• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PERATURAN BATAS USIA PENSIUN PNS DALAM UU NO. 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS PERATURAN BATAS USIA PENSIUN PNS DALAM UU NO. 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA."

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PERATURAN BATAS USIA PENSIUN PNS

DALAM UU NO. 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA

Argo Pambudi, Joko Kumoro

Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta e-mail : argopmb@gmail.com, argo_pambudi@uny.ac.id

Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Yogyakarta e-mail : jokokum@uny.ac.id

ABSTRACT

This research is motivated by a deep desire of understanding the changes of policy content of the Limit of Retirement Age of civil servants in the Government of the city of Yogyakarta. Substantive analysis of this research focused on the acceptability of the regulation of the Limit Age of Retirement. The purpose of this study is to contribute to the empowerment of the state apparatus through a intensification of existing civil servants, preventing civil servants who are still productive to leave the bureaucratic structure in earlier - which means a waste of state finances - and to propose alternative arrangements of future policy of retirement age for civil servants. The research method used in this study is a Mixed Methods Analysis, which is a combination of both Survey Method with Qualitative Descriptive research methods. Informants and respondents of this study is the structural and functional officials in the city government that is actually involved in the problems associated with the implementation of this regulatory changes. The results of this research showed that most civil servants who was observed received this new rules, but from the perspective of the municipal government organization this policy raises a number of internal problems, especially problems related to fulfilment structural positions pertaining with limited in number of the existing number of civil servants.

Keywords :

(2)

ANALISIS PERATURAN BATAS USIA PENSIUN PNS

DALAM UU NO. 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA

Argo Pambudi, Joko Kumoro

Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta e-mail : argopmb@gmail.com, argo_pambudi@uny.ac.id

Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Yogyakarta e-mail : jokokum@uny.ac.id

RINGKASAN

Penelitian ini dilatar-belakangi keinginan untuk memahami contens kebijakan tentang Batas Usia Pensiun PNS di lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta, dalam rangka implementasi UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Sasaran analisisnya ditekankan pada akseptabilitas substantif perubahan peraturan BUP PNS. Tujuannya adalah menyusun masukan untuk pemerintah dalam menentukan strategi implentasi peraturan BUP itu di lapangan.

Metode penelitian yang dipakai adalah mix methods analysis, yaitu perpaduan antara metode penelitian analisis deskriptif kualitatif dengan metode penelitian survai.

Hasil penelitian tahun I ini menunjukkan bahwa tingkat Akseptabilitas substantif kebijakan BUP itu begitu tinggi, namun gagal menjadi momentum yang baik untuk intensifikasi SDM PNS di lokasi penelitian, karena berada dalam lingkungan sistem regulasi yang kurang mendukung. Oleh karenanya tidak berdampak pada peningkatan kompetensi dan profesionalisme PNS di lokasi penelitian. Hasil penelitian tahun I ini masih perlu dibahas lebih lanjut – pada penelitian tahun II

nanti – untuk menentukan strategi terbaik dalam mengimplementaskani peraturan BUP tersebut

untuk jangka panjang. Kesemuanya itu bertujuan agar bisa dicapai peningkatan efektifitas, efisiensi serta produktivitas PNS berdasarkan UU ASN ini.

Kata kunci :

(3)

LAPORAN AKHIR TAHUN I PENELITIAN HIBAH BERSAING

AKSEPTABILITAS SUBSTANTIF

PERATURAN BATAS USIA PENSIUN PNS DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA

Dalam rangka Implementasi UU Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara

TIM PENELITI

Drs. Argo Pambudi, M.Si., NIDN : 0024026207 Joko Kumoro, M.Si., NIDN : 0026066009

Dibiayai oleh DIPA

Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Nomor DIPA-023.04.1.673453/2015, tanggal 14 November 2014

DIPA revisi 01 tanggal 03 Maret 2015

Skim : Penelitian Hibah Bersaing Tahun Anggaran 2015

Nomor : 062/SP2H/PL/DIT.LITABMAS/II/2015 Tanggal 5 Februari 2015

FAKULTAS ILMU SOSIAL

(4)
(5)

KATA PENGANTAR

Bismilahirohmannirohim. Ucap syukur alhamdlulillah tim peneliti haturkan kepada

Allah SWT atas terselesaikannya penelitian tahun I ini. Kiranya tanpa ijin dari-Nya mustahil penelitian ini bisa selesai dengan baik.

Banyak data empiris, pengalaman dan tambahan pengetahuan yang berhasil kami dapatkan selama berlangsungnya proses penelitian ini. Banyak pihak telah berjasa mendukung keberlangsungan penelitian ini. Kesempurnaan substansi maupun metodologi penelitian ini banyak sekali berasal dari masukan para pihak tersebut, baik yang berupa kritik, saran, komentar maupun masukan-masukan lain yang inspiratif untuk didesiminasikan lebih lanjut. Sekecil apapun masukan tersebut ternyata memiliki manfaat yang besar melalui proses desiminasi dan pengembangan kreatif – yang sebelumnya

(6)

konsekwensinya, pada tahun ke II penelitian ini akan menggunakan metode penelitian

content analysis dan meta analysis.

Pengalaman pengumpulan data lapangan, terutama melalui teknik wawancara, juga sangat bermanfaat memperkaya wawasan kedalaman makna yang sesungguhnya dipahami responden/informan. Dari sinilah proses kreatif menemukan sesuatu untuk memperkaya hasil penelitian berlangsung.

Hasil penelitian tahun I ini menunjukkan bahwa tingkat Akseptabilitas substantif kebijakan BUP yang baru begitu tinggi, namun tidak bisa menjadi momentum yang baik untuk intensifikasi SDM PNS di lokasi penelitian, karena berada dalam lingkungan sistem regulasi yang kurang mendukung. Oleh karenanya tidak berdampak pada peningkatan kompetensi dan profesionalisme PNS di lokasi penelitian. Hasil penelitian tahun I ini masih perlu dibahas lebih lanjut – pada penelitian tahun II nanti – untuk menentukan strategi terbaik dalam mengimplementaskani peraturan BUP tersebut untuk jangka panjang. Kesemuanya itu bertujuan agar bisa dicapai peningkatan efektifitas, efisiensi serta produktivitas PNS berdasarkan UU ASN ini.

Selanjutnya pada kesempatan ini peneliti mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan penelitian ini, terutama kepada :

1. Bapak Dr. Mukminan dan Ibu Dr. Mami Hajaroh – reviewer internal UNY – yang telah memberikan kritik, saran dan berbagai masukan pada seminar proposal penelitian ini.

(7)

demi penyempurnaan hasil penelitian ini dan penyusunan proposal untuk tahun ke II penelitian ini.

3. Para PNS di lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta yang telah meluangkan waktu di sela kesibukannya untuk mengisi angket pengumpul data dan aktif memberi masukan dalam focused group discussion (FGD) penelitian ini.

Demikianlah kata pengantar ini. Sekali lagi peneliti sampaikan bahwa penelitian ini masih terbuka bagi banyak semua pihak untuk memberikan kritik, saran, masukan demi kesempurnaan untuk aplikasinya nanti.

(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL --- i

HALAMAN PENGESAHAN --- ii

KATA PENGANTAR --- iii

DAFTAR ISI --- vi

RINGKASAN --- viii

BAB I PENDAHULUAN --- 9

A. LATAR BELAKANG --- 9

B. TUJUAN DAN URGENSI PENELITIAN --- 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA --- 13

BAB III METODE PENELITIAN --- 29

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN --- 34

A. NORMA BATAS USIA PENSIUN DALAM UU NO. 5 TAHUN 2014 TENTANG ASN --- 33

B. KEADAAN KEPEGAWAIAN PADA PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA --- 54

C. AKSEPTABILITAS SUBSTANSIAL PERUBAHAN BUP BERDASAR DATA EMPIRIS --- 55

D. PERSOALAN KUALITATIF DARI KACAMATA PEMERINTAH --- 68

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN --- 72

A. KESIMPULAN --- 72

B. SARAN --- 74

(9)

LAMPIRAN-LAMPIRAN --- 80 - Lampiran 1 : Surat Ijin Penelitian

- Lampiran 2 : Daftar Pertanyaan dan Panduan Wawancara

- Lampiran 3 : Surat Edaran Kepala BKN NOMOR : K.26-30 lV.7 -3199 Tanggal 17 Januari 2OI4

- Lampiran 4 : UU Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara

(10)

RINGKASAN

Tujuan utama penelitian ini adalah memahami contens kebijakan tentang Batas Usia Pensiun PNS di lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta, dalam rangka implementasi UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Sasaran analisisnya ditekankan pada akseptabilitas substantif perubahan peraturan BUP PNS. Tujuan selanjutnya adalah menyusun masukan untuk pemerintah dalam menentukan strategi implentasi peraturan BUP itu di lapangan.

Metode penelitian yang dipakai adalah mix methods analysis, yaitu perpaduan antara metode penelitian analisis deskriptif kualitatif dengan metode penelitian survai.

Hasil penelitian tahun I ini menunjukkan bahwa tingkat Akseptabilitas substantif kebijakan BUP itu begitu tinggi, namun tidak bisa menjadi momentum yang baik untuk intensifikasi SDM PNS di lokasi penelitian, karena berada dalam lingkungan sistem regulasi yang kurang mendukung. Oleh karenanya tidak berdampak pada peningkatan kompetensi dan profesionalisme PNS di lokasi penelitian. Hasil penelitian tahun I ini masih perlu dibahas lebih lanjut – pada penelitian tahun II nanti – untuk menentukan strategi terbaik dalam mengimplementaskani peraturan BUP tersebut untuk jangka panjang. Kesemuanya itu bertujuan agar bisa dicapai peningkatan efektifitas, efisiensi serta produktivitas PNS berdasarkan UU ASN ini.

