneliti mengelompokkan negara yang mengimplementasikan ITF menjadi kelompok

high income countries yang terdiri dari Selandia Baru, Kanada, Inggris, Swedia, Australia, Israel, Czech Republic, Polandia, Switzerland, Korea Selatan dan Norwegia

2

Sedangkan untuk kelompok middle income countries terdiri dari India, Brazil, Afrika Selatan, Thailand, Meksiko, Hungaria, Peru, Filipina, Indonesia, Romania dan Turki

(21)

3

kelompok middle income countries. Fakta ini semakin memperkuat argumen yang menyatakan bahwa ITF lebih cocok diimplementasikan di negara maju dibandingkan di negara berkembang.

Berdasarkan penelitian terdahulu, pada hakikatnya permasalahan yang timbul di negara berkembang yang mengimplementasikan ITF relatif sama. Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Mishra (2010), Francia dan Garcia (2005), Torres dan Saridakis (2007) serta Yogi (2008) ditemukan bahwa implementasi ITF di beberapa emerging countries seperti India, Meksiko dan Indonesia memiliki pola fenomena moneter yang identik dimana peran nilai tukar masih cukup besar dalam mempengaruhi tingkat inflasi akibatnya bank sentral masih terjebak pada pengendalian nilai tukar (exchange rate targeting) dibandingkan dengan pengendalian tingkat inflasi (inflation targeting) atau sering disebut dengan istilah fear of floating.

Keterkaitan antara pengaruh pergerakan nilai tukar terhadap pembentukan harga (ERPT) pada suatu perekonomian terbuka, membuat otoritas moneter pada negara yang mengimplementasikan ITF pada khususnya, akan mengalami kesulitan dalam menentukan fokus kebijakan moneternya. Di satu sisi implementasi ITF mengharuskan bank sentral komitmen terhadap pencapaian target inflasi yang sudah ditetapkan. Tetapi disisi lain semakin meluasnya keterbukaan ekonomi antar negara di dunia menjadikan pergerakan inflasi tidak dapat terlepas dari pergerakan nilai tukar itu sendiri.

Bagi negara berkembang yang kondisi perekonomiannya belum sebaik negara maju, evaluasi implementasi ITF masih menjadi suatu hal yang diperdebatkan oleh banyak pihak. Oleh karena itu penelitian mengenai evaluasi implementasi ITF khususnya di negara berkembang sangat menarik untuk dikaji secara empiris. Selain itu penelitian mengenai analisis ERPT dalam konteks ITF baik di developed countries maupun di emerging countries masih sedikit dilakukan. Hal inilah yang menjadi latar belakang penulis untuk melakukan studi komparatif mengenai evaluasi implementasi ITF dalam perspektif ERPT baik di developed countries maupun di emerging countries.

Perumusan Masalah

Inflation Targeting Framework (ITF) merupakan suatu kerangka kebijakan moneter dimana kebijakan ini dapat diterapkan dengan syarat bahwa rezim nilai tukar negara tersebut adalah mengambang bebas (floating exchange rate) dan memiliki kebijakan keterbukaan ekonomi atau pada suatu negara dengan rezim nilai tukar tetap (fixed exchange rate) dan keterbukaan ekonomi terbatas (Riyadi, 2012). Pada umumnya negara yang mengadopsi ITF menerapkan rezim nilai tukar mengambang bebas. Dengan demikian pengaruh pergerakan nilai tukar tidak dapat terlepas dari pertimbangan bank sentral dalam mencapai kebijakan stabilisasi harga. Menurut Pohan (2008) kebijakan nilai tukar seharusnya bertujuan untuk smoothing dampak dari temporary shock dan membantu pencapaian target inflasi. Dengan demikian implementasi ITF seharusnya menjadikan pergerakan nilai tukar bukan lagi menjadi isu utama dalam mencapai stabilitas moneter, tetapi diletakkan sebagai subordinasi target inflasi.

(22)

pass-4

through (ERPT). Menurut Bailliu (2004) penurunan ERPT akan terjadi pada negara yang memiliki tingkat inflasi yang rendah dan stabil. Choudhri dan Hakura (2001) menyatakan bahwa besarnya koefisien pass-through tergantung dari kebijakan yang diadopsi dalam suatu negara, dimana jika bank sentral pada negara tersebut kredibel dalam menciptakan tingkat inflasi yang rendah maka secara otomatis akan terbentuk koefisien pass-through yang rendah. Artinya implementasi ITF seharusnya dapat mengakibatkan pengaruh perubahan harga akibat guncangan nilai tukar menjadi cenderung menurun. Hal ini disebabkan adanya kewajiban komitmen yang kuat dari Bank Sentral untuk fokus terhadap sasaran tunggal yaitu tercapainya stabilitas harga yang diproksikan dengan pencapaian target inflasi.

Beberapa penelitian terdahulu mengenai perubahan ERPT dalam konteks ITF telah dilakukan baik di negara maju maupun di negara berkembang. Nogueira (2007) telah menganalisis perbedaan koefisien ERPT pada periode sebelum dan sesudah diimplementasikannya ITF di negara maju yang mengadopsi ITF (Kanada, Swedia dan Inggris) dan di negara berkembang yang mengadopsi ITF (Brazil, Czech Republic, Meksiko, Korea Selatan dan Afrika Selatan). Dari hasil penelitian ditemukan bahwa fenomena loss of pass-through terjadi baik di negara maju maupun di negara berkembang setelah mengimplementasikan ITF. Jika dilihat dari besaran koefisien ERPT pada jangka panjang, koefisien ERPT di negara berkembang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan di negara maju baik pada periode sebelum ITF maupun setelah ITF. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh nilai tukar masih cukup besar dalam mempengaruhi pembentukan harga di negara berkembang dibandingkan dengan di negara maju. Secara grafis gambaran mengenai dampak implementasi ITF terhadap perubahan koefisien EPRT dapat dilihat pada Gambar 2.

Sumber: Nogueira (2007), data diolah oleh penulis

Gambar 2. Perbandingan Koefisien ERPT di Negara Maju dan Negara Berkembang

Penelitian lain mengenai analisis ERPT dalam konteks ITF yang dilakukan oleh Taguchi dan Sohn (2010) dimana ditemukan bahwa di negara Asia Timur, hanya Korea yang mengalami penurunan ERPT atau disebut juga dengan fenomena loss of pass-through setelah mengimplementasikan ITF. Sedangkan di Indonesia, Thailand dan Filipina tidak ditemukan adanya loss of pass-through. Hal ini memperkuat fakta bahwa masih besarnya peran nilai tukar dalam mempengaruhi inflasi domestik di beberapa emerging countries yang mengimplementasikan ITF. Dengan demikian permasalahan yang muncul akibat relatif masih tingginya ERPT di negara yang mengimplementasikan ITF adalah kesulitan bank sentral pada negara tersebut dalam pencapaian target inflasi.

