• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengendalian hayati menggunakan parasitoid pada prinsipnya adalah melindungi, mengembangkan, dan meningkatkan peran parasitoid sehingga dapat memberikan fungsinya sebagai pengatur populasi hama dalam ekosistem (Lubis 2005). Pengendalian Nilaparvata lugens secara hayati sangat mungkin dilakukan, karena sama seperti serangga hama lainnya memiliki musuh alami yang sudah tersedia di alam (Lubis 2005; Santosa dan Sulistyo 2007). Hasil penelitian ini membuktikan bahwa di lapangan N. lugens sudah memiliki musuh alami, yakni parasitoid telur. Parasitoid telur yang menyerang N. lugens tidak hanya satu spesies namun beranekaragam, meliputi famili Mymaridae, Trichogrammatidae, Eulophidae, dan Pteromalidae. Parasitoid telur tersebut dapat dimanfaatkan oleh petani untuk mengendalikan populasi N. lugens karena sangat potensial sebagai agens pengendali hayati.

Penelitian ini menemukan enam spesies parasitoid telur N. lugens, yaitu

Anagrus nilaparvatae, Oligosita sp., Tetrastichus formosanus, Anagrus sp.,

Gonatocerus sp., dan Cyrtogaster near vulgaris. Jumlah spesies parasitoid telur N. lugens yang diperoleh dalam penelitian ini lebih banyak daripada hasil koleksi Maryana (1994) dan Meilin (2012), namun lebih sedikit dari hasil koleksi Yaherwandi dan Syam (2007). Keanekaragaman spesies parasitoid telur N. lugens

dari hasil penelitian ini cukup tinggi. Keanekaragaman spesies yang tinggi mengindikasikan interaksi dengan baik, sehingga terjadi keseimbangan antara populasi herbivora dengan musuh alaminya. Kondisi seperti ini menyebabkan herbivora yang terdapat pada ekosistem tersebut tidak menimbulkan kerusakan yang nyata pada tanaman budidaya (Lubis 2005; Nurindah dan Sujak 2006). Nurindah dan Sujak (2006) menyatakan bahwa informasi mengenai keanekaragaman spesies parasitoid pada suatu ekosistem diperlukan sebagai petunjuk untuk menilai kesehatan suatu agroekosistem.

Keberadaan suatu spesies parasitoid dalam suatu ekosistem petanian di suatu daerah mengindikasikan kemampuan adaptasi parasitoid dengan kondisi lingkungan, seperti suhu dan kelembapan (Susiawan dan Yuliarti 2006). Keanekaragaman, kelimpahan, dan parasitisasi parasitoid telur N. lugens

menunjukkan perbedaan antar daerah (Maryana 1994; Diani et al. 1992; Yaherwandi dan Syam 2007; Meilin 2012). Fenomena tersebut dapat menjadi pertimbangan untuk penerapan pengendalian hayati dalam mengintroduksi suatu spesies parasitoid dari daerah lain guna mengatasi serangga hama. Introduksi spesies perlu memperhatikan kondisi daerah asal spesies parasitoid dan daerah yang akan dilakukan introduksi, serta kemampuan adaptasi dari parasitoid. Hal ini bertujuan untuk mengefektifkan pengendalian hayati yang diterapkan. Hasil penelitian yang telah dilakukan Herlinda (2005) menunjukkan bahwa

Trichogrammatoidea cojuangcoi lebih sesuai digunakan sebagai agens pengendali hayati untuk daerah dataran tinggi karena kelimpahan dan aktivitas pemarasitan parasitoid ini mencapai maksimum di daerah yang memiliki suhu rendah.

