• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK PADA MASYARAKAT ETNIS TIONGHOA SUKU HAINAN DI KOTA MEDAN A. Dasar Hukum Pengangkatan Anak - Kedudukan Anak Angkat Perempuan Terhadap Harta Warisan Di Kalangan Etnis Tionghoa Suku Hainan Di Kota Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK PADA MASYARAKAT ETNIS TIONGHOA SUKU HAINAN DI KOTA MEDAN A. Dasar Hukum Pengangkatan Anak - Kedudukan Anak Angkat Perempuan Terhadap Harta Warisan Di Kalangan Etnis Tionghoa Suku Hainan Di Kota Medan"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK PADA MASYARAKAT ETNIS TIONGHOA SUKU HAINAN DI KOTA MEDAN

A. Dasar Hukum Pengangkatan Anak

Ketentuan hukum tentang pengangkatan anak yang berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia, yaitu :

1. Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ditentukan bahwa pengangkatan anak tersebut harus seagama dan tidak memutuskan hubungan darah anak angkat dengan orang tua kandungnya.

2. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak yaitu bahwa Tata cara pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia bahwa seorang dapat mengangkat anak paling banyak 2 (dua) kali dengan jarak waktu paling singkat 2 (dua) tahun.

3. Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.6 Tahun 1983 yang mengatur tentang cara mengadopsi anak menyatakan bahwa untuk mengadopsi anak harus terlebih dahulu mengajukan permohonan pengesahan/pengangkatan kepada Pengadilan Negeri di tempat anak yang akan diangkat itu berada.

(2)

Namun dalam KUH Perdata tidak mengatur tentang lembaga pengangkatan anak yang berlaku bagi anak angkat Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa, yang ada hanya pengakuan anak luar kawin yang disahkan. Diberlakukannya KUH Perdata bagi golongan Tionghoa, khususnya mengenai hukum keluarga sudah tentu menimbulkan dilema bagi masyarakat Tionghoa. Hal tersebut berkenaan dengan tidak diaturnya lembaga adopsi di dalam KUH Perdata.

B. Pengertian Pengangkatan Anak dan Pengaturannya

Anak merupakan individu yang berada dalam perkembangan mulai dari bayi hingga remaja dan belum mengalami masa pubertas. Anak juga merupakan keturunan kedua di mana kata “anak” merujuk dari lawan dari orang tua, orang dewasa adalah anak dari orang tua mereka, meskipun mereka telah dewasa. Hal ini sesuai dengan pengertian anak menurut Kamisa dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern bahwa ”anak adalah keturunan kedua”.35

Pengertian ini memberikan gambaran bahwa anak tersebut adalah turunan dari ayah dan ibu sebagai turunan pertama. Jadi anak adalah merupakan suatu kondisi akibat adanya perkawinan antara kedua orang tuanya. Haditono mengutip pendapat Sumadi Suryabrata, menyatakan bahwa :

Anak merupakan makhluk yang membutuhkan pemeliharaan, kasih sayang dan tempat bagi perkembangannya. Selain itu, anak merupakan bagian dari keluarga, dan

(3)

keluarga memberi kesempatan bagi anak untuk belajar tingkah laku untuk perkembangan yang cukup baik dalam kehidupan bersama.36

Anak merupakan generasi muda penerus cita-cita bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Anak dalam pemaknaan yang umum mendapat perhatian baik dalam bidang ilmu pengetahuan, agama, hukum, dan sosiologi sehingga pengertian anak semakin aktual dalam lingkungan sosial.

Kedudukan anak sebagai subjek hukum, ditentukan dari bentuk sistem hukum terhadap anak sebagai kelompok masyarakat yang berada di dalam status hukum dan tergolong tidak mampu atau di bawah umur. Tidak mampu dimaksud adalah karena akal dan pertumbuhan fisik yang sedang berkembang dalam diri anak yang bersangkutan. Meletakkan anak sebagai subjek hukum yang lahir dari proses sosialisasi berbagai nilai ke dalam peristiwa hukum secara substansial meliputi peristiwa hukum pidana maupun hubungan kontrak yang berada dalam lingkup hukum perdata menjadi mata rantai yang tidak dapat dipisahkan.37

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, ditegaskan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.38 Ketentuan tersebut menerangkan bahwa anak yang masih dalam kandungan pun dikategorikan anak sampai dengan anak berusia 18 tahun. Dalam konteks hukum perdata pengertian anak erat kaitannya dengan 36Sumadi Suryabrata,Pengembangan Alat Ukur Psikologis. Andi, Yogyakarta, 2000, hal. 3.

37Maulana Hasan Wadong, Maulana Hassan Wadong,Pengantar Advokasi dan Hukum

Perlindungan Anak, Grasindo, Jakarta, 2000, hal. 3.

(4)

kedewasaan. Hukum Indonesia mengenai anak masih digolongkan sebagai anak terdapat perbedaan penentuan, dimana terdapat perbedaan tolak ukur, antara lain: a. Kitab Undang-undang Hukum Perdata

Pasal 330 Ayat (1) KUH Perdata yang menentukan bahwa batas antara belum dewasa (Minderjerigheid) dengan telah dewasa (Meerderjarigheid) yaitu 21 tahun kecuali Anak itu sudah kawin sebelum berumur 21 tahun dan Pendewasaan (venia aetetisPasal 419)

b. Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

Pasal 47 ayat 1 menyatakan bahwa anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melakukan pernikahan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut kekuasaan orang tuanya. Pasal 50 ayat (1) menentukan bahwa “anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah kawin, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali”. Dari ketentuan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut di muka dapat disimpulkan bahwa dalam Undang-undang tersebut menentukan batas belum dewasa atau sudah dewasa adalah 16 tahun ada 19 tahun.

c. Hukum kebiasaan (hukum adat dan hukum Islam)

(5)

disyaratkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bertanggung jawab; dan 3) Dapat mengurus harta kekayaannya sendiri.39

Jadi, dapat dikatakan bahwa dalam hukum adat ukuran kedewasaan tidak berdasarkan hitungan usia tapi pada ciri tertentu yang nyata.40 Dengan demikian setelah melihat ketentuan yang berlainan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian anak berlaku bagi seseorang yang berusia di bawah 21 tahun.