Kata kunci :

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Usia pensiun merupakan tahapan penting dalam perjalanan karier setiap PNS di jajaran birokrasi pemerintahan. Dibandingkan tahap-tahap sebelumnya, seperti rekruitmen, pembinaan, promosi jabatan, dan sebagainya, tahap memasuki masa pensiun ini bisa lebih bermakna. Dari sudut pandang kepentingan PNS itu yang bersangkutan, usia pensiun biasanya merupakan “puncak karier”. Sementara itu dari sudut pandang kepentingan negara, saat-saat menjelang pensiun tersebut efektivitas pembinaan PNS dan biaya yang telah dikeluarkan untuk pembinaannya juga sedang berada pada “posisi puncak”. Artinya, pada saat-saat itu pengalaman, wawasan, kematangan mental, serta banyak aspek lain dari PNS yang bersangkutan sedang mencapai puncaknya dan sangat dibutuhkan oleh negara. Sementara itu pada saat yang sama garis finish sudah tampak di depan matanya. Dalam banyak kasus finish pada usia tertentu itu belum tentu dikehendaki, dan bukan merupakan tujuan utama PNS yang bersangkuta pada saat itu. Kondisi ini kiranya tidak terlalu baik sebagai pemacu prestasi PNS di akhir masa pengabdiannya. Pada kondisi ini sudah pasti konsentrasi PNS yang bersangkutan terpecah yang berakibat kontra-produktif.

Fenomena tersebut di atas sebenarnya bisa sama artinya dengan penyalah-gunaan

(abuse) atau inefficiency pemanfaatan SDM birokrasi. Karena puncak pengalaman, puncak

(12)

Usia pensiun yang tidak dikehendaki PNS yang bersangkutan bisa berakibat kontra-produktif bagi pelaksanaan tugas dan fungsi birokrasi pada umumnya. Banyak kasus menunjukkan bahwa PNS yang memasuki usia pensiun dari berbagai aspek masih memenuhi syarat untuk bekerja dengan baik. Hanya karena peraturan pemerintah sajalah yang memaksa mereka tidak melanjutkan pengabdiannya.

Pada 15 Januari 2014 telah disahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Di dalamnya antara lain mengatur Batas Usia Pensiun (BUP) Pegawai Negeri Sipil (PNS). Satu diantaranya yang paling urgent adalah ketentuan Pasal 90 huruf a yang menentukan bahwa “PNS diberhentikan dengan hormat karena mencapai batas usia pensiun, yaitu 58 tahun bagi Pejabat Administrasi”. Disebut yang paling urgent karena batas usia pensiun 58 tahun tersebut merupakan ketentuan yang paling awal bagi setiap PNS memasuki masa pensiun dalam keadaan normal atau tanpa sebab khusus. Sebab khusus yang dimaksud adalah meninggal dunia, atas permintaan sendiri, perampingan organisasi atau kebijakan pemerintah yang mengakibatkan pensiun dini, dan dinilai tidak cakap jasmani dan/atau rohani sehingga tidak dapat menjalankan tugas dan kewajibannya. Penelitian ini bermaksud ingin mengetahui bagaimana Akseptabilitas Substantif Peraturan Batas Usia Pensiun PNS itu di Lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta.

(13)

peraturan perundang-undangan (lain) yang berlaku. Oleh karena itu di tingkat implementasi terdapat banyak variasi, diantaranya terlihat pada tabel 1.

Akibat adanya variasi tersebut maka dimungkinkan munculnya

ketidak-harmonisan suasana hati yang dikalangan PNS, yaitu manakala mereka membandingkan

dan menilai ada diskriminasi oleh si perancang dan pembuat kebijakan BUP tersebut. Suasana yang tidak harmonis ini lebih sering bersifat latent daripada terbuka, karena doktrin birokrasi yang mengharuskan PNS taat pada peraturan per-UU-an yang berlaku. Namun demikian dampaknya sudah pasti, yaitu mempengaruhi perilaku produktif PNS secara langsung ataupun tidak langsung. Berdasarkan latar belakang inilah maka ide penelitian ini hendak dikembangkan.

Tabel 1 :

Variasi Batas Usia Pensiun dan Dasar Hukumnya

No. Jabatan BUP Dasar Hukum

1. Dosen Lektor/Lektor Kepala 65 tahun UU No. 14/2005

2. Guru Besar 70 tahun UU No. 12/2012

3. GB Emiritus 70 tahun Permendiknas No. 09/2008

4. Guru 60 tahun UU No. 14/2005

5. Widyaiswara Utama/Utama Madya 65 tahun Keppres No. 63/1986 6. Widyaiswara Utama Pratama/

Madya/Muda

60 tahun Keppres No. 63/1986

7. Auditor Madya dan Utama 60 tahun Perpres no.41/2012 8. Arsiparis Madya dan Utama 60 tahun Perpres No. 42/2012 9. Pemeriksa Madya dan Utama 60 tahun Perpres No. 52/2012 10. Ketua, Wakil Ketua dan Hakim

Pengadilan Agama

62 tahun UU No. 3/2006

11. Ketua, Wakil Ketua dan Hakim Pengadilan Tinggi Agama

65 tahun UU No. 3/2006

12. Jaksa 62 tahun UU No. 16/2004

13. Peneliti Madya dan Utama 65 tahun PP No. 65/2008

14. Dokter 60 tahun PP No. 65/2008

Catatan :

(14)

B. TUJUAN DAN URGENSI PENELITIAN

- Tujuan :

Tujuan utama penelitian ini adalah memahami secara lengkap dan mendalam akseptabilitas substantif Peraturan Batas Usia Pensiun PNS itu di Lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta. Selanjutanya pemahaman yang mendalam itu dimanfaatkan untuk : (a) Mengantisipasi dan mencegah berubahnya potensi masalah implementasi peraturan BUP menjadi masalah nyata berupa penurunan produktivitas kerja birokrasi pemerintah ; (b) Menyusun bahan asistensi pemerintah dalam menyusun strategi penerapan peraturan BUP di lapangan. Kesemuanya itu dimaksudkan agar bisa dicapai peningkatan efektifitas dan produktivitas peraturan BUP tersebut.

- Urgensi :

(15)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pemerintah di semua negara senantiasa dituntut meningkatkan efektivitas, efisiensi dan produktivitas kerja jajaran birokrasi-nya. Banyak cara telah diadopsi di lingkungan birokrasi pemerintahan. Banyak bidang telah digarap untuk memenuhi tuntutan birokrasi tersebut, mencakup bidang organisasi, tata-kerja, pengembangan SDM, dan seterusnya termasuk penyempurnaan perangkat aturan untuk menjadi pedomannya. Peraturan Batas Usia Pensiun (BUK) Pegawai Negeri Sipil yang diformalkan dalam beberapa pasal UU No. 5 Tahun 2014 kiranya merupakan salah satu kebijakan yang ditujukan untuk itu. Dalam bab ini akan diuraikan konstruksi penjelasan teoritis yang dikembangkan untuk menjawab pertanyaan dalam rumusan masalah di muka. Materi yang digunakan diambil dan dikembangkan dari teori birokrasinya Weber, teori kebijakan publik dari Ripley (1985), teori Implementasi Kebijakan publik dari Merilee Grendle (1991), Larson, Van Horn dan Mazmanian & Sabatier (1983).

Pensiun dan Batas Usia Pensiun (BUP)

(16)

pada usia pensiun itu pada umumnya masih dapat dikatakan cukup produktif. Meskipun kekuatan fisik seseorang pada masa ini mulai menurun, namun pada masa inilah seseorang mulai mencapai prestasi puncak baik itu karir, pendidikan dan hubungan interpersonal. Sebagai orang tua, pada umumnya mereka itu masih mempunyai tanggung jawab mengasuh anak-anak yang masih remaja ataupun yang sudah berkeluarga namun masih belum mandiri. Sangat mudah dipahami bahwa pada masa-masa itu sebenarnya masih banyak tantangan bagi PNS untuk memasuki masa pensiun dengan tanpa masalah. Terlebih jika seorang PNS itu masih harus membiayai kuliah anak-anak mereka, padahal dengan status pensiun keadaan keuangan menurun.

(17)

tersebut ? Secara lebih operasional, mampukah regulasi BUP baru itu meningkatkan efektivitas, efisiensi dan produktivitas kerja organisasi pemerintah ?

Pertama, dari kacamata personal PNS, konsep pensiun ini lazim diartikan sebagai

akhir masa kerja seorang PNS dengan hak pensiunnya. Bila tanpa hak pensiun

pengertiannya tidak disebut dengan istilah pensiun, seperti pengunduran diri, pemberhentian dengan hormat ataupun pemecatan. Pengertian pensiun ini juga bermakna empiris berakhirnya masa pengabdian seseorang dalam status PNS dengan jabatan yang dipercayakan kepadanya. Dengan berakhirnya status dan jabatan tersebut maka berakhir pula gaji, honorarium dan berbagai macam tunjangan jabatan yang biasa mereka terima. Dihentikannya gaji, honorarium dan berbagai macam tunjangan itu berarti pula turunnya besaran pendapatan yang selama ini menopang kehidupan mereka. Oleh karena itu, bagi sementara personalia PNS masa pensiun ini bisa merupakan keadaan yang mencemaskan

– bahkan menakutkan.

