• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan Notaris pada Lembaga Pengangkatan Anak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Peranan Notaris pada Lembaga Pengangkatan Anak"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

PERANAN NOTARIS PADA LEMBAGA PENGANGKATAN ANAK

Indonesia merupakan salah satu kawasan potensial perdagangan anak dan perempuan. Disinyalir sebagai salah satu celah perdagangan anak adalah penggunamanfaatan hukum pengangkatan anak di Indonesia. Sedangkan disisi lain, pengangkatan anak merupakan kebutuhan sosial, sehingga pada realitasnya, walaupun layanan notaris belum dapat dipaksakan pemberlakuannya pada seluruh masyarakat khususnya dibidang hukum keluarga namun telah ada masyarakat yang dahulu tidak diberlakukan bab II staatsblad 1917 nomor 129 yang mulai melirik dan menerapkan layanan Notaris pada lembaga ini. Pada penelitian ini akan diuraikan, bagaimanakah sistem hukum pengangkatan anak di Indonesia, bagaimanakah eksistensi Notaris pada sistem hukum tersebut dan apakah notaris dapat lebih ditingkatkan peranannya serta bagaimana pula prosedural pengangkatan anak dan penerapan staatsblad 1917 nomor 129 di Pengadilan Negeri Kelas IA, Medan (PN-Medan).

Metode penelitian yang dipergunakan adalah yuridis normatif dengan menganalisa implementasinya di lapangan yaitu di PN-Medan. Data yang dikumpulkan untuk menganalisa sistem hukum pengangkatan anak di Indonesia dan eksistensi serta peningkatan peranan Notaris adalah data sekunder berupa bahan-bahan hukum primer, sekunder dan tertier. Sedangkan untuk menganalisa prosedur pengangkatan anak dan penerapan staatsblad 1917 nomor 129 di PN-Medan dilakukan teknik wawancara dengan salah seorang Hakim yaitu ibu Pinta Uli Br. Tarigan dan menganalisa juga data penetapan-penetapan pengangkatan anak di PN-Medan periode tahun 2005 dan 2006. Kemudian, data dianalisa dengan menggunakan metode kualitatif analitis untuk selanjutnya ditarik kesimpulan dengan menggunakan logika berpikir deduktif.

Pengangkatan anak merupakan sebuah proses, sehingga pada prinsipnya ada 3 (tiga) aktivitas penting yang memerlukan pengaturan-pengaturan substantif dalam kaitannya dengan perlindungan anak yaitu pra pengangkatan anak, pengangkatan anak dan pasca pengangkatan anak. Masih banyak kekosongan-kekosongan hukum pada sistem hukum pengangkatan anak di Indonesia terutama pada proses pra pengangkatan anak yang seharusnya merupakan proses menjalin, menumbuhkan dan mempertebal ikatan cinta kasih antara calon anak angkat dan calon pihak yang mengangkatnya. Oleh karena itu, perlu pembenahan sistem hukum pengangkatan anak di Indonesia terutama dengan mengfokuskan

(2)

penjabaran prinsip-prinsip kesejahteraan dan perlindungan anak. Notaris dapat lebih ditingkatkan peranannya terutama pada tahap proses pra pengangkatan anak berdasarkan hakikat profesinya yang tidak memihak, realitas sosial di masyarakat yang mulai menggunakan layanan Notaris khususnya pada bidang hukum keluarga serta seruan salah satu eksekutif negara.

Saat ini sebagian besar masyarakat beranggapan pengangkatan anak telah sah dengan penetapan atau putusan Pengadilan karena masyarakat dan Pemerintah belum menyadari pentingnya tahap pra pengangkatan anak. Sehingga, Notaris yang wilayah kerjanya non litigasi, yang memiliki peranan penting di masa pra kemerdekaan R.I. menjadi semakin menciut peranannya. Berdasarkan data pada PN-Medan periode tahun 2005-2006 ternyata minat masyarakat kota Medan menggunakan layanan Notaris pada lembaga pengangkatan anak menurun yaitu tahun 2005, 2 dari 27 penetapan (± 7,41%) sedangkan tahun 2006, 1 dari 21 penetapan (± 4,76%). Menariknya, dari 3 (tiga) penetapan yang didahului dengan menuangkan kehendak pada akta otentik tersebut, ternyata 2 (dua) yang para pihaknya WNI Asli beragama Kristen dan hanya 1 (satu) yang para pihaknya WNI Tionghoa. Hal ini menunjukkan Pada PN-Medan staatsblad 1917 nomor 129 tidak diterapkan lagi. Sehubungan dengan penurunan minat layanan Notaris khususnya pada lembaga pengangkatan anak, perlu diadakan lagi sosialisasi hakikat profesi Notaris bagi masyarakat kota Medan. Disamping itu, sosialisasi juga penting untuk mengedukasi masyarakat karena pada realitasnya banyak para pihak yang saat ini berhadapan dengan Notaris yang bersifat formalitas saja, tidak mengerti hakikat profesi tersebut secara prinsip.

_____________________________________________________ Kata Kunci : - Notaris

(3)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan

berkat dan karuniaNyalah, penelitian berjudul "Peranan Notaris pada Lembaga

Pengangkatan Anak" ini, telah dapat diselesaikan.

Dengan ini penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang

setinggi-tingginya kepada :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara (USU), Yang Amat Terpelajar Bapak Prof.

Chairuddin P. Lubis, DTM dan H.Sp.A (K). dan para pembantu Rektor USU.

2. Direktur Sekolah Pascasarjana USU, Yang Amat Terpelajar Ibu

Prof.Dr.Ir.T.Chairun Nisa B, MSc, Wakil Direktur, Sekretaris, Staf beserta seluruh

jajarannya di Sekolah Pascasarjana USU.

3. Ketua Program S2 Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana USU yang juga

berperan selaku Ketua Komisi Pembimbing, Yang Amat Terpelajar Bapak

Prof.Dr.Muhammad Yamin,SH,MS,CN yang ditengah-tengah kesibukan beliau

tetap menyediakan waktu memberikan bimbingan-bimbingannya berupa

masukan-masukan dan koreksi-koreksi terutama dalam pembenahan kerangka teori dan

(4)

Anggota Pembimbing, yang ditengah-tengah kesibukan beliau yang berprofesi

Notaris tetap menyediakan waktu untuk mengadakan bimbingan-bimbingannya.

Masukan-masukan beliau terutama untuk melakukan wawancara dengan salah

seorang Notaris di Kota Medan pada pra penelitian merupakan masukan yang amat

sangat bermanfaat dalam pengembangan dan penyempurnaan tesis ini.

5. Yang Amat Terpelajar Ibu Dr.T.Keizerina Devi Azwar,SH,MHum,CN selaku

Anggota Komisi Pembimbing, ditengah-tengah kesibukan beliau namun tetap

menyediakan waktu untuk memberikan perhatian, bantuan dan

bimbingan-bimbingannya berupa masukan-masukan dan koreksi-koreksi yang sangat bermanfaat

dalam penyempurnaan tesis ini terutama dalam metode dan tata cara penulisan yang

sebelum pengarahan beliau dalam kondisi masih semberawut.

6. Yang Amat Terpelajar Ibu Chairani Bustami,SH,SpN,MKn, selaku Dosen

Penguji mulai dari tahap proposal tesis yang selalu memberikan arahan dan petunjuk

dalam penyempurnaan tesis ini. Terutama masukan dan koreksi beliau pada tahap

Seminar Hasil yang sangat bermanfaat dalam penyempurnaan tesis ini, karena tanpa

koreksi beliau potensi kesalahan interpretasi pembaca terhadap maksud tesis ini

(5)

Penguji mulai dari tahap proposal tesis yang selalu memberikan arahan dan petunjuk

dalam penyempurnaan tesis ini. Terutama masukan-masukan beliau dalam

pembenahan kerangka konsepsi tesis ini sangat bermanfaat dalam

penyempurnaannya.

8. Ayahanda Ruslie Nauli Basa dan Ibunda Ratna Sari Yanti, yang telah

memberikan doa, dorongan dan motivasi, serta telah bersusah payah membesarkan

dan mendidik penulis hingga mampu melanjutkan pendidikan hingga S2, juga

Abangda Ir. Ruddy Ruslie Naulibasa dan Freddy Ruslie Naulibasa,SH yang telah

mendorong dan mendukung penulis dalam menyelesaikan program studi ini.

9. Para pihak yang mendukung penulis selama melakukan penelitian antara lain Ibu

Notaris Pagit Maria Tarigan, SH, Ketua Pengadilan Negeri Kelas IA, Medan

(PN-Medan), Ibu Pinta Uli Br. Tarigan, SH (Hakim di PN-Medan), seluruh

pegawai di PN-Medan yang telah memberikan informasi-informasi dan data dalam

pengembangan dan penyelesaian tesis ini juga kepada Irma Hasibuan, SH yang

menjadi teman sejati penulis sejak masih di Fakultas Hukum USU yang banyak

membantu selama tahap penelitian khususnya di PN-Medan.

10.Kepada teman-teman penulis, Eni Gussetiawati, SH, Desi Helfira, SH,

(6)

untuk penyempurnaan tesis ini, juga kepada Lindia Halim, SH dan Sri Sinoria, SH

serta rekan-rekan mahasiswa lain di Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana

USU khususnya grup A yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang bersama-sama

penulis dalam suka dan duka bersama-sama mengikuti perkuliahan untuk

menyelesaikan program studi ini.

