• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA A.Landasan Teori

6. Non Performing Financing (NPF)

a. Pengertian Non Performing Financing (NPF)

Resiko Kredit adalah risiko kerugian yang terkait dengan kemungkinan kegagalan pihak peminjam dana memenuhi kewajibannya atau risiko bahwa debitur tidak membayar kembali utangnya. Tingginya risiko kredit tecermin dari posisi rasio pembiayaan bermasalah yang sering dikenal sebagai Non Performing Financing (NPF)

Non Performing Financing (NPF) adalah pembiayaan yang tidak dapat atau berpotensi untuk tidak mampu mengembalikan pembiayaan berdasarkan syarat-syarat yang telah disetujui dan ditetapkan bersama secara tiba-tiba tanpa menunjukkan

tanda-tanda terlebih dahulu. Pembiayaan bermasalah berarti pembiayaan yang dalam pelaksanaannya belum mencapai atau memenuhi target yang diinginkan pihak bank seperti: pengembalian pokok atau bagi hasil yang bermasalah; pembiayaan yang memiliki kemungkinan timbulnya resiko di kemudian hari bagi bank; pembiayaan yang termasuk golongan perhatian khusus, diragukan dan macet serta golongan lancar yang berpotensi terjadi penunggakan dalam pengembalian.

Non Performing Financing dalam perbankan Syariah atau Non Performing Loans dalam perbankan konvensional adalah jumlah kredit yang tergolong tidak lancar/macet yaitu dengan kualitas kurang lancar, diragukan dan macet berdasarkan ketentuan Bank Indonesia tentang kualitas aktiva produktif. Status NPF pada prinsipnya didasarkan pada ketepatan waktu bagi nasabah untuk membayarkan kewajiban, baik berupa bunga maupun pengembalian pokok pinjaman. Proses pemberian dan pengelolaan kredit yang baik diharapkan dapat menekan NPF sekecil mungkin, dengan kata lain tingginya NPF sangat dipengaruhi oleh kemampuan bank-bank syariah dalam menjalankan proses pemberian kredit dengan baik maupun dalam hal pengelolaan kredit, termasuk tindakan pemantauan (monitoring) setelah kredit disalurkan dan tindakan pengendalian bila terdapat indikasi penyimpangan kredit maupun indikasi gagal bayar.

Profil resiko pembiayaan suatu bank dapat dilihat dari rasio pembiayaan bermasalah (Non Performing Financing) dan pembentukan cadangan (cash provision). Semakin tinggi NPF, semakin tinggi resiko yang dihadapi bank, karena akan mempengaruhi permodalan bank tersebut karena dengan NPF yang tinggi akan

membuat bank mempunyai kewajiban untuk memenuhi Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) yang terbentuk. Bila hal ini terus terjadi maka mungkin saja modal bank tersebut akan tersedot untuk membayar PPAP, karena itulah bank menginginkan NPF yang rendah, nilai NPF yang rendah akan meningkatkan nilai profitabilitas bank syariah. ( Nur Kurnaliyah 2011:32)

Besarnya NPF yang diperbolehkan Bank Indonesia adalah maksimal 5%, jika melebihi 5% akan mempengaruhi penilaian tingkat kesehatan bank yang bersangkutan yaitu akan mengurangi nilai skor yang diperoleh. Variabel ini mempunyai bobot nilai 20%, skor nilai NPF ditentukan sebagai berikut :

Lebih dari 8%, skor nilai = 0 Antara 5% - 8%, skor nilai = 80 Antara 3% - 5%, skor nilai = 90 Kurang dari 3%, skor nilai = 100

Bila resiko pembiayaan meningkat, margin/bunga kredit akan meningkat pula. Sementara itu, dalam ekonomi Islam sektor perbankan tidak mengenal instrumen bunga, sistem keuangan Islam menerapkan sistem pembagian keuntungan dan kerugian, bukan kepada tingkat bunga yang telah menetapkan tingkat keuntungan di muka.