Sebaliknya, bisa pula masa pensiun ini menjadi sesuatu yang menyenangkan, menjadi awal "hidup baru" dengan suasana dan lingkungan baru, serta dengan pekerjaan/penghasilan yang "baru" pula.

(18)

partai politik, mencalonkan diri menjadi Gubernur, menjadi Bupati/Walikota, menjadi anggota DPR, bersedia diangkat menjadi duta besar, menjadi menteri, menjadi anggota dewan komisaris perusahaan, dan lain sebagainya. Jadi artinya masa pensiun ini bukan berarti berakhirnya masa produktif seseorang. Hanya karena faktor harus menaati peraturan per-UU-an saja seorang PNS itu harus pensiun dan meninggalkan struktur birokrasi secara lebih awal.

Kedua, dari kacamata birokrasi pemerintah yang mewakili negara memperjuangkan kepentingan publik, konsep pensiun ini diberi pengertian sebagai pelaksanaan peraturan per-UU-an yang terkait dengan pemberhentian PNS dengan hak

pensiun. Pertimbangan utamanya adalah misi melaksanakan norma per-UU-an itu, bukan

(19)

5 Tahun 2014 itu merupakan salah satu content kebijakan publik yang harus dilaksanakan untuk menyelesaikan masalah aparatur negara dan tidak memunculkan masalah baru di lingkungannya.

Ketentuan regulatif BUP yang dituangkan dalam UU No. 5 Tahun 2014 tentang

Aparatur Sipil Negara itu merupakan salah satu content kebijakan publik tingkat negara,

bersifat major dan strategis. Artinya, kebijakan itu mengatur materi berskala nasional, berimplikasi luas pada peningkatan beban rakyat, berimplikasi pada alokasi pos pengeluaran APBN dan penggunaan sumberdaya publik lainnya. Oleh karena itu proses penyusunan UU tersebut – mulai dari artikulasi ide, perumusan, pembahasan, pengambilan keputusan, proses legitimasi hingga ratifikasinya – tidak hanya melibatkan lembaga

executive atau pemerintah saja, namun juga melibatkan lembaga legislative (DPR).

Ketentuan BUP dalam UU ASN ini diatur dalam pasal 87 dan 90. Esensiya berbunyi bahwa PNS diberhentikan dengan hormat karena mencapai batas usia pensiun (Pasal 87 ayat 1 huruf c). Batas usia pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) huruf c itu ditentukan :

a. 58 (lima puluh delapan) tahun bagi Pejabat Administrasi ; b. 60 (enam puluh) tahun bagi Pejabat Pimpinan Tinggi ;

(20)

dapat menjalankan tugas dan kewajibannya. Namun alasan-alasan lain itu kebanyakan bersifat "forcemajor" yang tidak bisa diprediksi oleh PNS yang menjadi kelompok sasarannya.

Ketentuan-ketentuan itu harus dilaksanakan oleh semua pihak yang menjadi kelompok sasarannya. Dalam kaitan ini PNS Pejabat Administrasi adalah pihak yang menjadi kelompok sasaran dan sekaligus menjadi kelompok pelaksananya (Pasal 90). Jadi dalam pelaksanaan ketentuan BUP ini rawan terjadi konflik kepentingan antara kepentingan PNS sebagai individu yang tergabung dalam kelompok sasaran dan kepentingan rakyat/negara yang hendak direalisir melalui implementasi peraturan BUP tersebut dan dilaksanakan oleh pemerintah atau organisasi birokrasi.

Banyak kemungkinan bisa terjadi. Posisi kepentingan individu PNS – sebagai kelompok sasaran atau pihak yang diatur – bisa berjalan seiring dengan kepentingan publik/pemerintah/negara – sebagai pihak yang mengaturnya. Namun bisa pula terjadi, kepentingan-kepentingan tersebut tidak sejalan, bahkan bisa bertentangan satu sama lain. Akibatnya, berpotensi memunculkan banyak masalah pada tahap implementasi selanjutnya. Bentuk masalah implementasi dan tingkat kesulitan pemecahannya sangat bergantung pada kesesuaian maksud, tujuan dan kemampuan kebijakan itu mengakomodir kepentingan-kepentingan tersebut secara berkeadilan.

(21)

kelompok sasaran terhadap materi regulasi dalam kebijakan tersebut (able to be agreed on,

able to be tolerated or allowed). Bilamana tidak tercapai kesesuaian antara policy statute

dengan kepentingan, keinginan dan harapan individu PNS kelompok sasaran maka tingkat akseptabilitas mereka akan menurun. Sebaliknya sikap resistensi mereka akan meningkat.

Akseptabilitas Substantif UU dalam Kontek Birokrasi

(22)

"menabrak" aturan dan perintah atasan yang sudah ditetapkan secara formal tersebut, walaupun secara nyata kreativitas itu bisa lebih mampu memecahkan masalah publik di lapangan.

Bagaimana kalau kreativitas itu datang dari pucuk struktur hierarki organisasi birokrasi ? Berbicara masalah kreativitas birokrat dalam sistem hierarki birokrasi, khususnya birokrat tingkat atas yang memiliki kewenangan luas, maka netralisasi birokrat tersebut diuji. Dia harus mendasarkan diri pada peraturan perundang-UU-an dan tetap netral di atas semua kepentingan subjektif individu dan kelompok yang ada. Namun demikian birokrasi memiliki kewenangan melakukan discretion, yaitu keleluasaan membuat kebijakan manakala menemui kasus persoalan publik yang tidak/belum ada aturan penyelesaiannya. Melalui celah inilah kreativitas birokrasi mendapat tempat. Selanjutnya aparatur birokrasi tingkat bawahan wajib melaksanakan keputusan diskresi tersebut secara hierarki.

(23)

Struktur penjelasan pelaksanaan peraturan per-UU-an dalam kontek organisasi birokrasi di atas menghasilkan proposisi sebagai berikut :

(24)

persoalan publik yang dihadapi, nilai-nilai kearifan lokal dan lain sebagainya tidak digunakan sebagai pertimbangan dalam menjalankan tugas-tugas birokrasi.

Keadaan bisa menjadi lebih parah lagi manakala di tubuh birokrasi itu sendiri – yang seharusnya netral kepentingan – terkontaminasi oleh kepentingan-kepentingan lain

yang disusupkan oleh pihak tertentu, seperti partai politik, kelompok kepentingan (interest

group), kelompok penekan (pressure group), ataupun individu aparatur birokrasi itu

sendiri. Dengan kontaminasi itu, birokrasi akan tidak efektif mengakomodasi kepentingan umum dan berubah menjadi alat kekuasaan, alat politik dan/atau alat bagi individu birokrat yang berpengaruh untuk memperjuangkan kepentingannya.

Dari penjelasan di atas dapat ditarik makna bahwa kebijakan publik yang mengandung perdebatan pendapat (debatable), mengandung perbedaan kepentingan

(conflict of interest) dan tidak mampu mengakomodasi dan menyatukan banyak

kepentingan yang terlibat maka tingkat acceptability-nya akan rendah pula – minimal tidak diterima sepenuhnya oleh pejabat birokrasi (pelaksana) dan oleh kelompok sasarannya. Oleh karena itu efektivitas implementasinya bisa diprediksi tidak akan maksimal. Maksud, tujuan dan bahkan semangat kebijakan yang diimplementasikan tidak akan tercapai sesuai dengan yang diharapkan para pembuatnya.

(25)

sebagai tugas normatif birokrat saja. Proses ini bisa menjadi indikator yang menunjukkan produktivitas aparatur birokrasi itu stagnant, tidak meningkat, dan bahkan bisa menurun.

Harmoni Kepentingan sebagai Faktor Determinan Akseptabilitas Substantif UU

Berdasarkan logika deduktif hubungan sebab-akibat yang terurai di atas, dapat ditarik kesimpulan tentatif bahwa rendahnya akseptabilitas substansial contents UU itu ditentukan oleh banyaknya kepentingan yang tidak harmonis dan tidak terakomodasi oleh kebijakan itu sendiri. Semakin banyak kepentingan yang tidak terakomodasi maka semakin besar kemungkinan ketidak-harmonis hubungan terjadi, yaitu antara UU itu dengan kelompok kepentingan yang menjadi sasarannya. Dengan demikian dukungan terhadap implementasi kebijakan tersebut cenderung menurun. Sejalan dengan itu semakin besar kemungkinan munculnya perdebatan mempersoalkan efektivitas pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan itu, bagaimana kemampuan UU itu memecahkan masalah yang disasar, bagaimana UU itu menciptakan rasa keadilan, menumbuhkan semangat kebersamaan dan menumbuhkan semangat kerja PNS, dan lain sebagainya. Dalam kondisi

given yang harus segera dilaksanakan, yaitu ketika RUU sudah disetujui DPR dan sudah

(26)

Perbedaan Interpretasi karena Perbedaan Kepentingan

Keadaan yang lebih parah bisa terjadi bilamana perbedaan kepentingan itu berlanjut hingga menyulut perbedaan interpretasi di kalangan mereka yang terlibat dalam proses implementasi kebijakan. Statemen ini merupakan generalisasi bebas dari pendapat Charles O. John yang mengatakan bahwa setiap kebijakan publik itu akan bias pada kepentingan si arsitek kebijakan itu sendiri (John : 1984). Dalam konteks kebijakan publik yang sudah given, sebagaimana pasal 90 UU No. 5 Tahun 2014 ini, bias kepentingan akan terjadi pada pembuatan kebijakan di tahap implementasinya yang sarat dengan interpretasi substansi kebijakan awal tersebut.

