• Tidak ada hasil yang ditemukan

NORMA BATAS USIA PENSIUN DALAM UU NO. 5 TAHUN 2014

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. NORMA BATAS USIA PENSIUN DALAM UU NO. 5 TAHUN 2014

Kajian teori dengan logika deduktif atas berbagai aspek kebijakan BUP dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 yang dipadukan dengan analisis data lapangan menghasilkan beberapa temuan penelitian sebagai berikut :

Rangkuman Fakta Lingkungan :

a. Konsep Norma BUP yang terlampau definitif.

b. Posisi UU-ASN tidak jelas. Apakah sebagai UU Pokok atau sebagai pelengkap ?

c. Sistem Regulasi ASN kurang mendukung. BUP dijadikan standar tunggal, tidak ada opsi lain

d. Overlapping UU. Ada beberapa UU lain yang juga mengatur BUP PNS

e. UU No. 5 Tahun 2014 tidak khusus ditujukan untuk mengatasi persoalan tersebut. Oleh karena itu substansi masalah sebelumnya masih langgeng.

(Fakta) Tinggi

1. Abstraksi Konsep yang Terlampau Definitif : Mengandung Potensi Masalah

Ketentuan BUP yang dituangkan dalam UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur

Sipil Negara merupakan kebijakan publik level negara. Proses penjaringan aspirasi,

penyusunan agenda pembahasan hingga ratifikasi kebijakan itu idealnya tidak hanya melibatkan lembaga executive (pemerintah) saja, tetapi juga melibatkan DPR sebagai lembaga legislative yang mewakili seluruh rakyat Indonesia. Kebijakan regulasi ini bersifat general karena berlaku untuk seluruh wilayah hukum Republik Indonesia –

kecuali ditentukan lain secara khusus. Kebijakan ini lebih banyak menuntut format regulasi yang bersifat mayor, konsepsual dan strategis di tingkat nasional, daripada format teknis operasional khusus yang langsung bisa diterapkan di lapangan (Dunn, 1981). Oleh karena itu konsep-konsep yang dipergunakan seharusnya adalah konsep dengan tingkat abstraksi yang tinggi dan general. Namun demikian tetap tidak boleh mengandung kemungkinan multi-tafsir yang tidak sejalan – apalagi berlawanan – dengan filosofi, semangat dan tujuan regulasi itu sendiri. Fakta temuan penelitian ini menunjukkan hal yang sebaliknya. Rumusan regulasi BUP dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 ini terlalu teknis dan menggunakan konsep dengan tingkat abstraksi yang terlalu kongkrit dan operasional. Hal ini terlihat dalam pasal 90 UU tersebut. Dalam pasal itu BUP diatur dengan menyebut angka BUP secara definitif, yaitu : (a) 58 (lima puluh delapan) tahun bagi Pejabat

Administrasi ; (b) 60 (enam puluh) tahun bagi Pejabat Pimpinan Tinggi ; dan (c) sesuai

dengan ketentuan peraturan per-UU-an bagi Pejabat Fungsional. Pengaturan yang definitif bagi Pejabat Administrasi dan Pejabat Pimpinan Tinggi dalam UU ini secara

teoritis tidak tepat, karena menutup peluang diskresi untuk penyelesaian persoalan khusus yang unik dan kasus-kasus lain yang sebelumnya tidak diperkirakan kemunculannya

(unpredictable). Oleh karena itu pasal ini berpotensi memunculkan masalah implementasi

di lapangan yang mendorong munculnya pelanggaran substansi pasal 90 itu sendiri. Pada sisi lain, pengaturan BUP untuk PNS Pejabat Fungsional sudah lebih baik. Tuntutan teoritis sifat general, konsepsual dan strategis di tingkat nasional itu telah

ter-cover pasal 90 huruf c. Pada tahap implementasinya nanti bisa dibuat peraturan

pelaksanaan yang lebih operasional dan diskresi – bilamana diperlukan – untuk menghadapi persoalan-persoalan khusus yang unpredictable. Jadi kemungkinan munculnya masalah pada tahap implementasi di kemudian hari menjadi lebih kecil.