Dalam kehidupan bermasyarakat juga dikenal adanya anak angkat atau anak orang lain yang diangkat menjadi layaknya anak sendiri atau anak kandung. Dengan kata lain anak angkat adalah suatu cara untuk mengadakan hubungan antara orangtua dan anak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Mengangkat anak saat ini adalah merupakan hal yang wajar dilakukan bagi setiap orang. Baik bagi mereka yang belum dikaruniai keturunan ataupun yang telah dikaruniai keturunan. Karena hal ini diperbolehkan oleh undang-undang dan telah diatur dalam ketentuan-ketentuan hukum.

Kamus Umum Bahasa Indonesia mengartikan anak angkat adalah anak orang lain yang diambil (dipelihara) serta disahkan secara hukum sebagai anak sendiri.41 Hilman Hadikusuma mengatakan bahwa anak angkat adalah anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orangtua angkat dengan resmi menurut hukum adat setempat, dikarenakan tujuan untuk kelangsungan keturunan dan atau pemeliharaan

39Irma Setyowati,Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara, Jakarta, 1990,hal. 17. 40Ibid, hal. 19.

(6)

atas harta kekayaan rumah tangganya.42 Sedangkan menurut Surojo Wignodipuro yang mengartikan sebagai berikut :

Anak angkat adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain kedalam keluarganya sendiri sedemikian rupa sehingga antara orangtua yang mengangkat anak dan anak yang dipungut itu timbul suatu hubungan kekeluargaan yang sama, seperti yang ada antara orangtua dengan anak kandung sendiri.43

Kemudian menurut M. Djojodiguno dan R. Tirtawinata, anak angkat adalah pengambilan anak orang lain dengan maksud supaya anak itu menjadi anak dari orangtua angkatnya. Ditambahkan bahwa adopsi ini dilakukan dengan sedemikian rupa sehingga anak itu baik lahir maupun batin merupakan anaknya sendiri.44 Sementara itu dalam Mahmud Syaltut yang dikutip Aziz Dahlan, mengemukakan bahwa setidaknya ada dua pengertian anak angkat, yaitu :.

Pertama, mengambil anak orang lain untuk diasuh dan dididik dengan penuh perhatian dan kasih sayang, tanpa diberikan status “anak kandung” kepadanya, Cuma ia diperlakukan oleh orang tua angkatnya sebagai anak sendiri.

Kedua, mengambil anak orang lain sebagai anak sendiri dan ia diberi status sebagai “anak kandung”, sehingga ia berhak memakai nama keturunan (nasab)orang tua angkatnya dan saling mewarisi harta peninggalan, serta hak-hak lain sebagai akibat hukum antara anak angkat dan orang tua angkatnya itu.45

42Hilman Hadikusuma,Hukum Perkawinan Adat,Bandung, Alumni, 1991, hal.20. 43Surojo Wignjodipuro,Asas-asas Hukum Adat,Jakarta, Kinta, 1972, hal 14.

44M. Djojodiguno dan R. Tirtawinata dalam Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum

(7)

Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, ditentukan bahwa :

Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga, orangtua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orangtua angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan pengadilan. Beberapa definisi serta batasan dari beberapa sarjana yang telah disebut di atas maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa anak angkat adalah upaya mengalihkan hak serta kewajiban anak yang bukan asli dari keturunannya untuk dimasukkan kedalam satu keluarga, sehingga hak dan kewajiban si anak menjadi beralih kepada pihak yang mengangkatnya sebagai anak selayaknya anak kandung.

Adanya anak angkat dalam sebuah keluarga adalah akibat adanya tindakan pengangkatan anak. Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seseorang anak dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua yang sah/walinya yang sah/orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan kekuasaan keluarga orang tua angkat berdasarkan putusan/penetapan Pengadilan Negeri.46 Sifat perbuatan pengangkatan anak merupakan perbuatan hukum yang tidak dapat dianggap hanya sebagai hasil kesepakatan antara para pihak semata, pengangkatan anak harus dianggap sebagai suatu lembaga yang menciptakan suatu hubungan hukum yang sah bagi anak angkat dengan lingkungan keluarga orang tua angkat berdasarkan penetapan pengadilan.

(8)

Hendaknya dipahami bahwa perbuatan pengangkatan anak bukanlah suatu perbuatan hukum yang dapat terjadi pada suatu saat seperti halnya dengan penyerahan barang, melainkan merupakan suatu rangkaian kejadian hubungan kekeluargaan yang menunjukan adanya kesungguhan, cinta kasih dan kesadaran yang penuh akan segala akibat dari pengangkatan anak.

Apabila ditelaah ketentuan dalam KUH Perdata tidak mengatur tentang lembaga pengangkatan anak yang berlaku bagi anak angkat warga negara Indonesia keturunan Tionghoa, yang ada hanya pengakuan anak luar kawin yang disahkan. Untuk memberikan pengertian tentang pengangkatan anak, dapat dibedakan dari dua sudut pandang, yaitu pengertian secara etimologi dan secara terminologi.

1. Secara etimologi yaitu, pengangkatan anak berasal dari kata “adoptie” bahasa Belanda atau “adopt” bahasa Inggris. Pengertian dalam bahasa Belanda menurut kamus hukum, berarti pengangkatan seorang anak untuk sebagai anak kandungnya sendiri.