11.Kepada para Staf dan Pegawai Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana

USU, yang telah banyak membantu penulis pada saat penulis menjadi salah seorang

(7)

Daftar Isi

Halaman LEMBAR PENGESAHAN

INTISARI ...i

ABSTRACT ...iii

KATA PENGANTAR...v

DAFTAR ISI ...ix

I. P E N D A H U L U A N A. Latar Belakang ...1

B. Perumusan Masalah ... 3

C. Tujuan Penelitian ... 3

D. Manfaat Penelitian ... 3

E. Keaslian Penelitian... 4

F. Kerangka Teori dan Konsepsi... 5

1. Kerangka Teori ... 5

2. Kerangka Konsepsi ... 8

G. Metode Penelitian ... 8

II. SISTEM HUKUM PENGANGKATAN ANAK DI INDONESIA A. Periode Pra Kemerdekaan Republik Indonesia (R.I.)... 9

B. Periode Pasca Kemerdekaan R.I ... 11

C. Penelaah Sistem Hukum Pengangkatan Anak di beberapa Negara ... 13

1. Sistem Hukum Pengangkatan Anak di Belanda ... 13

2. Sistem Hukum Pengangkatan Anak di Malaysia... 13

3. Sistem Hukum Pengangkatan Anak di Singapura ... 14

(8)

B. Lembaga Pengangkatan Anak Sebagai Salah Satu Bentuk Perikatan ... 17

C. Notaris pada Lembaga Pengangkatan Anak di Indonesia... 18

IV. PERANAN NOTARIS PADA LEMBAGA PENGANGKATAN ANAK DI KOTA MEDAN A. Prosedur Pengangkatan Anak di Pengadilan Negeri Medan ... 22

B. Notaris pada lembaga Pengangkatan Anak di Kota Medan... 24

V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 27

B. Saran ... 28

DAFTAR PUSTAKA ...29

DAFTAR TABEL ...32

DAFTAR SINGKATAN ...33

RIWAYAT HIDUP PENULIS ... 34

LAMPIRAN-LAMPIRAN

1. Akta Pengangkatan Anak (Adoptie) nomor 03

2. Akta Pengangkatan Anak (Adopsi) nomor 2

(9)

HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI

Telah diuji Pada : Tanggal :

______________________________________________________________________________

Panitia Penguji Tesis

Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, CN, MS Anggota : Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn

(10)
(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 beserta perubahan-perubahannya, pada dasarnya negara telah menjamin hak-hak dasar anak untuk tumbuh, berkembang dan melindunginya dari tindak kekerasan dan diskriminasi yaitu pada pasal 28B angka 2 dan pasal 34 angka 11 yang telah dijabarkan pula pada Undang-Undang Republik Indonesia (selanjutnya disingkat UU) yaitu UU nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Ironisnya, menurut mantan Ketua Gugus Tugas Penghapusan Perdagangan Anak dan Perempuan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (Rachmat Sentika), Indonesia justru dinyatakan sebagai kawasan potensial untuk perdagangan anak dan perempuan. Tragisnya, adapula anak-anak yang diperdagangkan tersebut dengan tujuan untuk diambil organ tubuhnya.2 Menurut Roediono (Wakil Ketua I Bidang Anak dan Pendidikan Yayasan Pembinaan dan Asuhan Bunda), sebagai salah satu celah jual beli anak adalah adopsi (pengangkatan anak) ilegal. 3

Disinyalir perdagangan anak berkedok adopsi telah lama berlangsung. Pada skripsi Muderis Zaini yang ujian sidang meja hijaunya dilaksanakan sekitar 25 tahun silam, usulan pentingnya diterbitkan segera "Undang-Undang tentang Pengangkatan Anak di Indonesia serta terbentuknya sebuah lembaga nasional untuk itu karena maraknya penjualan anak-anak negara miskin"4 telah diangkat kepermukaan.

Berdasarkan UU nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bahwa pengangkatan anak dapat dilakukan berdasarkan adat istiadat dan peraturan perundang-undangan. Menilik peraturan perundang-undangan yang ada sehubungan dengan pengangkatan anak, hingga saat inipun masih berkondisi sama, partial karena masih disisip pada beberapa perundang-undangan yang ada antara lain UU nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU Nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama dan UU Nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaran dan lemah kekuatan mengikatnya karena hanya berupa Surat Edaran Mahkamah Agung (produk lembaga yudikatif) dan Surat Keputusan Menteri Sosial (produk lembaga eksekutif).

Kondisi sistem hukum pengangkatan anak sebagaimana diuraikan di atas, mengakibatkan ketidakpastian hukum karena penerapan hukum berdasarkan

1. Pasal 28 B angka 2 Amandemen ke-2 (dua) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) menyebutkan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Sedangkan pada pasal 34 UUD 1945 disebutkan bahwa Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.

2. "Kasus Perdagangan anak Sebagian Bayi Diambil Organ Tubuhnya", Harian

Sinar Harapan, 4 Agustus 2005.

(12)

interpretasi apalagi motivasi para pihaknya berbeda-beda. Akibatnya, lembaga ini rentan menimbulkan masalah baik bagi masyarakat maupun Pemerintah.5 Serta dapat pula dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang beritikad tidak baik karena celah menjadi terbuka lebar terutama kejahatan terhadap anak. Namun, disisi lain, akan menimbulkan keragu-raguan bagi Pihak yang melakukan pengangkatan anak (keluarga angkat) yang beritikad baik, karena dapat dituduh terlibat penjualan atau perdagangan anak.

Dengan kondisi hukum pengangkatan anak yang memprihatinkan, sedangkan kebutuhan masyarakat untuk melakukan pengangkatan anak selalu ada, maka untuk meminimalisasi kejahatan terhadap anak dan melindungi subyek hukum manusia pada pengangkatan anak yang beritikad baik, peranan sarana hukum lain yaitu lembaga kenotarisan yang sifat profesinya tidak memihak (impartiality) dapat lebih ditingkatkan untuk melengkapi peraturan-peraturan yang ada.

Pada pengangkatan anak, adakalanya pihak yang menyerahkan anaknya adalah pihak yang lemah baik dari sisi ekonomis maupun dari sisi intelektual. Oleh karenanya, peningkatan peranan Notaris sebagai salah satu profesi hukum yang tidak memihak perlu. Sebagaimana dikemukakan oleh Tan Thong Kie :

ada perjanjian yang harus (diwajibkan) dibuatkan dengan akta Notaril untuk melindungi kepentingan yang lemah dan kurang mengerti yaitu : 1. perjanjian nikah (Pasal 147)

2. pemisahan dan pembagian warisan yang salah satu pihak anak dibawah umur (Pasal 1074)

3. perjanjian hibah (Pasal 1682)6

Memang lembaga kenotarisan bersumber dari hukum barat yang belum dapat dipaksakan berlaku terhadap seluruh masyarakat khususnya yang baginya dahulu tidak diberlakukan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disingkat KUHPdt) terutama pada bidang hukum keluarga. Namun, seiring perkembangan zaman, pendidikan dan tehnologi, telah terjadi pergeseran budaya dan cara pikir pada sebagian besar masyarakat Indonesia, sehingga lembaga kenotarisan bukanlah sesuatu yang asing lagi. Pada lembaga pengangkatan anak dewasa ini, bantuan Notaris juga dipergunakan masyarakat yang baginya dahulu tidak diberlakukan Staatsblad 1917 nomor 129.

Salah seorang Notaris di kota Medan7, pernah melakukan terobosan hukum dengan membuat akta Berita Acara Pengangkatan Anak untuk masyarakat yang berasal dari suku Batak Toba berdasarkan permintaan para pihak yang datang menghadapnya. Terobosan hukum dilakukan Notaris tersebut, dengan dasar pemikiran, walaupun permasalahan yang dibawa kehadapannya belum jelas pengaturannya, namun maksud dan tujuan para pihak tersebut mulia karena ingin memperjelas status seseorang, sedangkan disisi lain seorang Notaris yang padanya

5. Irma Setyowati Sumitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara, Jakarta, 1990, hal. 33.

6. Tan Thong Kie (I), Studi Notariat dan Serba Serbi Praktek Notaris-buku I, PT.Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2000, hal. 167.

(13)

dibawa permasalahan hukum seharusnya berusaha memberikan solusinya dan apabila tidak bertentangan dengan hukum wajib memberikan pelayanannya. Berhubung tidak ada salah satupun dari para pihak, yang datang menghadap kembali kepada Notaris tersebut, sehingga sampai dengan saat ini konsekwensi yuridis dari akta tersebut tidak diketahui.

Berkaca dari peristiwa tersebut, dapat ditarik kesimpulan, walaupun belum ada pengaturan yang mengharuskan penggunaan Notaris dan memang secara prinsip penggunaannya terutama menyangkut bidang hukum keluarga tidak dapat dipaksakan pemberlakuannya pada seluruh masyarakat Indonesia, karena adanya kebutuhan, pada realitasnya lembaga kenotarisan ini mulai dilirik peranannya dan penerapannya termasuk pada lembaga pengangkatan anak.

Disamping itu, penerapan staatsblad 1917 nomor 129 yang diberlakukan bagi golongan Tionghoa, yang mewajibkan pengangkatan anak dengan akta notaris juga masih simpang siur. Terdapat ketidakjelasan apakah masyarakat golongan Tionghoa yang melakukan pengangkatan anak wajib didahului dengan akta notaris sebelum mengajukan permohonan penetapan atau keputusan Pengadilan atau cukup dengan akta notaris, pengangkatan anak tersebut telah sah menurut hukum tanpa harus mengajukan pengesahannya pada Pengadilan Negeri sebagaimana yang diatur oleh Staatsblad 1917 nomor 129.

B. Perumusan Masalah

Permasalahan-permasalahan yang akan dianalisa pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah sistem hukum pengangkatan anak di Indonesia dalam kaitan dengan perlindungan anak ?

2. Bagaimanakah peranan Notaris pada sistem hukum Pengangkatan Anak di Indonesia dan apakah Notaris dapat lebih ditingkatkan peranannya?

3. Bagaimana prosedural pengangkatan anak dan penerapan staatsblad 1917 nomor 129 di Pengadilan Negeri Kelas IA, Medan ?

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Menganalisa perkembangan pengaturan hukum pengangkatan anak di Indonesia dan sebagai rujukannya juga akan ditelaah sistem hukum pada beberapa negara yaitu Belanda, Singapura dan Malaysia.