(27)

Terkait dengan pelaksanaan regulasi BUP dalam UU No. 5 Tahun 2014 – sebagai salah satu bentuk kebijakan publik – rumusan materi UU itu akan diinterpretasikan dan dijabarkan sesuai dengan kepentingan subjektif setiap implementornya, sementara itu kepentingan publik yang seharusnya lebih dikedepankan justru terabaikan. Namun, karena

keterbatasan kodifikasi hukum positif, maka batasan interpretasi yang subjektif ini sering

kabur. Antara tindakan memperjuangkan kepentingannya dengan patuh pada aturan hukum sering sulit dibedakan dan bersifat "abu-abu". Dalam konteks ini pemahaman hanya dengan pendekatan hukum formal saja sering menemui kegagalan. Hanya logika, etika dan moral yang dipahami masyarakat saja yang mampu membedakannya, namun hal ini sering tidak diakomodasi secara hukum. Sebaliknya, kepentingan pribadi birokrat dan kepentingan lain yang merasa dirugikan justru dimasukan melalui berbagai celah kelemahan hukum positif tersebut. Bentuk akomodasi dari kepentingan ini bisa dimasukkan dalam peraturan per-UU-an lain yang secara yuridis tidak melanggar isi kebijakan yang sudah given tersebut. Misalnya dituangkan dalam UU yang lain, RUU perubahan yang diusulkan, Perpu, PP, Kepres, Kepmen, dan peraturan pelaksana lainnya. Berhadapan dengan kepentingan partai politik, kelompok kepentingan dan kelompok penekan dalam masyarakat dalam konteks ini, netralitas birokrasi menghadapi ujian berat. Terkadang birokrasi sebagai lembaga, dan/ataupun sebagai individu, susah sekali untuk bertindak netral karena desakan kepentingan-kepentingan itu.

(28)

adalah para PNS, bisa dikatakan sebagai salah satu aktor dalam proses pembuatan kebijakan politik tersebut. Dalam kaitan ini yang dimaksud dengan kebijakan politik tersebut adalah UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Dirancang dan disusun dalam forum legislasi, disetujui oleh DPR dan disahkan oleh Presiden (aktor politik). Sedangkan kelompok sasaran UU itu adalah Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagai institusi pelaksana UU dan hampir semua keputusan politik pada umumnya. Demikianlah maka birokrasi pemerintah dimana saja memiliki peran sentral dalam melaksanakan peraturan per-UU-an semacam ini. Di sisi lain, peluang melakukan interpretasi “lain” atau

“berbeda” dengan maksud, tujuan dan semangat si pembauat UU itu – karena kepentingan

yang berbeda – sangat mudah dilakukan. Hal ini sangat rawan digunakan sebagai pintu masuk untuk mengakomodasi kepentingan lain yang selama kurun waktu sebelumnya merasa terpinggirkan.

- Faktor-faktor yang Memepengaruhi Keberhasilan Kebijakan Publik

Terdapat banyak faktor atau variabel yang bisa mempengaruhi keberhasilan kebijakan publik semacam peraturan BUP dalam UU No. 5 Tahun 2014 ini – lihat Gambar 1 di bawah ini dan beberapa tabel berikutnya. Menurut Grindle (1980) efektivitas atau keberhasilan setiap kebijakan publik itu ditentukan oleh 2 kelompok variabel, yaitu variabel-variabel yang tergabung di dalam kelompok policy content dan kelompok policy

(29)

Gambar 1 :

Kelompok Variabel yang mempengaruhi Keberhasilan Kebijakan Publik

Sumber : Grindle (1980)

Selanjutnya variabel policy content itu bisa dijabarkan lebih lanjut ke dalam variabel-variabel yang lebih kongkrit, yaitu ketidak-jelasan konsep yang dipakai dalam pasal-pasal kebijakan tersebut

(vague), tujuan yang tidak realistis, kontradiksi antara policy studs (kebijakan awal) dan target

(objectives), Presisi dan kejelasan sasaran, dan Teori hubungan sebab-akibat atau teori kausal yang

dipakai. Selengkapnya bisa dilihat dalam tabel rangkuman teori berikut ini Variabel Kebijakan

(Policy content) :

- Materi Kebijakan

- Variabel

Implementasi Kebijakan

Variabel Lingkungan Kebijakan (Policy context)

Keberhasilan Kebijakan Publik Merealisir Tujuannya

(30)
[image:30.612.73.533.135.256.2]

Tabel 2 :

Variabel Kebijakan

Tabel 3 :

Variabel Lingkungan (context) Implementasi

Larson Edward Mazmanian & Sabatier

Perubahan lingkungan ekonomi Komunikasi 1. Transisi 2. Kejelasan 3. Konsistensi

1. Variasi hukum

2. Perhatian media massa 3. Dukungan publik

4. Jumlah dukungan dan sumber daya 5. Dukungan “penguasa”

Sumber : Mazmanian & Sabatier (1983 : 22), dengan adaptasi penyajian

Materi teori kebijakan tersebut di atas kiranya bisa untuk menjelaskan tingkat akseptabilitas kebijakan pembatasan usia pensiun di kalangan Pegawai Negeri Sipil yang menjadi obyek penelitian ini. Dalam pelaksanaan penelitian ini nanti teori tersebut akan dikembangkan sedemikian rupa menjadi instrumen pengumpulan data untuk mengetahui tingkatan dan format akseptabilitas peraturan BUP PNS di lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta. Akan dijawab juga pertanyaan apakah penerimaan – atau penolakan – peraturan batas usia pensiun itu disebabkan oleh policy

content yang kurang pas.

Larson Van Horn Mazmanian & Sabatier

1. Ketidak-jelasan

(Vague) 2. Tujuan yang

tidak realistis

1. Clarity

2. Kontradiksi antara policy studs (kebijakan awal) dan target (objectives)

3. Spesifikasi prosedur

1. Presisi dan kejelasan sasaran

[image:30.612.72.539.324.446.2]
(31)

BAB III

METODE PENELITIAN

a. Desain Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dalam 2 tahapan selama 2 tahun – selengkapnya lihat Bagan

Alir Penelitian. Metode penelitian yang dipakai adalah mix methods analysis, yaitu perpaduan antara metode penelitian kuantitatif sederhana (survai) dengan metode penelitian analisis deskriptif kualitatif. Tahap I atau tahun pertama penelitian ini menggunakan metode survai sebagai instrumen utama penelitian. Data kuantitatif merupakan sasaran utama yang akan dianalisis. Oleh karena itu kuesioner tertutup digunakan sebagai instrumen utama pengumpulan data. Data kuantitatif yang terkumpul dianalisis dengan metode analisis statistik deskriptif untuk kemudian diinterpretasikan dan disimpulkan hasilnya. Untuk aspek-aspek yang tidak mampu dijelaskan dengan instrumen survai ini, ditindak-lanjuti dengan penjelasan menggunakan metode analisis deskriptif-kualitatif. Di samping itu, penjelasan menggunakan metode deskriptif kualitatif ditujukan untuk memperdalam pemahaman dan melengkapi aspek-aspek pemahaman yang tidak mampu dijangkau metode penelitian survai. Karena pada dasarnya berlaku asumsi bahwa tidak semua aspek dalam kehidupan ini bisa dijelaskan dengan metode kuantitatif secara memuaskan.

(32)

pensiun ini. Di samping itu metode wawancara juga digunakan sebagai sarana cross check dengan data lain yang validitasnya perlu diperkuat lagi.

Gambar 2 :

[image:32.612.57.552.201.655.2]

Bagan Alir Penelitian

Tabel 4 :

Tahap-tahap Penelitian

Tahun I– Tahap I Output/Luaran/Indikator tercapainya tujuan

1. Problem structuring yang meliputi latar belakang, identifikasi masalah, kebutuhan, serta eksplorasi potensi yang berkaitan dengan penerapan Peraturan BUP di lingkungan pemerintahan daerah, khususnya Pemerintah Kota Yogyakarta.

1. Tersusunnya proposal penelitian yang terdiri dari :

a. Latar Belakang Masalah b. Rumusan Masalah c. Tujuan Penelitian d. Tinjauan Pustaka e. Metode Penelitian Problem structuring

Output :

•Tersusunnya Proposal dan Penyempurnannya. Meliputi : (1) Latar Belakang Masalah ; (2) Rumusan Masalah ; (3) Tujuan Penelitian ; (4) Tinjauan Pustaka ; (5) Metode Penelitian

Penelitian survai

tentang organisasi pemerintah daerah sertarelevansinya dengan ketentuan BUP PNS

Output :

•Tersusunya laporan studi tentang kesesuaian antara tugas pokok, fungsi, struktur dantata-kerja organisasi pemerintah daerah dengan peraturan BUP

•Tersusunnya Pengembangan Instrumen Penelitian •Tersusunnya laporan

penelitian Tahun I : Survai tentang akseptabilitas substansial peraturan BUP PNS di lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta

Telaah dan evaluasi hasil penelitian tahun I untuk penelitian lanjutan

Output :

•Penentuan informan dan sasaran wawancara kelanjutan dari hasil penelitian survai pada tahun I

•Wawancara mendalam terstruktur

•Wawancara bebas •FGD

•Tersusunnya laporan telaah dan evaluasi hasil penelitian tahun I

Penelitian Analisis Deskriptif Kualitatif

dan Pengintegrasian dengan hasil Penelitian Tahun I

Output :

(33)

2. Penelitian analisis deskriptif kualitatif atas kontek atau lingkungan dimana kebijakan BUP PNS itu diimplementasikan

3. Penelitian survai tentang tugas pokok, fungsi, struktur dan tata-kerja organisasi pemerintah daerah serta relevansinya dengan ketentuan BUP PNS

4. Penelitian survai tentang akseptabilitas (resistensi, penolakan dan/atau

penerimaan) substansi peraturan BUP yang terbaru

2. Tersusunnya laporan tentang lingkungan dimana kebijakan BUP PNS itu

diimplementasikan

3. Tersusunya laporan studi tentang kesesuaian antara tugas pokok, fungsi,

struktur dan tata-kerja organisasi pemerintah daerah dengan peraturan BUP.