Sebagian besar penelitian mengenai dampak implementasi ITF dalam perspektif ERPT telah banyak dilakukan di negara maju tetapi belum banyak

Sebelum ITF Setelah ITF Sebelum ITF Setelah ITF

(23)

5

dilakukan di negara berkembang. Padahal beberapa penelitian menunjukkan hasil yang berbeda pada fenomena loss of pass-through di negara maju dan di negara berkembang yang mengimplementasikan ITF. Belum adanya penelitian yang mencakup seluruh negara yang mengadopsi ITF di dunia, baik di negara maju maupun di negara berkembang, menjadi alasan utama penulis untuk ingin menganalisis perubahan ERPT dalam konteks ITF secara lebih mendalam. Selain itu dengan menggunakan jangka waktu penelitian yang lebih panjang penelitian ini diharapkan dapat memperbaharui penelitian-penelitian sebelumnya.

Berdasarkan deskripsi di atas, maka inti permasalahan yang dapat diangkat dalam penelitian ini secara garis besar diantaranya adalah:

1. Bagaimana analisis exchange rate pass through pada jangka pendek dan jangka panjang di negara-negara yang mengimplementasikan ITF?

2. Apakah terjadi loss of pass-through setelah mengimplementasikan ITF? 3. Berapa lama periode waktu yang dibutuhkan oleh setiap negara agar dapat

mengalami penurunan koefisien exchange rate pass-through setelah mengimplementasikan ITF?

Tujuan

Untuk menjawab permasalahan di atas, maka yang menjadi tujuan dari penelitian adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis koefisien exchange rate pass-through pada jangka pendek dan jangka panjang di negara-negara yang mengimplementasikan ITF. 2. Mengevaluasi perbandingan koefisien exchange rate pass-through pada

periode sebelum dan sesudah mengadopsi ITF.

3. Mengidentifikasi periode waktu yang dibutuhkan oleh setiap negara agar dapat mengalami penurunan koefisien exchange rate pass-through setelah mengimplementasikan ITF.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada otoritas moneter khususnya bagi negara yang mengimplementasikan ITF dalam upaya menurunkan ERPT sehingga dapat lebih fokus terhadap stabilitas inflasi. Selain itu dengan melakukan studi komparatif perbandingan analisis ERPT di sembilan belas negara yang mengimplementasikan ITF diharapkan dapat menjadi referensi bagi pengambil kebijakan pada khususnya dalam merumuskan kebijakan stabilisasi moneter. Penulis juga mengharapkan semoga hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan hasil dari penelitian ini juga diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai referensi untuk penelitian lebih lanjut.

Ruang Lingkup Penelitian

(24)

6

setelah mengadopsi ITF. Penelitian ini mencakup sembilan belas negara yang mengimplemetasikan ITF yang dikategorikan sebagai high income countries yaitu Selandia Baru, Kanada, Swedia, Australia, Polandia, Switzerland, Korea Selatan dan Norwegia serta middle income countries yaitu India, Brazil, Afrika Selatan, Thailand, Meksiko, Hungaria, Peru, Filipina, Indonesia, Romania dan Turki.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai evaluasi pengaruh penerapan kebijakan inflation targeting framework (ITF) dalam perspektif exchange rate pass-through (ERPT) telah dilakukan di berbagai negara. Syafri (2013) menganalisis pengaruh ERPT terhadap harga domestik di Indonesia pada periode sebelum dan sesudah mengadopsi ITF. Winkelried (2011) mengevaluasi perubahan ERPT setelah mengimplementasikan ITF di Peru. Penelitian mengenai ERPT di negara maju telah dilakukan olehBailliu (2004) dengan menganalisis perubahan ERPT setelah mengadopsi kebijakan ITF di sebelas industrialized countries yaitu Austalia, Amerika Serikat, Belanda, Belgia, Kanada, Denmark, Spanyol, Finlandia, Perancis, Inggris dan Italia. Sedangkan penelitian mengenai perbandingan ERPT di negara berkembang telah dilakukan oleh Taguchi dan Sohn (2010) dengan menganalisis ERPT di Indonesia, Korea Selatan, Thailand dan Filipina pada periode sebelum dan sesudah mengadopsi ITF.

Penelitian mengenai perbandingan ERPT di negara maju dan negara berkembang yang mengimplementasikan ITF telah dilakukan oleh Nogueira Jr. (2007) dimana dilakukan perbandingan analisis ERPT di Inggris, Kanada dan Swedia sebagai developed countries serta Afrika Selatan, Brazil, Czech Republic dan Korea Selatan sebagai emerging countries. Coulibaly dan Kempf (2010) melakukan perbandingan ERPT di limabelas negara yang mengadopsi ITF yaitu Afrika Selatan, Brazil, Chili, Colombia, Czech Republic, Filipina, Hungaria, Indonesia, Israel, Korea Selatan, Meksiko, Peru, Polandia, Thailand dan Turki serta duabelas negara yang tidak mengadopsi ITF yaitu Argentina, Bulgaria, Cina, Estonia, India, Lativa, Lithuania, Malaysia, Singapura, Taiwan, Uruguay dan Venezuela. Kemudian Campa dan Goldberg (2004) telah mengestimasi ERPT di dua puluh tiga negara OECD dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi besaran ERPT di kelompok negara tersebut.

Untuk menganalisis permasalahan yang ada Syafri (2013) dan Nogueira Jr. (2007) menggunakan metode ARDL (Autoregressive Distributed Lag). Jeannine Bailliu (2004) serta Taguchi dan Sohn (2010) menggunakan metode GMM (Generalized Method of Moments). Metode SVAR (Structural Vector Autoregression) digunakan oleh Winkelried (2011) sedangkan Coulibaly dan Kempf (2010) menggunakan metode Panel VAR. Pada penelitian sebelumnya seluruhnya menggunakan data sekunder. Sebagian besar data yang digunakan berupa data time series. Data diperoleh dari berbagai macam sumber publikasi seperti Bank Sentral pada masing-masing negara, International Financial Statistic-IMF dan OECD (Organization of Economic Co-operation and Development).