2. Secara terminologi, yaitu dalam kamus umum bahasa Indonesia dijumpai arti anak angkat, yaitu anak orang lain yang diambil dan disamakan dengan anaknya sendiri. Dalam ensiklopedia umum disebutkan bahwa pengangkatan anak adalah suatu cara untuk mengadakan hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam pengaturan perundang-undangan.47

Menurut Iman Sudiyat, pengertian dari pengangkatan anak adalah suatu perbuatan memungut seorang anak dari luar ke dalam kerabat, sehingga terjalin suatu

(9)

ikatan sosial yang sama dengan ikatan kewangsaan biologis.48 Dengan kata lain, melalui pengangkatan anak, anak angkat masuk kehidupan rumah tangganya orang tua yang mengambil anak itu sebagai sebagai anggota rumah tangganya, akan tetapi ia berkedudukan sebagai anak kandung dengan fungsi untuk meneruskan keturunan bapak angkat.

Adopsi harus dibedakan dengan pengangkatan anak dengan tujuan semata-mata untuk pemeliharaan anak saja. Dalam hal ini anak tidak mempunyai kedudukan sama dengan anak kandung dalam hal warisan.49 Mengenai adopsi adalah sebagai suatu lembaga hukum yang menyebabkan seorang beralih ke hubungan kekeluargaan lain, sehingga timbul hubungan-hubungan hukum yang sah dengan orang tuanya. Pengangkatan anak orang lain dengan maksud supaya anak itu menjadi anak dari orang tua angkatnya. Dengan kata lain adopsi itu dilakukan sedemikian rupa, sehingga anak itu baik secara lahir maupun batin merupakan anak sendiri.

Berdasarkan rumusan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian adopsi secara umum adalah suatu tindakan mengalihkan seseorang anak dari kekuasaan orang tua kandungnya ke dalam kekuasaan orang tua angkatnya, untuk dipelihara dan diperlakukan sebagai anak kandungnya sendiri, sehingga dengan sendirinya anak angkat mempunyai hak dan kedudukan yang sama seperti anak kandung. Pengangkatan anak merupakan salah satu perbuatan hukum perdata dan merupakan bagian dari hukum kekeluargaan, bagaimanapun juga lembaga

48Iman Sudiyat,Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta, 1981, hal. 102.

(10)

pengangkatan anak ini akan mengikuti perkembangan dari masyarakat itu sendiri, yang terus beranjak ke arah kemajuan.

Pengangkatan anak dilihat dari tujuannya dapat ditinjau dari 2 aspek, yaitu pengangkatan anak ditinjau dari aspek kepastian hukum status anak yang diangkat dan aspek kesejahteraan sosial, yaitu meningkatkan kesejahteraan anak. Oleh karena itu, dalam rangka pelaksanaan perlindungan anak, motivasi pengangkatan anak merupakan hal yang perlu diperhatikan, dan harus dipastikan dilakukan demi kepentingan anak.

Djaja S. Meliala mengatakan bahwa alasan orang melakukan pengangkatan anak sangat beragam, tetapi terutama yang terpenting adalah:

1. Rasa belas kasihan terhadap anak terlantar atau anak yang orang tuanya tidak mampu memeliharanya.

2. Tidak mempunyai anak dan ingin mempunyai anak untuk menjaga dan memeliharanya di hari tua.

3. Adanya kepercayaan bahwa dengan adanya anak di rumah maka akan dapat mempunyai anak sendiri.

4. Untuk mendapatkan teman bagi anaknya yang sudah ada. 5. Untuk menambah atau mendapatkan tenaga kerja.

6. Untuk mempertahankan ikatan perkawinan / kebahagiaan keluarga.50

(11)

Arief Gosita yang dikutip Irma Setyowati Soemitro menyebutkan bahwa pengangkatan anak akan mempunyai dampak terhadap perlindungan anak, syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu :

a. Diutamakan pengangkatan anak yatim piatu; b. Anak yang cacat mental, fisik, sosial;

c. Orang tua anak tersebut memang sudah benar-benar tidak mampu mengelola keuangannya;

d. Bersedia memupuk dan memelihara ikatan keluarga antara anak dan orang tua kandung sepanjang hayat;

e. Hal-hal lain yang tetap mengembangkan manusia seutuhnya.51

Beberapa alternatif yang digunakan sebagai dasar dilaksanakan suatu pengangkatan anak antara lain :

1. Dilihat dari sisiadoptant, karena ada alasan sebagai berikut : a. Keinginan mempunyai keturunan atau anak;

b. Keinginan untuk mendapat teman bagi dirinya sendiri atau anaknya;

c. Kemauan untuk menyalurkan rasa belas kasihan terhadap anak orang lain yang membutuhkan;

d. Adanya ketentuan hukum yang memberi peluang untuk melakukan suatu pengangkatan anak;

e. Adanya pihak yang menganjurkan pelaksanaan pengangkatan anak untuk kepentingan pihak tertentu.

(12)

2. Dilihat dari sisi orang tua anak, karena alasan sebagai berikut : a. Perasaan tidak mampu untuk membesarkan anaknya sendiri;

b. Kesempatan untuk meringankan beban sebagai orang tua karena ada pihak yang ingin mengangkat anaknya;

c. Imbalan-imbalan yang dijanjikan dalam hal penyerahan anak; d. Saran-saran dan nasihat pihak keluarga atau orang lain;

e. Keinginan agar anaknya hidupnya lebih baik dari orang tua angkatnya; f. Ingin agar anaknya terjamin materiil selanjutnya;

g. Masih mempunyai anak beberapa lagi;

h. Tidak mempunyai rasa tanggung jawab untuk membesarkan anaknya sendiri; i. Keinginan melepaskan anaknya karena rasa malu sebagai akibat hubungan

tidak sah;

j. Keinginan melepaskan anaknya karena rasa malu mempunyai anak yang tidak sempurna fisiknya.

