• Tidak ada hasil yang ditemukan

nilaparvatae terhadap Persentase Total Nimfa N lugens yang Muncul dan Mati dalam Jaringan Pad

REPRODUKSI PARASITOID ANAGRUS NILAPARVATAE PANG ET WANG (HYMENOPTERA: MYMARIDAE)

A. nilaparvatae terhadap Persentase Total Nimfa N lugens yang Muncul dan Mati dalam Jaringan Pad

Lama ketiadaan inang pada parasitoid A. nilaparvatae memengaruhi persentase total nimfa N. lugens yang muncul (P=0,000). Semakin lama parasitoid

A. nilaparvatae tidak mendapatkan inang, persentase total nimfa N. lugens yang muncul semakin banyak. Pemberian pakan selama ketiadaan inang pada parasitoid

A. nilaparvatae juga memengaruhi persentase total nimfa N. lugens yang muncul (P=0,000). Persentase total nimfa N. lugens muncul lebih banyak pada perlakuan di mana A. nilaparvatae hanya diberi pakan air selama ketiadaan inang daripada yang diberi pakan larutan madu 10%. Lama ketiadaan inang terhadap parasitoid A. nilaparvatae tidak memengaruhi persentase total nimfa N. lugens yang mati dalam jaringan padi (P=0,868). Pemberian pakan terhadap parasitoid A. nilaparvatae

selama perlakuan ketiadaan inang juga tidak memengaruhi persentase total nimfa

N. lugens yang mati dalam jaringan padi (P=0,112). Tidak ada interaksi antara lama ketiadaan inang dan pemberian pakan pada parasitoid A. nilaparvatae

terhadap persentase total nimfa N. lugens yang muncul (P=0,110) maupun mati dalam jaringan padi (P=0,439) (Tabel 7).

Tabel 7 Pengaruh lama ketiadaan inang dan pemberian pakan pada parasitoid A. nilaparvatae terhadap persentase total nimfa N. lugens yang muncul dan mati dalam jaringan padi.

Lama ketiadaan inang (jam)

Persentase total nimfa N. lugens yang muncul (%)

Persentase total nimfa

N. lugens mati dalam padi (%)

kontrol 74,70±2,47ab 9,95±1,08a

3 73,35±2,20a 10,50±1,04a

6 74,96±2,01b 10,45±1,12a

9 77,14±2,50c 10,69±0,95a

12 79,23±2,00d 10,29±0,94a

18 81,38±1,85e 10,28±0,95a

Perlakuan Persentase total nimfa N.

lugens yang muncul (%)

Persentase total nimfa

N. lugens mati dalam padi (%)

Larutan madu 10% 76,19±3,55a 10,35±1,25a

Air 77,39±3,42b 10,37±0,75a

a

Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji Tukey). Data disajikan dalam bentuk rataan (X±SD).

47 PEMBAHASAN

Pematangan Telur Parasitoid A. nilaparvatae

Parasitoid A. nilaparvatae termasuk parasitoid tipe proovigenik karena sudah memiliki telur yang matang di awal kehidupan dewasanya. Parasitoid A. nilaparvatae mampu memproduksi kembali telur matang di masa hidup dewasanya, namun telur yang belum matang tidak terdeteksi. Deposisi telur parasitoid A. nilaparvatae tidak sepenuhnya berlangsung selama masa hidup dewasa, namun hanya sampai 3 jam sejak parasitoid keluar dari inang sebagai imago. Chantarasa-ard et al. (1984) melaporkan bahwa produksi telur pada beberapa parasitoid betina Anagrus incarnatus Haliday masih berlanjut selama masa hidup dewasa ketika parasitoid diberi pakan madu dan dipelihara pada 20ºC. Parasitoid telur proovigenik Anaphes iole Girault (Hymenoptera: Mymaridae) mampu memproduksi telur matang di masa hidup dewasanya, walaupun telur yang belum matang tidak terdeteksi (Riddick 2005). Hal yang sama terjadi pada parasitoid A. nitens (Santolamazza dan Cordero 2003). Produksi telur matang pada spesies parasitoid proovigenik yang tidak sepenuhnya selesai sebelum oviposisi dimulai. Deposisi telur dapat terjadi beberapa saat setelah parasitoid keluar dari inang (Flanders 1950). Parasitoid proovigenik umumnya hidup singkat dan sedikit makan. Dari sifatnya tersebut, keuntungan yang dimiliki parasitoid proovigenik, yaitu dapat langsung meletakkan sejumlah besar telurnya ketika muncul menjadi imago (Riddick 2005).