1) Non Performing Financing (Penyedia Dana Bermasalah) Gross

(Septiana Ambarwati,2008:65) NPF Gross adalah perbandingan antara jumlah pembiayaan yang diberikan dengan tingkat kolektabilitas 3 sampai dengan 5 dibandingkan dengan total pembiayaan yang diberikan oleh bank. Terdapat 5 kategori tingkat kolektabilitas pembiayaan yaitu: lancar (currrent), dalam perhatian khusus (special mention), kurang lancar (sub-standar), diragukan (doubtful), dan macet (loss). Berikut ini adalah rumusnya:

Keterangan :

a. Penyediaan/penyaluran dana berupa piutang dan ijarah.

b. Pembiayaan merupakan pembiayaan yang diberikan kepada pihak ketiga (tidak termasuk pembiayaan kepada bank lain).

c. Penyediaan dana bermasalah adalah penyediaan dana dengan kualitas kurang lancar, diragukan dan macet.

d. Penyediaan dana bermasalah dihitung secara gross tidak dikurangi PPAP. e. Angka dihitung perposisi (tidak disetahunkan).

Penyediaan Dana Bermasalah NPF Gross =

2) Non Performing Financing (Penyediaan Dana Bermasalah) Net

Keterangan: PPAP adalah Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif sesuai ketentuan tentang PPAP yang berlaku bagi bank syariah.

b. Hubungan Non Performing Financing (NPF) Terhadap Pembiayaan

Resiko Kredit adalah risiko kerugian yang terkait dengan kemungkinan kegagalan pihak peminjam dana memenuhi kewajibannya atau risiko bahwa debitur tidak membayar kembali utangnya. Tingginya risiko kredit tecermin dari posisi rasio pembiayaan bermasalah yang sering dikenal sebagai Non-Performing Financing (NPF)

Profil resiko pembiayaan suatu bank dapat dilihat dari resiko pembiayaan bermasalah (Non Performing Financing). Semakin tinggi Non Performing Finacing (NPF) semakin tinggi pula resiko yang dihadapi bank. Variabel NPF mempunyai pengaruh yang signifikan negatif terhadap pembiayaan Artinya jika persentase NPF meningkat maka persentase pembiayaan yang disalurkan oleh bank syariah akan berkurang, dengan asumsi variabel lain tetap.

Non Performing Loan (NPL) atau Non Performing Financing (NPF) pada perbankan syariah yang tinggi dapat mengakibatkan tidak bekerjanya fungsi intermediasi bank secara optimal karena mengurangi atau menurunkan perputaran

Penyediaan Dana Bermasalah – PPAP NPF Net =

dana bank, sehingga memperkecil kesempatan bank memperoleh pendapatan. Apabila dana di bank berkurang maka akan pula mengurangi pembiayaan yang diberikan oleh bank kepada masyarakat (Nasiruddin, 2005).

Hasil penelitian Moch. Soedarto menyimpulkan bahwa pada taraf signifikansi 5% jumlah kredit non lancar berpengaruh negatif signifikan terhadap besarkecilnya pemberian kredit. Oleh karena itu semakin besar kredit non lancar maka jumlah kredit yang dapat disalurkan oleh Bank Syariah semakin kecil, begitu sebaliknya (Soedarto,2004:64)

Dalam penelitian Mohamad Hasanudin dan Prihatiningsih terhadap hubungan positif tetapi tidak signifikan antara variabel Non Performing Loan terhadap Penyaluran kredit BPR. Hal ini berarti berapapun tingkat non Performing Loan tidak akan mempengaruhi penyaluran kredit BPR (Hasanudin & prihatiningsih,2010:31).

7. Inflasi

a. Pengertian Inflasi

Secara umum inflasi berarti kenaikan tingkat harga secara umum dari barang/komoditas dan jasa selama satu periode waktu tertentu. Inflasi dapat dianggap sebagai fenomena moneter karena terjadinya penurunan nilai unit penghitungan moneter terhadap suatu komoditas. Definisi inflasi oleh para ekonom modern adalah kenaikan yang menyeluruh dari jumlah uang yang harus dibayarkan (nilai unit penghitung moneter) terhadap barang/komoditas dan jasa. Sebaliknya jika yang terjadi adalah penurunan nilai unit penghitung moneter terhadap barang/komoditas dan jasa didefinisikan sebagai deflasi (deflation).

Inflasi diukur dengan tingkat inflasi (rate of inflation) yaitu tingkat perubahan dan tingkat harga secara umum. Persamaannya adalah sebagai berikut :

Umumnya, otoritas yang bertanggung jawab dalam mencatat statistik perekonomian suatu Negara menggunakan consumer price index dan producer price index sebagai pengukur tingkat inflasi (Karim,2010:136).