(25)

7

yang tidak mengadopsi ITF. Pada negara yang mengadopsi ITF terjadi penurunan pengaruh ERPT terhadap harga domestik. Sedangkan pada negara yang tidak mengadopsi ITF tidak terdapat perubahan yang signifikan pada perubahan pengaruh ERPT terhadap harga domestik. Selain itu kontribusi guncangan nilai tukar terhadap fluktuasi harga di negara yang mengadopsi ITF relatif lebih rendah dibandingkan dengan di negara yang tidak mengadopsi ITF. Berdasarkan penelitian terdahulu terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi besarnya koefisien ERPT di suatu negara yaitu diantaranya tingkat inflasi, volatilitas nilai tukar dan money growth. Penelitian terdahulu juga menunjukkan bahwa penurunan ERPT setelah mengadopsi ITF sebagian besar terjadi di developed countries seperti Austalia, Amerika Serikat, Belanda, Belgia, Kanada, Denmark, Spanyol, Swedia, Finlandia, Perancis, Inggris dan Italia serta di beberapa emerging countries seperti Afrika Selatan, Brazil, Czech Republic dan Korea Selatan. Sedangkan di sebagian lain emerging countries yang mengadopsi ITF seperti di Indonesia, Thailand dan Filipina tidak ditemukan adanya fenomena loss of pass-through setelah diadopsinya kebijakan ITF. Dimana untuk kasus di Indonesia sendiri ditemukan fenomena incomplete pass-through pada nilai tukar yaitu guncangan pada nilai tukar tidak direspon penuh oleh harga domestik. Selain itu tidak ditemukan adanya penurunan ERPT setelah mengadopsi ITF di Indonesia.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah penelitian ini menganalisis ERPT pada jangka pendek dan jangka panjang dengan memperluas ruang lingkup penelitian yang telah dilakukan oleh Nogueira Jr. (2007). Pada penelitian ini akan dianalisis ERPT di sembilan belas negara yang mengimplementasikan ITF yaitu Selandia Baru, Kanada, Swedia, Australia, Polandia, Switzerland, Korea Selatan dan Norwegia untuk kelompok high income countries serta India, Brazil, Afrika Selatan, Thailand, Meksiko, Hungaria, Peru, Filipina, Indonesia, Romania dan Turki untuk kelompok middle income countries dengan menggunakan metode Autoregressive Distributed Lag (ARDL). Semakin luasnya cakupan negara yang akan dianalisis dapat menyempurnakan studi komparatif mengenai pengaruh implementasi ITF terhadap ERPT dari penelitian sebelumnya. Penelitian ini memasukkan negara Indonesia, Thailand dan Filipina yang mana berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Taguchi dan Sohn (2010) ketiga negara ini tidak mengalami loss of pass-through setelah mengimplementasikan ITF. Selain itu penelitian ini akan mengidentifikasi periode waktu yang dibutuhkan oleh setiap negara agar dapat mengalami penurunan koefisien exchange rate pass-through setelah mengimplementasikan ITF.

Kerangka Pemikiran

(26)

8

Keterbukaan ekonomi suatu negara akan membawa konsekuensi pada perencanaan dan pelaksanaan kebijakan ekonomi makro, termasuk kebijakan moneternya. Hal ini mengingat semakin besar transaksi perdagangan dan keuangan internasional yang dilakukan oleh suatu negara, maka semakin besar pula aliran dana luar negeri yang masuk dan keluar dari negara yang bersangkutan. Aliran dana luar negeri tersebut selanjutnya akan mempengaruhi jumlah uang yang beredar, suku bunga dan nilai tukar dalam perekonomian yang pada akhirnya akan berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Mekanisme dan besarnya pengaruh aliran dana luar negeri tersebut akan dipengaruhi oleh sistem nilai tukar yang dianut oleh negara yang bersangkutan.

Pasca krisis nilai tukar 1997/1998 yang terjadi di kawasan Asia membawa perubahan pada rezim nilai tukarnya menjadi sistem nilai tukar mengambang bebas (floating exchange rate regimes). Pada sistem nilai tukar mengambang bebas pergerakan nilai tukar diserahkan sepenuhnya kepada pasar. Pengaruh pergerakan nilai tukar terhadap inflasi domestik pada suatu negara direpresentasikan dengan istilah exchange rate pass-through (ERPT). Bagi negara yang mengadopsi ITF, pengaruh nilai tukar seharusnya tidak lagi menjadi isu sentral tetapi hanya menjadi subordinat dari pencapaian stabilitas harga. Oleh karena itu negara yang mengimplementasikan ITF seharusnya akan mengalami penurunan exchange rate pass-through (ERPT).

Berdasarkan beberapa penelitian terdahulu ditemukan bahwa implementasi ITF di beberapa emerging countries peran nilai tukar masih cukup besar dalam mempengaruhi tingkat inflasi akibatnya bank sentral masih terjebak pada pengendalian nilai tukar (exchange rate targeting) dibandingkan dengan pengendalian tingkat inflasi (inflation targeting). Berdasarkan argumen ini akan dilakukan penelitian mengenai analisis ERPT terhadap inflasi domestik pada jangka pendek dan jangka panjang di sembilan belas negara yang mengimplementasikan ITF baik di negara maju maupun di negara berkembang, dengan membedakan periode observasi menjadi periode sebelum ITF dan sesudah ITF.

Untuk lebih jelas kerangka pemikiran teoritis dijelaskan pada Gambar 3 dan kerangka pemikiran operasional dijelaskan pada Gambar 4.

Fokus Penelitian

Sumber: Warjiyo (2003)

Gambar 3. Kerangka Pemikiran Teoritis Kebijakan Moneter Nilai Tukar Harga Relatif

Impor Harga

Permintaan Agregat

(27)

9

Gambar 4. Kerangka Pemikiran Operasional

Hipotesis Penelitian

Berdasarkan latar belakang, permasalahan dan tinjauan pustaka tersebut diatas, maka hipotesis yang diajukan adalah:

1. Terjadi penurunan koefisien exchange rate pass-through baik jangka pendek maupun jangka panjang atau mengalami loss of pass-through pada negara yang mengimplementasikan ITF.

2. Koefisien exchange rate pass-through di middle income countries relatif lebih tinggi dibandingkan di high income countries.

3. Dibutuhkan periode waktu yang lebih panjang pada kelompok middle income countries untuk dapat mengalami loss of pass-through dibandingkan dengan kelompok high income countries.

Pengaruh implementasi ITF terhadap perubahan exchange rate pass through

Permasalahan:

1. Bagaimana analisis exchange rate pass through pada jangka pendek dan jangka panjang di negara-negara yang

mengimplementasikan ITF?

2. Apakah terjadi loss of pass-through setelah mengimplementasikan ITF?

3. Berapa lama periode waktu yang dibutuhkan oleh setiap negara agar dapat mengalami penurunan koefisien exchange rate pass-through setelah mengimplementasikan ITF? 4.