Pengaturan menggunakan batasan konsep yang ketat dan operasional membuat ketentuan itu bisa langsung dilaksanakan tanpa harus menunggu terbitnya peraturan pelaksananya. Namun demikian format aturan BUP yang seperti itu memberikan ruang gerak yang lebih terbatas bagi para pelaksananya ketika mereka harus membuat keputusan

yang “berbeda” dengan definisi ketat aturan UU itu. Tidak ada lagi variasi aturan pelaksanaan yang bisa ditemui. Tidak ada lagi "tawar-menawar" dan kompromi di tahap implementasi – walau mungkin ada pertimbangan lain yang lebih urgent. Di satu sisi ketentuan hukum yang ketat ini lebih baik karena menciptakan kepastian hukum yang seragam dan mudah dilaksanakan, namun di sisi lainnya sistem regulasi menjadi tidak

flexible dan mandul ketika menghadapi kasus unik atau khas, di luar prediksi para pembuat

kebijakan publik itu. Fakta empiris persoalan yang berkembang di lapangan itu bisa tidak seragam, bisa memiliki ke-khas-an masing-masing. Menghadapi keanekaragaman

persoalan lapangan yang seperti ini, pola pengaturan yang detail akan tidak berdaya dan bahkan kontra-produktif, dan bisa jadi memunculkan masalah baru. Pola pengaturan yang detail dalam UU itu tidak memberikan keleluasaan bagi pejabat pelaksananya di lapangan untuk kreatif mengambil keputusan khusus (discretion) bilamana harus mengatasi persoalan publik yang urgent dan membutuhkan penanganan khusus pula. Rumusan definitif yang terlampau ketat tentang BUP bisa ditemukan dalam Pasal 87 ayat (1) UU No. 5 Tahun 2014.

Bila dibandingkan dengan UU yang digantikannya, yaitu UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian – dan perubahannya berdasarkan UU Nomor 43 Tahun

1999 – pengaturan BUP dalam UU ini jauh lebih longgar. Keterangan selengkapnya

sebagai berikut :

Batas Usia Pensiun (BUP) substansi UU No. 8 Tahun 1974 itu tidak diaturnya secara rinci, namun hanya secara umum saja. Norma umum yang relevan dengan BUP itu hanya ada pada pasal 23 ayat (1) huruf b dan pasal 36 saja. Bagian pasal 23 yang terkait dengan BUP ini berbunyi :

1) Pegawai Negeri Sipil dapat diberhentikan dengan hormat, karena : a. Permintaan sendiri ;

b. Telah mencapai usia pensiun ;

c. Adanya penyederhanaan organisasi pemerintah ;

d. Tidak cakap jasmani atau rohani sehingga tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai Pegawai Negeri Sipil.

2) Pegawai Negeri Sipil yang meninggal dunia dengan sendirinya dianggap diberhentikan dengan hormat.

Pada pasal 23 itu jelas terlihat bahwa BUP tersebut tidak diatur secara rinci. Sementara itu pada pasal-pasal lain dan penjelasannya juga tidak ditemukan perinciannya. Satu-satunya

pasal dalam UU itu yang relevan dan merupakan kelanjutan dari norma pasal 23 tersebut adalah pasal 36. Secara lengkap berbunyi :

"Perincian tentang hal-hal yang dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 35 Undang-undang ini diatur lebih lanjut dengan peraturan perundang-undangan".