4. Tersusunnya pengembangan Instrumen Penelitian pemahaman akseptabilitas peraturan BUP yang valid dan komprehensif.

5. Tersusunnya laporan penelitian survai tentang akseptabilitas substansial peraturan BUP PNS di lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta

Tahun II– Tahap II Output/Luaran/Indikator tercapainya tujuan

1. Telaah dan evaluasi hasil penelitian tahun I untuk penelitian lanjutan

2. Penguatan validitas isi hasil penelitian tahun I

3. Penentuan informan dan sasaran

wawancara dalam penelitian pada tahun II

4. Wawancara mendalam terstruktur 5. Wawancara bebas

6. FGD

7. Penyusunan rencana strategis implementasi UU No. 5 Tahun 2014, khususnya hal-hal yang terkait dengan implementasi norma BUP untuk PNS.

1. Tersusunnya laporan telaah dan evaluasi hasil penelitian tahun I

2. Tersusunnya instrumen penelitian untuk tahun II

3. Tersusunnya laporan komprehensif penelitian Analisis Akseptabilitas Subtantif Peraturan Batas Usia Pensiun PNS di Lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta.

4. Tersusunnya naskah akademik tentang rencana strategis implementasi

peraturan BUP untuk PNS yang

ditujukan kepada Pemerintah pusat, c.q. Kementerian Pendayagunaan

Aparaturnya Negara RI.

(34)

terhadap pembinaan aparaturnya negara, seperti : Lembaga Administrasi Negara (LAN), Sekolah Tinggi

Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) Kementerian Dalam Negeri, dan lain sebagainya.

b. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi penelitian ini adalah seluruh PNS di lingkungan organisasi pemerintah Kota Yogyakarta. Sampel yang diambil adalah PNS yang berusia 50 tahun atau lebih. Usia 50 tahun atau lebih dalam penelitian ini diasumsikan berada dalam proses memasuki usia pensiun. Jumlah satuan elementernya ditentukan pada saat penelitian ini sudah memasuki tahap pencarian data.

Dalam penelitian ini pengambilan sampel ditentukan secara Propotionate Stratified

Random Sampling. Cara ini dilakukan karena kondisi satuan elementer dalam populasi

tersebar di banyak unit organisasi dengan lokasi geografis yang tidak beraturan pula. Ada yang berada di Balai Kota sebagai kantor pusat dan ada pula yang berada di Kantor Dinas, di Kecamatan dan di Kelurahan. Oleh karena itu pengambilan sampel di kantor pusat saja, atau di Kecamatan saja kurang representatif. Maka dari itu pengambilan sampel dengan cara Propotionate Stratified Random Sampling adalah yang paling tepat.

(35)
[image:35.612.76.508.127.381.2]

Tabel 5 :

Satuan Elementer Sampel Penelitian

No. Unit Jumlah Responden

1. Balai Kota 20

2. Kecamatan Danurejan 10

3. Kecamatan Gedongtengen 10

4. Kecamatan Gondokusuman 10

5. Kecamatan Gondomanan 10

6. Kecamatan Jetis 10

7. Kecamatan Kotagede 10

8. Kecamatan Kraton 10

9. Kecamatan Mantrijeron 10

10. Kecamatan Mergangsan 10

11. Kecamatan Ngampilan 10

12. Kecamatan Pakualaman 10

13. Kecamatan Tegalrejo 10

14. Kecamatan Umbulharjo 10

15. Kecamatan Wirobrajan 10

Jumlah 160

Catatan :

(36)

c. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik menyebar daftar pertanyaan (kuesioner) kepada responden sampel yang sudah dijelaskan pada bagian Sampel dan Populasi di atas. Selanjutnya, untuk data yang tidak mungkin dikumpulkan melalui daftar pertanyaan pengumpulannya dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara lapangan secara langsung dengan informan, serta telaah dokumen-dokumen yang tersedia. Ketiga-tiganya kemudian dipadukan sebagai sarana crosscheck validitas data yang terkumpul.

Teknik wawancara digunakan untuk mengumpulkan data yang bersifat kualitatif, misalnya data berupa deskripsi tentang berbagai bentuk persoalan terkait dengan BUP ini digunakan teknik wawancara mendalam. Informan yang dijadikan nara sumber adalah Kepala Badan Kepegawaian Daerah Pemerintah Kota Yogyakarta dan beberapa personalia PNS yang terlibat langsung dalam persoalan terkait dengan BUP ini.

d. Metode Analisis Data

(37)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini mengkaji akseptabilitas substantif perubahan peraturan BUP (Batas Usia Pensiun) bagi PNS Pejabat Administrasi. Tujuannya adalah memberi masukan pada usaha intensifikasi pemberdayaan aparatur negara. Secara lebih khusus mencegah PNS yang masih produktif – dan masih ingin dan sanggup bekerja – meninggalkan struktur birokrasi secara lebih awal. Asumsi yang digunakan adalah bahwa akseptabilitas substantif atas peraturan itu adalah fungsi dari perilaku produktif mereka. Jadi dengan memahami karakteristik akseptabilitas substantif mereka dapat diketahui kepatutan mereka

(appropriateness, convenances, consideration) untuk bisa tetap dipertahankan dalam

struktur birokrasi atau harus diberhentikan. Keputusan untuk tetap mempekerjakan, atau memberhentikan PNS dengan pertimbangan BUP yang acceptable, selalu berdampak pada peningkatan kapasitas profesional PNS yang bersangkutan. Ujungnya akan meningkatkan kontribusi mereka terhadap peningkatan produktivitas pemerintah. Apabila PNS yang masih produktif dan masih sanggup bekerja itu harus meninggalkan struktur birokrasi secara lebih cepat hanya karena kewajibannya menaati peraturan BUP sebagai standar tunggal adalah pemborosan sumber daya manusia PNS, yang berarti pula pemborosan keuangan negara.

(38)

pengembangan profesionalitas PNS di lokasi penelitian. Selengkapnya tergambar dalam gambar 3 berikut ini.

Gambar 3 :

[image:38.612.72.573.228.478.2]

Aksestabilitas Substantif BUP yang Tinggi Berada dalam Lingkungan yang Kurang Kondusif. Tidak bisa menjadi Momentum Peningkatan Profesionalitas PNS

Gambar 3 di atas merupakan abstraksi dari fakta temuan penelitian ini. Berikut ini fakta empiris yang mendukung temuan penelitian tersebut.

A. NORMA BATAS USIA PENSIUN DALAM UU NO. 5 TAHUN 2014

Kajian teori dengan logika deduktif atas berbagai aspek kebijakan BUP dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 yang dipadukan dengan analisis data lapangan menghasilkan beberapa temuan penelitian sebagai berikut :

Rangkuman Fakta Lingkungan :

a. Konsep Norma BUP yang terlampau definitif.

b. Posisi UU-ASN tidak jelas. Apakah sebagai UU Pokok atau sebagai pelengkap ?

c. Sistem Regulasi ASN kurang mendukung. BUP dijadikan standar tunggal, tidak ada opsi lain

d. Overlapping UU. Ada beberapa UU lain yang juga mengatur BUP PNS

e. UU No. 5 Tahun 2014 tidak khusus ditujukan untuk mengatasi persoalan tersebut. Oleh karena itu substansi masalah sebelumnya masih langgeng.

(39)

1. Abstraksi Konsep yang Terlampau Definitif : Mengandung Potensi Masalah

Ketentuan BUP yang dituangkan dalam UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur

Sipil Negara merupakan kebijakan publik level negara. Proses penjaringan aspirasi,

penyusunan agenda pembahasan hingga ratifikasi kebijakan itu idealnya tidak hanya melibatkan lembaga executive (pemerintah) saja, tetapi juga melibatkan DPR sebagai lembaga legislative yang mewakili seluruh rakyat Indonesia. Kebijakan regulasi ini bersifat general karena berlaku untuk seluruh wilayah hukum Republik Indonesia – kecuali ditentukan lain secara khusus. Kebijakan ini lebih banyak menuntut format regulasi yang bersifat mayor, konsepsual dan strategis di tingkat nasional, daripada format teknis operasional khusus yang langsung bisa diterapkan di lapangan (Dunn, 1981). Oleh karena itu konsep-konsep yang dipergunakan seharusnya adalah konsep dengan tingkat abstraksi yang tinggi dan general. Namun demikian tetap tidak boleh mengandung kemungkinan multi-tafsir yang tidak sejalan – apalagi berlawanan – dengan filosofi, semangat dan tujuan regulasi itu sendiri. Fakta temuan penelitian ini menunjukkan hal yang sebaliknya. Rumusan regulasi BUP dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 ini terlalu teknis dan menggunakan konsep dengan tingkat abstraksi yang terlalu kongkrit dan operasional. Hal ini terlihat dalam pasal 90 UU tersebut. Dalam pasal itu BUP diatur dengan menyebut angka BUP secara definitif, yaitu : (a) 58 (lima puluh delapan) tahun bagi Pejabat

Administrasi ; (b) 60 (enam puluh) tahun bagi Pejabat Pimpinan Tinggi ; dan (c) sesuai

(40)

teoritis tidak tepat, karena menutup peluang diskresi untuk penyelesaian persoalan khusus yang unik dan kasus-kasus lain yang sebelumnya tidak diperkirakan kemunculannya

(unpredictable). Oleh karena itu pasal ini berpotensi memunculkan masalah implementasi

di lapangan yang mendorong munculnya pelanggaran substansi pasal 90 itu sendiri. Pada sisi lain, pengaturan BUP untuk PNS Pejabat Fungsional sudah lebih baik. Tuntutan teoritis sifat general, konsepsual dan strategis di tingkat nasional itu telah

ter-cover pasal 90 huruf c. Pada tahap implementasinya nanti bisa dibuat peraturan

pelaksanaan yang lebih operasional dan diskresi – bilamana diperlukan – untuk menghadapi persoalan-persoalan khusus yang unpredictable. Jadi kemungkinan munculnya masalah pada tahap implementasi di kemudian hari menjadi lebih kecil.