2. Untuk menganalisa eksistensi peranan Notaris pada sistem hukum pengangkatan anak di Indonesia dan juga menganalisa peningkatan peranan profesi Notaris pada lembaga pengangkatan anak.

3. Untuk mengetahui prosedural pengangkatan anak pada Pengadilan Negeri Kelas IA, Medan termasuk penerapan Staatsblad 1917 Nomor 129 dan mengetahui penerimaan masyarakat khususnya Kota Medan terhadap layanan profesi Notaris pada lembaga pengangkatan anak .

D. Manfaat Penelitian

(14)

1. Lembaga Legislatif dan Eksekutif

Dalam rangka pembenahan sistem hukum pengangkatan anak sebagai upaya perlindungan anak.

2. Masyarakat

Untuk meminimalisasi bahkan menghilangkan keragu-raguan bagi Subyek Hukum beritikad baik yang berencana melakukan pengangkatan anak.

3. Profesional Notaris

Untuk meminimalisasi keragu-raguan dan menyamakan persepsi sehubungan dengan ketidakseragaman prosedur dan ketidakjelasan perundang-undangan pada lembaga pengangkatan anak saat ini.

4. Mahasiswa

Khususnya mahasiswa magister kenotariatan, dalam rangka menambah bianglala pengetahuannya terhadap seluk beluk dunia kenotarisan.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran daftar judul-judul tesis khususnya pada program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, memang ditemui beberapa penulisan yang berhubungan dengan lembaga pengangkatan anak, sebagai berikut :

Tabel 1

Daftar Nama Mahasiswa dan Judul Tesis yang berhubungan dengan lembaga Pengangkatan Anak di Magister Kenotariatan USU

Nama N I M Judul

Desmiyarni 002111005 Hak dan Kedudukan Anak Angkat atas harta peninggalan orang tua angkatnya pada masyarakat Minang Kabau

Hotmariani Simbolon 017011026 Perkembangan Hak Waris Anak angkat Harta Benda Perkawinan Orang Tua Angkat (Kajian pada masyarakat Adat Batak Toba di Medan)

Lila Triana 027011035 Hibah Kepada Anak Angkat dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Adat

Mamitta Siallagan 027011039 Pengangkatan Anak dan akibat hukumnya menurut hukum adat (pada masyarakat dayak Malanyan Buntok di Kalimantan Tengah)

Edison 037011020 Pengangkatan Anak dalam lingkungan

(15)

Nama N I M Judul

T. Ewi Melfi Hamid 047011067 Tinjauan Yuridis terhadap

Pengangkatan anak (adoptie) oleh Warga Negara Asing (studi kasus di Depsos R.I.)

Sumber : Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara

Pada umumnya penelitian-penelitian tersebut, meninjau lembaga pengangkatan anak dari aspek akibat hukumnya yang memang berbeda-beda di Indonesia. Sedangkan pada penelitian ini tinjauannya dari aspek peranan Notaris.

Setiap penelitian masing-masing pribadi juga memiliki keunikannya, bahkan untuk menemukan kebenaran-kebenaran yang hakiki dan up to date, walaupun terhadap suatu topik telah dilakukan penelitian, tidak akan membatasi pihak lain melakukan penelitian lagi.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Sehubungan perbedaan paradigma dari berbagai pihak terhadap suatu obyek, maka perlu pembatasan-pembatasan (kerangka) baik teori maupun konsepsi dalam suatu penelitian agar tidak terjebak dalam polemik yang tidak terarah.

secara etimologi (asal usul kata), "Pengangkatan Anak" yang bersinonim dengan istilah "Adopsi" berasal dari bahasa Belanda "Adoptie" atau Adoption (Bahasa Inggeris) yang berarti pengangkatan anak. Menurut kamus hukum, Istilah dalam bahasa Belanda tersebut berarti pengangkatan seorang anak untuk sebagai anak kandung..8

Berberapa sarjana telah melahirkan konsep Pengangkatan Anak berdasarkan paradigma masing-masing. Hilman Hadikusuma menjabarkan dari konsep Hukum Adat. Mahmud Syaltut, dari konsep Hukum Islam yang dijabarkan dari 2 (dua) konsep yang berbeda yaitu konsep dimasa Jahiliyah yang diabstraksi dengan istilah Tabanni serta konsep menurut Hukum Islam. Sedangkan J.A Nota dari konsep Hukum Belanda yang menciptakan hubungan kekeluargaan baik sebagian atau keseluruhan yang berpangkal dari keturunan karena kelahiran antara pihak yang mengangkat anak dengan anak angkat.

R.Soeroso9 berkesimpulan bahwa memang belum terdapat suatu kesamaan arti terhadap pengangkatan anak. Namun, beliau menjabarkan pengangkatan anak dalam dua pengertian berdasarkan hubungan yang tercipta yaitu pengangkatan anak dalam arti luas sebagai peristiwa hukum dan pengangkatan anak dalam arti terbatas yang merupakan peristiwa sosial.

Pada awalnya, pengangkatan anak merupakan peristiwa sosial untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Namun, saat ini pengangkatan anak berkembang menjadi suatu peristiwa hukum (rechtfeits) yaitu peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur hukum.10 Pada peristiwa

8. R.Soeroso, Perbandingan Hukum Perdata,Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal. 174. 9. Ibid.

(16)

tersebut, sebagaimana dikemukakan oleh Van Apeldoorn, hukum bekerja sehingga akibat-akibatnya melahirkan atau menghapus hak-hak11.

Hak-hak dan kewajiban-kewajiban para pihak yang lahir pada pengangkatan anak adalah sebagai berikut :

1. Kewajiban pihak yang mengangkat sebagaimana layaknya orang tua untuk memelihara dan mendidik anak-anak sedangkan disisi lain, anak angkat juga wajib menghormati pihak yang mengangkat serta jika ia telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya pihak yang mengangkatnya maupun keluarga pihak yang mengangkat dalam garis lurus ke atas.12

2. Adanya hubungan waris mewaris antara pihak yang mengangkat dengan anak angkat beserta akibat-akibat hukumnya.

Pengangkatan anak berdasarkan konsep Hukum Islam hanya melahirkan sebagian saja dari akibat-akibat hukum tersebut, karena menurut konsep hukum Islam, tidak ada hubungan waris mewaris antara pihak yang mengangkat dengan anak angkat.

Berdasarkan hukum adat, akibat hukum pengangkatan anak bervariasi, ada yang sebagian saja yaitu dari sisi kecintaan dan pemeliharaan saja dan adapula yang seluruhnya tergantung dari daerah dan latar belakang dilakukannya pengangkatan anak. Sedangkan berdasarkan konsep staatsblad 1917 nomor 129 yang diperuntukkan bagi Golongan Timur Asing Tionghoa, akibat hukum meliputi baik segi pemeliharaan maupun dari segi waris mewaris (seluruhnya).

Berdasarkan perundang-undangan Nasional, pengaturan akibat hukum pengangkatan anak masih minim dan tidak jelas prinsip-prinsipnya. Berdasarkan pasal 39 angka 2 UU nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak telah ditegaskan bahwa "pengangkatan anak tidak memutus hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya". Redaksi tersebut, menciptakan suatu ketidakjelasan sehubungan dengan hak anak angkat menggunakan nama keluarga angkatnya dan hubungan waris mewaris khususnya yang non Muslim.

Di Indonesia. sistem hukum pengangkatan anak juga berbeda-beda tergantung kepada golongan penduduknya. Untuk golongan Eropa setelah lahirnya KUHPdt, lembaga pengangkatan anak tidak dikenal lagi. Terhadap Golongan Timur Asing Tionghoa diberlakukan Bab ke II dari Staatsblad tahun 1917 nomor 129 sedangkan untuk golongan Masyarakat adat diserahkan pengaturannya berdasarkan hukum adat masing-masing yang pada umumnya tidak tertulis.

Dalam penelitian ini, sehubungan dengan variasi sistem hukum yang bekerja pada lembaga pengangkatan anak hingga saat ini, tanpa mengabaikan realitas hukum yang bekerja pada masyarakat, fokus penelitian lebih diarahkan kepada sistem hukum sebagai norma (kaidah) yang saat ini berlaku di Indonesia, baik hukum-hukum peninggalan kolonial Belanda yang masih berlaku atau disangsikan

11. Ibid.

(17)

berlakunya maupun norma-norma peraturan pengangkatan anak yang disisip pada beberapa produk perundang-undangan setelah Indonesia merdeka.

Selanjutnya, kerangka teori "Notaris". Secara etimologi, istilah "Notaris" yang merupakan pengemban profesi pada lembaga kenotarisan berasal dari bahasa latin yaitu Notarius. Secara terminologi, berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah Notaris sebagai kata benda berarti orang yang mendapat kuasa dari Pemerintah (dalam hal ini Departemen Kehakiman) untuk mengesahkan dan menyaksikan berbagai surat perjanjian, surat wasiat, akta, dan sebagainya.13

Untuk memahami lembaga Kenotarisan, perlu ditelusuri sistem hukum di dunia yang secara garis besar dipengaruhi sistem common law dan sistem civil

law. Secara prinsip, perbedaan pada kedua sistem hukum tersebut adalah bahwa

kerangka berpikir sistem civil law dari rasio dengan metode logika yang bersifat deduksi sedangkan common law bertitik tolak dari empiris dengan metode logika yang bersifat induksi. 14

Perbedaan sistem hukum tersebut, juga mempengaruhi lembaga Kenotarisan.

Latin Style Notary merupakan notaris yang dikenal pada negara-negara yang

dipengaruhi sistem civil law. Sedangkan yang dipengaruhi sistem common law, dikenal Anglo Saxon Notary Public (selanjutnya disingkat Notary Public) yang peranannya tidak terlalu berarti15 dalam lalu lintas hukum. Banyak praktek hukum seperti pembuatan surat wasiat, pengurusan soal-soal yang menyangkut budel orang yang telah meninggal, jual beli rumah dan tanah, pendirian perseroan yang merupakan kompetensi para Notaris di Eropa daratan, di Inggeris justru dilakukan oleh para solicitor (pengacara, advocat).16

Hal tersebut, dilatarbelakangi sistem hukum pembuktian dan prinsip lain dalam pengadilan Inggeris.Sedangkan, di Indonesia yang secara prinsip masih dipengaruhi oleh sistem civil law, dengan sistem Peradilan yang berpedoman pada sistem logika deduksi dan orientasi sistem mengutamakan bukti-bukti tertulis, model lembaga kenotarisannya dipengaruhi oleh Latin Style Notary.