Demikianlah format regulasi BUP yang terkandung di dalam UU No. 8 Tahun 1974 tentang

Pokok-pokok Kepegawaian. Oleh karena format yang longgar seperti itu maka pada tahap

implementasinya masih dibutuhkan peraturan pelaksana yang lebih khusus, lebih rinci dan bersifat lebih operasional. Dalam kontek sistem hierarki peraturan perundang-UU-an di Indonesia dewasa ini peraturan per-UU-an yang dibutuhkan adalah Peraturan Pemerintah

(PP), Keputusan Presiden (Kepres), atau peraturan pelaksanaan yang lainnya. Ada 2

konsekwensi logis yang harus dihadapi. Keduanya bisa menguntungkan namun sekaligus bisa menyulitkan dan menjadi tantangan birokrat yang melaksanakan :

a. Pola pengaturan BUP seperti ini memiliki keunggulan dan kelemahan inherent di dalamnya. Keunggulannya adalah peraturan seperti ini tidak mudah usang atau

ketinggalan jaman karena relatif mampu menyesuaikan diri dengan perubahan bentuk

dan struktur permasalahan yang disasar melalui fleksibilitas peraturan pelaksanaannya. Fleksibilitas peraturan pelaksana bisa didapatkan karena proses pembuatannya jauh lebih sederhana dan peraturan pelaksanaan UU itu dibuat belakangan. Selain itu peraturan pelaksana UU itu sekaligus bisa berfungsi mengantisipasi dan/atau merespon munculnya masalah nyata di lapangan yang dinamis dan munculnya belakangan pula. Oleh karena itu substansi peraturan pelaksanaan tersebut bisa dengan mudah disesuaikan dengan kebutuhan khas di lapangan tanpa melanggar pasal, semangat dan tujuan UU itu. Disamping itu peraturan pelaksanaan UU itu bisa di-"mainkan" atau

dijadikan instrumen untuk memecahkan masalah sesuai dengan dinamika, bentuk dan pola persoalan yang unpredictable pada saat penyusunan UU tersebut.

b. Ditinjau dari aspek sistem dan prosedur penyusunannya, penyusunan peraturan pelaksanaan itu jauh lebih sederhana karena hanya berbentuk Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Presiden (Kepres) dan/atau peraturan pelaksana lainnya. Proses penyusunan dan prosedur perubahannya hanya perlu melibatkan unsur kekuasaan

eksekutif saja, sementara itu bila substansi peraturan BUP itu telah definitif atau

terperinci dalam UU, proses amandemen atau perubahannya harus melibatkan unsur eksekutif dan legislatif (DPR). Hal ini jelas membutuhkan waktu yang lebih lama dan energi yang lebih banyak, serta kemungkinan "benturan" kepentingan yang lebih besar antara unsur birokrasi (pemerintah) dan non-birokrasi – terutama DPR. Pengalaman selama empat puluh tahun (1974 – 2014) telah membuktikannya. Implementasi peraturan BUP dalam UU No. 8 Tahun 1974 itu tidak banyak menemui persoalan yang berarti. Walau peraturan BUP dalam UU itu dilaksanakan melalui Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), Keputusan Presiden (Kepres) dan Peraturan Menteri (Permen), maksud, tujuan serta semangat peraturan BUP dalam UU No. 8 Tahun 1974 itu tetap terjaga.

2. Overlapping Peraturan BUP

Disamping telah diatur dalam UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara masih ada UU lain yang juga mengatur BUP PNS ini dengan jabatan tertentu, yaitu : UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan

Tinggi dan UU No. 3/2006 Peradilan Agama dan UU No. 16/2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa regulasi peraturan BUP di Indonesia

dewasa ini masih belum benar-benar terintegrasi. Secara langsung ataupun tidak langsung akan berpengaruh negatif terhadap implementasi UU ASN ini, karena mengatur hal yang sama. Data lengkap yang mendukung temuan penelitian itu bisa dibaca dalam tabel 6 di bawah ini.

Tabel 6 :

Dasar Hukum Pelaksanaan Peraturan BUP PNS di Indonesia sebelum lahirnya UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara – menunjukkan 3 pola masalah: (a) Penyusunannya tidak terintegrasi; (b) Adanya overlapping pengaturan; (3) Bersifat perpanjangan dari aturan utama.

No. Jabatan BUP Dasar Hukum Keterangan

1. Dosen 65 tahun UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen

Pasal 67 ayat (4) :

Pemberhentian dosen karena batas usia pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan pada usia 65 (enam puluh lima) tahun.