Pengaturan menggunakan batasan konsep yang ketat dan operasional membuat ketentuan itu bisa langsung dilaksanakan tanpa harus menunggu terbitnya peraturan pelaksananya. Namun demikian format aturan BUP yang seperti itu memberikan ruang gerak yang lebih terbatas bagi para pelaksananya ketika mereka harus membuat keputusan

yang “berbeda” dengan definisi ketat aturan UU itu. Tidak ada lagi variasi aturan

pelaksanaan yang bisa ditemui. Tidak ada lagi "tawar-menawar" dan kompromi di tahap implementasi – walau mungkin ada pertimbangan lain yang lebih urgent. Di satu sisi ketentuan hukum yang ketat ini lebih baik karena menciptakan kepastian hukum yang seragam dan mudah dilaksanakan, namun di sisi lainnya sistem regulasi menjadi tidak

flexible dan mandul ketika menghadapi kasus unik atau khas, di luar prediksi para pembuat

(41)

persoalan lapangan yang seperti ini, pola pengaturan yang detail akan tidak berdaya dan bahkan kontra-produktif, dan bisa jadi memunculkan masalah baru. Pola pengaturan yang detail dalam UU itu tidak memberikan keleluasaan bagi pejabat pelaksananya di lapangan untuk kreatif mengambil keputusan khusus (discretion) bilamana harus mengatasi persoalan publik yang urgent dan membutuhkan penanganan khusus pula. Rumusan definitif yang terlampau ketat tentang BUP bisa ditemukan dalam Pasal 87 ayat (1) UU No. 5 Tahun 2014.

Bila dibandingkan dengan UU yang digantikannya, yaitu UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian – dan perubahannya berdasarkan UU Nomor 43 Tahun

1999 – pengaturan BUP dalam UU ini jauh lebih longgar. Keterangan selengkapnya

sebagai berikut :

Batas Usia Pensiun (BUP) substansi UU No. 8 Tahun 1974 itu tidak diaturnya secara rinci, namun hanya secara umum saja. Norma umum yang relevan dengan BUP itu hanya ada pada pasal 23 ayat (1) huruf b dan pasal 36 saja. Bagian pasal 23 yang terkait dengan BUP ini berbunyi :

1) Pegawai Negeri Sipil dapat diberhentikan dengan hormat, karena : a. Permintaan sendiri ;

b. Telah mencapai usia pensiun ;

c. Adanya penyederhanaan organisasi pemerintah ;

d. Tidak cakap jasmani atau rohani sehingga tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai Pegawai Negeri Sipil.

2) Pegawai Negeri Sipil yang meninggal dunia dengan sendirinya dianggap diberhentikan dengan hormat.

(42)

pasal dalam UU itu yang relevan dan merupakan kelanjutan dari norma pasal 23 tersebut adalah pasal 36. Secara lengkap berbunyi :

"Perincian tentang hal-hal yang dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 35 Undang-undang ini diatur lebih lanjut dengan peraturan perundang-undangan".

Demikianlah format regulasi BUP yang terkandung di dalam UU No. 8 Tahun 1974 tentang

Pokok-pokok Kepegawaian. Oleh karena format yang longgar seperti itu maka pada tahap

implementasinya masih dibutuhkan peraturan pelaksana yang lebih khusus, lebih rinci dan bersifat lebih operasional. Dalam kontek sistem hierarki peraturan perundang-UU-an di Indonesia dewasa ini peraturan per-UU-an yang dibutuhkan adalah Peraturan Pemerintah

(PP), Keputusan Presiden (Kepres), atau peraturan pelaksanaan yang lainnya. Ada 2

konsekwensi logis yang harus dihadapi. Keduanya bisa menguntungkan namun sekaligus bisa menyulitkan dan menjadi tantangan birokrat yang melaksanakan :

a. Pola pengaturan BUP seperti ini memiliki keunggulan dan kelemahan inherent di dalamnya. Keunggulannya adalah peraturan seperti ini tidak mudah usang atau

ketinggalan jaman karena relatif mampu menyesuaikan diri dengan perubahan bentuk

(43)

dijadikan instrumen untuk memecahkan masalah sesuai dengan dinamika, bentuk dan pola persoalan yang unpredictable pada saat penyusunan UU tersebut.

b. Ditinjau dari aspek sistem dan prosedur penyusunannya, penyusunan peraturan pelaksanaan itu jauh lebih sederhana karena hanya berbentuk Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Presiden (Kepres) dan/atau peraturan pelaksana lainnya. Proses penyusunan dan prosedur perubahannya hanya perlu melibatkan unsur kekuasaan

eksekutif saja, sementara itu bila substansi peraturan BUP itu telah definitif atau

terperinci dalam UU, proses amandemen atau perubahannya harus melibatkan unsur eksekutif dan legislatif (DPR). Hal ini jelas membutuhkan waktu yang lebih lama dan energi yang lebih banyak, serta kemungkinan "benturan" kepentingan yang lebih besar antara unsur birokrasi (pemerintah) dan non-birokrasi – terutama DPR. Pengalaman selama empat puluh tahun (1974 – 2014) telah membuktikannya. Implementasi peraturan BUP dalam UU No. 8 Tahun 1974 itu tidak banyak menemui persoalan yang berarti. Walau peraturan BUP dalam UU itu dilaksanakan melalui Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), Keputusan Presiden (Kepres) dan Peraturan Menteri (Permen), maksud, tujuan serta semangat peraturan BUP dalam UU No. 8 Tahun 1974 itu tetap terjaga.

2. Overlapping Peraturan BUP

(44)

Tinggi dan UU No. 3/2006 Peradilan Agama dan UU No. 16/2004 tentang Kejaksaan

Republik Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa regulasi peraturan BUP di Indonesia

[image:44.612.78.518.344.701.2]

dewasa ini masih belum benar-benar terintegrasi. Secara langsung ataupun tidak langsung akan berpengaruh negatif terhadap implementasi UU ASN ini, karena mengatur hal yang sama. Data lengkap yang mendukung temuan penelitian itu bisa dibaca dalam tabel 6 di bawah ini.

Tabel 6 :

Dasar Hukum Pelaksanaan Peraturan BUP PNS di Indonesia sebelum lahirnya UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara – menunjukkan 3 pola masalah: (a) Penyusunannya tidak terintegrasi; (b) Adanya overlapping pengaturan; (3) Bersifat perpanjangan dari aturan utama.

No. Jabatan BUP Dasar Hukum Keterangan

1. Dosen 65 tahun UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen

Pasal 67 ayat (4) :

Pemberhentian dosen karena batas usia pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan pada usia 65 (enam puluh lima) tahun.

2. Guru Besar 70 tahun UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen

UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi

Pasal 67 ayat (5) : Profesor yang berprestasi dapat diperpanjang batas usia pensiunnya sampai 70 (tujuh puluh) tahun

Pasal 72 ayat (4) :

Batas usia pensiun Dosen yang menduduki

jabatanakademik profesor ditetapkan 70 (tujuh puluh) tahun dan Pemerintah memberikan tunjangan profesi serta tunjangan kehormatan.

3. GB dan GB Emiritus

(45)

Pasal 2 :

(1) Batas usia pensiun Guru Besar dapat diperpanjang sampai dengan usia 70 (tujuh puluh) tahun.

(2) Perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.

(Diusulkan setiap tahun mulai ybs berusia 65 tahun hingga 70 tahun)

Permendiknas No. 09/2008 tentang Perpanjangan BUP PNS yang Menduduki Jabatan Guru

Besar/Profesor dan Pengangkatan Guru besar/Profesor Emiritus

Sesuai Permendiknas No. 9 tahun 2008 Perpanjangan BUK pertama berlaku untuk 2 tahun, yaitu usia 65 tahun hingga 67 tahun, seterusnya diusulkan setiap tahun hingga mencapai 70 tahun

4. Guru 60 tahun UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen

Pasal 30 ayat (4) :

Guru dapat diberhentikan dengan hormat dari jabatan sebagai guru karena:a. meninggal dunia;b. mencapai batas usia pensiun;....dst.

Ayat (4) :

Pemberhentian guru karena batas usia pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukanpada usia 60 (enam puluh) tahun.