Total jumlah telur matang A. nilaparvatae rata-rata sebanyak 30-40 telur. Cronin dan Strong (1990) melaporkan bahwa total jumlah telur matang dalam ovari untuk satu individu betina A. optabilis rata-rata 33 telur (21-46 telur). Telur matang A. optabilis sama seperti telur matang parasitoid Mymaridae lainnya, yakni berbentuk elips menyerupai sosis dan disertai dengan pedisel/pedunculus yang ramping dan panjang.

Sebelum mencapai tahap dewasa, parasitoid hidup dalam inang. Pradewasa parasitoid memanfaatkan nutrisi yang terkandung dalam inang untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Inang memiliki kandungan, antara lain asam amino, lipid, vitamin, dan mineral. Perkembangan reproduksi, yakni produksi dan pematangan telur pada parasitoid proovigenik berlangsung selama perkembangan dalam inang menjelang dewasa (Flanders 1950; Quicke 1997). Pematangan telur pada parasitoid melibatkan peran sumber energi berupa lipid (Zhang et al. 2011). Arrese dan Soulages (2010) melaporkan bahwa selama pematangan, kadar lipid oosit serangga meningkat, biasanya dalam satu atau dua hari. Ziegler dan Antwerpen (2006) menyatakan bahwa sebagian besar lipid yang terakumulasi pada oosit berasal dari lemak tubuh dan diangkut ke ovarium oleh lipophorin.

Produksi telur matang pada betina A. nilaparvatae tampaknya mulai berhenti setelah 3 jam. Berhentinya proses produksi telur matang diduga ada kaitannya dengan ruang ovari untuk menampung telur maupun saluran telur sudah mencapai kapasitas yang maksimum. Hegazi et al. (2007) melaporkan bahwa pematangan telur tambahan pada betina parasitoid Microplitis rufiventris (Kok.) terhambat setelah kapasitas maksimum saluran telur telah tercapai. Roberts dan Schmidt (2004) menyatakan bahwa ketika kapasitas penyimpanan telur di saluran

48

telur telah tercapai dan oogenesis terhenti. Pematangan telur pada parasitoid

Venturia canescens Grav. (Hymenoptera: Ichneumonidae) mencapai maksimum pada hari keenam dengan 160 telur. Tingkat pematangan telur ditentukan oleh laju sintesis prekursor lemak tubuh yang dimodifikasi oleh umpan balik sensoris dari ovipositor.

Parasitoid yang ekstrim proovigenik (strickly proovigenic) mempunyai indeks ovigeny sebesar 1, sedangkan parasitoid yang ekstrim synovigenik (strickly synovigenic) memiliki index ovigeny sebesar 0. Indeks ovigeny merupakan jumlah telur matang parasitoid ketika pertama kali keluar dari inang dibandingkan dengan potensi produksi telur parasitoid selama hidup. Parasitoid yang ekstrim proovigenik tidak memiliki kemampuan menambah kembali jumlah telur matang setelah keluar dari inang sebagai imago meskipun parasitoid telah melakukan oviposisi (Jervis et al. 2001). Parasitoid A. nilaparvatae termasuk dalam parasitoid proovigenik, namun tidak ekstrim proovigenik karena masih memproduksi telur matang setelah keluar dari inang sebagai imago. Jumlah telur matang parasitoid A. nilaparvatae di awal kemunculannya sebagai imago kurang lebih 75% dari potensi produksi telur selama hidupnya, sehingga indeks ovigeny- nya sebesar 0,75. Di alam banyak spesies yang memiliki tipe kontinum (continuum), yakni antara ekstrim proovigenik dan ekstrim synovigenik (Quicke 1997).

