• Tidak ada hasil yang ditemukan

NonNon

Non

Non

Pemerintah

PemerintahPemerintah

Pemerintah

Pemerintah

Pelaku Usaha Swasta

memberikan manfaat bagi kedua belah pihak, dan bukan merupakan program yang bersifat karitatif. Berikut contoh kemitraan tersebut.

Kemitraan Produsen Besar dengan Produsen Kecil (UKM)

Contoh I : PT UKMI (Usaha Kita Makmur Indonesia), sebuah perusahaan dagang yang didirikan oleh mantan eksekutif sebuah perusahaan produsen makanan dan minuman sangat besar di Indonesia untuk menampung hasil produksi UKM untuk dipasarkan ke pasar yang lebih luas (global). Justifikasi program ini adalah untuk saling memberi manfaat (mutual benefit relationship) di antara keduanya. Usaha kecil menengah mendapatkan pangsa pasar yang lebih luas untuk produk-produk yang dihasilkannya; sementara perusahaan dagang tersebut mendapatkan keuntungan dari marjin penjualan produk yang dipasok UKM.

Contoh II: Sebuah kelompok perusahaan besar produsen utama tepung terigu dan produk produk ikutannya (PT Bogasari Flourmills) menjalin kemitraan dengan para produsen mikro dan usaha kecil menengah (UMKM) yang menggunakan bahan baku yang berasal dari Bogasari. Dalam kemitraan tersebut, Bogasari menjamin pasokan bahan baku yang dihasilkannya dengan kualitas prima dan kontinuitas pasokan kepada UMKM yang terlibat. Selain itu, perusahaan tersebut juga memberikan bimbingan teknis kepada para produsen UMKM untuk menghasilkan produk (roti atau mie, misalnya) yang memenuhi standar produk akhir dengan tingkat kualitas prima. Bogasari tidak saja memberikan bimbingan teknis dalam aspek produksi namun juga dari aspek pembinaan

manajemen (terutama aspek perdagangannya), dan akses ke lembaga-lembaga keuangan yang hasil akhirnya bertujuan agar UMKM tersebut bisa mandiri untuk mengembangkan pasarnya. Peningkatan kapasitas produsen UMKM tersebut baik dalam aspek produksi maupun pemasarannya telah meningkatkan kemampuan UMKM tersebut untuk meningkatkan pangsa pasarnya masing-masing. Pendekatan kemitraan tersebut tidak saja memberi keuntungan bagi UMKM yang meningkat kualitas produk dan juga berkembang pangsa pasarnya, namun juga memberi keuntungan pada produsen besar tersebut karena dengan

meningkatnya pangsa pasar UMKM yang menjadi mitranya (yang menyerap sekitar 60 persen produksi tepungnya) berarti meningkatkan kebutuhan bahan baku yang diproduksinya.

Kedua contoh kemitraan tersebut, yang murni merupakan inisiatif sektor swasta, menarik untuk dikaji karena meskipun pada dasarnya kedua jenis kemitraan tersebut merupakan kemitraan bisnis antara pemain besar dengan pemain menengah/ kecil/bahkan mikro, namun arah kemitraan penjualan produknya berbeda. Dalam contoh pertama, UKM merupakan pemasok produk ke pelaku usaha besar, sebaliknya dalam contoh kedua, pelaku usaha besar yang menjadi pemasok UKM.

Dalam contoh kedua, yang mesti dicermati adalah apakah peningkatan keuntungan kedua belah pihak secara proporsional seimbang ataukah ada penyerapan keuntungan/manfaat yang jauh lebih dirasakan oleh salah satu pihak sehingga kelak akan menggerogoti tingkat kepercayaan satu sama lain dalam hubungan kemitraan tersebut. Hal ini perlu dikemukakan karena Bogasari mendominasi pasar terigu domestik dan karenanya pasar yang terbetuk adalah pasar yang monopolistik atau pasar tidak sempurna. Dalam kondisi penguasaan pasar yang sangat dominan ini, meskipun telah mendapatkan bantuan teknis peningkatan kapasitas UMKM dari berbagai aspek, posisi tawar UMKM dalam konteks kemitraan ini menjadi sangat lemah untuk mendapatkan tingkat keuntungan yang proporsional. Bila stuktur pasar komoditi tersebut tetap seperti saat ini, tingkat keuntungan yang memadai/proporsional untuk UMKM sangat tergantung pada ‘rasa keadilan/niat baik’ pelaku usaha besar tersebut.

Beragam upaya lainnya digagas dan dilaksanakan oleh banyak perusahaan, antara lain PT Astra International Tbk, PT Bahana Artha Ventura, PT Pos Indonesia, PT Sucofindo, PT Unilever, dan lain-lain. Dari kalangan Perbankan berbagai Bank terlibat juga dalam pengembangan UKM diantaranya Bank Indonesia, Bank Bukopin, BCA, Bank Mandiri, Bank Danamon, BRI, Bank Niaga, dan lain-lain8.