Metode analisis Autoregressive Distributed Lag (ARDL)

Analisis dampak implementasi ITF terhadap perubahan exchange rate pass through pada

jangka pendek dan jangka panjang

Terjadi loss of pass-through

Tidak terjadi loss of pass-through

(28)

10

3 METODOLOGI

Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berupa deret waktu (times series) bulanan di sembilan belas negara yang mengimplementasikan ITF. Negara-negara tersebut dikelompokkan menjadi kelompok high income countries yaitu Selandia Baru, Kanada, Swedia, Australia, Polandia, Switzerland, Korea Selatan dan Norwegia serta kelompok middle income countries yaitu India, Brazil, Afrika Selatan, Thailand, Meksiko, Hungaria, Peru, Filipina, Indonesia, Romania dan Turki. Pemilihan jumlah negara yang digunakan dalam penelitian ini didasarkan pada ketersediaan data. Untuk dapat membandingkan pengaruh ERPT terhadap inflasi domestik pada periode sebelum dan sesudah diimplementasikannya ITF, periode data yang digunakan dibagi menjadi delapan taun sebelum dan delapan tahun sesudah diadopsinya ITF. Sehingga periode data yang digunakan akan berbeda pada masing-masing negara. Daftar negara dan periode data yang digunakan oleh masing-masing negara secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Daftar Periode Estimasi Negara-negara Pengadopsi ITF

No Negara Tahun Mulai Periode Pre-ITF Periode Post ITF

Kelompok High Income Countries:

1. Selandia Baru 1990:M1 1982:M1-1989:M12 1990:M1-1997:M12

2. Kanada 1991:M2 1983:M2-1991:M1 1991:M2-1999:M1

3. Swedia 1993:M1 1985:M1-1992:M12 1993:M1-2000:M12

4. Australia 1993:M4 1985:M4-1993:M3 1993:M4-2001:M3

5. Polandia 1998:M10 1990:M10-1998:M9 1998:M10-2006:M9

6. Switzerland 2000:M1 1992:M1-1999:M12 2000:M1:2007:M12

7. Korea Selatan 2001:M1 1993:M1-2000:M12 2001:M1-2008:M12

8. Norwegia 2001:M3 1993:M3-2001:M2 2001:M3-2009:M2

Kelompok Middle Income Countries:

9. India 1990:M12 1982:M12-1990:M11 1990:M12-1998:M11

10. Brazil 1999:M6 1991:M6-1999:M5 1999:M6-2007:M5

11. Afrika Selatan 2000:M2 1992:M2-2000:M1 2000:M2-2008:M1

12. Thailand 2000:M5 1992:M5-2000:M4 2000:M5-2008:M4

13. Meksiko 2001:M1 1993:M1-2000:M12 2001:M1-2008:M12

14. Hungaria 2001:M6 1993:M6:2001:M5 2001:M6-2009:M5

15. Peru 2002:M1 1994:M1-2001:M12 2002:M1-2009:M12

16. Filipina 2002:M1 1994:M1-2001:M12 2002:M1-2009:M12

17. Indonesia 2005:M7 1997:M7-2005:M6 2005:M7-2013:M6

18. Romania 2005:M8 1997:M8-2005:M7 2005:M8-2013:M7

19. Turki 2006:M1 1998:M1-2005:M12 2006:M1-2013:M12

Sumber: Riyadi (2012) dan World Bank (2012), data diolah oleh penulis

(29)

11

variabel dan data yang digunakan pada masing-masing negara disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Variabel dan Sumber Data

No. Variabel Proksi Negara Sumber

Selandia Baru, Swedia, Thailand, Peru dan Switzerland

Semua negara yang diestimasi IFS

4. Harga Impor VOI Bulanan:

Semua negara yang diestimasi IFS Data diperoleh dari berbagai sumber antara lain International Financial Statistic (IFS) versi online, CEIC database, Bank Sentral Australia dan Bank Sentral Selandia Baru. Selain itu data juga diperoleh berdasarkan studi pustaka dari berbagai literatur seperti jurnal dan artikel yang berkaitan dengan penelitian baik dari media cetak maupun internet. Dalam menganalisis data, peneliti menggunakan bantuan software atau perangkat lunak Microsoft Excel 2007, Microfit 4.1, dan Eviews 6.

Metode Analisis Analisis Deskriptif

(30)

12

Disagregasi Data

Disagregasi data dilakukan dengan menggunakan metode Qubic Match Last. Hal ini dilakukan apabila data yang tersedia memiliki frekuensi observasi tahunan atau kuartalan untuk disesuaikan menjadi data bulanan.

Metode Hodrick-Presscott Filter

Metode Hodrick-Presscott (HP) Filter digunakan untuk melihat kecenderungan (tren) dari output dalam jangka panjang. Metode HP Filter berusaha untuk mendekomposisikan series data menjadi tren (μt) dan komponen

stasioner yt–μt. Jika didefinisikan dengan jumlah kuadrat adalah sebagai berikut:

∑ ∑ (3.1) dengan adalah sebuah konstanta, adalah rata-rata, dan adalah jumlah observasi yang digunakan.

Permasalahan dalam penggunaan metode HP Filter adalah bagaimana menentukan suatu deret dari sehingga meminimumkan jumlah kuadrat (SS). Terkait dengan permasalahan minimisasi, adalah suatu sembarang konstanta yang mencerminkan biaya terkait dengan bagaimana menurunkan fluktuasi menjadi tren. Tarik ulur dalam menentukan besar akan berimplikasi pada hasil dekomposisi, akan menjadi tren yang halus atau bahkan akan menjadi konstanta (Enders, 2004).

Merujuk pada Hodrick-Presscott (1997), nilai dibedakan menurut periode data, yaitu untuk data tahunan menggunakan , sedangkan pada data triwulanan ditetapkan sebesar 1.600, sementara untuk data bulanan besarnya adalah 144.000.

Autoregressive Distributed Lag (ARDL)

Metode ARDL yang diperkenalkan oleh Pesaran dan Shin (1997) merupakan metode yang digunakan untuk menganalisis hubungan jangka panjang dengan melibatkan adanya konsep kointegrasi diantara variabel time series. Prosedur dalam ARDL diyakini dapat mengestimasi parameter dalam jangka panjang dengan tepat serta dapat mengestimasi t-statistik dengan valid.