Implikasi hasil penelitian ini terkait strategi pengendalian hayati adalah parasitoid A. nilaparvatae dapat langsung dilepas di lapangan untuk mengendalikan N. lugens, karena parasitoid mampu segera oviposisi ketika menemukan telur N. lugens. Parasitoid synovigenik perlu diberi inang terlebih dahulu sampai beberapa saat sebelum parasitoid dilepas di lapangan. Pemberian inang sebelum parasitoid synovigenik di lepas bertujuan untuk menstimuli produksi dan pematangan telur sehingga parasitoid sudah siap untuk oviposisi saat parasitoid dilepas di lapangan. Selain itu, masa hidup imago A. nilaparvatae

sangat singkat (1-3 hari), sehingga dalam pemanfaatannya sebagai agens hayati perlu dilakukan upaya konservasi yang cermat, terarah, tepat, dan berkelanjutan agar A. nilaparvatae dapat bertahan hidup dan bereproduksi. Konservasi harus mampu memfasilitasi A. nilaparvatae dalam menemukan inang untuk menjamin keberlangsungan hidup A. nilaparvatae dan memengaruhi populasinya.

Pengaruh Lama Ketiadaan Inang dan Pemberian Pakan terhadap Kapasitas Reproduksi Parasitoid A. nilaparvatae

Lama ketiadaan inang tampaknya dapat menstimulasi parasitoid A. nilaparvatae untuk meletakkan telur. Semakin lama parasitoid A. nilaparvatae

tidak mendapatkan inang akan mengurangi stimulus yang dapat memicu parasitoid untuk meletakkan telur (Akbar dan Buchori 2012). Ketiadaan inang dapat menyebabkan parasitoid gagal untuk menanggapi rangsangan oviposisi. Ketiadaan inang selama 9 dan 12 hari menurunkan tingkat parasitisasi parasitoid

Microplitis croceipes (Cresson) pada larva Heliothis virescens (F.) (Navasero dan Elzen 1992).

Ketiadaan inang yang terlalu lama dapat menurunkan kemampuan oviposisi parasitoid dalam inang akibat penuaan dini. Umur parasitoid betina

49 penting dalam menentukan keberhasilan parasitisasi (Amalin et al. 2005). Penerimaan stimulus kemosensorik yang berasal dari inang (Herrebout 1969) dan efisiensi parasitisasi (Cui et al. 1986) dapat menurun dengan bertambahnya umur betina parasitoid. Kemampuan parasitisasi tertinggi dari parasitoid Ceratogramma etiennei (Hymenoptera: Trichogrammatidae) ditunjukkan oleh betina umur 1-2 hari (Amalin et al. 2005). Keberhasilan parasitoid pupa Brachymeria intermedia

(Nees) dalam memproduksi keturunan mengalami penurunan dengan meningkatnya umur betina (Barbosa et al. 1986).

Ketiadaaan inang yang terlalu lama dapat menyebabkan parasitoid A. nilaparvatae tidak memiliki pengalaman dalam meletakkan telur, sehingga keperidiannya menjadi rendah. Keperidian parasitoid yang rendah mengakibatkan telur yang tersisa dalam ovari parasitoid semakin banyak. Pengalaman oviposisi di awal kehidupan dewasa parasitoid betina penting untuk kemampuan oviposisi berikutnya. Parasitoid betina yang memiliki pengalaman oviposisi di awal kehidupan dewasanya mampu meletakkan telur dalam inang lebih banyak. Parasitoid betina yang tidak memiliki pengalaman oviposisi di awal kehidupan dewasanya dapat meletakkan telur dalam inang lebih sedikit (Drost dan Carde 1992; Rohmani et al. 2008).

Keputusan oviposisi parasitoid dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya kondisi fisiologi (egg load, status kawin), ketersediaan inang, dan pengalaman bertemu inang sebelumnya (Papaj 2000). Wang dan Messing (2003) melaporkan bahwa pengalaman oviposisi pada parasitoid synovigenik, seperti

Fopius arisanus (Hymenoptera: Braconidae) dapat menstimuli pematangan telur. Pengalaman oviposisi dalam memicu pematangan telur dikonfirmasi Hegazi et al. (2013) pada prasitoid Microplitis rufiventris (Hymenoptera: Braconidae) yang merupakan endoparasitoid dari ngengat Noctuidae. Pengalaman bertemu inang di awal kehidupan dewasa parasitoid menentukan keberhasilan dalam menemukan inang berikutnya (Ueno dan Ueno 2005; Bleeker et al. 2006).