Keanekaragaman dan kelimpahan parasitoid telur N. lugens memberikan informasi keberadaan musuh alami yang dapat dijadikan agens pengendali hayati, namun dalam pengendalian hayati perlu dilakukan manipulasi terhadap musuh alami (Effendi 2009). Pengendalian hayati dilakukan dengan memanipulasi musuh

55 alami dan faktor lingkungan dalam meningkatkan peran dari musuh alami sehingga dapat menjalankan fungsinya dalam mengendalikan populasi hama (Lubis 2005; Untung 2006). Manipulasi parasitoid dalam ekosistem dapat dilakukan jika informasi mengenai biologi, perilaku, dan ekologi dari parasitoid sudah didapatkan (Barbosa 1998). Sifat biologi, perilaku, dan respon parasitoid terhadap faktor ekologi memengaruhi keberhasilan hidup, pertumbuhan, perkembangan, dan perkembangbiakan yang pada akhirnya memengaruhi pertumbuhan populasi dan kinerja parasitoid dalam mengendalikan hama (Jervis dan Kidd 1996). Salah satu parasitoid telur N. lugens yang dominan dari hasil penelitian ini, yaitu A. nilaparvatae telah dikaji karakteristik bioekologinya mengenai pematangan telur dan perilaku reproduksi betina terkait ketiadaan inang dan ketersediaan pakan pada tahap dewasa.

Kondisi ketiadaan inang di alam jelas tidak menguntungkan bagi parasitoid. Inang merupakan media reproduksi bagi parasitoid untuk memperoleh keturunan (Quicke 1997). Keberlangsungan hidup imago dan generasi parasitoid dapat terhenti jika di lapangan tidak tersedia inang. Parasitoid A. nilaparvatae

merupakan proovigenik dengan masa hidup imago yang sangat singkat (1-3 hari). Ketiadaan telur N. lugens di lapangan akan mengancam keberlangsungan hidup parasitoid A. nilaparvatae. Solusi yang mungkin dapat dilakukan untuk pengendalian hayati ketika inang dari A. nilaparvatae belum tersedia di lapangan adalah melalui pemasangan tanaman perangkap yang telah terinfestasi telur N. lugens di lapangan. Pemasangan tanaman perangkap ini harus melalui pemantauan sebelumnya dengan memperhatikan kelimpahan dan fase N. lugens.

Kuantitas dari tanaman perangkap yang dipasang perlu disesuaikan dengan kuantitas parasitoid, karena pemasangan tanaman perangkap ini berupaya menambah jumlah inang di lapangan. Pemasangan tanaman perangkap tanpa memperhatikan kuantitas inang dan parasitoid akan merugikan dan berdampak negatif bagi program pengendalian. Takagi (1999) menjelaskan bahwa pengendalian hayati dalam praktiknya dilakukan dengan melindungi populasi inang namun pada kepadatan yang rendah dapat berpengaruh terhadap dinamika populasi inang dan parasitoid dalam mencapai kestabilan.

Konsekuensi dari ketiadaan inang juga berdampak terhadap pembiakan masal parasitoid di laboratorium. Ketiadaan inang selama pembiakan akan menyebabkan terhentinya proses pembiakan yang berakibat kematian masal dan terputusnya generasi parasitoid. Oleh karena itu, selama pembiakan A. nilaparvatae juga dilakukan pembiakan serangga inangnya. Upaya pembiakan N. lugens juga harus mampu menyediakan telur N. lugens yang berumur muda (1-2 hari) setiap saat A. nilaparvatae memerlukan inang. Pengalaman selama pembiakan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa parasitoid A. nilaparvatae

yang dibiakkan pada telur N. lugens umur lima hari menghasilkan keturunan imago dalam jumlah sangat rendah. Keberhasilan pembiakan masal A. nilaparvatae akan memengaruhi kesuksesan program pengendalian hayati yang diterapkan khususnya dalam memenuhi kebutuhan untuk proses pelepasan parasitoid ini di lapangan. Pembiakan masal A. nilaparvatae yang berhasil juga dapat mendukung penelitian terkait parasitoid ini di laboratorium (Djuwarso dan Wikardi 1999).