J.A. Van Mourik dalam ceramahnya yang diucapkan di Jakarta pada tanggal 3 Maret 1992 di Sahid Jaya Hotel dihadapan para anggota IKAHI dan INI, sebagaimana dikutip oleh Tan Thong Kie17 mencitrakan Latin Style Notary sebagai pejabat umum yang hakikat sifat profesinya impartiality (tidak memihak).

13. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, op.cit., hal. 694.

14. G.Alan Tarr, Judicial Process and Judicial Policy Making, West Publishing Co., St.Paul-USA, 1994, hal. 8.

15. Tan Thong Kie (I), op.cit., hal. 157

16. Tan Thong Kie (II), Studi Notariat dan Serba Serbi Praktek Notaris-buku II, PT.Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2000, hal. 230.

(18)

UU nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, mendefinisikan Notaris dari wewenangnya yang secara terperinci dijabarkan lagi pada pasal 15 UU nomor 30 tahun 2004.18

Dalam penelitian ini, konsep Notaris merujuk pada latin style Notary sebagaimana yang dikenal di Indonesia sedangkan yang merujuk pada Anglosaxon

Notary akan diabstraksi menjadi Notary Public.

2. Kerangka Konsepsi

Berdasarkan kerangka teori tersebut, maka pada penelitian ini konsep pengangkatan anak yang dimaksud adalah proses peralihan hak seorang anak dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua kandung atau walinya yang sah ke dalam lingkungan keluarga angkatnya sehingga melahirkan akibat-akibat hukum baik sebagian maupun keseluruhan bagi pihak yang mengangkat maupun anak angkat berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan. Sedangkan konsep Notaris merujuk pada latin style Notary yaitu Pejabat Umum yang memiliki kewenangan berdasarkan perundang-undangan untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan-ketetapan baik yang diwajibkan oleh perundang-undangan maupun dikehendaki oleh para pihak, sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau pihak lain berdasarkan perundang-undangan.

Berdasarkan hal tesebut, yang merupakan kerangka konsepsi pada penelitian ini adalah peningkatan peranan Notaris sebagai salah satu profesi hukum yang mampu melindungi kepentingan pihak yang tidak atau kurang mengerti pada lembaga pengangkatan anak di Indonesia.

G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitan

Metode penelitian yang dipergunakan adalah yuridis normatif dengan menganalisa implementasinya di lapangan, berupa tinjauan langsung ke Pengadilan Negeri Kelas IA, Medan.

2. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dengan menggunakan data sekunder berupa bahan-bahan hukum primer, sekunder maupun bahan-bahan hukum tertier. Sedangkan pada peninjauan langsung ke Pengadilan Negeri kelas IA, Medan dengan teknik wawancara serta meneliti penetapan-penetapan Pengangkatan Anak periode tahun 2005 (dua ribu lima) sampai dengan tahun 2006 (dua ribu enam).

3. Analisis Data

Penguraian informasi dan data menggunakan metode kualitatif analitis. Selanjutnya penarikan kesimpulan menggunakan logika berpikir deduksi.

(19)

BAB II

SISTEM HUKUM PENGANGKATAN ANAK DI INDONESIA

A. Periode Pra Kemerdekaan R.I

Pra kemerdekaan R.I, berdasarkan SK Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 9 Mei 1769 dikenal lembaga pengangkatan anak termasuk bagi Golongan Eropa. Namun, sejak KUHPdt diberlakukan di Indonesia pada tahun 1848, Golongan Eropa tidak lagi memiliki dasar hukumnya.19

Lembaga pengangkatan anak hanya dikenal pada sistem kekeluargaan golongan masyarakat adat yang yang berpedoman pada hukum adatnya masing-masing dan masyarakat Timur Asing Tionghoa yang berpedoman pada staatsblad 1917 nomor 129. Di beberapa daerah yang mayoritas penduduknya beragama Islam, sesuai dengan teori Receptio In Complexu yang dikemukakan Van Den Berg, hukum adat yang berlaku adalah hukum adat yang telah diresepsi Hukum Islam.20

Berdasarkan hukum Islam, sesuai Al-Qu'ran Surah Al Ahzab ayat 4 dan 5, pada prinsipnya agama Islam memperbolehkan dilakukan pengangkatan anak, sepanjang tidak diangkat sebagai anak kandung21 juga tidak diperbolehkan pemutusan hubungan dan hak-hak orang tua kandungnya. Pengangkatan anak hanya dari segi kecintaan, pemeliharaan dan pendidikan. Juga tidak ada hubungan waris mewaris anak angkat dengan keluarga angkatnya karena berdasarkan Surat Al-Anfal ayat 75 bahwa sebab-sebab mempusakai hanya berdasarkan hubungan darah, perjodohan, persaudaraan dan kekerabatan menurut tertib mereka masing-masing.22

Namun, sebagaimana penelitian H.Hilman Hadikusuma, di Lampung yang mayoritas masyarakatnya menganut agama Islam, masih ada hubungan waris mewaris antara anak angkat dengan keluarga angkat, tergantung dari latar belakang diadakannya pengangkatan anak. Anak angkat tegak tegi menciptakan hubungan waris mewaris sedangkan anak angkat pada lembaga perkawinan ambil lelaki (ngakuk ragah) tidak menciptakan hubungan waris mewaris sepanjang tidak diangkat sebagai anak tegak tegi23.

Berbeda dari masyarakat Adat, sehubungan dengan kebutuhan dagang kolonial Belanda dengan golongan Timur Asing makin lama makin erat pada abad ke-19, pada awalnya Pemerintahan Belanda mencoba memberlakukan hukum kekayaan (vermogensrecht) Eropa saja24 untuk keseluruhan golongan Timur Asing. Tahun 1919, Belanda memberlakukan keseluruhan hukum perdatanya untuk golongan Tionghoa dan membagi golongan Timur Asing menjadi Timur Asing Tionghoa dan Timur Asing lain (India, Arab dan lain-lain).

19. Ibid, hal. 190.

20. Muderis Zaini, op.cit., hal. 72. 21. R.Soeroso, op.cit., hal. 196.

22. Ramlan Yusuf Rangkuti, Sistematika dan Methoda Pembagian Warisan Menurut Hukum Islam, penerbit UISU/USU, 1987, hal. 139.

23. H.Hilman Hadikusumah, Hukum Waris Adat, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal. 80,82-83..

(20)

Agar KUHPdt yang berasaskan monogami mutlak dapat diberlakukan sebagai satu kesatuan sistem pada masyarakat Tionghoa, Belanda harus menghapus lembaga "concubine" yaitu isteri-isteri lain disamping isteri sah yang dikenal pada hukum adat masyarakat Tionghoa sebelumnya. Salah satu fungsi lembaga ini adalah memenuhi kebutuhan keturunan anak laki-laki untuk sembahyang leluhur. Semua anak-anak yang lahir dari isteri-isterinya tersebut merupakan anak-anak sah.25 Dengan dihapusnya lembaga "concubine", untuk menampung kebutuhan anak laki-laki, dibentuklah peraturan tentang Adopsi.26

Hal ini dituangkan melalui peraturan yang diundangkan pada Staatsblad 1917 nomor 129 yang memberlakukan bagi Golongan Timur Asing Tionghoa, keseluruhan KUHPdt terkecuali beberapa pasal dari buku I KUHPdt mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum perkawinan, memberlakukan kantor catatan sipil tersendiri (burgelijke stand) serta memberlakukan beberapa ketentuan-ketentuan baru pada bab dua staatsblad tersebut yaitu peraturan kongsi pada pasal 2-4 dan peraturan pengangkatan anak (adopsi) pada pasal 5-15.

Latar belakang lembaga pengangkatan anak ini, tidak diuraikan pada

staatsblad tersebut, namun Utrecht juga berpendapat bahwa lembaga adopsi bagi

golongan Tionghoa adalah untuk memenuhi kebutuhan anak laki-laki berhubungan dengan lembaga sosial penghormatan nenek moyang (voorouderverering).27 Oleh karena itu, pada staatsblad tersebut tegas dinyatakan bahwa yang dapat diadopsi (anak adopsi) berdasarkan pasal 6 hanyalah orang-orang laki-laki Tionghoa yang belum menikah serta belum pernah diangkat oleh orang lain dengan ancaman batal demi hukum apabila unsur ini tidak dipenuhi.

Peranan Notaris pada lembaga pengangkatan anak berdasarkan staatsblad ini amatlah penting karena sahnya pengangkatan anak cukup dengan akta notaris dengan ancaman batal demi hukum apabila unsur ini tidak dipenuhi tanpa campur tangan dari lembaga yudikatif (badan Peradilan).

Pengangkatan anak berdasarkan staatsblad ini melahirkan akibat-akibat hukum yaitu menimbulkan hubungan keperdataan sebagai anak sah bagi pihak yang diangkat dan orang tua atau wali bagi yang mengangkatnya sehingga pihak yang diangkat berhak memperoleh nama keturunan dari yang mengangkatnya. Disisi lain, gugurlah hubungan-hubungan keperdataan pihak yang diangkat tersebut dengan keluarga sedarahnya.