Ketiadaan inang yang terlalu lama dapat mengubah perilaku dari parasitoid

A. nilaparvatae dalam menemukan dan menangani inang. Hougardy dan Mills (2007) melaporkan bahwa parasitoid yang sebelumnya diperlakukan dalam ketiadaan inang, lebih banyak beristirahat daripada memeriksa atau mencari inang ketika inang sudah tersedia. Parasitoid membutuhkan lebih banyak waktu untuk menangani dan menerima inang.

Peningkatan lamanya waktu di mana betina parasitoid tidak mendapatkan inang berakibat pada menurunnya jumlah keturunan yang diproduksi. Semakin lama periode ketiadaan inang maka semakin lama hidup parasitoid Trichogramma kaykai Pinto & Stouthamer (Hohmann et al. 2001). Efek ketiadaan inang terhadap lama hidup parasitoid betina juga bergantung pada ukuran imago parasitoid betina. Pada betina berukuran besar, semakin lama tidak diberi inang semakin lama hidupnya, namun tidak berlaku bagi betina berukuran kecil. Betina berukuran besar memiliki sumberdaya yang memungkinkan untuk hidup dalam waktu yang lama, tanpa mengorbankan fekunditas (Hohmann & Luck 2004). Fekunditas parasitoid Pennsylvanicum Ashmead (Hymenoptera: Scelionidae) menurun dengan meningkatnya durasi ketiadaan inang. Betina yang diperlakukan dalam ketiadaan inang meletakkan telur 40% lebih sedikit daripada betina yang diberi inang secara rutin. Betina mampu hidup lebih lama ketika diperlakukan dalam ketiadaan inang (Vogt dan Nechols 1993). Parasitoid soliter Chetogena edwardsii

50

(Diptera: Tachinidae) yang ditunda oviposisinya selama 2-7 hari mengakumulasi 1 telur per hari. Jumlah telur yang diletakkan oleh betina yang ditunda oviposisinya selama 2-5 hari tidak berbeda dengan betina yag langsung oviposisi sejak awal (Terkanian 1993). Bruce et al. (2009) melaporkan bahwa peningkatan durasi ketiadaan inang diikuti dengan penurunan fekunditas akibat resorpsi dan peningkatan lama hidup betina Telenomus isis (Hymenoptera: Scelionidae).

Parasitoid akan memaksimumkan peletakan telurnya pertama kali mendapatkan inang dan menurun pada hari berikutnya (Handayani et al. 2004; Hougardy et al. 2005). Tarla (2011) melaporkan bahwa jumlah telur yang diletakkan parasitoid Trissolcus grandis Thompson (Hymenoptera: Scelionidae) dalam inang meningkat di hari pertama mendapatkan inang dan menurun pada hari berikutnya. Garcia dan Tavares (2001) menyatakan bahwa ketika inang disediakan setiap hari, parasitoid T. cordubensis memiliki tingkat reproduksi tertinggi di hari pertama parasitisasinya dan selanjutnya menurun.

Produksi telur parasitoid A. nilaparvatae meningkat setelah 3 jam dan stimulus pemicu untuk peletakan telur diduga masih bekerja dengan baik sehingga laju penerimaan inang meningkat. Penerimaan inang oleh parasitoid ditunjukkan dengan parasitoid meletakkan telurnya dalam inang tersebut. Implikasi dari hasil penelitian ini adalah semakin lama A. nilaparvatae tidak mendapatkan inang, akan mengubah perilaku A. nilaparvatae dalam meletakkan telur. Parasitoid A. nilaparvatae meletakkan telurnya lebih sedikit jika sebelumnya parasitoid terlalu lama tidak mendapatkan inang, akibatnya telur N. lugens yang menetas menjadi nimfa jumlahnya akan semakin banyak (Tabel 7).

Peletakan telur parasitoid pada inang merupakan salah satu komponen dari kapasitas reproduksi yang penting dalam upaya pengendalian serangga hama. Semakin banyak telur yang dapat diletakkan parasitoid betina, semakin banyak mortalitas serangga hama yang ditimbulkan, sehingga pengendalian menjadi efektif (Handayani et al. 2004).