Definisi inflasi banyak ragamnya seperti yang dapat kita temukan dalam literature ekonomi. Keanekaragaman pengertian inflasi tersebut terjadi karena luasnya pengaruh inflasi terhadap berbagai sektor perekonomian. Hubungan yang erat dan luas antara inflasi dan berbagai sektor perekonomian terebut melahirkan berbagai perbeaan pengertian dan presepsi kita tentang inflasi, demikian pula dalam memformulasikan kebijakan-kebijakan untuk solusinya. Namun, pada prinsipnya masih terdapat beberapa kesatuan panangan bahwa inflasi merupakan suatu fenomena dan dilemma ekonomi. Inflasi adalah suatu keadaan yang mengindikasikan semakin melemahnya daya beli yang diikuti dengan semakin merosotnya nilai riil mata uang suatu Negara (Khalwaty,2000:5).

Ryan C. Amacher dan Holley H. Ulbrich dalam bukunya Principle of Microeconomic (1989:101-102) menjelaskan bahwa terjadinya inflasi merupakan akibat dari kenaikan tingkat harga di atas rata-rata yang berlaku umum yang dapat

Tingkat harga t– tingkat harga t-1

Tingkat harga t-1

diukur dengan indeks harga barang-barang konsumsi dari tahun ke tahun, sebagaimana terlihat pada definisi inflasi yang dikemukakan sebagai berikut :

Inflation arises in the general, or average, level of price. The measure of inflation is a price index. A price index measure changes in price level from year to year. The best known measure is the Consumer Price Index (CPI). Consumer Price Inex is a measure of the year increase in the price level based on the cost of a representative market basket of consumer goods.

Jadi inflasi merupakan suatu keadaan di mana terjadi kenaikan harga-harga secara tajam yang berlangsung terus-menerus dalam jangka waktu yang cukup lama (Khalwaty,2000:6).

b. Teori Inflasi

1) Teori Kuantitas

Teori ini dikemukakan oleh Irving Fisher yang tergolong dalam ekonom klasik, teori ini adalah teori yang tertua yang membahas tentang inflasi, tetapi dalam perkembangannya teori ini mengalami penyempurnaan oleh para ahli ekonomi Universitas Chicago, sehingga teori ini juga dikenal sebagai model kaum moneteris (monetarist models). Teori ini menekankan pada peranan jumlah uang beredar dan harapan (ekspektasi) masyarakat mengenai kenaikan harga terhadap timbulnya inflasi. Inti dari teori ini adalah sebagai berikut :

(a) Inflasi hanya bisa terjadi kalau ada penambahan volume uang beredar, baik uang kartal maupun giral.

(b) Laju inflasi juga ditentukan oleh laju pertambahan jumlah uang beredar dan oleh harapan (ekspektasi) masyarakat mengenai kenaikan harga di masa mendatang.

2) Keynesian Model

Dasar pemikiran model inflasi dari Keynes ini, bahwa inflasi terjadi karena masyarakat ingin hidup di luar batas kemampuan ekonomisnya, sehingga menyebabkan permintaan efektif masyarakat terhadap barang-barang (permintaan agregat) melebihi jumlah barang-barang yang tersedia (penawaran agregat), akibatnya akan terjadi inflationary gap. Keterbatasan jumlah persediaan barang (penawaran agregat) ini terjadi karena dalam jangka pendek kapasitas produksi tidak dapat dikembangkan untuk mengimbangi kenaikan (permintaan agregat). Oleh karenanya sama seperti pandangan kaum monetarist, Keynesian models ini lebih banyak dipakai untuk menerangkan fenomena inflasi dalam jangka pendek.

3) Mark-up Model

Pada teori ini dasar pemikiran model inflasi ditentukan oleh dua komponen, yaitu cost of production dan profit margin. Relasi antara perubahan kedua komponen ini dengan perubahan harga dapat dirumuskan sebagai berikut :

Karena besarnya profit margin ini biasanya telah ditentukan sebagai suatu persentase tertentu dari jumlah cost of production, maka rumus tersebut dapat dijabarkan menjadi :

Dengan demikian, apabila terjadi kenaikan harga pada komponen-komponen yang menyusun cost of production dan atau kenaikan pada profit margin akan menyebabkan terjadinya kenaikan pada harga jual komoditi di pasar.