25. G.H.S.Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, 1983, hal. 247. Phrase "Anak sah" pada kalimat tersebut artinya sebelum diterbitkan Staatsblad 1917 nomor 129 jo Staatsblad 1919 nomor 81, bagi golongan Timur Asing Tionghoa masih berlaku hukum adatnya yang mengenal lembaga "concubine" sehingga anak-anak yang dilahir oleh "concubine" disamakan status dan haknya dengan anak sah. Namun pasca pemberlakuan staatsblad-staatsblad tersebut, karena untuk golongan Tionghoa telah diberlaku KUHPdt dengan azas Monogami Mutlak dan sesuai dengan pasal 250 KUHPdt hanya anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan sah memperoleh si suami sebagai bapaknya. Berarti hanya anak-anak yang lahir atau dibenihkan dalam perkawinan sah yang memiliki hubungan keperdataan dengan orang tuanya atau merupakan anak sah. KUHPdt menganut asas monogami mutlak sehingga lembaga

"concubine" pun dihapus sejak tahun 1925 (masa peralihan ± 8 tahun yaitu sejak 1917 hingga

tahun 1925).

26. Ibid., hal. 248.

(21)

B. Periode Pasca Kemerdekaan R.I.

Pasca kemerdekaan R.I, berdasarkan pasal 26 angka 2 UUD 1945 tentang Kewarganegaraan28, hanya membagi penduduk antara WNI (Warga Negara Indonesia) dan WNA (Warga Negara Asing).

Berdasarkan perundang-undangan Nasional, kepentingan terbaik calon anak angkat merupakan salah satu asas hukum pengangkatan anak di Indonesia yang berkaitan dengan perlindungan anak. Hal tersebut telah dituangkan baik melalui UU Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak maupun UU Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak namun sifat pengaturan masih banyak kekosongan-kekosongan.

Pada prinsipnya secara sistem ada 3 (tiga) aktivitas penting pada pengangkatan anak yang secara substansi memerlukan pengaturan-pengaturan sistematis yang merujuk pada satu penilaian etis tertentu (dalam hal ini kepentingan terbaik calon anak angkat) yaitu pra pengangkatan anak, pengangkatan anak dan pasca pengangkatan anak.

Sebagaimana dikemukakan oleh Mahkamah Agung sebagai salah satu latar belakang terbitnya SEMA-RI nomor 2 tahun 1979 pada bagian II dan pada SEMA-RI nomor 6 tahun 1983 pada bagian III angka 2.2.3. bahwa :

Sering tidak dipahami, bahwa perbuatan mengangkat anak bukanlah suatu perbuatan hukum yang bisa terjadi pada satu saat seperti halnya dengan penyerahan sesuatu barang, melainkan merupakan suatu rangkaian kejadian hubungan kekeluargaan yang menunjukkan adanya kesungguhan, cinta kasih, kerelaan dan kesadaran yang penuh akan segala akibat selanjutnya dari pengangkatan tersebut bagi semua pihak, yang sudah berlangsung / berjalan untuk beberapa lama.

Berarti telah lama Mahkamah Agung menyadari bahwa pengangkatan anak merupakan dan membutuhkan suatu proses karena pada perbuatan hukum pengangkatan anak, yang diserahkan adalah seorang anak yang memiliki raga dan jiwa yang hidup bukan hanya sebuah benda mati. Perlu ada masa untuk menumbuhkan dan menjalin hubungan kekeluargaaan antara calon anak angkat dengan pihak yang mengangkatnya.

Namun, hingga saat ini akibat hukum pasca pengangkatan anak berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada masih belum jelas prinsip-prinsipnya dan berpotensi berbenturan dengan sistem hukum lain terutama sistem hukum waris bagi masyarakat non Muslim. Sesuai dengan pasal 39 angka 2 UU nomor 23 tahun 2002 telah ditegaskan bahwa pengangkatan anak tidak memutus hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya. Namun, pada penjelasan pasal ini, dicantumkan keterangan "cukup jelas". Padahal dengan konteks demikian, prinsip menjadi tidak jelas karena akan menimbulkan keragu-raguan. Misalnya dari aspek nama keluarga calon anak angkat dan lebih jauh dari hubungan waris mewaris antara anak angkat dengan keluarga kandungnya dan atau dengan pihak yang mengangkatnya, khususnya bagi masyarakat non Muslim.

Disamping itu, kelemahan pengaturan baik melalui UU nomor 4 tahun 1979

(22)

maupun UU nomor 23 tahun 2002 yang merujuk sahnya pengangkatan anak dapat dilakukan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah ketiadaan peraturan perundang-undangan yang dirujuk itu sendiri. Hanya, berdasarkan definisi anak angkat pada pasal 1 angka 9 telah ditegaskan bahwa anak angkat harus berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.29

Kondisi produk perundang-undangan nasional yang masih banyak kekosongan-kekosongan dan semberawut sedangkan disisi lain lembaga pengangkatan ini merupakan kebutuhan sosial, mengakibatkan Mahkamah Agung berpendapat perlu mengatur lembaga pengangkatan anak ini. Untuk itu, telah diterbitnya Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung R.I (SEMA-RI) nomor 2 tahun 1979 yang disempurnakan dengan SEMA-RI nomor 6 tahun 1983.

Menteri Sosial R.I juga ada menerbitkan keputusannya antara lain (SK Mensos) nomor 13/HUK/1993 tentang pelaksanaan pengangkatan anak yang disempurnakan dengan nomor 2/HUK/1995 yang mengatur syarat-syarat pengangkatan anak dalam asuhan organisasi sosial antar WNI dan intercountry

adoption. Pada SK Mensos nomor 13/HUK/1993 angka VIII telah diatur masa

pra pengangkatan anak bahwa pihak yang mengangkat telah memelihara calon anak angkat sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan berdasarkan izin dari Kepala Kantor Wilayah Departemen Sosial sebelum mengajukan permohonan pengangkatan anak Namun, baik SEMA-RI maupun keputusan Mensos lemah kekuatan mengikatnya dan mudah berubah-ubah.

Disamping itu, pada masa pemerintahan Belanda pengaturan pengangkatan anak bagi golongan Tionghoa, berdasar pada staatsblad 1917 nomor 129. Namun, penerapannya saat ini telah mengalami keragu-raguan. Karena berdasarkan pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta yang dijabarkan pada penetapan tertanggal 29 Mei 1963 sehubungan dengan permohonan pengangkatan anak perempuan oleh Kho Kiem Boen (Suami) dan Lie Lo Nio (Isteri) bahwa keturunan Tionghoa tidak lagi terikat oleh peraturan Adoptie S.1917-129. 30

Hanya sesuai dengan asas hukum di Indonesia, hakim tidak diharuskan mengikuti putusan-putusan hakim lain karena Indonesia tidak menganut asas the

binding force of precedent atau stare decisis,31 sebagaimana negara-negara

common law. Sehingga ada hakim yang sependapat dan ada pula yang mungkin

tidak sependapat sebagaimana pandangan G.H.S. Lumban Tobing kurang lebih 25 (dua puluh lima) tahun silam bahwa baik pengangkatan anak perempuan untuk golongan Tionghoa maupun pengangkatan anak oleh orang tua tunggal pada prinsipnya bertentangan dengan hukum.32

29. Pasal 1 angka 9 UU nomor 23 tahun 2002 bahwa anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah atau orang lain yang bertanggungjawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, kedalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.

30. Soedharyo Soimin, Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak, Sinar Grafika, 2004 hal. 82.

(23)

C. Penelaahan Sistem Hukum Pengangkatan Anak di beberapa Negara 1. Sistem Hukum Pengangkatan Anak di Belanda

Latar belakang pengangkatan anak di Belanda semata-mata untuk kepentingan anak (the manifest benefit of the child) sehingga untuk mendukung latar belakang tersebut, pengangkatan anak harus memenuhi kondisi-kondisi tertentu dan adanya suatu keadaan yang nyata bahwa orang tua kandung anak tersebut tidak dapat diharapkan untuk menjamin masa depan anaknya tersebut. Pengadilan yang akan memutus apakah orang tua kandung anak tersebut masih dapat memenuhi peranannya sebagai orang tua atau tidak.33

Di Belanda, tahap pra pengangkatan anak telah diatur dengan tegas yaitu pada pasal 228 angka 1 huruf f wetboek yang mengharuskan pihak yang mengadopsi telah memelihara dan mendidik anak tersebut sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun secara terus menerus atau selama 1 (satu) tahun dalam hal pihak yang mengadopsi adalah pasangan hidup dari salah seorang orang tua kandung anak tersebut (step

parent adoption).

Legalitas pengangkatan anak harus melalui putusan Pengadilan berdasarkan permohonan dua orang bersama-sama maupun satu orang saja. Hal ini berarti di Belanda, permohonan pengangkatan anak oleh orang tua tunggal dikenal dan diterima. Sedangkan Akibat hukum pengangkatan anak sebagai bagian dari pasca pengangkatan anak juga telah ada pengaturannya yaitu pada pasal 229 angka 1 dan angka 2 yang menetapkan bahwa dengan adopsi akan menciptakan hubungan hukum sesuai dengan hukum keluarga antara anak yang diangkat dengan pihak yang mengangkatnya. Sedangkan disisi lain, hubungan keluarga antara anak yang diangkat dengan keluarga sedarahnya diputus.

2. Sistem Hukum Pengangkatan Anak di Malaysia

Malaysia merupakan salah satu negara Islam yang terdiri dari beberapa negara bagian. Pada penelitian ini, yang dianalisa hanya sistem hukum negara bagian Semenanjung Malaysia (Malaysia Barat) yang mencakup pula wilayah

Federal Teritory (Kuala Lumpur).

Di Malaysia, legalitas pengangkatan anak yang para pihaknya muslim tidak perlu melalui pengadilan tetapi dengan mendaftarkannya di Jabatan Pendaftaran Negara (The National Registration Department) sebagaimana diatur oleh The

Registration of Adoption Act of 1952 (Act 253) yang efektif berlaku sejak 25 Juni

1953. Sedangkan untuk yang non Muslim harus melalui Pengadilan sebagaimana diatur oleh The Adoption Act of 1952 (Act 257) yang efektif berlaku sejak 1 Januari 1955.