Peningkatan jumlah telur yang tersisa dalam ovari parasitoid A. nilaparvatae dikarenakan telur yang diletakkan parasitoid semakin menurun, seiring parasitoid semakin lama tidak mendapatkan inang. Selama parasitoid tidak mendapatkan inang, tidak terjadi penyerapan kembali telur yang telah diproduksi (oosorption), sehingga telur yang tidak diletakkan parasitoid dalam inang tetap disimpan di dalam ovari. Banyaknya telur yang tersisa dalam ovari mengindikasikan rendahnya kemampuan parasitoid dalam menekan populasi inang terkait dengan ketiadaan inang.

Potensi produksi telur merupakan kemampuan parasitoid betina menghasilkan telur selama masa hidupnya, yang meliputi jumlah telur yang diletakkan dalam inang dan jumlah telur yang tersisa dalam ovari (Handayani et al. 2004). Potensi produksi telur menunjukkan kemampuan yang dimiliki parasitoid betina untuk melakukan oviposisi pada inang. Semakin tinggi potensi produksi telur, semakin banyak telur yang mampu diletakkan terlepas dari ketiadaan inang (Rohmani et al. 2008). Potensi produksi telur A. nilaparvatae meningkat setelah 3 jam tidak mendapatkan inang, kemudian cenderung tetap. Peningkatan potensi produksi telur parasitoid setelah 3 jam diikuti dengan meningkatnya keperidian dan parasitisasi parasitoid. Besarnya potensi produksi telur A. nilaparvatae pada perlakuan ketiadaan inang selama 6, 9, 12, dan 18 jam sama dengan perlakuan ketiadaan inang selama 3 jam, namun keperidian dan tingkat parasitisasi menurun.

51 Hal tersebut memperlihatkan bahwa kemampuan parasitisasi didukung oleh potensi parasitoid dalam memproduksi telur, tetapi potensi produksi telur tidak menentukan tingginya parasitisasi. Tingginya potensi produksi telur tidak berarti bahwa parasitoid tersebut memiliki kemampuan parasitisasi yang tinggi (Handayani et al. 2004). Tingginya kemampuan parasitisasi dalam penelitian ini tampaknya bergantung pada stimulus pemicu oviposisi (Akbar dan Buchori 2012). Implikasi dari hasil penelitian ini dalam hal pengendalian N. lugens menggunakan

A. nilaparvatae adalah ketiadaan inang selama beberapa waktu di lapangan, dapat menurunkan kemampuan parasitisasi walaupun potensi produksi telurnya tinggi. Kemampuan parasitisasi A. nilaparvate yang menurun akan mengurangi efisiensi pengendalian N. lugens.

Potensi produksi telur parasitoid proovigenik adalah tetap dan ditentukan pada saat parasitoid keluar dari inang sebagai imago (Heimpel dan Rosenheim 1998; Aung et al. 2010). Produksi telur matang A. nilaparvatae masih berlangsung sampai dengan 3 jam setelah keluar dari inang. Produksi telur matang spesies proovigenik yang tidak sepenuhnya selesai sebelum oviposisi dimulai. Deposisi telur dapat terjadi beberapa saat setelah parasitoid keluar dari inang (Flanders 1950). Parasitoid proovigenik hidup singkat dengan potensi produksi telur yang tetap menyebabkan parasitoid ini menghadapi beberapa risiko, diantaranya parasitoid mati sebelum menemukan inang yang sesuai untuk oviposisi atau parasitoid kehabisan telur ketika masih tersedia banyak inang yang sesuai untuk oviposisi (Rosenheim et al. 2008).

Gizi pada tahap dewasa, seperti madu sangat penting untuk mendukung kinerja parasitoid dalam menekan populasi inang (Divya et al. 2011). Madu menyediakan nutrisi penting bagi parasitoid terutama karbohidrat sebagai sumber energi. Energi menentukan keaktifan parasitoid dalam bergerak mencari inang, berkopulasi, dan memarasit (Handayani et al. 2004). Ozkan (2007) melaporkan bahwa larutan madu secara signifikan meningkatkan peletakan telur Venturia canescens. Larutan madu tidak memengaruhi potensi produksi telur A. nilaparvatae, karena produksi dan pematangan telur pada parasitoid proovigenik memanfaatkan sumberdaya yang diperoleh selama perkembangan dalam inang (Flanders 1950). Pemberian larutan madu tidak memengaruhi produksi telur parasitoid dilaporkan juga oleh Chantarasa-ard et al. (1984) pada A. incaratus

Haliday, Mutitu et al. (2013) pada Cleruchoides noackae (Hymenoptera: Mymaridae). Madu di alam dapat diperoleh dari nektar yang dihasilkan oleh rerumputan dan tumbuhan liar berbunga (Herlinda 2007; Meidalima 2013). Implikasi dari hasil penelitian ini adalah rerumputan di pematang sawah dan tumbuhan liar di sekitar persawahan yang menghasilkan bunga penting untuk konservasi parasitoid A. nilaparvatae di lapangan, sebagai penyedia nektar guna menunjang kinerja parasitoid A. nilaparvatae dalam menekan populasi N. lugens.