Pembiakan A. nilaparvatae dalam penelitian ini berhasil dilakukan dengan menggunakan kotak plastik (Meilin 2012) yang dimodifikasi pada lubang aerasi

56

(3 aerasi), umur bibit padi yang digunakan (2 minggu), dan ukuran baki plastik (32 cm x 25 cm x 5 cm) sebagai tempat menanam bibit padi. Pembiakan parasitoid Anagrus spp. sebelumnya telah dilaporkan oleh Atmadja (1997) dan Yaherwandi dan Syam (2007) menggunakan kurungan mika silinder pada tanaman padi umur satu bulan, namun tidak ada informasi mengenai cara pemanenan parasitoid. Chandra dan Dyck (1988) memperoleh tiga kali lipat populasi A. flaveolus menggunakan kurungan plastik berbentuk silinder dengan bagian ujung atas dilengkapi tabung panen dan diberi dua atau tiga lubang aerasi di dinding kurungan. Dalam pengendalian hayati, pembiakan masal musuh alami tidak hanya berupaya untuk meningkatkan kuantitas, tetapi juga kualitas musuh alami. Obrycki et al. (1997) menyatakan bahwa pemilihan spesies musuh alami perlu diperhatikan lebih dari sekedar dapat dibiakkan dalam jumlah besar, tetapi juga kemungkinan dilakukan pengendalian kualitas, peningkatan keefektifan musuh alami yang dilepas dan penilaian ekologi serta ekonomi. Peningkatan kualitas A. nilaparvatae mengacu dari hasil penelitian ini dapat diupayakan dengan pemberian larutan madu pada imago parasitoid. Pemberian larutan madu 10% dapat meningkatkan kemampuan dalam memarasit inang dan lama hidup imago betina parasitoid. Djuwarso dan Wikardi (1999) menyatakan bahwa pemberian larutan madu dapat menghindari resiko musnahnya parasitoid apabila jumlah parasitoid yang tersedia jumlahnya sangat terbatas.

Parasitoid Anagrus spp. dapat membedakan antara inang yang belum atau sudah diparasit melalui feromon yang diinjeksikan selama oviposisi atau melalui gesekan ovipositor di sekitar lokasi oviposisi (Baaren et al. 1995; Conti et al. 1999). Walaupun betina parasitoid dapat membedakan inang terparasit dan tidak terparasit serta inang berkualitas, namun tidak berarti bahwa parasitoid dapat menghindari superparasitisme (Lenteren et al. 1978).

Upaya pengendalian hayati tidak lepas dari konservasi musuh alami (Naranjo 2001). Keanekaragaman parasitoid telur N. lugens perlu dipertahankan melalui perlakuan konservasi sehingga pemanfaatannya dapat berlangsung secara berkelanjutan (Hendrival et al. 2011). Konservasi dapat dilakukan dengan menciptakan atau memanipulasi faktor-faktor lingkungan yang medukung aktivitas parasitoid untuk berkembang dan melaksanakan perannya sebagai organisme pengendali populasi hama serta mengeliminir faktor-faktor yang menjadi pembatas bagi parasitoid (Barbosa 1998). Driesche dan Bellows (1996) menjelaskan kegiatan konservasi musuh alami meliputi penggunaan pestisida secara terbatas dan selektif, melestarikan spesies gulma yang mendukung inang parasitoid atau mangsa alternatif predator, memfasilitasi perpindahan musuh alami, dan memodifikasi sistem budidaya tanaman.

Tumbuhan liar yang berada di pematang sawah dan sekitar lahan turut memberikan peranan penting dalam menciptakan keseimbangan ekosistem. Tumbuhan liar dapat mengurangi kerusakan tanaman budidaya terutama ketika hama makan pada tumbuhan liar. Tumbuhan liar juga memfasilitasi serangga menguntungkan seperti musuh alami dalam mendapatkan inang alternatif dan sumber pakan dewasa seperti polen dan nektar. Tumbuhan liar dapat memengaruhi suhu pada tajuk tanaman. Selama aplikasi pestisida, tumbuhan liar dapat menjadi tempat berlindung bagi musuh alami (Norris dan Kogan 2000). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sumber pakan tahap dewasa, yakni

57 larutan madu 10% penting dalam meningkatkan kemampuan memarasit dan lama hidup imago betina A. nilaparvatae.