2. Guru Besar 70 tahun UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen

UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi

Pasal 67 ayat (5) : Profesor yang berprestasi dapat diperpanjang batas usia pensiunnya sampai 70 (tujuh puluh) tahun Pasal 72 ayat (4) :

Batas usia pensiun Dosen yang menduduki

jabatanakademik profesor ditetapkan 70 (tujuh puluh) tahun dan Pemerintah memberikan tunjangan profesi serta tunjangan kehormatan.

3. GB dan GB Emiritus

70tahun Permendiknas No. 38/2006 tentang Persyaratan dan Tata Cara Perpanjangan BUP Guru Besar dan

Pasal 2 :

(1) Batas usia pensiun Guru Besar dapat diperpanjang sampai dengan usia 70 (tujuh puluh) tahun.

(2) Perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.

(Diusulkan setiap tahun mulai ybs berusia 65 tahun hingga 70 tahun)

Permendiknas No. 09/2008 tentang Perpanjangan BUP PNS yang Menduduki Jabatan Guru

Besar/Profesor dan Pengangkatan Guru besar/Profesor Emiritus

Sesuai Permendiknas No. 9 tahun 2008 Perpanjangan BUK pertama berlaku untuk 2 tahun, yaitu usia 65 tahun hingga 67 tahun, seterusnya diusulkan setiap tahun hingga mencapai 70 tahun

4. Guru 60 tahun UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen

Pasal 30 ayat (4) :

Guru dapat diberhentikan dengan hormat dari jabatan sebagai guru karena:a. meninggal dunia;b. mencapai batas usia pensiun;....dst.

Ayat (4) :

Pemberhentian guru karena batas usia pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukanpada usia 60 (enam puluh) tahun.

5. Widyaiswara Utama/Utama Madya

65 tahun Keppres No. 63/1986 tentang BUP PNS yang menjabat Jabatan Fungsional Widyaiswara dan Penyuluh Pertanian

Pasal 1 (1) :

BUP untuk Pemberhentian PNS :

a) 65 (enam puluh lima) tahun bagi PNS yang memangku jabatan (1) Widyaiswara Utama; (2) Widyaiswara Utama Madya

b) 60 (enam puluh) tahun bagi PNS yang dengan jabatan :

a) Widyaiswaran utama Muda b) Widyaiswara Utama Pratama c) Widyaiswara Madya

d) Widyaiswara Muda e) Widyaiswara Pratama

f) Penyuluh Pertanian Utama Muda g) Penyuluh Pertanian Utama Pratama h) Penyuluh Pertanian Madya

i) Penyuluh Pertanian Muda j) Penyuluh Pertanian Pratama. 1.

6. Semua PNS 56 tahun Ketentuan awal

PP No. 32 tahun 1979 tentang Pemberhentian PNS.

Keterangan :

PP tersebut disebut sebagai ketentuan awal karena materi dalam PP tersebut menjadi sumber pembuatan ketentuan berikutnya yang lebih pasti.

BUP PNS ditentukan 56 (lima puluh enam) tahun (Pasal 3 ayat 2). Dalam UU yang dilaksanakannya – UU No. 8 Tahun 1974 – belum memuat ketentuan BUP yang definitif seperti ini.

1. Dapat diperpanjang sampai dengan 65 (enam puluh lima) tahun bagi PNS yang memangku jabatan (opsi) :

a) Ahli Peneliti dan Peneliti

b) Guru Besar, Lektor Kepala, Lektor yang ditugaskan secara penuh pada perguruan tinggi;

c) 60 (enam puluh) tahun PNS yang memangku jabatan :

d) Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung

e) Pimpinan Kesekretariatan Lembaga

Tertinggi/Tinggi Negara;memangku jabatan tertentu.

f) Jabatan lain yang ditentukan oleh Presiden; g) Jaksa Agung

h) Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen

i) Sekretaris Jenderal, Inspektur Jenderal, Direktur Jenderal, dan Kepala Badan di Departemen; Eselon I dalam jabatan

strukturil, Eselon II dalam jabatan strukturil; j) Dokter yang ditugaskan secara penuh pada