Price = Cost + Profit Margin

4) Teori Struktural : Model Inflasi di Negara Berkembang

Banyak studi mengenai inflasi di negara-negara berkembang, menunjukan bahwa inflasi bukan semata-mata merupakan fenomena moneter, tetapi juga merupakan fenomena struktural atau cost push inflation. Hal ini disebabkan karena struktur ekonomi negara-negara berkembang pada umumnya yang masih bercorak agraris. Sehingga, goncangan ekonomi yang bersumber dari dalam negeri, misalnya gagal panen (akibat faktor eksternal pergantian musim yang terlalu cepat, bencana alam dan sebagainya) atau hal-hal yang memiliki kaitan dengan hubungan luar negeri, misalnya memburuknya term of trade; utang luar negeri dan kurs valuta asing, dapat menimbulkan fluktuasi harga di pasar domestik. Fenomena struktural yang disebabkan oleh kesenjangan atau kendala struktural dalam perekonomian di negara berkembang, sering disebut dengan structural bottlenecks.

c. Macam-Macam Inflasi

1) Berdasarkan Tingkat/Laju Inflasi

Menurut Paul A. Samuelson, seperti sebuah penyakit macam inflasi berdasarkan tingkat keparahannya, inflasi dapat digolongkan menjadi tiga jenis, yaitu:

(a) Moderate inflation, disebut juga “inflasi satu digit”, adalah inflasi dengan karakteristik terjadinya kenaikan harga secara lambat. Pada umumnya, pada tingkat inflasi ini, orang masih mau memegang uang tunai dan menyimpan kekayaannya dalam bentuk uang daripada dalam bentuk aset riil.

(b) Galloping inflation, yaitu inflasi yang terjadi pada tingkatan 20% sampai 200% per tahun. Pada tingkatan inflasi ini, orang hanya mau memegang uang seperlunya, dan cenderung menyimpan kekayaan dalam bentuk aset-aset riil. Pasar uang akan mengalami penyusutan dan dana dialokasikan melalui cara-cara selain yang berorientasi pada tingkat bunga. Orang hanya bersedia memberikan pinjaman dengan tingkat bunga yang sangat tinggi. Inflasi jenis ini mengakibatkan terjadinya gangguan serius pada perekonomian karena masyarakat cenderung menyalurkan dananya untuk berinvestasi di luar negeri dari pada di dalam negeri (capital outflow).

(c) Hyper inflation, yaitu inflasi dengan tingkat sangat tinggi, berkisar antara jutaan persen per tahun. Jika banyak pemerintahan masih sanggup bertahan menghadapi galloping inflation, maka tidak ada yang dapat bertahan menghadapi inflasi jenis ini. Contohnya adalah Weimar Republic di Jerman pada tahun 1920-an.

2) Berdasarkan Sumber atau Penyebab Inflasi

Inflasi berdasarkan sumber atau penyebab inflasi, inflasi dapat digolongkan sebagai berikut:

(a) Natural Inflation dan Human Error Inflation. Sesuai dengan namanya natural Infaltion adalah inflasi yang terjadi karena sebab-sebab alamiah yang manusia tidak mempunyai kekuasaan dalam mencegahnya. Human error Inflation adalah inflasi yang terjadi karena kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh manusia sendiri.

(b) Actual/anticipated/expected inflation dan unanticipated/unexpected inflation. Pada expected inflation tingkat suku bunga pinjaman riil akan sama dengan suku bunga pinjaman nominal dikurangi inflasi. Sedangkan pada unexpected inflation tingkat suku bunga pinjaman nominal belum atau tidak merefleksikan kompensasi terhadap efek inflasi.

(c) Demand pull inflation, inflasi ini biasanya terjadi pada masa perekonomian sedang berkembang pesat. Kesempatan kerja yang tinggi menciptakan tingkat pendapatan tinggi, dan selanjutnya daya beli masyarakat bisa tinggi. Daya beli tinggi mendorong permintaan melebihi total produk yang tersedia. Permintaan aggregate meningkat lebih cepat dibandingkan dengan potensi produktif perekonomian, akibatnya timbul inflasi. Hal ini dapat ditunjukkan oleh grafik berikut:

Gambar 2.2

Demand Pull Inflation

P AS P2 P1 AD2 AD1 0 Q1 Q2 Q

Kondisi ini mendatangkan uang yang lebih di dalam negeri, sehingga pendapatan dan daya beli masyarakat naik

AD

, atau pada grafik dilukiskan

sebagai kurva AD yang bergeser ke kanan, mengakibatkan naiknya tingkat harga secara keseluruhan P.

