• Tidak ada hasil yang ditemukan

Notaris pada lembaga Pengangkatan Anak di Kota Medan

Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa berdasarkan pasal 1 angka 9 UU nomor 23 tahun 2002 telah tersirat bahwa legalitas pengangkatan anak harus melalui Pengadilan. Oleh karena itu, penelitian terhadap tingkat penerimaan masyarakat terhadap layanan notaris pada lembaga Pengangkatan Anak di Kota Medan, merujuk data yang bersumber dari Pengadilan Negeri Kelas IA, Medan. Sehingga, apabila ada akta pengangkatan anak atau akta-akta sejenis yang dibuat dihadapan Notaris namun tidak dimintakan penetapan atau keputusannya ke Pengadilan maka hal tersebut luput dari penelitian ini.

Tabel 2

Jumlah Penetapan Pengangkatan Anak di Pengadilan Negeri Kelas IA, Medan Periode 2005-2006

Penyerahan dengan Akta Yang Mengangkat

Notaris Dibwh Tangan

Keterangan Tahun 2005 Indonesia (Muslim) 0 19 Indonesia (Kristen) 1 4 WNI Tionghoa 1 1 WNA 0 0

lain-lain 0 1 WNI (Hindu)

Total 2 25

Tahun 2006

Indonesia (Muslim) 0 11 1 penetapan dg

penyerahan lisan

Indonesia (Kristen) 1 5* *1 dengan akta

dibawah tangan yang dilegalisasi

Notaris

WNI Tionghoa 0 4

Penyerahan dengan Akta

lain-lain 0 0

Total 1 20

Sumber : Pengadilan Negeri Kelas IA, Medan (diperoleh tanggal 29 Juni 2007). Berdasarkan data tersebut menunjukkan penurunan peranan Notaris pada lembaga pengangkatan anak khususnya kota Medan atau dengan kata lain masyarakat kota Medan amat sedikit yang menggunakan layanan Notaris pada lembaga pengangkatan anak. Hampir seluruh penyerahan pengangkatan anak yang dimohonkan penetapannya kepada Pengadilan Negeri dengan akta dibawah tangan dan 1 (satu) penetapan berdasarkan penyerahan lisan.

Pada tahun 2005 dari 27 penetapan pengangkatan anak hanya 2 yang penyerahannya dengan akta Notaris (± 7,4%) sedangkan di tahun 2006 dari 21 penetapan pengangkatan anak, hanya 1 yang penyerahannya dengan akta notaris (± 4,8%) sedang 1 lagi hanya akta dibawah tangan yang dilegalisasi oleh Notaris.

Pada realitasnya, berdasarkan data tersebut, ternyata dari 3 (tiga) penetapan yang penyerahannya melibatkan notaris, 2 (dua) akta yang para pihaknya WNI Asli beragama Kristen dan hanya 1 (satu) akta yang para pihaknya WNI Tionghoa. Padahal, selama tahun 2005-2006 ada 6 (enam) penetapan pengangkatan anak yang para pihaknya WNI Tionghoa. Berarti WNI Tionghoa yang melakukan pengangkatan anak dengan akta notaris selama periode 2005-2006 hanya 1 (satu) dari 6 (enam) penetapan saja. Pada periode 2005-2006, justru dari 4 (empat) penetapan pengangkatan anak WNI Tionghoa tidak satupun yang penyerahannya dengan akta notaris.

Data tersebut menunjukkan, pada Pengadilan Negeri Kelas IA, Medan

staatsblad 1917 nomor 129 tidak diterapkan lagi. Disisi lain, pada realitasnya

justru WNI Asli yang baginya dahulu tidak diberlakukan staatsblad 1917 nomor 129 yang menggunakan layanan Notaris. Berdasarkan informasi dari pegawai bagian Perdata Pengadilan Negeri kelas IA, Medan, penetapan yang penyerahannya dengan akta notaris oleh WNI Asli, lebih dilatarbelakangi antara lain persyaratan yang diwajibkan oleh institusinya misalnya dari kepolisian atau kemampuan ekonomi para pihak.