Lembaga Kedokteran Negeri sesuai dengan profesinya;

k) Pengawas Sekolah Lanjutan Tingkat Atas dan Pengawas Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama; l) Guru yang ditugaskan secara penuh pada

Sekolah Lanjutan Tingkat Atas dan Sekolah LanjutanTingkat Pertama

m) Penilik Taman Kanak-kanak, Penilik Sekolah Dasar, dan Penilik Pendidikan Agama n) Guru yang ditugaskan secara penuh pada

Sekolah Dasar

o) Jabatan lain yang ditentukan olehPresiden. 2. 58 (lima puluh delapan) tahun bagi PNS yang

a) Hakim pada Mahkamah Pelayaran b) Hakim pada Pengadilan Tinggi c) Hakim pada Pengadilan Negeri

d) Hakim Agama pada Pengadilan Agama Tingkat Banding

e) Hakim Agama pada Pengadilan Agama f) Jabatan lain yang ditentukan oleh Presiden. 7. Auditor Madya

dan Utama

60 tahun Perpres no.41/2012 tentang Perpanjangan BUP bagi PNS yang Menduduki Jabatan Fungsional Auditor

Perpanjangan

8. Arsiparis Madya dan Utama

60 tahun Perpres No. 42/2012 tentang Perpanjangan BUP bagi PNS yang Menduduki Jabatan Fungsional Arsiparis

Perpanjangan

9. Pemeriksa Madya dan Utama

60 tahun Perpres No. 52/2012 tentang Perpanjangan BUP bagi PNS yang Menduduki Jabatan Fungsional Pemeriksa

Perpanjangan

10. Ketua, Wakil Ketua dan Hakim Pengadilan Agama

62 tahun UU No. 3/2006 tentang

Peradilan Agama

Ketentuan awal

11. Ketua, Wakil Ketua dan Hakim Pengadilan Tinggi Agama

65 tahun UU No. 3/2006

Peradilan Agama

Ketentuan awal

12. Jaksa 62 tahun UU No. 16/2004

tentang Kejaksaan Republik Indonesia Ketentuan awal 13. Peneliti Madya dan Utama 65 tahun PP No. 65/2008 tentang Perubahan kedua atas PP No. 32. Tahun 1979 tentang Pemberhentian PNS

Perpanjangan

14. Dokter 60 tahun PP No. 65/2008 Perpanjangan

Paling tidak, ada 3 hal penting sebagai temuan penelitian ini yang harus dicatat dalam berbagai peraturan yang terkait dengan BUP PNS sebelum lahirnya UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara ini, yaitu : (a) Penyusunannya yang tidak terintegrasi, (b) Adanya overlapping pengaturan BUP di tingkat UU, dan (c) Pengaturan BUP kebanyakan bersifat ad hoc yang berbentuk perpanjangan dari aturan utama) yang dipermanenkan.

a. Penyusunan Kebijakan yang Tidak Terintegrasi

UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, UU No. 16/2004 tentang

Kejaksaan Republik Indonesia, UU No. 3/2006 tentang Peradilan Agama, UU No. 14

Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan

Tinggi adalah contoh produk proses legislasi yang tidak terpadu. Di antara ke 5 UU

tersebut seolah-olah berjalan sendiri-sendiri untuk mencapai kepentingan sektoralnya saja tanpa memperhatikan kepentingan sektor lainnya. Sebagai bukti :

1) Pada diktum menimbang/mengingat dalam UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru

dan Dosen hanya dimasukkan materi mengingat UUD 1945 dan UU No. 20 Tahun

2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Tidak dicantumkan materi mengingat UU tentang Pokok-pokok Kepegawaian – apalagi peraturan pelaksanaannya – pada hal ke dua peraturan UU itu mengatur obyek yang sama.

2) Sama halnya dengan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. UU ini lebih parah lagi, yaitu hanya mencantumkan materi pertimbangan pasal 20, 21 dan 31 UUD 1945 saja. Hal ini berarti mengabaikan peraturan lain yang setingkat, padahal mengatur materi BUP yang sama.