Pengangkatan anak selain bertujuan untuk memperoleh anak, mendapatkan anak yang berjenis kelamin berbeda dengan anak yang dimiliki, menolong anak yang yatim piatu dan ada juga tujuan lain yaitu untuk mensejahterakan anak dan melindunginya dari kekerasan dan diskriminasi serta memberikan kehidupan yang layak bagi seorang anak dengan memberikan perhatian dan kasih sayang.

(13)

masalah pengangkatan anak ditujukan untuk kepentingan anak yang diangkat (adoptandus) yakni untuk kesejahteraan si anak.

Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa masalah pengangkatan anak berkaitan dengan masalah perlindungan anak. Selama dalam pengasuhan, anak berhak untuk mendapatkan perlindungan seperti yang telah diatur dalam Pasal 13 UU Perlindungan Anak, yang menyebutkan sebagai berikut :

Pasal 13

Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapatkan

perlindungan dari perlakuan : a. Diskriminasi;

b. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; c. Penelantaran;

d. Kekejaman, kekerasan dan penganiayaan; e. Ketidakadilan; dan

f. Perlakuan salah lainnya.

(14)

yang dinyatakan dalam Konvensi ini akan berlaku pada semua anak yang ada di dalam suatu negara tanpa segala macam diskriminasi. Anak akan dilindungi dari diskriminasi berdasarkan status keluarga, kegiatan atau kepercayaannya”.

Selain itu, dalam Pasal 19 Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Konvensi Hak Anak juga menyatakan bahwa ”Negara akan melindungi anak-anak dari semua bentuk kekerasan, perlakuan sewenang-wenang, pengabaian dan eksploitasi selagi mereka berada di bawah asuhan orang tua atau orang lain dalam mengimplementasikan pencegahan dan program perawatan.

Berdasarkan Pasal 2 dan 19 Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Konvensi Hak Anak tersebut di atas selaras dengan adanya Pasal 13 UU Perlindungan Anak di mana anak juga berhak untuk mendapatkan perlindungan dan perlakuan diskriminasi, eksploitasi dan juga kekerasan. Pelaksanaan pengangkatan anak dalam praktiknya lebih mengutamakan pelayanan bagi pihak yang mengangkat anak di samping juga kepentingan pemilik anak agar menyetujui anaknya diambil oleh orang lain. Kemudian pelayanan diberikan bagi pihak-pihak lain yang berjasa dalam terlaksana proses pengangkatan anak. Sepanjang proses tersebut, anak benar-benar dijadikan obyek perjanjian dan persetujuan antara orang-orang dewasa bukan sebagai objek perdagangan.

(15)

anak. Pelaksanaan pengangkatan anak dianggap tidak rasional positif, tidak dapat dipertanggungjawabkan, bertentangan dengan asas perlindungan anak, serta kurang bermanfaat bagi anak yang bersangkutan.

Pengangkatan anak dilakukan melalui Dinas Sosial dan diatur dalam Ketentuan Umum angka 6 Keputusan Menteri Sosial Nomor 40/HUK/KEP/IX/ 1980 tentang Organisasi Sosial yang menyatakan bahwa “Organisasi sosial/ lembaga pelayanan sosial adalah lembaga kesejahteraan sosial yang berbadan hukum yang menangani pengasuhan anak yang ditunjuk oleh Dinas Sosial melalui Surat Keputusan Menteri Sosial sebagai penyelenggara pengangkatan anak”.52

Kriteria yayasan/organisasi sosial yang dapat ditunjuk oleh Menteri Sosial sebagai lembaga yang memfasilitasi pengangkatan anak adalah:

1. Memiliki panti sosial asuhan anak yang khusus melayani anak balita dengan sarana dan prasarana yang memadai.

2. Memiliki SDM yang melaksanakan tugas secara purna waktu dengan disiplin/keterampilan pekerja sosial. Sarjana hukum, psikolog, dan pengasuh. 3. Mandiri dalam operasional

4. Telah memiliki hubungan kerja dengan rumah sakit setempat.53

Dalam melakukan pengangkatan anak perlu diperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan prosedur pengajuan pengangkatan anak yang diatur dalam Pasal 39 sampai

(16)

dengan Pasal 41 UU Perlindungan Anak. Syarat yang wajib dipenuhi demi kepentingan anak menurut UU Perlindungan Anak adalah sebagai berikut :

Pasal 39

(1) Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya.

(3) Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat.

(4) Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.

(5) Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat.

Berdasarkan ketentuan hukum mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pengangkatan anak, maka orang tua angkat mempunyai kewajiban seperti yang telah diatur dalam Pasal 40 yang menyebutkan :

(1) Orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal usul dan orang tua kandungnya

(17)

Pemberitahuan asal usul dan orang tua kandung ini bertujuan agar anak yang telah diangkat tidak merasa kehilangan jati diri yang sebenarnya dan mengetahui asal usulnya yang sebenar-benarnya. Selain itu, agar tujuan dari UU Perlindungan Anak ini tercapai, maka diperlukan peran serta dari masyarakat dan pemerintah. Pasal 41 yang menentukan bahwa :

(1) Pemerintah dan masyarakat melakukan bimbingan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengangkatan anak.

(2) Ketentuan mengenai bimbingan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Kemudian, syarat dan prosedur lain yang harus ditempuh untuk melakukan pengangkatan anak keduanya adalah WNI. Untuk syarat calon orang tua angkat (pemohon), diperbolehkan pengangkatan anak langsung dilakukan antara orang tua kandung dengan orang tua angkat atau biasanya disebut dengan private adaption. Selain itu, pengangkatan anak oleh orang yang belum menikah juga diperbolehkan atau disebut dengan single parents adaption, asalkan para orang tua angkat ini mempunyai pekerjaan dan penghasilan yang tetap.