Pengangkatan anak untuk Muslim selain berpedoman pada Act 253 juga berpedoman pada Syariah-Syariah Islam. Sesuai konsep hukum Islam, pengangkatan anak tidak menciptakan hubungan kekeluargaan yang timbul karena keturunan antara yang diangkat dengan keluarga yang mengangkatnya secara keseluruhan. Anak angkat berhak untuk dilindungi, dipelihara dan dididik oleh

(24)

keluarga angkat, namun tidak menciptakan hubungan waris mewaris serta tidak berhak menjadi wali nikah bagi anak perempuan yang diangkat. Pengangkatan anak juga tidak memutus hubungan darah antara yang diangkat dengan orang tua kandungnya. Secara tegas dinyatakan bahwa anak Muslim tidak diperkenankan diadopsi oleh yang non Muslim.34

Sistem hukum pengangkatan anak berdasarkan Act 257 yang subyeknya non Muslim melahirkan ikatan kekeluargaan sebagaimana hubungan keluarga yang timbul dari keturunan antara yang diangkat dengan yang mengangkat secara bertimbal balik baik dalam hal pemeliharaan, perlindungan, pendidikan anak tersebut maupun dari segi waris mewaris.

Latar belakang pengangkatan anak, baik berdasarkan Act 253 maupun Act 257 semata-mata untuk kesejahteraan anak. Masa pra pengangkatan anak telah diatur pada pada pasal 6 Act 253, bahwa sebelum memperoleh the Adoption

Certificate, untuk meningkatkan kualitas hubungan antara calon anak angkat

dengan pihak yang mengangkat, calon yang mengangkat harus telah tinggal bersama dan memelihara anak angkat tersebut secara terus menerus selama 2 (dua) tahun sejak tanggal statutory declaration yang merupakan Surat Pernyataan dari orang tua kandung calon anak angkat dihadapan Notary Public yang melepas seluruh hak-haknya selaku orang tua dari anak tersebut.35

Sedangkan berdasarkan Act 257, pengangkatan anak harus mengajukan permohonan pada Departemen Sosial terlebih dahulu dan apabila disetujui maka akan diterbitkan surat (the offeral letter). Namun, sebelum permohonan diajukan ke Pengadilan (The Session Court atau The High Court), pihak yang mengangkat harus bertempat tinggal sama dan merawat anak sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan.36

3. Sistem Hukum Pengangkatan Anak di Singapura

Singapura telah memiliki perundang-undangan pengangkatan anak sejak tahun 1939 yaitu Ordinance 18 of 1939. Saat ini, pengaturan pengangkatan anak berpedoman pada Adoption of Children Act berdasarkan bab IV Primarily

Legislation ("Act").

Berdasarkan perundang-undangan tersebut, latar belakang pengangkatan anak juga semata-mata untuk kepentingan dan kesejahteraan anak sebagaimana dicantumkan pada pasal 5 huruf b "Act".37

Proses pengangkatan anak di Singapura telah difasilitasi dengan electronic

filling system (menggunakan jaringan internet) dengan menggunakan form-form

baku. Permohonan pengangkatan anak beserta lampiran-lampirannya diajukan melalui electronic filling ke Pengadilan.

34. Malaysia Adoption Procedures, www.malaysia.unembassy.gov/consularwebsite/

visa/IV/ adoption.pdf, dipublikasi Juni 2006 yang merupakan petunjuk untuk Warga Negara

Amerika yang tertarik mengadopsi anak di Malaysia 35. Ibid.

36. Ibid.

37. Pasal 5 huruf b Singapore Primarily Legistation menyebutkan "that the order if made

(25)

Walaupun di Singapura tidak diatur mengenai kewajiban tinggal bersama-sama untuk menumbuhkan dan mempertebal jalinan kasih sayang antara pihak yang mengangkat dengan anak angkat yang merupakan tahap pra pengangkatan anak, namun sebelum final hearing di Pengadilan, prosedur-prosedur yang ditempuh kompleks dan mungkin memerlukan waktu yang lama karena perhatian Pengadilan adalah kesejahteraan anak semata-mata.38

Proses pengangkatan anak di Singapura juga melibatkan Departemen Sosialnya (Department of Social Welfare) untuk kepentingan anak terutama sebagai Guardian in Adoption (GIA). Sesuai dengan pasal 10 huruf 3 "Act"39 tersebut bahwa Pengadilan akan menunjuk seseorang atau badan untuk bertindak sebagai GIA untuk mewakili kepentingan terbaik dari anak tersebut pada saat pemeriksaan (hearing) permohonan pengangkatan anak tesebut.

38. Rubrik Legal Ease diasuh oleh Ferlin Jayatissa, Menshealth edisi November 2006, hal 13 mengemukakan bahwa "its a complex and possibly long drawn procedure because the principle

concern of the court is the welfare of the child".

39. Pasal 10 angka 3 Singapore Primarily Legistation menyebutkan for the purpose of

(26)

BAB III

PERANAN NOTARIS PADA LEMBAGA PENGANGKATAN ANAK

A. Notaris Sebagai Salah Satu Profesi Hukum

Berdasarkan sejarah ternyata Notaris sebagai salah satu profesi dibidang hukum tidaklah langsung melembaga tetapi melalui proses dari sebuah profesi tulis menulis dimasa lampau sebagaimana dikemukakan Jean Lambert (Notaris di Montreal).40

Lembaga kenotarisan ini berevolusi dari lembaga "tabeliones" (belum diangkat kekuasaan umum) yang dikenal di Italia sejak abad ke-3 (tiga). Lembaga ini berevolusi dan diserap oleh hukum Perancis sekitar abad ke-13. Sejak Undang-Undang dari 25 Ventose an XI (ventosewet) tanggal 16 Maret 1803 lahir dan merupakan salah satu Undang-Undang yang penting bagi perkembangan notaris (latin style notary)41 terjadilah pelembagaan Notariat. Selanjutnya lembaga ini diserap oleh Belanda dan diteruskan ke Indonesia yang merupakan salah satu negara jajahannya.

Lembaga Notariat ini, mulai masuk di Indonesia pada permulaan abad ke-17 dengan keberadaan VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) di Indonesia. Pada tanggal 27 Agustus 1620 beberapa bulan setelah Jacatra menjadi Ibukota, Melchior Kerchem (sekretaris dari college van schepenen) di angkat sebagai notaris pertama di Indonesia.42

Berbeda dengan negara-negara civil law, pada negara-negara common law dikenal Notary Public atau Commissioner For Oaths. Profesi tersebut juga menjalankan fungsi publik, yang berwenang berdasarkan penunjukan oleh Pemerintah untuk menyaksikan penandatangan dari dokumen-dokumen penting dan mengadministrasikan surat-surat pernyataan dan penegasan-penegasan sebagaimana dikemukakan oleh Karel Frielink bahwa "a notary public is a public

servant appointed by state government to witness the signing of important documents (acknowledging and verifying signatures) and administer oaths and affirmation".43

Tapi untuk menyiapkan atau drafting dokumen-dokumen hukum, memberikan nasehat-nasehat hukum yang perlu atau menjadi mediator yang merupakan peranan penting bagi seorang notaris tidaklah merupakan layanan dari profesi hukum tersebut kecuali ia juga merangkap sebagai pengacara (attorney). Latar belakang pendidikannya tidak harus pendidikan hukum (law graduated), yang diutamakan hanya kredibilitasnya dan pengalamannya.

Lahirnya profesi Notaris pada negara-negara civil law, karena adanya kebutuhan akan figuur yang dapat dipercaya oleh publik untuk melayani kepentingan-kepentingan mereka44 dan kebutuhan masyarakat yang menghendaki

40. Jean Lambert, Notaries in Quebec, www.cdnq.org/en/notariesinquebec/ essence.html, diakses tanggal 26 Mei 2007.

41. Ibid, hal. 11-12. 42. Ibid., hal. 15.

43. Karel Frielink, Civil Law Notaries In The Netherlands Antilles and Aruba, www.curacao_law.com/2006/01, disajikan 24 Januari 2006 pukul 12.00 am.

(27)

adanya alat bukti yang kuat bagi mereka atas perbuatan-perbuatan hukumnya yang berhubungan dengan hukum keperdataan.45

Dalam melaksanakan fungsi-fungsinya tersebut, Notaris sifatnya

impartiality (tidak memihak). Hal ini didasarkan pada kode etik yang melarang

Notaris memihak kepada salah satu pihak karena notaris merupakan multi party

counsellor. Peranannya sebagai profesi hukum yang tidak memihak inilah yang

membedakannya dari profesi hukum yang lain yaitu Pengacara atau Advokat yang sifat profesinya memihak kepentingan kliennya.

Pada negara-negara yang sistem hukumnya dipengaruhi oleh common law, profesi hukum yang berperan adalah Pengacara. Sedangkan, negara-negara civil

law, ada 2 (dua) profesi hukum yang penting yaitu Pengacara yang wilayah kerja

litigasi dan Notaris yang wilayah kerjanya non litigasi seperti perjanjian-perjanjian dan permasalahan-permasalahan keluarga diluar Pengadilan.46

Sebagaimana diuraikan di atas, walaupun Notaris berfungsi antara lain memberikan nasehat-nasehat dibidang hukum, tetapi hanya yang berhubungan dengan kehendak-kehendak para pihak. Notaris mendengar dan menganalisa dampak-dampak yang berkemungkinan ditimbulkan oleh kehendak-kehendak orang awam yang datang menghadap kepadanya (Notare et Cavere) dan memberikan nasehat-nasehat secara tidak memihak (impartiality). Karena, apabila ia memberikan nasehat hukum diluar batasan-batasan tersebut, dapat menjadi bumerang baginya karena Notaris tidak berhubungan dengan litigasi sehingga teori-teori yang dikemukannya dalam melayani pelanggannya tidak dapat dipertahankannya di Pengadilan, kecuali ia diminta oleh instansi tersebut.47

B. Lembaga Pengangkatan Anak Sebagai Salah Satu Bentuk Perikatan

Pada peristiwa pengangkatan anak, terdapat dua pihak yaitu pihak yang menyerahkan anak dan pihak yang menerima penyerahan anak tersebut untuk dimasukkan menjadi bagian dari anggota keluarganya yang dengan perbuatan hukum tersebut menimbulkan hal-hak dan kewajiban-kewajiban. Perbuatan hukum yang dimaksud adalah perjanjian yang memuat kata sepakat untuk penyerahan dan menerima penyerahan atas anak angkat tersebut.