Di alam, gula dapat diperoleh parasitoid dari nektar yang dihasilkan tumbuhan liar berbunga. Tumbuhan liar berbunga dapat mendukung A. nilaparvatae agar tetap dapat bertahan hidup dan melangsungkan reproduksinya dalam kondisi telur N. lugens belum tersedia beberapa waktu atau tersedia jarang di lapangan. A. nilaparvatae muncul dari inang sebagai individu dewasa yang memiliki telur matang dalam jumlah besar sementara parasitoid ini tidak mampu melakukan resorpsi dan umur dewasa yang sangat singkat. Apabila A. nilaparvatae tidak memperoleh media untuk reproduksinya maka telur-telur dalam ovarinya akan tetap disimpan. A. nilaparvatae akan mengalami kematian sebelum dapat meletakkan telur-telurnya. Tumbuhan liar berbunga menyediakan nektar yang dapat dimanfaatkan A. nilaparvatae sebagai sumber energi untuk meningkatkan lama hidup. Tumbuhan liar berbunga juga merupakan sumber inang alternatif yang dapat digunakan A. nilaparvatae sebagai media untuk melangsungkan reproduksinya. Keberadaan inang alternatif memungkinkan dapat dimanfaatkan karena A. nilaparvatae bersifat polifag. Keberadaan tumbuhan liar di sekitar pertanaman sering dibersihkan di awal musim tanam oleh petani karena dianggap sebagai gulma dan penyebab penyakit pada tanaman. Walaupun tumbuhan liar berstatus sebagai gulma, namun jika dikelola dengan benar dan tepat akan bermanfaat dalam penurunan populasi hama (Norris dan Kogan 2000). Masih banyaknya petani yang belum mengerti akan keuntungan dari keberadaan tumbuhan liar, tampaknya perlu dilakukan sosialisasi pada para petani terkait peran penting tumbuhan liar dalam pengendalian hama.

Pengendalian hayati N. lugens dapat ditingkatkan melalui peningkatan keanekaragaman dan kelimpahan parasitoid yang menyerang N. lugens. Keanekaragaman dan kelimpahan parasitoid yang tinggi akan meningkatkan parasitisasi (Nurindah dan Sujak 2006). Keanekaragaman dan kelimpahan parasitoid dapat ditingkatkan melalui manajemen lahan dan praktik budidaya (Pickett dan Bugg 1998). Manajemen lahan dapat dilakukan dengan membuat atau meningkatkan peran lingkungan untuk meningkatkan jumlah musuh alami. Manajemen lahan, misalnya dengan menambah keanekaragaman tanaman dalam suatu pertanaman atau lanskap (Altieri dan Letourneau 1982). Upaya yang dapat dilakukan dengan memodifikasi pertanian monokultur menjadi polikultur. Sistem tanam tumpangsari (intercropping) merupakan salah satu cara penambahan keanekaragaman dalam suatu pertanaman (Verkerk et al. 1998). Sistem tumpangsari padi dengan palawija selain memberikan keuntungan ekonomi juga membantu dalam pengendalian hama karena dapat meningkatkan populasi musuh alami (Nurindah dan Sujak 2006). Populasi musuh alami yang tinggi dapat mempertahankan populasi hama untuk selalu berada pada populasi di bawah ambang ekonomi (Murdoch 1994). Nurindah dan Sujak (2006) melaporkan bahwa sistem tanam tumpangsari meningkatkan parasitisasi telur Helicoverpa armigera

yang disebabkan oleh adanya peningkatan keanekaragaman parasitoid. Struktur tanaman yang kompleks dapat memengaruhi kinerja parasitoid dalam menemukan inangnya. Proses penemuan inang oleh Trichogramma spp. (foraging) dipengaruhi oleh kompleksitas struktur tanaman. Inang yang terdapat pada struktur tanaman yang sederhana lebih mudah ditemukan daripada inang pada struktur tanaman yang lebih kompleks (Gingras et al. 2003).