5. Widyaiswara Utama/Utama Madya

65 tahun Keppres No. 63/1986 tentang BUP PNS yang menjabat Jabatan Fungsional Widyaiswara dan Penyuluh Pertanian

Pasal 1 (1) :

BUP untuk Pemberhentian PNS :

a) 65 (enam puluh lima) tahun bagi PNS yang memangku jabatan (1) Widyaiswara Utama; (2) Widyaiswara Utama Madya

b) 60 (enam puluh) tahun bagi PNS yang dengan jabatan :

a) Widyaiswaran utama Muda b) Widyaiswara Utama Pratama c) Widyaiswara Madya

d) Widyaiswara Muda e) Widyaiswara Pratama

f) Penyuluh Pertanian Utama Muda g) Penyuluh Pertanian Utama Pratama h) Penyuluh Pertanian Madya

(46)

6. Semua PNS 56 tahun Ketentuan awal

PP No. 32 tahun 1979 tentang Pemberhentian PNS.

 Keterangan :

 PP tersebut disebut sebagai ketentuan awal karena materi dalam PP tersebut menjadi sumber pembuatan ketentuan berikutnya yang lebih pasti.

BUP PNS ditentukan 56 (lima puluh enam) tahun (Pasal 3 ayat 2). Dalam UU yang dilaksanakannya – UU No. 8 Tahun 1974 – belum memuat ketentuan BUP yang definitif seperti ini.

1. Dapat diperpanjang sampai dengan 65 (enam puluh lima) tahun bagi PNS yang memangku jabatan (opsi) :

a) Ahli Peneliti dan Peneliti

b) Guru Besar, Lektor Kepala, Lektor yang ditugaskan secara penuh pada perguruan tinggi;

c) 60 (enam puluh) tahun PNS yang memangku jabatan :

d) Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung

e) Pimpinan Kesekretariatan Lembaga

Tertinggi/Tinggi Negara;memangku jabatan tertentu.

f) Jabatan lain yang ditentukan oleh Presiden; g) Jaksa Agung

h) Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen

i) Sekretaris Jenderal, Inspektur Jenderal, Direktur Jenderal, dan Kepala Badan di Departemen; Eselon I dalam jabatan

strukturil, Eselon II dalam jabatan strukturil; j) Dokter yang ditugaskan secara penuh pada

Lembaga Kedokteran Negeri sesuai dengan profesinya;

k) Pengawas Sekolah Lanjutan Tingkat Atas dan Pengawas Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama; l) Guru yang ditugaskan secara penuh pada

Sekolah Lanjutan Tingkat Atas dan Sekolah LanjutanTingkat Pertama

m) Penilik Taman Kanak-kanak, Penilik Sekolah Dasar, dan Penilik Pendidikan Agama n) Guru yang ditugaskan secara penuh pada

Sekolah Dasar

o) Jabatan lain yang ditentukan olehPresiden.

(47)

a) Hakim pada Mahkamah Pelayaran b) Hakim pada Pengadilan Tinggi c) Hakim pada Pengadilan Negeri

d) Hakim Agama pada Pengadilan Agama Tingkat Banding

e) Hakim Agama pada Pengadilan Agama f) Jabatan lain yang ditentukan oleh Presiden.

7. Auditor Madya dan Utama

60 tahun Perpres no.41/2012 tentang Perpanjangan BUP bagi PNS yang Menduduki Jabatan Fungsional Auditor

Perpanjangan

8. Arsiparis Madya dan Utama

60 tahun Perpres No. 42/2012 tentang Perpanjangan BUP bagi PNS yang Menduduki Jabatan Fungsional Arsiparis

Perpanjangan

9. Pemeriksa Madya dan Utama

60 tahun Perpres No. 52/2012 tentang Perpanjangan BUP bagi PNS yang Menduduki Jabatan Fungsional Pemeriksa

Perpanjangan

10. Ketua, Wakil Ketua dan Hakim Pengadilan Agama

62 tahun UU No. 3/2006 tentang

Peradilan Agama

Ketentuan awal

11. Ketua, Wakil Ketua dan Hakim Pengadilan Tinggi Agama

65 tahun UU No. 3/2006

Peradilan Agama

Ketentuan awal

12. Jaksa 62 tahun UU No. 16/2004

tentang Kejaksaan Republik Indonesia

Ketentuan awal

13. Peneliti Madya dan Utama

65 tahun PP No. 65/2008 tentang Perubahan kedua atas PP No. 32. Tahun 1979 tentang Pemberhentian PNS

Perpanjangan

14. Dokter 60 tahun PP No. 65/2008 Perpanjangan

(48)

Paling tidak, ada 3 hal penting sebagai temuan penelitian ini yang harus dicatat dalam berbagai peraturan yang terkait dengan BUP PNS sebelum lahirnya UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara ini, yaitu : (a) Penyusunannya yang tidak terintegrasi, (b) Adanya overlapping pengaturan BUP di tingkat UU, dan (c) Pengaturan BUP kebanyakan bersifat ad hoc yang berbentuk perpanjangan dari aturan utama) yang dipermanenkan.

a. Penyusunan Kebijakan yang Tidak Terintegrasi

UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, UU No. 16/2004 tentang

Kejaksaan Republik Indonesia, UU No. 3/2006 tentang Peradilan Agama, UU No. 14

Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan

Tinggi adalah contoh produk proses legislasi yang tidak terpadu. Di antara ke 5 UU

tersebut seolah-olah berjalan sendiri-sendiri untuk mencapai kepentingan sektoralnya saja tanpa memperhatikan kepentingan sektor lainnya. Sebagai bukti :

1) Pada diktum menimbang/mengingat dalam UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru

dan Dosen hanya dimasukkan materi mengingat UUD 1945 dan UU No. 20 Tahun

2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Tidak dicantumkan materi mengingat UU tentang Pokok-pokok Kepegawaian – apalagi peraturan pelaksanaannya – pada hal ke dua peraturan UU itu mengatur obyek yang sama.

(49)

3) UU No. 3/2006 tentang Peradilan Agama juga sama keadaannya. legislator atau perancang atau pembuat UU ketika itu, secara etis seharusnya memasukkan UU

lain yang pengatur obyek yang sama dalam diktum “menimbang”. Sehingga dalam

pembuatan peraturan pelaksanaan ke 2 UU tersebut (UU no. 3/2006 dengan UU No. 8 Tahun 1974) nantinya tidak memunculkan disharmoni, baik yang bersifat

overlap maupun antagonist. Dalam UU No. 3 tahun 2006 yang mengatur BUP

Aparatur Negara (Ketua, Wakil Ketua dan Hakim Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama) itu justru tidak memasukkan UU tentang Pokok-pokok Kepegawaian sebagai bahan yang harus diingat. Padahal banyak UU lain

dimasukkan dalam diktum “menimbang”, yaitu : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24, dan

Pasal 25 UUD Tahun 1945, UUU 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan

atas UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang

Kekuasaan Kehakiman.

(50)

II tahun 2009. Hal itu baru menjadi persoalan ketika dituntut oleh Mantan Menteri HAM Yusril Izha Mahendra ke MK dan kemudian dikabulkan.

4) Overlapping Pengaturan di Tingkat UU

Penyusunan kebijakan publik – yang kemudian dilegalisir dalam bentuk UU – yang tidak terintegrasi mengisyaratkan kepentingan publik yang diperjuangkan di dalam masing-masing rancangan UU itu dipersepsikan atau diasumsikan oleh para legislatornya bersifat independen dan tidak terkait satu sama lainnya. Padahal asumsi dan persepsi itu tidak pernah terwujud dalam satu waktu tertentu. Dengan kata lain dalam kehidupan nyata independensi absolut antar sektor dalam kepentingan publik itu tidak pernah ada di lapangan. Hanya soal waktu saja kapan dependensi antar sektor itu terungkap sudah dalam bentuk masalah nyata.

3. Keharusan Pensiun Absolut vs Opsi Keputusan Pensiun PNS

Selanjutnya, kelemahan yang bisa ditemui dalam pola pengaturan BUP yang longgar seperti itu adalah adanya kekhawatiran penyalahgunaan kewenangan pembuatan peraturan pelaksana norma BUP itu. Namun sejauh ini belum pernah ditemui kasus penyalahgunaan kewenangan yang signifikan mengganggu semangat dan tujuan eksistensi peraturan BUP ini. Namun demikian tetap saja potensial terjadi. Apalagi dalam kontek

implementasi kebijakan otonomi daerah dewasa ini, dimana jumlah pejabat pembina

(51)

kekhawatiran penyalahgunaan kewenangan saja dan kecemburuan di kalangan PNS di

instansi-instansi tertentu yang menggunakan standar BUP berbeda yang dinilai tidak adil

– data selengkapnya bisa dilihat dalam tabel 6 di atas.

Dibandingkan dengan UU No. 8 Tahun 1974, norma BUP dalam UU No. 5 Tahun 2014 menggunakan batasan yang lebih ketat dan lebih operasional. Menghadapi keanekaragaman persoalan lapangan, pola pengaturan yang ketat ini menunjukkan kelemahannya. Pola pengaturan yang detail dalam UU itu tidak memberikan keleluasaan

pejabat pelaksananya di lapangan untuk mengambil keputusan khusus (discretion)

bilamana ingin mengatasi persoalan publik yang urgent dan membutuhkan penanganan khusus pula. Perhatikan rumusan definitif Pasal 87 ayat (1) UU No. 5 Tahun 2014 berikut ini, khususnya tidak digunakannya kata "dapat" dalam pasal tersebut.

Pasal 87

(1) PNS diberhentikan dengan hormat karena: a. meninggal dunia;

b. atas permintaan sendiri;

c. mencapai batas usia pensiun;

d. perampingan organisasi atau kebijakan pemerintah yang mengakibatkan pensiun dini; atau

e. tidak cakap jasmani dan/atau rohani sehingga tidak dapat menjalankan tugas dan kewajiban.