(18)

Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal/domisili anak yang akan diangkat.

Selain itu, Arif Gosita mengatakan bahwa dalam hal pengangkatan anak harus ada pihak-pihak yang bersangkutan. Pihak-pihak yang bersangkutan dalam terjadinya dan berlangsungnya pengangkatan anak adalah sebagai berikut :

a. Pihak orang tua kandung, yang menyediakan anaknya diangkat. b. Pihak orang tua baru, yang mengangkat anak.

c. Hakim atau petugas lain yang berwenang mengesahkan pengangkatan anak. d. Pihak perantara, yang secara individual atau kelompok (badan, organisasi)

menguntungkan atau merugikan pihak-pihak yang bersangkutan.

e. Anggota keluarga masyarakat lain, yang mendukung atau menghambat pengangkatan anak.

f. Anak yang diangkat, yang tidak menghindarkan diri dari perlakuan yang menguntungkan atau merugikan dirinya, menjadi korban tindakan aktif dan pasif seseorang.54

Sementara itu, menurut Pedoman Pelaksanaan Pengangkatan Anak Departemen Sosial Republik Indonesia dalam pengangkatan anak pihak-pihak yang terlibat dalam hal terjadinya pengangkatan anak adalah sebagai berikut:

a. Pihak orang tua kandung, yang menyediakan anaknya untuk diangkat. b. Pihak orang tua baru, yang mengangkat anak.

(19)

c. Hakim atau petugas lain yang berwenang mengesahkan pengangkatan anak. d. Pihak perantara, yang dapat secara individual atau kelompok (badan, organisasi). e. Pembuatan Undang-Undang yang merumuskan ketentuan pengangkatan anak

dalam peraturan perundang-undangan.

f. Anggota keluarga masyarakat lain, yang mendukung atau menghambat pengangkatan anak.

g. Anak yang diangkat, yang tidak dapat menghindarkan diri dari perlakuan yang menguntungkan atau merugikan dirinya.55

Pihak Dinas Sosial dalam proses pengangkatan anak ikut andil dalam proses adopsi sebagai fasilitator, dengan perannya menjembatani calon orang tua adopsi dengan rumah sakit atau yayasan sosial yang dapat melaksanakan adopsi anak. Dinas Sosial akan berperan memberikan pengarahan-pengarahan kepada calon orang tua adopsi apa saja yang diperlukan apabila akan melaksanakan adopsi anak, diantaranya adalah dengan memberitahukan prosedur dan syarat yang harus dipenuhi oleh calon orang tua adopsi.

Selain itu, dalam pelaksanaan adopsi anak Dinas Sosial juga memberikan pengawasan dan pembinaan kepada yayasan sosial atau panti asuhan yang biasanya melakukan adopsi anak agar pelaksanaan adopsi dapat berjalan sesuai dengan prosedur-prosedur dan peraturan yang telah ditetapkan. Tujuan utama dari Adopsi anak adalah untuk memenuhi segala kebutuhan jasmani, rohani dan sosial agar anak

(20)

tersebut dapat berkembang dan tumbuh secara baik sehingga apa yang anak tersebut peroleh dapat dipergunakan di masa depan mereka.

Agar proses pelaksanaan adopsi dapat berjalan dengan lancar, maka calon orang tua adopsi harus memenuhi segala persyaratan dalam pengangkatan anak (adopsi). Apabila dalam proses ada syarat-syarat yang tidak dapat dipenuhi, maka pelaksanaan adopsi tidak dapat dilanjutkan.

Pengaturan mengenai Prosedur lebih lengkapnya tentang permohonan pengangkatan anak berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 yaitu dijelaskan dalam Pedoman Pelaksanaan Pengangkatan Anak terbitan Departemen Sosial Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Direktorat Bina Pelayanan Sosial Anak sebagai berikut :

a. Permohonan pengangkatan anak diajukan kepada Instansi Sosial Kabupaten/Kota dengan melampirkan:

1) Surat penyerahan anak dari orang tua/walinya kepada instansi sosial;

2) Surat penyerahan anak dari Instansi Sosial Propinsi/Kab/Kota kepada Organisasi Sosial (Orsos);

3) Surat penyerahan anak dari orsos kepada calon orang tua angkat;

4) Surat keterangan persetujuan pengangkatan anak dari keluarga suami-istri calon orang tua angkat;

(21)

7) Surat keterangan sehat jasmani berdasarkan keterangan dari Dokter Pemerintah;

8) Surat keterangan sehat secara mental berdasarkan keterangan Dokter Psikiater;

9) Surat keterangan penghasilan dari tempat calon orang tua angkat bekerja. b. Permohonan izin pengangkatan anak diajukan pemohon kepada Kepala Dinas

Sosial/Instansi Sosial Propinsi/Kab/Kota dengan ketentuan sebagai berikut: 1) Ditulis tangan sendiri oleh pemohon di atas kertas bermeterai cukup; 2) Ditandatangani sendiri oleh pemohon (suami-istri);

3) Mencantumkan nama anak dan asal usul anak yang akan diangkat.

c. Dalam hal calon anak angkat tersebut sudah berada dalam asuhan keluarga calon orang tua angkat dan tidak berada dalam asuhan organisasi sosial, maka calon orang tua angkat harus dapat membuktikan kelengkapan surat-surat mengenai penyerahan anak dan orang tua/wali keluarganya yang sah kepada calon orang tua angkat yang disahkan oleh instansi sosial tingkat Kabupaten/Kota setempat, termasuk surat keterangan kepolisian dalam hal latar belakang dan data anak yang diragukan (domisili anak berasal).