Dalam pengembangan UKM ini, APINDO juga ikut ambil bagian melalui programnya ‘Kewirausahaan

Masyarakat

Perempuan’. Program ini bertujuan memberdayakan para pengusaha perempuan yang kebanyakan UKM, baik anggota maupun non anggota APINDO, untuk meningkatkan kinerja usahanya, dengan memberikan konsultasi mengenai berbagai kebijakan pemerintah (misalnya, perizinan, advokasi mengenai persyaratan perbankan yang rumit), dan pembinaan manajemen (dalam hal: pemasaran, keuangan, hubungan industrial, dan lain-lain). Program yang merupakan kerjasama APINDO Pusat dan Cabang-cabangnya dengan dukungan dana lembaga donor ini, telah dijalankan sejak dua tahun yang lalu di beberapa daerah di Indonesia.

Berbagai lembaga swadaya masyarakat terlibat dalam upaya-upaya pengembangan UKM, beberapa di antaranya seperti Bina Swadaya, GEMA PKM (Gerakan Masyarakat Pengembangan Kredit Mikro), FORNAS UKM, JNP UKM, PUPUK, Kadin Indonesia, Yayasan Darma Bhakti Astra, LP3ES, PINBUK, dan lain-lain9. Lingkup kegiatan lembaga swadaya masyarakat itu ada yang berskala nasional maupun lokal dengan fokus kegiatan di bidang advokasi kebijakan, pengembangan kapasitas sumber daya manusia, peningkatan akses pasar, peningkatan akses finansial.

GEMA PKM misalnya lebih memfokuskan kegiatannya untuk keuangan mikro; Bina Swadaya lebih banyak melakukan pendampingan langsung para pelaku UKM di lapangan untuk sektor pertanian; Fornas UKM menghimpun lebih dari 60 Forda UKM untuk memperluas pasar dan advokasi kebijakan; Kadin Indonesia mendukung suatu perusahaan dagang untuk menghimpun produk-produk UKM agar dapat menembus pasar yang lebih luas; dan lain-lain. Demikian juga LSM Internasional seperti Care International, CRS, Mercy Corps, dan

9 Ibid, SMERU 10 Ibid, SMERU

lain-lain10 juga terlibat dalam pengembangan UKM melalui implementasi berbagai jenis programnya masing masing.

Tidak kalah pentingnya adalah keterlibatan sejumlah lembaga donor seperti ADB (Bank Pembangunan Asia), TAF (the Asia Foundation), USAID, AUSAid, Bank Dunia, Uni Eropa (EU), dan lain-lain yang mendukung program pengembangan UKM dengan kontribusi dana maupun bantuan teknis (Technical Assistance/TA) kepada berbagai lembaga swadaya masyarakat di atas maupun melalui kerjasama dengan pemerintah.

Bank Pembangunan Asia, misalnya, mendukung peningkatan kapasitas UKM dengan mendirikan pusat layanan bisnis atau BDS (Business

Development Services). Menarik untuk disampaikan

bahwa pendampingan BDS pada UKM yang semula lebih bersifat karitatif dalam membantu peningkatan kinerja UKM, saat ini sudah dikelola berdasar hubungan bisnis yang menghasilkan manfaat bagi kedua belah pihak.

The Asia Foundation, melalui programnya PEPR

(Partnership for Enterprise Policy Reform) secara

intensif mengembangkan Forum Daerah UKM di berbagai daerah. Selain itu USAID melalui kerjasama dengan TAF dan UKM Lokal, telah menjalankan program yang berhasil memperbaiki iklim usaha, khususnya dalam hal perizinan usaha11.

11 Berdasar laporan The Asia Foundation (TAF) diketahui bahwa TAF mengembangkan sekitar 15 OSS (one-stop-service) pelayanan berbagai jenis perizinan usaha. Hasil implementasi OSS tersebut sangat bagus: 1) waktu yang diperlukan untuk pendaftaran suatu perusahaan turun 60 persen di mana rata-rata hanya membutuhkan waktu 15 hari; 2) biaya perizinan usaha turun 30 persen; 3) setelah mendaftar, hampir 70 persen perusahaan meningkat keuntungan usahanya dan penyerapan tenaga kerja, serta meningkatkan 75 persen upah karyawan; 4) OSS menghasilkan pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja dan kemakmuran.

Analisis kebijakan publik sangat penting karena keberadaan dan implementasinya akan menghasilkan sesuatu yang bisa menjadi pendorong atau sebaliknya malah menghambat aktivitas ekonomi, di mana UKM menjadi salah satu bagiannya. Dalam konteks studi ini, analisis kebijakan dalam aspek perdagangan dan ketenagakerjaan UKM harus selalu dikaitkan dengan upaya mengurangi kemiskinan. Dalam konteks tersebut, pengembangan UKM menjadi penting karena perannya yang signifikan dalam menciptakan lapangan pekerjaan dan meningkatkan daya beli masyarakat. Oleh karenanya penting untuk menyingkirkan segala hal yang menghambat potensi UKM dalam meningkatkan kinerja ekonominya.