Berikut adalah model augmented autoregressive distributed lag ARDL(p,q) menurut Pesaran dan Shin (1997):

∑ (3.2)

(3.3) dimana xt merupakan variabel berdimensi k pada integrasi satu I(1) yang tidak

terkointegrasi diantara mereka, ut dan t merupakan gangguan/error dengan

rataan nol, varian dan kovarian konstan serta tidak berkorelasi serial. Pi

merupakan matriks koefisien k x k proses vektor autoregressive pada ∆xt stabil

dengan asumsi roots dari ∑ diturunkan diluar dari unit circle nya dan berlaku hubungan jangka panjang yang stabil diantara yt dan xt.

(31)

13

Dimana:

(3.5)

(3.6) L adalah lag operator sehingga Lyt = yt-1 dan wt adalah vektor s x 1 dari variabel

deterministik seperti intersep, dummy musiman, trend atau variabel eksogenous dengan lag tetap. Pertama, persamaan (3.2) diestimasi dengan metode OLS untuk semua kemungkinan nilai dari , , ; yaitu model ARDL yang berbeda dengan total . Jumlah lag maksimum, m, dipilih oleh peneliti, dan semua model diestimasi untuk periode sample yang sama yaitu .

Tahap kedua, untuk menentukan satu model terbaik dari jumlah total model

digunakan empat model selection criteria: criterion, Akaike information criterion (AIC), Schwarz Bayesian criterion (SBC), atau Hannan-Quinn criterion (HQC). Koefisien jangka panjang untuk respon terhadap perubahan satu unit diestimasi dengan:

̂ ̂ ̂ ̂ ̂ ̂ ̂ ̂ ̂ ̂ ̂ ̂

̂, (3.7) dimana ̂ dan ̂, adalah nilai estimasi dan , . Dengan cara yang sama, koefisien jangka panjang yang terkait dengan variabel deterministic atau eksogenous dengan lag tetap diestimasi dengan formula:

̂ ̂ ̂ ̂ ̂ ̂ ̂ ̂ ̂

̂ (3.8)

dimana ̂ ̂ ̂ ̂ ̂ merupakan estimasi OLS dari untuk model ARDL terpilih.

Beberapa literatur mengenai uji kointegrasi yang dapat digunakan seperti Engel-Granger, Johansen, Phillips dan Hansen, Phillips dan Loretan mensyaratkan perlunya variabel-variabel yang diestimasi terintegrasi dalam level yang sama pada ordo I(1) atau first difference. Untuk mengatasi hal tersebut Pesaran dan Shin (1997) mengembangkan metode ARDL dengan menggunakan Bound Testing Cointegration. Menurut Fosu dan Magnus (2006) dalam Hasanah (2010) metode ARDL memiliki berbagai kelebihan, yaitu pertama proses pengujiannya sederhana jika dibandingkan dengan pengujian kointegrasi Johansen-Jeselius. Hal ini karena pengunaan bound testing cointegration cukup dengan menguji kointegrasi yang diestimasi menggunakan OLS ketika lag dari model telah diidentifikasi. Kedua, ARDL tidak memerlukan pengujian akar unit untuk variabel yang digunakan dalam penelitian. Pengujian ini dapat dipergunakan tanpa tergantung pada orde integrasi regresor pada I(0), I(1) ataupun satu sama lain saling terkointegrasi. Ketiga, pengujian dengan ARDL relatif lebih efisien untuk sampel data yang kecil dan terbatas.

Langkah-langkah dalam pengujian ARDL pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Uji Non-Stasioneritas dilakukan dengan Phillip Perron (PP) Test. Hipotesis uji dari PP Test adalah sebagai berikut:

; ada unit root/tidak stasioner

(32)

14

Kriteria hasil uji adalah dengan membandingkan nilai Z statistik dengan nilai kritis statistik Dickey-Fuller. Jika nilai Z statistik lebih kecil dari nilai kritis statistik Dickey-Fuller maka dapat disimpulkan bahwa data tersebut stasioner. Apabila hasil uji menunjukkan bahwa data yang digunakan tidak stasioner pada derajat I(0) atau level maka terdapat dua kemungkinan model ARDL yang akan digunakan. Apabila data tersebut terkointegrasi maka model ARDL yang digunakan adalah ARDL for Cointegration. Namun jika data yang digunakan tidak terkointegrasi maka model ARDL yang digunakan adalah ARDL first difference.

2. Untuk melihat adanya hubungan kointegrasi antara variabel yang tidak stasioner dilakukan Bound Testing Cointegration. Estimasi persamaan dilakukan dengan menggunakan OLS dengan mengaplikasikan uji F yang ditujukan untuk mengetahui adanya hubungan jangka panjang (kointegrasi) di antara variabel. Uji F ini digunakan untuk melihat joint test bagi koefisien-koefisien jangka panjang. Hipotesis yang diuji adalah:

H0 : 1 = 2 = 0

H1 : 1≠ 2 ≠ 0

penentuan ada tidaknya hubungan jangka panjang (kointegrasi) dilakukan dengan cara membandingkan nilai F-Statistik dengan nilai kritis yang telah disusun pada tabel oleh Pesaran dan Shin (1997). Terdapat dua nilai batas kritis asimtotik untuk menguji kointegrasi. Nilai terendah (lower) mengasumsikan regressor terintegrasi pada I(0) sedangkan nilai tertinggi (upper) mengasumsikan regressor terintegrasi pada I(1). Jika F-statistik bernilai di atas nilai kritis tertinggi, maka hipotesis nol tentang tidak adanya hubungan jangka panjang ditolak. Sebaliknya jika F-statistik bernilai di bawah nilai kritis terendah maka hipotesis nol tidak dapat ditolak. Jika F-statistik berada di antara nilai kritis terendah dan tertinggi, maka tidak ada kesimpulan. Nilai kritis yang dimaksud merupakan nilai kritis yang dihitung oleh Pesaran dan Shin (1997).

3. Apabila pada tahap kedua telah ditemukan adanya hubungan jangka panjang (kointegrasi) maka tahap berikutnya adalah melakukan estimasi model ARDL, yang kemudian akan dilanjutkan dengan estimasi Error Correction Model (ECM). Model estimasi ARDL adalah sebagai berikut:

∑ ∑ (3.9) dimana ∑ merupakan variabel dependen dengan lag operator dan ∑ merupakan variabel independen dengan lag operator. Sedangkan model estimasi ECM adalah sebagai berikut:

∑ ∑ (3.10) dimana dan adalah koefisien jangka pendek dan adalah speed of adjustment.

4. Dan apabila pada tahap kedua tidak ditemukan adanya hubungan jangka panjang (kointegrasi) maka tahap berikutnya adalah melakukan estimasi model ARDL first difference dengan model estimasi sebagai berikut:

(33)

15

dimana ∑ merupakan variabel dependen yang stasioner pada derajat I(1) dengan lag operator dan ∑ merupakan variabel independen yang stasioner pada derajat I(1) dengan lag operator.