3) UU No. 3/2006 tentang Peradilan Agama juga sama keadaannya. legislator atau perancang atau pembuat UU ketika itu, secara etis seharusnya memasukkan UU

lain yang pengatur obyek yang sama dalam diktum “menimbang”. Sehingga dalam

pembuatan peraturan pelaksanaan ke 2 UU tersebut (UU no. 3/2006 dengan UU No. 8 Tahun 1974) nantinya tidak memunculkan disharmoni, baik yang bersifat

overlap maupun antagonist. Dalam UU No. 3 tahun 2006 yang mengatur BUP

Aparatur Negara (Ketua, Wakil Ketua dan Hakim Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama) itu justru tidak memasukkan UU tentang Pokok-pokok Kepegawaian sebagai bahan yang harus diingat. Padahal banyak UU lain

dimasukkan dalam diktum “menimbang”, yaitu : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24, dan

Pasal 25 UUD Tahun 1945, UUU 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan

atas UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang

Kekuasaan Kehakiman.

Sebagai catatan : mungkin persoalan ketidakterpaduan penyusunan UU yang menyangkut pemberhentian ASN ini tidak menjadi persoalan ketika tidak ada pihak yang dirugikan. Namun bilamana suatu saat ada pihak yang merasa dirugikan dan menuntut judisial review ke MA/MK – dan dikabulkan oleh MA/MK – maka hal ini akan menjadi persoalan besar. Kita masih ingat kasus pengangkatan Jaksa Agung Hendarman Supanji tanpa SK Presiden pada kabinet Indonesia Bersatu jilid

II tahun 2009. Hal itu baru menjadi persoalan ketika dituntut oleh Mantan Menteri HAM Yusril Izha Mahendra ke MK dan kemudian dikabulkan.

4) Overlapping Pengaturan di Tingkat UU

Penyusunan kebijakan publik – yang kemudian dilegalisir dalam bentuk UU – yang tidak terintegrasi mengisyaratkan kepentingan publik yang diperjuangkan di dalam masing-masing rancangan UU itu dipersepsikan atau diasumsikan oleh para legislatornya bersifat independen dan tidak terkait satu sama lainnya. Padahal asumsi dan persepsi itu tidak pernah terwujud dalam satu waktu tertentu. Dengan kata lain dalam kehidupan nyata independensi absolut antar sektor dalam kepentingan publik itu tidak pernah ada di lapangan. Hanya soal waktu saja kapan dependensi antar sektor itu terungkap sudah dalam bentuk masalah nyata.

3. Keharusan Pensiun Absolut vs Opsi Keputusan Pensiun PNS

Selanjutnya, kelemahan yang bisa ditemui dalam pola pengaturan BUP yang longgar seperti itu adalah adanya kekhawatiran penyalahgunaan kewenangan pembuatan peraturan pelaksana norma BUP itu. Namun sejauh ini belum pernah ditemui kasus penyalahgunaan kewenangan yang signifikan mengganggu semangat dan tujuan eksistensi peraturan BUP ini. Namun demikian tetap saja potensial terjadi. Apalagi dalam kontek

implementasi kebijakan otonomi daerah dewasa ini, dimana jumlah pejabat pembina

kepegawaian bertambah menjadi begitu banyak – yang berarti semakin mempersulit pengawasan dan pengendaliannya. Masalah yang bisa ditemui baru sebatas munculnya

kekhawatiran penyalahgunaan kewenangan saja dan kecemburuan di kalangan PNS di

instansi-instansi tertentu yang menggunakan standar BUP berbeda yang dinilai tidak adil

– data selengkapnya bisa dilihat dalam tabel 6 di atas.

Dibandingkan dengan UU No. 8 Tahun 1974, norma BUP dalam UU No. 5 Tahun 2014 menggunakan batasan yang lebih ketat dan lebih operasional. Menghadapi keanekaragaman persoalan lapangan, pola pengaturan yang ketat ini menunjukkan kelemahannya. Pola pengaturan yang detail dalam UU itu tidak memberikan keleluasaan

pejabat pelaksananya di lapangan untuk mengambil keputusan khusus (discretion)

bilamana ingin mengatasi persoalan publik yang urgent dan membutuhkan penanganan khusus pula. Perhatikan rumusan definitif Pasal 87 ayat (1) UU No. 5 Tahun 2014 berikut ini, khususnya tidak digunakannya kata "dapat" dalam pasal tersebut.