Sebagaimana dikonstatir oleh Mahkamah Agung R.I. baik yang diuraikan pada latar belakang lahirnya SEMA Nomor 2 tahun 1979 maupun SEMA nomor 6 tahun 1983, bahwa perbuatan hukum pengangkatan anak memerlukan suatu proses, bukanlah perbuatan hukum yang terjadi pada suatu saat saja sebagaimana penyerahan barang tetapi memerlukan rangkaian kejadian hubungan kekeluargaan.

Notaris merupakan profesi hukum non litigasi yang memiliki kewenangan berdasarkan pasal 15 UU nomor 30 tahun 2004 dalam pembuatan akta otentik atas semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan (kecuali yang telah diserahkan kepada pihak lain berdasarkan perundang-undangan). Olehkarena itu, pengangkatan anak sebagai salah bentuk perikatan berkaitan dengan lembaga kenotarisan dalam hal dituangkannya

45. G.H.S. Lumban Tobing, op.cit., hal. 2. 46. Jean Lambert, loc.cit..

(28)

kehendak para pihak pada suatu akta pada proses pengangkatan anak.

C. Notaris pada Lembaga Pengangkatan Anak di Indonesia

Pada masa Pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia, bagi Golongan Eropa dan Golongan Tionghoa, Notaris memiliki peranan penting pada lembaga pengangkatan anak. Sedangkan, untuk masyarakat adat, lembaga kenotarisan sama sekali tidak berperan karena memang tidak memasyarakat khususnya pada masyarakat adat.

Prinsip sahnya pengangkatan anak menurut masyarakat adat, telah cukup apabila telah mengikuti prosedur-prosedur adat (terang) yang berbeda-beda antara daerah yang satu dengan yang lain. Fungsi pengetua adat sebagai pihak yang dipercayai masyarakat adat amatlah berperan pada lembaga pengangkatan anak pada masyarakat tersebut. Seiring dengan berkembangnya agama Islam yang merupakan agama mayoritas penduduk Indonesia, maka Syariah-Syariah Islam juga telah menjadi pedoman-pedoman pada lembaga pengangkatan anak.

Pada perkembangannya, ternyata walaupun lembaga kenotarisan ini bersumber dari hukum barat dan dahulu hanya dimanfaatkan oleh kalangan terbatas, namun pada realitasnya dengan hilangnya batas daerah bahkan negara dengan sistem komunikasi yang telah semakin canggih, meningkatnya intelektual dan adanya kebutuhan, lembaga ini mulai diterima oleh masyarakat yang dahulu merupakan golongan masyarakat adat termasuk pada lembaga pengangkatan anak.

Latar belakang masyarakat adat yang dahulu tidak diberlakukan staatsblad 1917 nomor 129, pada realitasnya mau menggunakan layanan profesi Notaris pada lembaga pengangkatan anak saat ini, memang masih memerlukan penelitian yang mendalam. Namun, hal ini merupakan langkah awal yang baik. Profesi Notaris memang sudah seharusnya ditingkatkan peranannya terutama dalam keadaan adanya para pihak yang tidak seimbang dalam suatu perikatan, karena hakikat profesi Notaris adalah impartiality (tidak memihak) sehingga dapat berperan melindungi kepentingan pihak yang lemah dan kurang mengerti.

Apabila dihubungkan dengan pandangan Mahkamah Agung R.I yang mengkonstatir bahwa pengangkatan anak memerlukan sebuah proses dan memperhatikan di Belanda dan Malaysia telah mengatur substansi pada tahap pra pengangkatan anak yang mewajibkan pihak yang mengangkat dengan calon anak angkat tinggal bersama untuk waktu tertentu maka dalam rangka perlindungan anak di Indonesia, peranan Notaris yang hakikat profesinya Impartiality dapat lebih ditingkatkan peranannya pada tahap pra pengangkatan anak.

Berdasarkan UU nomor 23 tahun 2002 pasal 1 angka 9 telah tersirat bahwa sahnya pengangkatan anak berdasarkan putusan atau penetapan Pengadilan. Pengaturan tersebut, sebenarnya hanya mengatur substansi pengangkatan anak untuk memperoleh legalitasnya (tahap pengangkatan anak) namun telah merubah paradigma sebagian besar masyarakat bahwa pengangkatan anak cukup dengan putusan atau penetapan Pengadilan saja. Sehingga "seolah-olah" peranan Notaris pada lembaga pengangkatan anak, telah menciut bahkan ada yang menganggap tidak perlu. Hal ini karena, sebagian besar masyarakat belum menyadari pentingnya masa pra pengangkatan anak.

(29)

merupakan suatu proses, sehingga profesi-profesi hukum seharusnya dilibatkan berdasarkan wewenang dan wilayah kerjanya. Pada lembaga pengangkatan anak, seharusnya pada pra pengangkatan anak Notaris dapat lebih ditingkatkan peranannya, sedangkan proses legalitasnya harus melalui Pengadilan yang dalam berproses memerlukan bantuan profesi hukum pengacara. Sehingga, pada proses pengangkatan anak, baik Notaris, Pengacara dan Pengadilan bersama-sama

(co-exist) melaksanakan fungsi dan kewenangannya. Pembagian tahapan ini yang

belum disosialisasikan di Indonesia sehingga peranan Notaris menjadi semakin menciut khususnya pada lembaga pengangkatan anak.

Kondisi ini amatlah rawan digunamanfaatkan apalagi ditengah lemahnya perangkat hukum. Oleh karena itu, perlu dalam pembenahan sistem hukum pengangkatan anak dalam kaitannya dengan perlindungan anak, substansi pengaturan di bagi dalam 3 (tiga) tahapan sebagaimana telah diuraikan di atas dengan menempatkan para profesi-profesi hukum sesuai dengan kewenangan dan wilayah kerjanya.

Pengacara sebagai salah satu profesi hukum, pada dasarnya bekerja untuk membela kepentingan dan memuaskan hanya salah satu pihak yang merupakan pelanggannya saja. Sebagaimana Notaris, Pengacara merupakan salah satu profesi yang berperan juga untuk memberikan nasehat-nasehat hukum namun perlu jeli dalam berhadapan dengan Pengacara karena orientasi berpikirnya akan diarahkan untuk kepentingan pelanggannya. Termasuk apabila terhadap suatu obyek diperoleh kesepakatan, pada dasarnya Pengacara hanya menitikberatkan pada kepentingan pelanggannya.

Namun, tanpa campur tangan Pengadilan pada untuk memperoleh sahnya pengangkatan anak sebagaimana sistem staatsblad 1917 nomor 129 yang menyerahkan hanya dengan sepucuk akta notaris akan menjadi bumerang bagi upaya perlindungan anak, walaupun secara prosedural lebih mudah dan gampang. Apalagi dimasa sekarang ini, tingkat kejahatan terhadap diri anak cenderung meningkat.

Notaris hanyalah pejabat umum yang hakikat profesinya menuangkan kehendak-kehendak para pihak dan memberikan nasehat-nasehatnya apabila ada kehendak-kehendak para pihak bertentangan dengan hukum atau berpotensi menimbulkan permasalahan-permasalahan dikemudian hari. Namun, Notaris tidak berwenang melakukan pemeriksaan-pemeriksaan lebih lanjut terhadap keterangan-keterangan para pihak yang melebihi batas kewenangannya. Sedangkan untuk menyakini kebenaran-kebenaran data yang disajikan para pihak dalam pengangkatan anak, proses pemeriksaan merupakan hal yang penting, misalnya pemeriksaan terhadap saksi-saksi dan terhadap dokumen-dokumen pendukung yang diajukan.

(30)

(satu) tahun.48 Saat ini, Guatemala juga sedang berbenah untuk menanggalkan reputasinya tersebut dan sedang bersiap-siap menerbitkan hukum untuk mengatur fenomena-fenomena yang semakin meluas saat ini di negaranya yaitu penjualan dan perdagangan anak.49

Peningkatan peranan Notaris pada lembaga pengangkatan anak perlu dilakukan secara bertahap untuk dapat dimengerti oleh keseluruhan masyarakat Indonesia. Karena ada sebagian besar paradigma pada masyarakat bahwa pelayanan Notaris khususnya lembaga pengangkatan anak untuk masyarakat yang dahulu tidak diberlakukan staatsblad 1917 nomor 129 tidak perlu terutama karena Notaris tersebut merupakan profesi yang lahir dari hukum Barat.

Namun, sebagaimana Teori Perubahan sosial (social change theory) yang dikemukan oleh Soerjono Soekanto, merupakan pendorong terjadi perubahan adalah kontak dengan kebudayaan atau masyarakat lain, sistem pendidikan yang maju, toleransi terhadap perbuatan menyimpang yang positif, sistem stratifikasi yang terbuka, penduduk yang heterogen, ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu dan orientasi berpikir kepada masa depan.50 Kondisi ini kelihatannya telah mempengaruhi sebahagian masyarakat Indonesia sehingga pada realitasnya perilaku sosial telah menunjukkan tumbuhnya minat terhadap layanan profesi Notaris termasuk pada lembaga pengangkatan anak.