Data Generating Process

Pengujian Non Stasioneritas

Hal penting yang berkaitan dengan penelitian yang menggunakan data time series adalah stasioneritas. Menurut Gujarati (2007), data yang stasioner yaitu jika data tersebut memiliki mean dan varians yang bernilai konstan dari waktu ke waktu. Pengujian ini sangat penting karena data time series pada umumnya mengandung akar unit (unit root) dan nilai rata-rata serta variansnya berubah sepanjang waktu. Selain itu jika kita meregresikan satu deret berkala nonstasioner terhadap deret berkala nonstasioner lainnya maka akan menyebabkan fenomena regresi palsu (spurious regression).

Phillips-Perron (PP) Test

Salah satu cara untuk mengukur keberadaan stasioneritas adalah dengan Phillips – Perron (PP) Test. Menurut Gujarati (2004) untuk awal proses unit root test dimulai dari persamaan berikut:

(3.12) dengan adalah white noise error term

Jika nilai ρ=1 maka persamaan diatas, yang merupakan persamaan random walk without drift, mengandung akar unit root atau tidak stasioner. Untuk mengatasi hal tersebut dapat dilakukan modifikasi pesamaan diatas dengan mengurangi pada kedua sisi persamaan sehingga menjadi:

(3.13)

yang mana dapat ditulis menjadi:

(3.14)

dimana dan ∆ menunjukkan first difference

PP Test menggunakan metode statistika non parametrik untuk menjaga kemungkinan terjadinya serial correlation dalam error terms tanpa menambahkan lagged difference terms pada regresi. PP Test melakukan uji non stasioneritas/akar unit menggunakan OLS untuk mengestimasi persamaan regresi menggunakan DF Test:

(3.15) Hipotesis uji dari persamaan diatas adalah sebagai berikut:

; ada unit root/tidak stasioner

; tidak ada unit root/stasioner

Kriteria hasil uji adalah dengan membandingkan nilai Z statistik dengan nilai kritis statistik Dickey-Fuller. Jika nilai Z statistik lebih kecil dari nilai kritis statistik Dickey-Fuller maka dapat disimpulkan bahwa data tersebut stasioner.

(34)

16

adanya perubahan yang signifikan dalam data time series seperti misalnya structural break. Pada penelitian ini structural break terjadi antara periode sebelum ITF dan periode setelah ITF, oleh karena itu dipilih uji non stasioneritas data menggunakan PP Test.

Pengujian Kointegrasi

Uji kointegrasi dilakukan untuk menguji apakah variabel-variabel yang tidak stationer pada data level terkointegrasi antara satu variabel dengan variabel yang lain. Kointegrasi ini terbentuk apabila kombinasi antara variabel-variabel yang tidak stationer menghasilkan variabel yang stationer. Apabila terdapat persamaan sebagai berikut:

(3.16)

maka varian dari persamaan tersebut dapat ditulis menjadi:

(3.17)

dimana merupakan kombinasi linier dari x1 dan x2

Pada metode ARDL uji kointegrasi yang digunakan adalah Bound Testing Cointegration yang diperkenalkan oleh Pesaran et al (2001). Tahapan pertama yang dilakukan pada Bound Test Cointegration yaitu mengestimasi setiap model dengan menggunakan metode Ordinary Least Square dan melakukan uji F-statistic atau uji Wald. Apabila nilai F-statistik berada dibawah lower bound, maka dapat disimpulkan tidak terjadi kointegrasi. Apabila nilai F-statistik berada di atas upper bound, maka dapat disimpulkan terjadi kointegrasi. Namun apabila F-statistik berada di antara lower bound dan upper bound maka hasilnya adalah tidak dapat disimpulkan.

Penetapan Lag Optimal

Setelah melakukan uji non-stationeritas, selanjutnya dilakukan uji untuk menentukan lag optimum agar dapat dihasilkan model terbaik. Penentuan lag optimum dilakukan berdasarkan beberapa kriteria seperti R-BAR Squared, Akaike information criterion (AIC), Schwarz Bayesian criterion (SBC) atau Hannan-Quinn criterion (HQC). Penelitian ini menggunakan Schwarz Bayesian criterion (SBC) dalam pemilihan lag optimum. Pada penelitian ini digunakan program Microfit 4.1 untuk mengestimasi koefisien exchange rate pass-through dengan model Autoregressive Distributed Lag dimana pada program tersebut kriteria pemilihan lag optimum adalah berdasarkan nilai AIC dan SBC terbesar. Berikut adalah formula dua kriteria yang banyak digunakan yaitu AIC dan SBC menurut Pesaran dan Pesaran (1997):

(3.18) dengan dimisalkan sebagai nilai yang memaksimumkan fungsi log-likelihood dari model ekonometrika, dimana θ merupakan maximum likelihood estimator (MLE) berdasarkan ukuran sample n. Sedangkan pada kasus model regresi persamaan tunggal linear (non-linear), AIC ekuivalen sebagai berikut:

(35)

17

menggunakan persamaan (3.19) maka nilai terendah dari yang akan dipilih. Kemudian rumus SBC disajikan sebagai berikut:

(3.20)

(3.21) Untuk SBC ketika menggunakan persamaan (3.20) model yang dipilih adalah yang memiliki SBC maksimum, sedangkan ketika menggunakan persamaan (3.21) maka model yang dipilih adalah yang memiliki SBC minimum.

Perumusan Model Penelitian

Model yang digunakan pada penelitian ini diadopsi dari penelitian yang telah dilakukan oleh Nogueira Jr (2007). Spesifikasi model ERPT didasarkan pada perilaku harga impor dalam sudut pandang makroekonomi. Konsep ERPT didasari oleh permasalahan maksimisasi profit yang dihadapi oleh perusahaan eksportir yang dimodelkan sebagai berikut:

(3.22) dimana merupakan total keuntungan dalam mata uang asing, e merupakan nilai tukar (Rp/$), p adalah harga barang dalam mata uang domestik, C adalah fungsi produksi dan q merupakan jumlah/kuantitas barang. Maksimisasi profit diperoleh pada kondisi first order condition berikut:

(3.23) dimana merupakan marginal cost, adalah mark-up dari harga per marginal cost. Dari persamaan diatas dapat dilihat bahwa harga barang dapat dipengaruhi oleh perubahan pada nilai tukar, marginal cost dan mark-up dari harga per marginal cost. Oleh karena itu menurut Campa dan Goldberg (2005), untuk dapat membatasi pengaruh ERPT terhadap harga impor perlu memperhitungkan perubahan dari faktor-faktor yang dapat mempengaruhi harga itu sendiri. Selanjutnya untuk dapat menganalisis ERPT dirumuskan persamaan log-linear reduced form sebagai berikut:

(3.24) dengan p* merupakan ukuran dari marginal cost eksportir, y merupakan permintaan barang impor di negara asal serta koefisien menunjukkan besaran ERPT.