Lama ketiadaan inang sampai 9 jam tampaknya membuat imago parasitoid betina A. nilaparvatae menyimpan lebih banyak energi, karena hanya sedikit melakukan oviposisi dibandingkan imago betina yang langsung mendapatkan inang ketika pertama kali keluar dari inang (Handayani et al. 2004). Energi tersebut lebih digunakan untuk memelihara metabolisme tubuh sehingga dapat hidup lebih lama (Cronin dan Strong 1990). Hohmann dan Luck (2004) melaporkan bahwa parasitoid yang dibiarkan melakukan oviposisi pada inang terbatas selama hidupnya, mampu hidup lebih lama dibandingkan parasitoid yang

52

dibiarkan oviposisi pada inang tanpa batas setiap hari selama hidupnya. Parasitoid

T. cordubensis yang setiap hari melakukan oviposisi memiliki hidup lebih lama daripada parasitoid yang oviposisi hanya setiap 3 hari atau tidak oviposisi (Garcia & Tavares 2001).

Parasitoid proovigenik umumnya tidak memanfaatkan inang sebagai pakan (Chan dan Godfray 1993). Spesies parasitoid yang pada tahap dewasa tidak memanfaatkan inang sebagai pakan sangat bergantung pada sumberdaya yang tersimpan selama perkembangan dalam inang dan atau sumberdaya pakan tambahan dari lingkungan, seperti karbohidrat (Steppuhn dan Wackers 2004). Larutan madu 10% yang diberikan selama perlakuan ketiadaan inang dapat menjadi tambahan energi bagi parasitoid. Madu merupakan sumber karbohidrat bagi serangga (Jervis dan Kidd 1986). Tingkat metabolisme dan kemampuan untuk menggunakan karbohidrat merupakan penentu penting dari kelangsungan hidup dewasa parasitoid (Seyahooei et al. 2011). Pakan pada parasitoid proovigenik digunakan untuk meningkatkan lama hidup (Thompson 1999; Mutitu

et al. 2013). Menurut Hanan et al. (2010), banyak parasitoid membutuhkan karbohidrat untuk kelangsungan hidup dan dalam ketiadaan inang. Parasitoid yang diberi larutan madu hidup lebih lama daripada parasitoid yang hanya diberi air.

Franz (2008) melaporkan bahwa komposisi kimia madu terdiri atas air (17,10%), fruktosa (38,50%), glukosa (31%), maltosa (7,20%), sukrosa (1,31%), asam organik (0,57%), protein (0,7%), dan abu (0,17%). Komposisi kimiawi utama dalam madu total karbohidrat (78,90 g), kadar air (78,00 g), protein (1,20 g), lemak (0 g), serat kasar (0 g), abu (0,20 g), kalori (295,00 kal), kalsium (2 mg), fosfor (12 mg), zat besi ( 0,8 mg%), natrium (10 mg), thiamin (0,1 mg), flavonoid (0,02 mg), dan niacin (0,02 mg). Umumnya, fruktosa dan glukosa siap diserap dalam usus (Arrese dan Soulages 2010). Madu juga mengandung berbagai macam enzim (amylase, diastase, investase, katalase, peroksidase, lipase) untuk reaksi kimia berbagai metabolisme di dalam tubuh (Puspitasari 2007). Penelitian sebelumnya menunjukkan terjadi peningkatan lama hidup parasitoid betina T. euproctidis empat kali lebih lama dibandingkan betina tanpa madu (Tuncbilek et al. 2012). Kelangsungan hidup betina parasitoid Acerophagus papayae

(Hymenoptera: Encyrtidae) yang diberi larutan madu, tiga kali lebih tinggi dibandingkan betina yang diberi air (Divya et al. 2011). Parasitoid Ooencyrtus nezarae (Hymenoptera: Encyrtidae) hidup lebih lama dengan pemberian larutan madu daripada air (Aung et al. 2010). Larutan madu secara signifikan memperpanjang lama hidup parasitoid Eretmocerus warrae (Hymenoptera: Aphelinidae) (Hanan et al. 2010).