Pasal 87

(1) PNS diberhentikan dengan hormat karena: a. meninggal dunia;

b. atas permintaan sendiri;

c. mencapai batas usia pensiun;

d. perampingan organisasi atau kebijakan pemerintah yang mengakibatkan pensiun dini; atau

e. tidak cakap jasmani dan/atau rohani sehingga tidak dapat menjalankan tugas dan kewajiban.

Bandingkan hal yang sama dengan pasal 23 UU No. 8 Tahun 1974. Dalam pasal 23 UU No. 8 Tahun 1974 itu didapati ketentuan yang sifatnya pilihan (option). Penggunaan kata

“dapat" menunjukkan bahwa UU No. 8 Tahun 1974 itu masih memberikan alternatif

keputusan lain yang dianggap perlu, yaitu bilamana ada pertimbangan yang lebih urgent pada tahap implementasinya. Rumusan selengkapnya Pasal 23 ayat (1) dan (2) UU No. 8 Tahun 1974 itu sebagai berikut :

Pasal 23

Pegawai Negeri Sipil dapat diberhentikan dengan hormat, karena : a. permintaan sendiri;

b. telah mencapai usia pensiun;

c. adanya penyederhanaan organisasi Pemerintah; d. tidak cakap jasmani atau rohani sehingga tidak dapat

menjalankankewajiban sebagai Pegawai Negerl Sipil.

Pegawai Negeri Sipil yang meninggal dunia dengan sendirinya dianggap diberhentikan dengan hormat.

4. Norma BUP Ketat menjadi Alasan Tunggal Pemberhentian PNS : Tidak berdampak pada peningkatan efektivitas pelaksanaan tugas

Pasal 87 ayat (1) UU ASN menyatakan bahwa PNS diberhentikan dengan hormat karena 5 alasan, yaitu : (a) meninggal dunia; (b) atas permintaan sendiri; (c) mencapai batas usia

pensiun; (d) perampingan organisasi atau kebijakan pemerintah yang mengakibatkan pensiun dini; (e) tidak cakap jasmani dan/atau rohani sehingga tidak dapat menjalankan tugas dan kewajiban. Di antara alasan-alasan pemberhentian dengan hormat tersebut,

alasan mencapai batas usia pensiun adalah satu-satunya alasan yang tidak terkait secara

langsung dengan efektivitas pelaksanaan tugas pekerjaan PNS yang bersangkutan.

Selanjutnya pada Pasal 90 batas usia pensiun (BUP) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) huruf c itu ditentukan secara definitif :

a. 58 (lima puluh delapan) tahun bagi Pejabat Administrasi ; b. 60 (enam puluh) tahun bagi Pejabat Pimpinan ; dan

Dengan aturan definitif itu maka tertutup kemungkinan pemberlakuan BUP di luar ketentuan tersebut kecuali ditentukan lain dengan Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti UU) dan/atau UU yang lain. Bahkan PNS yang tidak menduduki jabatan tertentu sebagai Pejabat Administrasi, Pejabat Pimpinan dan Pejabat Fungsional tidak diatur dalam UU ASN ini.

Aturan BUP itu tidak terkait secara langsung dengan efektivitas pelaksanaan tugas PNS karena faktor kemampuan SDM PNS dan efektivitas pelaksanaan tugas PNS itu tidak selalu berkorelasi langsung dengan faktor usia, namun lebih banyak ditentukan oleh faktor lain, seperti faktor kesehatan, faktor motivasi dan semangat kerja, dan lain sebagainya. Jadi bisa saja seorang PNS itu sudah mencapai BUP namun masih produktif, sebaliknya ada pula seorang PNS berusia relatif muda, masih jauh dari BUP namun sakit-sakitan sehingga

Dokumen terkait