Analisis Perhitungan Koefisien ERPT dengan Autoreressive Distributed Lag (ARDL)

Pada penelitian ini untuk mengestimasi ERPT digunakan model autoregressive distributed lag (ARDL) dengan menggunakan variabel inflasi harga domestik (consumer price index), nilai tukar nominal dan output growth. Penggunaan model ARDL dianggap dapat mengestimasi ERPT baik pada jangka pendek maupun pada jangka panjang. Perumusan model ARDL pada penelitian model adalah sebagai berikut:

(36)

18

Dimana:

p = perubahan dari index harga

y = perubahan dari tingkat pertumbuhan output e = perubahan dari nilai tukar (domestik/luar negeri) p* = perubahan dari harga impor

= stochastic error term

Untuk dapat membedakan perhitungan koefisien ERPT pada jangka pendek dan jangka panjang penulis mengadopsi penelitian yang telah dilakukan oleh Syafri (2013) dan Chami et al. (2007) dimana koefisien diinterpetasikan sebagai koefisien jangka pendek ERPT yang menunjukkan efek langsung depresiasi mata uang domestik terhadap inflasi domestik. Sedangkan untuk perhitungan koefisien jangka panjang ERPT dapat diformulasikan sebagai berikut:

∑ (3.25)

dimana diinterpretasikan sebagai dampak jangka panjang dari satu persen depresiasi terhadap inflasi domestik.

Identifikasi Fenomena Loss of Pass-through

Identifikasi fenomena loss of pass-through dilakukan dengan membandingkan hasil perhitungan koefisien ERPT pada masing-masing negara pada periode sebelum dan sesudah implementasi ITF. Fenomena loss of pass-through terjadi apabila koefisien ERPT pada periode sesudah implementasi ITF relatif lebih rendah dibandingkan dengan koefisien ERPT pada periode sebelum implementasi ITF. Sedangkan apabila koefisien ERPT pada periode sesudah implementasi ITF relatif lebih tinggi dibandingkan dengan koefisien ERPT pada periode sebelum implementasi ITF maka dapat disimpulkan tidak ditemukan fenomena loss of pass-through.

Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

Berikut ini adalah penjelasan mengenai variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian disertai dengan definisi operasionalnya:

1. Harga domestik (P) : diwakili dengan perubahan Consumer Price Index (CPI) pada masing-masing negara dalam satuan persen, yang untuk keperluan analisis data tersebut kemudian dibentuk dalam logaritma natural.

2. Output (Y) : diwakili dengan perubahan Industrial Production Index (IPI) dan Manufacturing Production Index (MPI) pada masing-masing negara dalam satuan persen, yang untuk keperluan analisis data tersebut kemudian dibentuk dalam logaritma natural atau output gap yang diperoleh dari selisih antara real GDP dengan potensial GDP yang didapat melalui perhitungan Hodrick Prescot-Filter (HP-Filter).

3. Nilai tukar (ER) : diwakili dengan perubahan nominal exchange rate (NER) pada masing-masing negara dalam satuan persen, yang untuk keperluan analisis data tersebut kemudian dibentuk dalam logaritma natural.

(37)

19

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Eksploratif Data

Analisis dimulai dengan memberikan gambaran mengenai pergerakan variabel inflasi, pertumbuhan output, nilai tukar dan harga impor yang digunakan dalam penelitian, yaitu mencakup sembilan belas negara yang mengadopsi Inflation Targeting Framework (ITF) di dunia. Negara yang diestimasi dikelompokan menjadi high income countries yaitu Selandia Baru, Kanada, Swedia, Australia, Polandia, Switzerland, Korea Selatan dan Norwegia serta kelompok middle income countries yaitu India, Brazil, Afrika Selatan, Thailand, Meksiko, Hungaria, Peru, Filipina, Indonesia, Romania dan Turki. Periode penelitian dibagi menjadi periode sebelum diadopsinya ITF dan periode setelah diadopsinya ITF.

1. Inflasi

Tingkat inflasi merupakan indikator makroekonomi yang paling utama bagi negara yang mengadopsi ITF sebagai kerangka kebijakan moneternya. Tingkat inflasi yang dicapai tiap tahunnya akan dijadikan tolak ukur dari keberhasilan implementasi ITF itu sendiri. Implementasi ITF akan dikatakan sukses jika dapat menciptakan tingkat inflasi yang rendah dan stabil, serta tingkat inflasi aktualnya berada pada kisaran target inflasi yang telah ditetapkan oleh Bank Sentral pada masing-masing negara.

Sumber: International Financial Statistic (IFS), diolah

Gambar 5 Plot Pergerakan Rata-rataTingkat Inflasi Tahunan (%) pada Periode Sebelum dan Sesudah ITF

Gambar 5 menunjukkan pergerakan rata-rata tingkat inflasi tahunan selama periode sepuluh tahun sebelum mengadopsi ITF dan tujuh tahun sesudah mengadopsi ITF pada kelompok high income countries dan middle income countries3. Pada Gambar 5 ditunjukkan bahwa secara umum rata-rata tingkat inflasi tahunan di kedua kelompok negara mengalami penurunan yang cukup signifikan. Rata-rata tingkat inflasi tahunan yang dicapai oleh high income countries pada periode sebelum ITF berada pada kisaran 9.98-2.85% sedangkan pada periode setelah ITF berada pada kisaran 4.91-1.77%. Rata-rata tingkat inflasi

3

Pada Gambar 5, penulis tidak memasukan negara Polandia dan Brazil pada periode sebelum ITF. Hal ini disebabkan terjadinya hyperinflation di kedua negara selama periode tersebut.

(38)

20

(%)

tahunan yang dicapai oleh kelompok middle income countries pada periode sebelum ITF berada pada kisaran 33.58-6.36% sedangkan pada periode setelah ITF berada pada kisaran 6.50-4.97%.