d. Proses Penelitian Kelayakan

e. Sidang Tim Pertimbangan Izin Pengangkatan Anak (PIPA) Daerah

(22)

g. Penetapan Pengadilan.

h. Penyerahan Surat Penetapan Pengadilan.56

Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa dalam pengangkatan anak juga harus dipenuhi berbagai persyaratan khususnya yang menyangkut orang yang mengangkat anak dan calon anak yang diangkat (diadopsi). Guna melegalkan adopsi atau pengangkatan anak maka dikuatkan berdasarkan keputusan Pengadilan Negeri. Hal ini berimplikasi secara hukum, sedangkan pengangkatan anak yang ilegal adalah pengangkatan anak yang dilakukan hanya berdasarkan kesepakatan antar pihak orang tua yang mengangkat dengan orang tua kandung anak. Jika, seorang anak diadopsi secara legal, maka setelah pengangkatan ada akibat hukum yang ditimbulkan, seperti hak perwalian dan pewarisan. Namun terhadap anak yang diangkat secara tidak sah, tidak ada hubungan hukum yang terjadi diantara orang tua angkat dengan anak angkat tersebut.

C. Hukum Adat dan Sejarah Keberadaan Masyarakat Etnis Tionghoa

Hukum adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya seperti Jepang, India, dan Tiongkok. Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat

(23)

memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis.57 Dari 19 daerah lingkungan hukum (rechtskring) di Indonesia, sistem hukum adat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu:

1. Hukum Adat mengenai tata Negara

2. Hukum Adat mengenai warga (hukum pertalian sanak, hukum tanah, hukum perhutangan).

3. Hukum Adat mengenai delik (hukum pidana).

Istilah Hukum Adat pertama kali diperkenalkan secara ilmiah oleh Snouck Hurgronje, Kemudian pada tahun 1893, Snouck Hurgronje dalam bukunya yang berjudul "De Atjehers" menyebutkan istilah hukum adat sebagai "adat recht" (bahasa Belanda) yaitu untuk memberi nama pada satu sistem pengendalian sosial (social control) yang hidup dalam Masyarakat Indonesia. Istilah ini kemudian dikembangkan secara ilmiah oleh Cornelis van Vollenhoven yang dikenal sebagai pakar Hukum Adat di Hindia Belanda (sebelum menjadi Indonesia).58

Menurut Bushar Muhammad istilah hukum adat adalah terjemahan dalam bahasa belanda “adat recht”, dimana Snouck Hurgronje adalah orang pertama yang memaknai istilah “adatrecht” kemudian di kutip dan dipakai selanjutnya oleh Van Vollenhoven sebagai istilah teknis yuridis.59 Van Vollenhoven memberi pengertian: “hukum adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan-peraturan yang

57Sangkoeno, Hukum Adat di Indonesia, http://sangkoeno.blogspot.com/.html, Diakses 25 Nopember 2013 Pukul 21.35 Wib.

58Ibid.

(24)

dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda dahulu atau alat-alat kekuasaan lainnya yang menjadi sendinya dan diadakan sendiri oleh kekuasan Belanda dahulu”.60

Apabila dilihat dari pengertian di atas, jelaslah bahwa hukum adat itu adalah suatu kompleks norma-norma yang bersumber pada perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang (sifat dinamis) serta meliputi peraturan-peraturan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam kehidupan masyarakat, sebagian besar tidak tertulis, senantiasa ditaati dalam kehidupan masyarakat, sebagian besar tidak tertulis, senantiasa ditaati dan dihormati oleh rakyat, karena mempunyai akibat hukum (sanksi).

Kemudian masyarakat hukum adat adalah sekumpulan orang yang tetap hidup dalam keteraturan dan di dalamnya ada sistem kekuasaan dan secara mandiri, yang mempunyai kekayaan yang berwujud maupun yang tidak berwujud.61

China Indonesia ialah sebuah kelompok etnik yang penting dalam sejarah Indonesia jauh sebelum Republik Indonesia terbentuk. Setelah negara Indonesia terbentuk, maka suku bangsa China yang berkewarganegaraan Indonesia haruslah digolongkan secara automatik ke dalam masyarakat Indonesia secara setingkat dan setaraf dengan suku-suku bangsa yang lain yang membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa di Indonesia merupakan keturunan dari leluhur mereka yang berimigrasi secara periodik dan bergelombang.

60

C.Van Vollenhoven,Het Adatrecht Van Nederlandsch Indie,jilid 1 E,J Brill, 1904-1933, hal.7.

(25)

Bangsa Tionghoa telah ribuan tahun mengunjungi kepulauan Nusantara. Salah satu catatan tertua ditulis oleh para agamawan Fa Hsien pada abad ke-4 dan terutama I Ching pada abad ke-7. I Ching ingin datang ke India untuk mempelajari agama Buddha dan singgah dulu di Nusantara untuk belajar bahasa Sansekerta dahulu. Di Jawa ia berguru pada seseorang bernamaJñânabhadra.

Menurut Pusdiklat Kebudayaan China Suku bangsa Tionghoa di Indonesia adalah satu etnis penting dalam sejarah Indonesia bahkan sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan terbentuk. Setelah Negara Indonesia terbentuk, orang Tionghoa yang berkewarganegaraan Indonesia kemudian digolongkan menjadi salah satu suku dalam lingkup nasional Indonesia.62

Tionghoa di Indonesia merupakan keturunan dari leluhur mereka yang bermigrasi secara periodik dan bergelombang sejak ribuan tahun lalu. Catatan-catatan literatur Tionghoa menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Tionghoa. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari Tionghoa ke Nusantara dan sebaliknya.