(d) Cosh push inflation, inflasi ini terjadi bila biaya produksi mengalami kenaikan secara terus menerus. Kenaikan biaya produksi dapat berawal dari kenaikan harga input seperti kenaikan upah minimum, kenaikan BBM, kenaikan bahan baku dan kenaikan input yang lainnya. Hal ini dapat digrafikkan sebagai berikut

Gambar 2.3

Cost Push Inflation

P AS2

P2 AS1

P1

AD

0 Q2 Q1 Q

Dengan adanya kenaikan biaya produksi

 

P , selanjutnya menurunkan tingkat produksi

 

AS . Sehingga dalam pasar quantitas atas produksi tersebut mengalami penurunan (Q1 ke Q2).

(e) Spiralling Inflation. Inflasi jenis ini adalah inflasi yang diakibatkan oleh inflasi akibat dari inflasi yang terjadi sebelumnya lagi dan begitu seterusnya.

(f) Imported Inflation dan Domestic Inflation. Imported Inflation bisa dikatakan adalah inflasi di negara lain yang ikut dialami oleh suatu negara karena harus

menjadi price taker dalam pasar perdagangan internasional. Domestic Inflation bisa dikatakan inflasi yang hanya terjadi di dalam negeri suatu negara yang tidak begitu mempengaruhi negara-negara lainnya (Adiwarman Karim,2010:138).

d. Inflasi Dalam Perspektif Ekonomi Islam

Menurut para ekonom Islam, inflasi berakibat sangat buruk bagi perekonomian karena empat hal sebagai berikut:

1). Menimbulkan gangguan terhadap fungsi uang, terutama terhadap fungsi tabungan (nilai simpan), fungsi pembayaran di muka, dan fungsi unit penghitungan. Akibat beban inflasi tersebut, orang harus melepaskan diri dari uang dan aset keuangan. Inflasi juga mengakibatkan terjadinya inflasi kembali atau self feeding inflation. 2) Melemahkan semangat masyarakat untuk menabung (turunnya marginal

propensity to save).

3) Meningkatkan kecenderungan berbelanja, terutama untuk barang-barang non primer dan mewah (naiknya marginal propensity to consume).

4) Mengarahkan investasi pada hal-hal tidak produktif seperti penumpukan kekayaan berupa tanah, bangunan, logam mulia, dan mata uang asing serta mengorbankan investasi produktif seperti pertanian, industri, perdagangan, dan transportasi (Adiwarman karim,2010:140)

e. Hubungan Tingkat Inflasi Terhadap Pembiayaan

Inflasi merupakan kenaikan secara umum dari harga barang-barang/komoditas dan jasa secara terus-menerus dalam suatu periode tertentu.Inflasi dapat menimbulkan gangguan terhadap fungsi tabungan (nilai simpanan). Bank syariah sebagai salah satu pemain di industri keuangan perbankan tidak luput dari dampak inflasi.

Hubungan yang erat dan luas antara inflasi dan berbagai sektor perekonomian terebut melahirkan berbagai perbeaan pengertian dan presepsi kita tentang inflasi, demikian pula dalam memformulasikan kebijakan-kebijakan untuk solusinya. Namun, pada prinsipnya masih terdapat beberapa kesatuan panangan bahwa inflasi merupakan suatu fenomena dan dilemma ekonomi. Inflasi adalah suatu keadaan yang mengindikasikan semakin melemahnya daya beli yang diikuti dengan semakin merosotnya nilai riil mata uang suatu Negara (Khalwaty,2000:5).

Inflasi dapat menyebabkan tingginya resiko default. Resiko ini akan meningkatkan non performing financing perbankan syariah. Sehingga ketika tingkat inflasi dalam keadaan tinggi, maka pihak bank akan sangat berhati-hati dalam menyalurkan pembiayaan. Selain itu inflasi juga bisa memberikan tekanan bagi bank syariah dalam hal penghimpunan dana dari masyarakat, naik turunnya inflasi akan mempengaruhi tingkat saving masyarakat, sehingga hal tersebut akan mempengaruhi pembiayaan bank syariah.

Dokumen terkait