Lama hidup parasitoid dewasa merupakan faktor penting dalam dinamika populasi parasitoid dan memengaruhi efektivitas dalam memanfaatkan inang (Eliopoulos et al. 2005). Semakin lama parasitoid hidup, jantan dapat membuahi betina lebih banyak, sedangkan betina dapat meletakkan telur lebih banyak (Jervis

et al. 1996). Lama hidup dewasa merupakan karakteristik spesifik spesies yang dipengaruhi oleh berbagai faktor biotik (inang, ukuran tubuh, status kawin, pakan dewasa, laju metabolisme) (Tarla 2011; Bezemer et al. 2005; Wackers 2001; Ueno dan Ueno 2005; Ueno dan Ueno 2007; Zang dan Liu 2009; Zang et al. 2011; Seyahooei et al. 2011) dan abiotik (suhu, kelembaban, penyinaran) (Jervis & Copland, 1996; Eliopoulos et al. 2003; Eliopoulos et al. 2005).

53 Peningkatan lama hidup penting untuk menghadapi kondisi inang yang jarang di alam, sampai parasitoid menemukan inangnya. Implikasi dari hasil penelitian ini adalah madu sangat penting bagi parasitoid, terutama ketika inang yang sesuai di alam tidak tersedia atau jarang. Hanan et al. (2010) melaporkan bahwa ketika inang jarang atau tidak tersedia di mass rearing, peningkatan lama hidup E. warrae (5-9 hari) dilakukan dengan pemberian madu yang memungkinkan parasitoid bertahan sampai menemukan inang.

Imago parasitoid betina A. nilaparvatae yang hanya diberi pakan air, hidup lebih singkat dibandingkan dengan imago betina yang diberi larutan madu 10%. Pematangan telur memerlukan lipid yang diperoleh selama perkembangan tahap pradewasa dalam inang (Flanders 1950; Ellers 1996). Kelangsungan hidup dewasa tampaknya sangat bergantung dari cadangan energi yang disimpan dalam bentuk

fat body (Stephunn dan Wackers 2004).

Penelitian ini menunjukkan bahwa ketiadaan inang dapat menurunkan kapasitas reproduksi parasitoid A. nilaparvatae, yang meliputi keperidian, tingkat parasitisasi, dan lama hidup imago betina. Potensi produksi telur selama perlakuan ketiadaan inang tidak menentukan kemampuan memarasit. Madu penting bagi parasitoid A. nilaparvatae untuk meningkatkan kemampuan memarasit inang dan meningkatkan lama hidup. Kemampuan A. nilaparvatae dalam memarasit inang yang tinggi didukung dengan kemampuan bertahan hidup dalam waktu yang lama akan mengefektifkan dan mengefisienkan pengendalian N. lugens di lapangan. Di alam, diupayakan dengan mempertahankan rerumputan liar di pematang sawah dan tumbuhan liar berbunga di sekitar lahan sebagai penghasil nektar.

SIMPULAN

Parasitoid A. nilaparvatae sudah memiliki telur yang matang di awal kehidupan dewasanya. Telur matang parasitoid A. nilaparvatae berbentuk elips dilengkapi dengan pedunculus atau pedisel yang ramping dan panjang. Produksi telur matang A. nilaparvatae masih berlangsung sampai 3 jam di masa hidup dewasa. Ketiadaan inang dapat mengubah perilaku parasitoid betina sehingga mampu menurunkan kapasitas reproduksi parasitoid A. nilaparvatae, meliputi jumlah telur yang diletakkan, keperidian, tingkat parasitisasi dan lama hidup imago betina. Penurunan kapasitas reproduksi mulai terjadi setelah 9 jam parasitoid A. nilaparvatae tidak mendapatkan inang sampai 18 jam. Pemberian larutan madu sebagai pakan selama ketiadaan inang dapat mengurangi penurunan kapasitas reproduksi akibat ketiadaan inang.

54

Dokumen terkait