S. Bunardi mengatakan bahwa :

Orang Tionghoa di Indonesia terbiasa menyebut diri mereka sebangaiTenglang

(Hokkian), Tengnang (Tiochiu) dan Thongnyin (Hakka). Sedangkan dalam dialek Mandarin disebutTangren (HanTzu, bahasa Indonesia: Orang Tang). Ini sesuai dengan kenyataan bahwa orang Tionghoa Indonesia mayoritas berasal dari Tionghoa Selatan yang menyebut diri mereka sebagai orang Tang,

(26)

sedangkan Tionghoa Utara menyebut diri mereka orang HAN (HAN Tzu:

hanyu pinyin; hanren, bahasa Indonesia: Orang Han).63

Kemudian dengan berkembangnya negara-negara kerajaan di tanah Jawa mulai abad ke-8, para imigran Tionghoa pun mulai berdatangan. Pada prasasti-prasasti dari Jawa orang Tionghoa disebut-sebut sebagai warga asing yang menetap di samping nama-nama suku bangsa dari Nusantara, daratan Asia Tenggara dan anak benua India.

Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa orang-orang Tionghoa di Indonesia berasal dari tenggara Tiongkok. Mereka termasuk suku-suku Hakka, Hainan, Hokkien, Kantonis, Hokchia, Tiochiu. Daerah asal yang terkonsentrasi di pesisir tenggara Tiongkok dapat dimengerti karena dari sejak zaman Dinasti Tang, kota-kota pelabuhan di pesisir tenggara Tiongkok memang telah menjadi bandar perdagangan yang ramai. Quanzhou malah tercatat sebagai bandar pelabuhan terbesar dan tersibuk di dunia pada zaman tersebut.

Ramainya interaksi perdagangan di daerah pesisir tenggara ini kemudian menyebabkan banyak sekali orang-orang Tionghoa juga merasa perlu keluar berlayar untuk berdagang. Tujuan utama saat itu adalah Asia Tenggara dan oleh karena pelayaran sangat tergantung pada angin musim, maka setiap tahunnya, para pedagang Tionghoa akan bermukim di wilayah-wilayah Asia Tenggara yang disinggahi mereka. Demikian seterusnya ada pedagang yang memutuskan untuk menetap dan menikahi wanita setempat, ada pula pedagang yang pulang ke Tiongkok untuk terus berdagang.

(27)

Tionghoa adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang di Indonesia berasal dari kataCung Hwadari Tiongkok. Istilah Tionghoa dan Tiongkok lahir dari lafal Melayu (Indonesia) dan Hokian, jadi secara linguistik Tionghoa dan Tiongkok memang tidak dikenal (diucapkan dan terdengar) diluar masyarakat Indonesia. Tionghoa adalah khas Indonesia, oleh sebab itu di Malaysia dan Thailand tidak dikenal istilah ini.

Josh Chen mengatakan bahwa masyarakat Tionghoa adalah suatu perkumpulan/ komunitas yang berasal timur asing (Cina) yang masuk dan bermukim di wilayah Indonesia kemudian secara langsung disamakan sebagai warga negara Indonesia ataupun kemudian hari atas inisiatif sendiri bermaksud menjadi warga negara Indonesia.64

Sebagian besar dari orang-orang Tionghoa di Indonesia menetap di pulau Jawa. Daerah-daerah lain di mana mereka juga menetap dalam jumlah besar selain di daerah perkotaan adalah: Sumatra Utara, Bangka-Belitung, Sumatra Selatan, Lampung, Lombok, Kalimantan Barat, Banjarmasin dan beberapa tempat di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara. Sejarah politik diskriminatif terhadap etnis Tionghoa berlangsung sejak era Orde Lama hingga Orde Baru. Pada Orde Lama keluar Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1959 yang melarang WNA Tionghoa untuk berdagang eceran di daerah di luar ibukota provinsi dan kabupaten. Hal ini menimbulkan dampak yang luas terhadap distribusi barang dan pada akhirnya menjadi salah satu sebab keterpurukan ekonomi menjelang tahun 1965. Selama Orde

(28)

Baru juga terdapat penerapan ketentuan tentang Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia, atau yang lebih popular disebut SBKRI, yang utamanya ditujukan kepada warga negara Indonesia (WNI) etnis Tionghoa beserta keturunan-keturunannya. Walaupun ketentuan ini bersifat administratif, secara esensi penerapan SBKRI sama artinya dengan upaya yang menempatkan WNI Tionghoa pada posisi status hukum WNI yang “masih dipertanyakan”.

Suku bangsa Tionghoa di Indonesia adalah satu etnis penting dalam percaturan sejarah Indonesia jauh sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan terbentuk. Setelah negara Indonesia terbentuk, maka otomatis orang Tionghoa yang berkewarganegaraan Indonesia haruslah digolongkan menjadi salah satu suku dalam lingkup nasional Indonesia setingkat dan sederajat dengan suku-suku bangsa lainnya yang membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.

D. Motivasi Pengangkatan Anak dalam Masyarakat Etnis Tionghoa

Di dalam masyarakat termasuk dalam hal ini masyarakat etnis Tionghoa kehadiran seorang anak merupakan pelengkap dari suatu keluarga. Apabila dalam sebuah keluarga telah dikaruniai seorang anak, hendaknya dalam keluarga tersebut juga memperhatikan kepentingan seorang anak baik secara rohani, jasmani, maupun perkembangan dalam lingkungan sosialnya.

(29)

anak. Bagi setiap keluarga, anak merupakan sebuah anugerah yang paling diharapkan kehadirannya karena dengan hadirnya seorang anak akan melengkapi kebahagiaan sebuah keluarga. Anak merupakan sebuah tumpuan harapan bagi kedua orang tuanya. Keberadaan anak adalah wujud keberlangsungan sebuah keluarga.