Sumber: International Financial Statistic (IFS), diolah

Gambar 6 Rata-rataTingkat Inflasi Tahunan (%) pada Kelompok High Income Countries dan Middle Income Countries

Selanjutnya perbandingan rata-rata tingkat inflasi tahunan selama periode estimasi di kelompok high income countries dan middle income countries ditunjukkan pada Gambar 6. Jika dilihat dari sisi rata-rata tingkat inflasi tahunan selama periode estimasi, implementasi ITF terbukti berhasil menurunkan rata-rata tingkat inflasi tahunan di kedua kelompok negara. Pada kelompok high income countries rata-rata tingkat inflasi tahunan pada periode sebelum ITF sebesar 6.31% yang kemudian turun menjadi 2.73% pada periode setelah ITF. Sedangkan pada kelompok middle income countries rata-rata tingkat inflasi tahunan pada periode sebelum ITF mencapai 20.07% yang kemudian turun secara signifikan menjadi 6.01% pada periode setelah ITF. Hal ini menunjukkan implementasi ITF secara umum dapat menurunkan rata-rata tingkat inflasi secara signifikan di kedua kelompok negara khususnya di kelompok middle income countries. Dimana implementasi ITF di kelompok middle income countries dapat menurunkan rata-rata inflasi yang sempat mencapai dua digit menjadi relatif rendah dan stabil pada kisaran satu digit.

Sumber: International Financial Statistic (IFS), diolah

Gambar 7 Rata-rataTingkat Inflasi Tahunan (%) per Kawasan

Kemudian perbandingan pencapaian tingkat inflasi pada periode sebelum dan sesudah ITF jika dilihat dari segi rata-rata tingkat inflasi yang dikelompokkan berdasarkan kawasan dapat dilihat pada Gambar 7. Berdasarkan Gambar 7, ITF berhasil menurunkan tingkat inflasi secara signifikan di kawasan Eropa yaitu pada negara Hungaria, Romania dan Turki serta di kawasan Amerika Latin yaitu pada negara Meksiko dan Peru dimana tingkat rata-rata inflasi pada kawasan tersebut mencapai dua digit pada periode sebelum ITF dan berhasil turun menjadi satu digit setelah ITF. Kemudian pada kawasan Asia Timur, ITF juga berhasil menurunkan rata-rata tingkat inflasi secara signifikan di negara Indonesia. Sedangkan pada kawasan Asia Selatan yaitu negara India, implementasi ITF ternyata tidak berhasil menurunkan rata-rata tingkat inflasinya yang mana setelah

(39)

21

ITF rata-rata tingkat inflasi di negara India justru mengalami peningkatan. Hal ini diduga disebabkan karena periode waktu yang digunakan dimana India mulai mengimplementasikan ITF sejak akhir tahun 1990 sehingga delapan tahun setelah implementasi ITF justru dihadapkan pada fenomena krisis 1997/1998 yang membawa pada peningkatan inflasi yang cukup signifikan.

2. Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator makroekonomi yang juga dapat dijadikan ukuran kesuksesan kinerja perekonomian di suatu negara. Begitu juga pada negara yang mengadopsi ITF pertumbuhan ekonomi, yang pada penelitian ini menggunakan proksi persentase perubahan GDP riil, dapat dijadikan indikator keberhasilan implementasi ITF pada masing-masing negara. Kinerja perekonomian di suatu negara dapat dikatakan baik jika dapat menghasilkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Sumber: International Financial Statistic (IFS), diolah

Gambar 8 Rata-rataTingkat Pertumbuhan Ekonomi (%) pada Kelompok High Income Countries dan Middle Income Countries

Gambar 8 menunjukkan perbandingan rata-rata tingkat pertumbuhan ekonomi di kelompok high income countries dan middle income countries yang mengadopsi ITF. Ternyata implementasi ITF pada kelompok high income countries tidak membawa kenaikan yang signifikan pada sisi pertumbuhan ekonominya. Hal ini ditunjukkan dengan rata-rata tingkat pertumbuhan ekonomi sebelum ITF sebesar 3.13% yang kemudian justru turun menjadi 3.08% pada periode setelah ITF. Bertolak belakang dengan kelompok middle income countries terjadi kenaikan rata-rata tingkat pertumbuhan ekonomi setelah mengadopsi ITF. Rata-rata pertumbuhan ekonomi di kelompok middle income countries sebelum ITF sebesar 3.23% yang kemudian meningkat cukup signifikan menjadi 4.53% pada periode setelah ITF.

Sumber: International Financial Statistic (IFS), diolah

Gambar 9 Rata-rataTingkat Pertumbuhan Ekonomi (%) per Kawasan

Gambaran mengenai dampak implementasi ITF terhadap rata-rata tingkat pertumbuhan ekonomi per kawasan ditunjukkan pada Gambar 9. Pada Gambar 9 ditunjukkan bahwa kawasan Asia Timur khusunya negara Indonesia mengalami kenaikan tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup signifikan setelah mengadopsi ITF. Rata-rata tingkat pertumbuhan ekonomi pada kawasan Asia Selatan & Asia Timur setelah mengadopsi ITF merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan kawasan lainnya, yaitu mencapai 5.12%. Selain itu kawasan

Gambar

Gambar 3. Kerangka Pemikiran Teoritis
Gambar 4. Kerangka Pemikiran Operasional
Tabel 1 Daftar Periode Estimasi Negara-negara Pengadopsi ITF
Tabel 2. Tabel 2 Variabel dan Sumber Data
+5

Referensi

Dokumen terkait

Larutan kitosan ditambahkan Bioflokulan DYT dan larutan Polivinil Alkohol, diaduk dengan menggunakan stirrer sampai homogen, ditambahkan larutan crosslink, diaduk dan

Apabila masyarakat tidak memiliki kebebasan untuk mengemukakan pendapatnya atau menyalurkan aspirasinya maka dapat dikatakan bahwa proses demokrasi dalam

Organisasi-organisasi tersebut adalah ( a) Ikatan Keluarga Pondok Modern (IKPM) yang menangani alumni atau eks-santri yang tersebar di seluruh Indonesia dan di luar negeri, (

Pengaruh Gaya Kepemimpinan, Motivasi, Dan Disiplin Kerja Terhadap Kinerja Karyawan PT. Empat Enam Jaya Abadi Balikpapan.. Sudarmo 1) ; Hendika Swasti Lukita

fluorescens Pf19 menghasilkan asam salisilat dan fitoaleksin cukup tinggi yang dapat menginduksi ketahanan tanaman nilam terhadap penyakit layu bakteri dan

Bahan ajar Fisika berbasis kearifan lokal tentang Listrik Statis, Sumber Arus Listrik, Energi dan Daya Listrik dapat digunakan sebagai bahan ajar alternatif bagi

Penentuan metode turbulensi yang digunakan pada pemodelan turbin angin savonius ini adalah dengan mencari data Cp beberapa model turbulensi pada variasi penambahan

Hasil: Uji antibakteri ekstrak oleoresin jahe merah jahe merah terhadap bakteri streptococcus pyogenes memperlihatkan bahwa zona hambat pada penelitian ini