Untuk mendukung informasi yang telah disajikan diatas, terlampir 3 (tiga) set akta yang melibatkan notaris pada lembaga pengangkatan anak di Kota Medan, yaitu:

1. Akta Pengangkatan Anak (Adopsi) nomor 03 yang para pihaknya WNI Asli beragama Kristen

2. Akta Pengangkatan Anak (Adopsi) nomor 2 yang para pihaknya WNI Tionghoa

3. 1 (satu) Akta Penyerahan Anak Untuk Dipelihara yang dilegalisasi Notaris dan Berita Acara Pemeriksaannya pada Pengadilan Negeri Kelas IA, Medan.

Menganalisa Akta Pengangkatan Anak nomor 03 yang para pihaknya WNI asli beragama Kristen dan Akta Pengangkatan Anak nomor 2 yang para pihaknya WNI Tionghoa menunjukkan penuangan kehendak-kehendak para pihak summier sifatnya. Pada prinsipnya, dalam penyusunan suatu kesepakatan (drafting) akta

otentik, Notaris sebagai pihak yang impartiality seharusnya berperan juga memberikan nasehat-nasehat menyangkut kesepakatan yang akan diperbuat dengan terlebih dahulu merujuk perundang-undangan yang berlaku.

Pada Akta nomor 03, walaupun pengaturannya summier namun tidak berbenturan dengan perundang-undangan yang ada. Namun, pada Akta nomor 2 yang dilayani Notaris pada tanggal 29 (dua puluh sembilan) Juni 2005 (dua ribu lima) yang menuangkan akibat hukum pengangkatan anak dengan merujuk pasal 14 staatsblad 1917 nomor 12953 berpotensi mengandung benturan dengan UU nomor 23 tahun 2002 pasal 39 yang secara tegas telah menyatakan bahwa pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya. Hanya, karena hingga saat ini belum ada pengaturan lebih lanjut dari pasal tersebut sehingga akibat-akibat hukum dari pasal ini juga masih belum jelas.

Disamping itu, apabila dianalisa berita acara Pengangkatan Anak di Pengadilan sesuai lampiran 3, tergambar pemeriksaannya tanpa kehadiran ibu kandung dari anak tersebut. Hanya pemohon yang merupakan pasangan suami isteri yang menerima penyerahan anak tersebut yang hadir. Sedangkan 2 (dua) saksi yang dihadirkan semuanya dari pihak pemohon yaitu 1 (satu) orang keluarga dan 1 (satu) lagi tetangga mereka. Memang, belumlah dapat ditarik suatu kesimpulan terhadap pemeriksaan tersebut yang hanya menghadirkan pihak yang mengangkat dan saksi-saksi dari pihak yang mengangkat sebagai pemeriksaan yang proforma saja sifatnya.

Namun, temuan-temuan mahkamah agung yang dijadikan salah satu dasar diterbitkan SEMA-RI nomor 6 tahun 1983 telah lama mensinyalir kondisi demikian sebagaimana diuraikannya pada bagian III angka 2.1 SEMA-RI tersebut sebagai berikut "Pemeriksaan dimuka sidang dilakukan terlalu summier seolah-olah hanya merupakan proforma saja, tanpa tampak adanya usaha untuk memperoleh gambaran dari motif yang menjadi latar belakangnya".

Dengan realitas proses pengangkatan anak di Pengadilan sebagaimana yang disinyalir oleh Mahkamah Agung tersebut, amatlah rawan dalam kaitannya dengan perlindungan anak. Sedangkan saat ini, sebagian besar paradigma masyarakat belum menyadari pentingnya masa pra pengangkatan anak yang dapat melibatkan peranan notaris yang hakikat profesinya impartiality (tidak memihak). Oleh karena itu, perlu ditumbuhkan kesadaran pada masyarakat untuk melibatkan para profesi dibidang hukum khususnya Notaris pada tahap pra pengangkatan anak sedangkan pengacara dan Pengadilan pada tahap memperoleh legalitas pengangkatan anak sesuai dengan kewenangan dan wilayah kerjanya masing-masing.