Analisis kebijakan publik/pemerintah dalam studi ini yang meliputi UU, PP, Keppres/Perpres, Kepmen, dan Perda, pada dasarnya untuk mengetahui apakah kebijakan pemerintah dalam pengembangan UKM telah dilakukan secara komprehensif. Untuk itu, sebelum membahas isu spesifik mengenai perdagangan dan ketenagakerjaan UKM, akan disampaikan terlebih dahulu prinsip prinsip dasar yang perlu menjadi acuan dalam pengembangan UKM.

Mengacu pada kenyataan bahwa belum ada cetak biru pengembangan UKM sebagaimana disampaikan sebelumnya, beberapa hal dasar sebagai acuan adalah pentingnya koordinasi dan

4. Kajian Peraturan

Perundang-undangan

kerjasama antar instansi pemerintah pusat, hubungan yang harmonis antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dan yang tidak kalah pentingnya adalah pola hubungan antara pemerintah (pusat dan daerah) dengan sektor non pemerintah – secara khusus, pelaku usaha besar maupun kecil.

Selain hal-hal dasar di atas, cetak biru pengembangan UKM juga harus memperlihatkan saling ketergantungan/interdependensi bisnis antara UKM dengan perusahaan besar dalam suatu hubungan yang saling menguntungkan. Hal ini penting tidak saja bagi para pelaku usaha (besar dan kecil) sebagai subyek kebijakan, namun juga bagi pemerintah agar tidak terjebak dalam kegiatan karitatif dan melaksanakan kegiatan semata mata hanya demi kegiatan itu sendiri, dengan mengesampingkan tujuan substansial pengembangan UKM.

Studi literatur (lihat JICA-GoI, 2004), didukung pendapat para narasumber yang diwawancarai, menegaskan bahwa pengembangan UKM dalam hubungan yang saling tergantung dengan pelaku besar harus didekati melalui pengembangan pengelompokan (cluster) industri yang spesifik untuk tiap jenis industri. Contoh dalam Boks sebelumnya menunjukkan bahwa keberhasilan kemitraan pelaku besar dan UMK menjadi produktif untuk jangka panjang karena adanya keterkaitan bisnis dalam suatu industri tertentu.

Atas dasar prinsip-prinsip dasar di atas, analisis terhadap kebijakan-kebijakan perdagangan dan ketenagakerjaan yang berlaku12 yang akan diuraikan berikut ini, menggunakan kerangka pembahasan dalam kaitannya dengan tata pemerintahan yang berlaku dan pengelompokan lini industri terkait, dengan acuan sejumlah kriteria analisis kebijakan yang dikemukakan dalam bagian metodologi di atas. Meskipun analisis kebijakan diupayakan menghasilkan suatu analisis yang komprehensif

12 Lihat lampiran daftar peraturan perundang-undangan yang dianalisis dalam studi ini.

untuk pengembangan UKM, namun karena lingkupnya yang terbatas pada kebijakan perdagangan dan ketenagakerjaan, maka sebagai konsekuensi analisis yang dihasilkan merupakan analisis parsial untuk pengembangan UKM.

Tidak seperti sektor sektor usaha lain yang memiliki undang-undang sendiri seperti UU Kehutanan, Pertambangan, Migas, dan lain-lain, hingga saat ini Indonesia belum memiliki UU Perdagangan Dalam Negeri. Selama tiga tahun terakhir ini, pemerintah berupaya membuat RUU tersebut tapi sampai tulisan ini dibuat, RUU tersebut belum terselesaikan. Kebijakan perdagangan dalam negeri selama ini mengandalkan sejumlah PP, Keppres, dan Kepmen yang langsung berhubungan dengan perdagangan; dan secara tidak langsung diatur dalam UU sektor pemerintahan lainnya yang berimplikasi ke perdagangan. Sementara itu, dalam perdagangan internasional, Indonesia relatif cepat dalam mengadopsi kebijakan perdagangan global dan regional dengan meratifikasi kebijakan perdagangan internasional, seperti WTO. Dalam skala regional, Indonesia juga aktif menerapkan konsensus APEC dengan meminimalisasi hambatan Perdagangan antarnegara anggotanya.

Dari kajian perundang-undangan di tingkat nasional, ditemukan adanya kemungkinan terjadinya disharmoni antara kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pusat yang berimplikasi ke sektor perdagangan. Melalui UU No.7/1994 tentang Ratifikasi Kebijakan Perdagangan WTO, Indonesia telah mengikuti arus global untuk menghilangkan hambatan perdagangan antarnegara, namun ternyata hal ini tidak diikuti dengan kebijakan perdagangan dalam negeri. UU 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah (di bawah Departemen Dalam Negeri), sebagai dasar UU yang menerapkan otonomi daerah, memberikan kewenangan sepenuhnya pada daerah untuk mengatur kebijakan perdagangannya. Demikian pula dengan

4.1. Peraturan

4.1. Peraturan4.1. Peraturan

4.1. Peraturan

4.1. Peraturan

Perundang-Perundang-

Perundang-undangan

undanganundangan

undangan

undangan

yang

yangyang

yang

yang

Dokumen terkait