58

Parasitoid N. lugens sudah terdapat di alam, namun sering kali tetap terjadi ledakan N. lugens di lapangan. Secara alami, laju kepadatan populasi parasitoid mengikuti kepadatan populasi inangnya secara fluktuatif (Stiling 1988). Laju parasitisasi oleh parasitoid Plutella xylostella lebih dipengaruhi oleh fluktuasi populasi inangnya (density dependence), sedangkan fluktuasi inang dipengaruhi oleh musim (Herlinda 2004). Ledakan hama dapat terjadi karena parasitoid tidak mampu menjalankan fungsinya sebagai musuh alami dalam menekan populasi hama. Parasitoid tidak mampu menjalankan fungsinya karena kelimpahannya yang rendah, sementara kelimpahan serangga hama sangat tinggi (Lubis 2005). Kelimpahan parasitoid yang rendah mungkin disebabkan oleh cara bercocok tanam dan praktik budidaya yang tidak tepat, seperti penggunaan pestisida secara intensif (Meilin 2012).

Parasitoid telur N. lugens memberikan peran yang sangat besar bagi terciptanya keseimbangan ekosistem melalui perannya sebagai musuh alami terutama dalam memutus siklus hidup N. lugens. Pengendalian hayati menggunakan parasitoid telur dinilai sangat baik karena memarasit hama pada fase telur, sehingga hama tidak berkembang menjadi larva, tidak menimbulkan dampak negatif terhadap konsumen dan lingkungan, tidak menimbulkan resistensi dan resurgensi hama, dapat mencari dan menemukan inangnya, dapat berkembang biak dan menyebar, serta pengendalian dapat berjalan dengan sendirinya (Wilyus

et al. 2012). Selain itu, parasitoid telur mudah untuk dikembangbiakkan secara massal (Hassan 1993). Upaya untuk meningkatkan peran parasitoid telur sebagai agen hayati pengendali hama dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu membantu parasitoid agar lebih mudah menemukan inangnya, menyesuaikan keberadaan parasitoid dengan tersedianya telur inang, meningkatkan proporsi populasi parasitoid terhadap telur inang, menggunakan pestisida yang aman terhadap parasitoid, dan menyeleksi strain musuh alami yang mempunyai daya cari dan daya adaptasi yang tinggi (DeBach dan Hagen 1965).

Penerapan pengendalian hayati sebagai salah satu komponen pengendalian hama terpadu telah terbukti menguntungkan secara ekonomi maupun ekologi. Hasil penelitian ini memberikan informasi keberadaan dan bioekologi dari parasitoid telur N. lugens yang dapat dimanfaatkan dalam penerapan, pengelolaan, dan pengembangan pengendalian N. lugens secara hayati. Penyuluhan dan sosialisasi perlu dilakukan terhadap para petani, sehingga penerapannya dapat sampai ke petani. Penelitian dan pengembangan musuh alami juga tetap perlu dilakukan sampai ke tingkat petani untuk memberikan peluang dalam meningkatkan efisiensi pemanfaatan musuh alami.

59

5 SIMPULAN DAN SARAN UMUM

Simpulan

Parasitoid telur N. lugens dengan keanekaragaman yang tinggi dapat meningkatkan potensi program pengendalian N. lugens secara hayati. Ketersediaan inang dan sumberdaya gula serta pola pematangan telur dapat menjadi faktor pembatas bagi keberhasilan dan keberlangsungan reproduksi parasitoid telur N. lugens.

Saran

Anagrus nilaparvatae dapat dijadikan agens hayati untuk mengendalikan populasi Nilaparvata lugens di lapangan. Pemberian larutan madu 10% perlu dilakukan sebelum parasitoid dirilis untuk meningkatkan kemampuan memarasit dan lama hidup. Tumbuhan liar dan berbunga di sekitar lahan dan pematang sawah perlu dikelola untuk konservasi parasitoid.

60

Dokumen terkait