Bandingkan hal yang sama dengan pasal 23 UU No. 8 Tahun 1974. Dalam pasal 23 UU No. 8 Tahun 1974 itu didapati ketentuan yang sifatnya pilihan (option). Penggunaan kata

“dapat" menunjukkan bahwa UU No. 8 Tahun 1974 itu masih memberikan alternatif

(52)

Pasal 23

Pegawai Negeri Sipil dapat diberhentikan dengan hormat, karena : a. permintaan sendiri;

b. telah mencapai usia pensiun;

c. adanya penyederhanaan organisasi Pemerintah; d. tidak cakap jasmani atau rohani sehingga tidak dapat

menjalankankewajiban sebagai Pegawai Negerl Sipil.

Pegawai Negeri Sipil yang meninggal dunia dengan sendirinya dianggap diberhentikan dengan hormat.

4. Norma BUP Ketat menjadi Alasan Tunggal Pemberhentian PNS : Tidak berdampak pada peningkatan efektivitas pelaksanaan tugas

Pasal 87 ayat (1) UU ASN menyatakan bahwa PNS diberhentikan dengan hormat karena 5 alasan, yaitu : (a) meninggal dunia; (b) atas permintaan sendiri; (c) mencapai batas usia

pensiun; (d) perampingan organisasi atau kebijakan pemerintah yang mengakibatkan

pensiun dini; (e) tidak cakap jasmani dan/atau rohani sehingga tidak dapat menjalankan

tugas dan kewajiban. Di antara alasan-alasan pemberhentian dengan hormat tersebut,

alasan mencapai batas usia pensiun adalah satu-satunya alasan yang tidak terkait secara

langsung dengan efektivitas pelaksanaan tugas pekerjaan PNS yang bersangkutan.

Selanjutnya pada Pasal 90 batas usia pensiun (BUP) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) huruf c itu ditentukan secara definitif :

a. 58 (lima puluh delapan) tahun bagi Pejabat Administrasi ; b. 60 (enam puluh) tahun bagi Pejabat Pimpinan ; dan

(53)

Dengan aturan definitif itu maka tertutup kemungkinan pemberlakuan BUP di luar ketentuan tersebut kecuali ditentukan lain dengan Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti UU) dan/atau UU yang lain. Bahkan PNS yang tidak menduduki jabatan tertentu sebagai Pejabat Administrasi, Pejabat Pimpinan dan Pejabat Fungsional tidak diatur dalam UU ASN ini.

Aturan BUP itu tidak terkait secara langsung dengan efektivitas pelaksanaan tugas PNS karena faktor kemampuan SDM PNS dan efektivitas pelaksanaan tugas PNS itu tidak selalu berkorelasi langsung dengan faktor usia, namun lebih banyak ditentukan oleh faktor lain, seperti faktor kesehatan, faktor motivasi dan semangat kerja, dan lain sebagainya. Jadi bisa saja seorang PNS itu sudah mencapai BUP namun masih produktif, sebaliknya ada pula seorang PNS berusia relatif muda, masih jauh dari BUP namun sakit-sakitan sehingga tidak mampu lagi bekerja dengan baik. Oleh karena itu, dihadapkan pada persoalan seperti ini UU No. 5 Tahun 2014 itu akan menghadapi masalah implementasi. Ujung-ujungnya pelaksanaan peraturan BUP secara konsisten tidak berdampak pada peningkatan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan substansi tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan. Namun hanya sekedar melaksanakan peraturan yang bersifat prosedural saja. Oleh karena itu peningkatan kinerja organisasi pemerintahan (birokrasi) tidak bisa diharapkan dari pelaksanaan ketentuan BUP ini.

(54)

tidak ada alasan kuat menetapkan masa pensiun berdasarkan faktor usia sebagai standar tunggal. Seharusnya perlu dipertimbangkan pula faktor kemampuan melaksanakan tugas pekerjaan secara simultan. Apa urgensi ditetapkannya batas usia pensiun itu secara definitif ? pertanyaan ini tidak bisa dijawab dari sisi peningkatan efektivitas organisasi. Persoalan yang disasar oleh perubahan BUP UU ini tidak jelas.

5. Regulasi BUP dalam Bentuk UU : Sulit dilakukan amandemen

(55)

dan non-birokrasi – terutama DPR. Pengalaman selama empat puluh tahun (1974 – 2014) telah membuktikannya. Implementasi peraturan BUP dalam UU No. 8 Tahun 1974 itu tidak banyak menemui persoalan yang berarti. Norma BUP yang sangat umum dalam UU No. 8 Tahun 1974 justru sangat menguntungkan. Walau peraturan BUP dalam UU itu dilaksanakan melalui Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), Keputusan Presiden (Kepres) dan Peraturan Menteri (Permen), maksud, tujuan serta semangat regulatif dalam UU No. 8 Tahun 1974 itu tetap terjaga.

6. Norma Regulasi BUP Tidak Terkoordi-nasi, Tidak Terintegrasi dan Overlap

Paling tidak, terlihat 3 pola permasalahan yang perlu dicatat terkait dengan aturan BUP PNS sebelum lahirnya UU No. 5 Tahun 2014 itu, yaitu : (a) Penyusunannya yang tidak terintegrasi, (b) Terdapat overlap pengaturan BUP di tingkat UU, dan (c) Pengaturan BUP kebanyakan bersifat ad hoc yang dipermanenkan – hasil perpanjangan aturan utama. Sementara itu UU No. 5 Tahun 2014 tidak khusus ditujukan untuk mengatasi persoalan tersebut.

Selain diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 masih ada beberapa UU lain yang juga mengatur BUP ini. Artinya, secara langsung ataupun tidak langsung BUP PNS di Indonesia selama ini diatur dengan peraturan ganda (overlap). Sebelum lahirnya UU No. 5 Tahun 2014 BUP PNS – dalam UU itu PNS dikategorikan sebagai bagian dari Aparatur Sipil Negara – telah diatur dalam beberapa UU, namun masing-masing tidak saling

berhubungan. Ketika dicermati secara lebih dalam diktum “menimbang” dan

(56)

memasukkan unsur keterkaitan atau kebersamaan mengatur (juncto). Hal ini menunjukkan bahwa proses penyusunan regulasi/peraturan BUP PNS tersebut selama ini tidak terkoordinasi sehingga tidak membentuk satu kesatuan sistem regulasi yang terintegrasi. Substansinya overlap satu sama lain. Selanjutnya menjadi tidak jelas terlihat dimana posisi UU ASN ini dalam sistem regulasi BUP di Indonesia. Apakah UU ASN ini menjadi UU pokok (lex generalis) yang berfungsi memayungi UU yang lain, ataukah UU ASN ini hanya sekedar aturan pelengkap saja.

UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian – sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 43 Tahun 1999 – UU No. 16/2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, UU No. 3/2006 tentang Peradilan Agama, UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi merupakan contoh produk proses legislasi yang tidak terpadu. Legislasi ke 5 UU tersebut seolah-olah berjalan sendiri-sendiri untuk mencapai tujuan sektoralnya masing-masing, tanpa memperhatikan kepentingan sektor lainnya. Sebagai bukti :

a. Pada diktum menimbang dan mengingat dalam UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen hanya dimasukkan materi mengingat UUD 1945 dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Tidak mencantumkan materi mengingat UU tentang Pokok-pokok Kepegawaian – apalagi mengingat peraturan pelaksanaannya. Padahal ke dua UU itu mengatur obyek yang sama.

(57)

UUD 1945 saja. Hal ini sama artinya dengan mengabaikan UU atau peraturan lain yang setingkat, padahal keduanya sama-sama mengatur BUP PNS sebagai obyek regulasi.

c. UU No. 3/2006 tentang Perubahan

Gambar

Tabel 1 : Variasi Batas Usia Pensiun dan Dasar Hukumnya
Gambar 1 :  Kelompok Variabel yang mempengaruhi Keberhasilan Kebijakan Publik
Tabel 2 : Variabel Kebijakan
Tabel 4 : Tahap-tahap Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pejabat Pembina Kepegawaian adalah pejabat yang mempunyai kewenangan menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai ASN dan pembinaan Manajemen ASN

Untuk Ketiga Adik saya Siti Mitha Anissa.Amd,Siti Chairani dan Sit amaliska terima kasih sedalam-dalamnya untuk semua doa dan dukungan yang diberikan dalam penyelesaian skripsi

Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan modal dasar dalam proses pembangunan nasional, oleh karena itu maka kualitas SDM senantiasa harus dikembangkan dan diarahkan supaya tercapai

(2) Sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut: "Demi Allah/Atas Nama Tuhan Yang Maha Esa, saya bersumpah/berjanji: bahwa saya, untuk

Sesuai dengan metode penelitian, teknik analisis data yang diadopsi penulis dalam penelitian dengan menggunakan teknik analisis kualitatif, yaitu dengan menggunakan

Perencanaan dan Pengembangan Sumber daya Manusia, Bandung : PT Refika Aditama.. Yogyakarta: Gajah Mada

Apakah karakteristik para pegawai kantor Pemerintahan Kota Medan sudah cukup memuaskan dalam pelayanan yang di berikan kepada masyarakat?. Disposisi (kecendrungan atau

Dari beberapa pemaknaan di Negara-negara tersebut tentang temporary employee , dapat diketahui bahwa temporary employee hanya memiliki masa kerja atau kontrak yang singkat