53. Pasal 14 staatsblad 1917 nomor 129 menyebut bahwa "karena berlangsungnya suatu pengangkatan, terputuslah segala hubungan perdata yang berpangkal pada keturunan karena kelahiran antara si yang diangkat dengan kedua orang tuanya dan sekalian keluarga sedarah dan semenda kecuali ...."

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

1. Masih banyak kekosongan-kekosongan pada sistem hukum pengangkatan anak di Indonesia terutama dalam kaitan dengan perlindungan anak. Sebagaimana dikemukakan oleh Mahkamah Agung R.I bahwa pengangkatan anak tersebut merupakan suatu proses, namun hingga saat ini, belum ada penjabaran substansi hukum sesuai dengan tahapan-tahapan proses. Baik Belanda dan Malaysia telah mengatur proses pra pengangkatan anak dengan menetapkan syarat bahwa calon pihak yang mengangkat dengan calon anak angkat wajib tinggal bersama-sama selama waktu tertentu sebelum permohonan pengangkatan anak tersebut dikabulkan.

2. Sebelum Kemerdekaan R.I., peranan Notaris pada lembaga pengangkatan anak amatlah berperan bagi Golongan Eropa dan Golongan Timur Asing Tionghoa. Namun sejak Kemerdekaan R.I., karena staatsblad 1917 nomor 129 sebagai pedoman pengangkatan anak bagi Golongan Tionghoa berbeda-beda penerapannya, sedangkan berdasarkan perundang-undangan negara yang memuat pengaturan pengangkatan anak saat ini, peranan Notaris tidak ada pengaturannya sama sekali. Sehingga dewasa ini peranan Notaris pada lembaga pengangkatan anak semakin menciut. Padahal peranan Notaris pada lembaga pengangkatan anak masih penting di Indonesia yaitu pada tahap pra pengangkatan anak berdasarkan hakikat profesi Notaris yang bersifat

impartiality, perubahan sosial yang menunjukkan WNI Asli yang baginya

dahulu tidak berlaku staatsblad 1917 nomor 129 juga telah menggunakan layanan Notaris pada lembaga pengangkatan anak serta seruan salah satu eksekutif negara agar perbuatan-perbuatan hukum dituangkan pada akta (perjanjian-perjanjian tertulis).

3. Berdasarkan wawancara dengan hakim di Pengadilan Negeri Kelas IA, Medan, bahwa prosedur pengangkatan anak merujuk SEMA-RI namun kekosongan-kekosongan hukum akan diisi dengan memperhatikan praktek-praktek di Pengadilan dengan prinsip kehati-hatian dengan mengutamakan kepentingan terbaik bagi masa depan anak. Namun tanpa landasan perundang-undangan, pada prakteknya, prinsip-prinsip tersebut akan bersifat subyektif dan berbeda-beda penerapannya. Sehubungan dengan pergeseran paradigma, karena sebagian besar masyarakat beranggapan bahwa pengangkatan anak cukup dengan penetapan atau putusan Pengadilan saja dan belum menyadarinya pentingnya masa pra pengangkatan anak berakibat telah terjadi penurunan minat masyarakat terhadap peranan Notaris khususnya di Kota Medan. Perbandingan antara permohonan pengangkatan anak yang didahului dengan penyerahan anak yang kehendaknya dituangkan pada akta notaril pada tahun 2006 masih ± 7,4% menurun menjadi ± 4,8% pada tahun 2006. Namun, kenyataannya telah ada WNI Asli beragama Kristen yang dahulu tidak diberlakukan staatsblad 1917 nomor 129 yang menggunakan layanan Notaris

pada lembaga pengangkatan anak. Sedangkan, dari 6 (enam) permohonan pengangkatan anak selama tahun 2005-2006 yang para pihaknya WNI Tionghoa, justru hanya 1 (satu) yang didahului dengan akta otentik. Hal ini menunjukkan, pada Pengadilan Negeri Kelas IA, Medan, staatsblad 1917 nomor 129 telah tidak diterapkan lagi.

Dokumen terkait