Sehubungan dengan layanan Notaris pada lembaga hukum, kepada para wartawan di Hotel Tiara Medan pada hari Sabtu, tanggal 1 April 2006 seusai membuka rapat pleno Ikatan Notaris Indonesia dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) se-Indonesia yang dihadiri 750 Notaris dan PPAT, Direktur Jenderal Administrasi Hukum Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Dr.Syamsudin Manan Sinaga, SH.MH.) juga telah menyerukan khususnya kepada masyarakat Sumatera Utara wajib menggunakan akta dalam melakukan segala perbuatan hukum.51

Hakikat profesi Notaris, realitas sehubungan dengan perubahan sosial yang ada dimasyarakat dan himbauan dari salah satu eksekutif negara dalam pengamanan perbuatan-perbuatan hukum, sudah seharusnya merupakan dasar pertimbangan bagi para pembuat perundang-undangan khususnya UU Pengangkatan Anak untuk memasukkan wacana peningkatan peranan Notaris pada prosedural pengangkatan anak sesuai dengan kewenangannya yaitu pada substansi pengaturan pra pengangkatan anak.

Namun permasalahannya, ada pula paradigma yang berkembang di masyarakat bahwa pelayanan Notaris prosedurnya rumit dan mahal biayanya, sebagaimana pertanyaan wartawan kepada Dirjen Administrasi Hukum Depkumham di hotel Tiara tersebut sehingga akan timbul keragu-raguan terhadap

48. Inez Benifez, Guatemala - The Dark Side of Five Star Adoption, www.alterinfos.org/ spip.php?article911, disajikan tanggal 16 Pebruari 2007.

49. Ines Benifez, Guatemala : Whitewash for Adoption Paradise, www.ipsnews.net/ new.asp?idnews=38041, diterbitkan tanggal 8 Juni 2007.

50. H.Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Prenada Media, Jakarta 2005, hal. 24.

(31)

implementasinya pada lembaga pengangkatan anak.

Sebagaimana diuraikan di atas, paradigma pengangkatan anak saat ini telah bergeser dan sesuai dengan perundang-undangan negara, lembaga pengangkatan anak ini bertujuan semata-mata hanya untuk kesejahteraan anak. Sehingga, sudah sewajarnya apabila beban pembuatan akta dapat dibebankan kepada calon keluarga angkat yang seharusnya lebih baik tingkat kehidupan ekonominya atau masing-masing membebani biayanya berdasarkan perjanjian yang dibuat. Apabila hanya beban biaya pembuatan akta pengangkatan anak, sudah tidak mampu dan atau tidak mau ditanggung terutama oleh calon keluarga angkatnya, akan dipertanyakan itikad dan kemampuannya dalam menjamin kesejahteraan anak tersebut setelah berada dalam lingkungan keluarganya.

Perlu juga dikemukakan dan menjadi perhatian bahwa sebagai akibat dari keadaan sistem hukum di zaman pemerintahan Belanda tersebut, perbedaan-perbedaan konsepsi dalam lembaga pengangkatan anak, mengakibatkan sistem hukum yang diterapkan di Indonesia bervariasi sedangkan disisi lain, perundang-undangan yang ada sehubungan dengan lembaga pengangkatan anak ini juga masih samar-samar dan tidak tersistem. Dalam kondisi demikian, Notaris yang apabila ke hadapannya dibawa permasalahan ini juga harus jeli menerapkan hukum yang berlaku dalam menuangkan kehendak para pihak.

(32)

BAB IV

PERANAN NOTARIS PADA LEMBAGA PENGANGKATAN ANAK DI KOTA MEDAN

A. Prosedur Pengangkatan Anak dan Penerapan Staatsblad 1917 nomor 129 di Pengadilan Negeri Kelas IA, Medan

Walaupun peranan Pengadilan pada lembaga Pengangkatan Anak belum secara tegas dicantumkan dalam suatu perundang-undangan di Indonesia hingga saat ini, namun sesuai dengan pasal 1 angka 9 UU nomor 23 tahun 2002 pada definisi anak angkat, telah tersirat pentingnya lembaga peradilan untuk sahnya pengangkatan anak. Disisi lain, pada realitasnya sebelum diterbitkannya UU nomor 23 tahun 2002 pun, telah ada masyarakat Indonesia yang mengajukan permohonan pengangkatan anak ke Pengadilan

Sebagaimana dikemukakan pada latar belakang lahirnya SEMA-RI nomor 2 tahun 1979, bahwa telah banyak permohonan pengangkatan anak yang dilatarbelakangi berbagai hal (antara lain kebutuhan memperoleh tunjangan anak angkat bagi Pengawai Negeri Sipil, kebutuhan pengangkatan anak perempuan bagi WNI Tionghoa, dan lain-lain) diajukan ke Pengadilan. Berdasarkan hal tersebut, ternyata pentingnya lembaga Peradilan pada pengangkatan anak juga melalui tahapan-tahapan dengan terjadi perubahan sosial. Dengan perubahan tersebut, sedangkan disisi lain proses pra pengangkatan anak belum disadari baik oleh masyarakat maupun Pemerintah sehingga peranan notaris yang wilayah kerjanya

non litigasi pada lembaga pengangkatan anak saat ini semakin menciut.

Pada Pengadilan Negeri Kelas IA Medan, prosedur pengangkatan anak pada prinsipnya berpedoman pada SEMA-RI nomor 2 tahun 1979 yang disempurnakan dengan SEMA-RI nomor 6 tahun 1983 dengan tetap memperhatikan PP nomor 7 tahun 1977 tentang Gaji Pegawai Negeri Sipil dan UU Kesejahteraan Anak. Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan52, pada prinsipnya prosedur pengangkatan anak dapat dibagi menjadi prosedur teknis dan prosedur non teknis.

Prosedur teknis merupakan prosedur rutin hingga diperolehnya salinan penetapan atau putusan pengangkatan anak oleh para pihak yang mengajukan permohonan pengangkatan anak.

Sedangkan untuk prosedur Non Teknis, sehubungan secara substansi pengangkatan anak belum diatur dalam suatu perundang-undangan, maka Hakim hanya berdasarkan SEMA-RI tersebut dalam melaksanakan tugas-tugasnya dengan mengikuti perkembangan praktek di pengadilan dengan suatu batasan prinsip kehati-hatian dan sebagai landasannya adalah dengan mengutamakan kepentingan terbaik bagi masa depan si anak barulah permohonan tersebut dapat dikabulkan.

Prinsip kehati-hatian ini penting karena pengangkatan anak ini rentan dengan kasus-kasus tersembunyi yang muncul dibelakang hari. Seperti kasus gugatan yang ditangani oleh Hakim tersebut, terhadap anak angkat (perempuan)

(33)

yang penyerahannya dihadapan Kepala Desa yang diikuti dengan akta notaris. Namun setelah, anak tersebut duduk dibangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), Ibu angkatnya menjadi TKI dan anak tersebut tinggal dengan Bapak Angkatnya sehingga keluarga kandungnya yang masih saudara sepupu dengan orang tua angkat keberatan. Anak tersebut, diambil kembali oleh orang tua kandungnya sehingga bapak angkatnya mengajukan gugatan atas biaya-biaya yang telah dikeluarkannya, sedangkan orang tua kandung anak tersebut mengajukan rekopensi (gugat balik) untuk pembatalan pengangkatan anak tersebut.

Kalau Hakim tidak yakin atas prinsip tersebut, permohonan dapat ditolak. Hakim tersebut pernah menolak permohonan pengangkatan anak karena baik orang tua kandung maupun orang tua angkat tidak dapat dihadirkan dipersidangan, yang hadir hanya kuasa-kuasanya saja. Padahal pengangkatan anak tersebut telah dilakukan dihadapan lurah dan pemuka adat setempat.

Dalam pemeriksaan pengangkatan anak hakim tersebut juga memperhatikan usia dari calon anak angkat. Apabila pengangkatan anak antar WNI dianjurkan kurang dari 5 (lima) tahun, boleh lebih namun tidak melewati batasan usia anak berdasarkan UU nomor 23 tahun 2002 yaitu 18 (delapan belas) tahun. Namun, untuk pengangkatan anak intercountry adoption, anak wajib berumur kurang dari 5 tahun. Selisih usia calon anak angkat dengan orang tua angkat minimal 10 - 15 tahun.

Ternyata, pada prakteknya Hakim tersebut juga ada menanyakan kehendak dari calon anak angkat apabila si anak telah dapat diajak untuk berbicara. Menurutnya, anak yang dimaksud biasanya berkisar 4 (empat) tahun ke atas.

Dikemukakannya juga, sesuai dengan permintaan badan-badan peradilan sejak lama, bahwa sudah waktunya dan secepatnya Pemerintah bersama-sama dengan DPR membuat UU Pengangkatan Anak untuk membela kepentingan yang terbaik bagi anak yang diangkat.

Pada pengangkatan anak di Pengadilan Negeri Medan, tidak ada diharuskan penyerahan calon anak angkat dengan akta notaril (akta otentik) termasuk bagi WNI Tionghoa yang dahulu diberlakukan staatsblad 1917 nomor 129. Prosedur pengangkatan anak untuk seluruh WNI sama yaitu berdasarkan SEMA-RI tersebut sedangkan untuk substansinya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan Hakim dengan prinsip kehati-hatian dengan asas mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak.

Namun, apabila pada permohonan pengangkatan anak didahului dengan akta notaril yang merupakan bukti sempurna, pemeriksaan surat-surat dapat diminimalisasi. Akta Pengangkatan anak merupakan salah satu dari bukti permulaan tertulis. Sedangkan Hakim dalam memeriksa perkara pada prinsipnya minimal dengan 2 (dua) alat bukti.

Menurut pandangan hakim tersebut, kebaikan pengangkatan anak yang penyerahannya dengan akta Notaris adalah :

Mengaransi keseriusan pihak yang mengangkat karena akta notaris merupakan bukti permulaan yang secara sah dapat menunjukkan pada masyarakat tentang adanya keseriusan dari pihak yang mengangkatnya.

Gambar

Tabel 1 Daftar Nama Mahasiswa  dan Judul Tesis yang berhubungan dengan lembaga
TABEL 1  : Daftar Nama Mahasiswa dan Judul Tesis yang berhubungan dengan lembaga Pengangkatan Anak di Magister Kenotariatan USU............................................4

Referensi

Dokumen terkait