Kehadiran seorang anak dalam keluarga anak tidak hanya dipandang sebagai konsekuensi adanya hubungan biologis antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan, tetapi lebih dari itu, juga merupakan keinginan yang sudah melembaga sebagai naluri setiap manusia. Oleh karenanya, rasanya kurang lengkaplah sebuah keluarga tanpa kehadiran seorang anak.

Di dalam masyarakat termasuk dalam hal ini etnis Tionghoa tanpa kehadiran seorang anak dianggap sebagai aib yang menimbulkan rasa kurang percaya diri bagi pasangan suami isteri. Akan tetapi, karena berbagai hal keinginan memperoleh anak dalam perkawinan tidak dapat diwujudkan oleh pasangan suami isteri sehingga menimbulkan kecemasan. Oleh karena itu, kemudian dilakukan dengan cara mengambil alih anak orang lain dan dimasukkan ke dalam anggota keluarganya sebagai pengganti anak yang tidak bisa diperoleh secara alami tersebut.65 Cara memperoleh anak dengan mengambil alih anak orang lain dan dimasukkan ke dalam anggota keluarganya dikenal dengan pengangkatan anak yang merupakan objek penelitian ini.

(30)

Pada mulanya pengangkatan anak akan dilakukan semata–mata untuk melanjutkan dan mempertahankan garis keturunan dalam sebuah keluarga yang tidak mempunyai anak atau sebagai pancingan agar setelah mengangkat anak, diharapkan keluarga tersebut dapat dikaruniai anak. Tetapi dalam perkembangannya kemudian sejalan dengan perkembangan masyarakat, tujuan pengangkatan anak lebih ditujukan demi kesejahteraan anak.

Di dalam masyarakat hukum adat Tionghoa, seharusnya yang masuk dalam preferensi pertama diadopsi adalah keluarga sedarah dari generasi yang tepat dibawah generasi adoptan, seperti anak laki-laki dari seorang saudara laki-laki, kemudian lebih jauh, anak laki-laki dari dari sepupu laki-laki dari paman, karena nantinya anak adopsi dan anak-anak adoptan sendiri akan berada dalam generasi yang sama.

(31)

Sebelum dikeluarkan Staatblaad Tahun 1917 No. 129 (S.1917:129) khususnya Pasal 5 sampai dengan pasal 15 yang mengatur tentang adopsi bagi golongan Tionghoa di Indonesia, pada dasarnya masyarakat Tionghoa di Indonesia, telah mengatur hukum adat yang mengatur mengenai pengangkatan anak (adopsi).

Menurut hukum adat Tionghoa, seharusnya yang masuk dalam preferensi pertama diadopsi adalah keluarga sedarah dari generasi yang tepat dibawah generasi adoptan, seperti anak laki-laki dari seorang saudara laki-laki, kemudian lebih jauh, anak laki-laki dari sepupu laki-laki dari paman. Karena nantinya anak adopsi dan anak adoptan sendiri, akan berada dalam generasi yang sama. Dengan demikian, tampak bahwa adopsi tidak bisa dilangsungkan terhadap sembarang orang, seperti misalnya mengadopsi anak laki-lakinya sendiri, atau pamannya, sebab akan terjadi kekacauan dalam hubungan kekeluargaan.

Kebiasaan lain dari adopsi menurut hukum adat Tionghoa adalah adanya larangan untuk mengangkat anak dari keluarga lain, yang tampak dari dipakainya nama keluarga yang lain. Namun demikian, dalam prakteknya ternyata banyak muncul adopsi atas anak-anak yang memakai nama keluarga lain. Selain itu, kebanyakan dari masyarakat Tionghoa tidak mau anak laki-lakinya diangkat orang lain. Kecuali apabila keluarga merasa tidak mampu lagi memberikan nafkah untuk kebutuhan anak-anaknya.66

(32)

Apabila ditelaah ketentuan pengangkatan anak yang diatur dalam Staatsblad 1917 Nomor 129 yaitu pengangkatan anak bagi golongan Tionghoa dalam sistem hukum di Indonesia. Dalam ketentuan Staatsblad 1917 No. 129 tampak bahwa peraturan itu menghendaki agar setiap pengangkatan anak memenuhi persyaratan tertentu yang bersifat memaksa (Compulsory), sehingga tidak dipenuhinya persyaratan dimaksud akan mengakibatkan batalnya pengangkatan itu. Ordonansi dalam stbl.1917 No.129 mengatur tentang pengangkatan anak pada Bab II yang berkepala“Van adoptie”.

Bab II ini terdiri dari 11 pasal, yaitu dari Pasal 5 sampai dengan Pasal 15 sebagai berikut :

1. Yang dapat mengangkat anak adalah : suami, istri, janda, atau duda (Pasal 5). 2. Yang dapat diangkat anak, ialah : hanya orang Tionghoa laki-laki yang tidak

beristri dan tidak beranak dan yang belum diadopsi oleh orang lain (Pasal 6). 3. Yang diadopsi harus sekurang-kurangnya delapan belas tahun lebih muda dari

suami dan sekurang-kurangnya lima belas tahun lebih muda dari istri atau janda yang mengadopsinya (Pasal 7 ayat (1)).

4. Adopsi hanya dapat dilakukan dengan Akta Notaris (Pasal 10 ayat (1)).

5. Anak adopsi demi hukum harus memakai nama keluarga orang tua angkatnya (Pasal 11).

(33)

7. Adopsi terhadap anak perempuan dan adopsi dengan cara lain selain daripada Akta Notaris adalah batal demi hukum (Pasal 15 ayat (2)).67

Berdasarkan ketentuan dan uraian di atas, jelaslah bahwa pengangkatan anak (adopsi) bagi kalangan masyarakat Tionghoa, yang antara lain mengatur seorang laki-laki beristri atau telah pernah beristri tak mempunyai keturunan laki-laki-laki-laki yang sah dalam garis laki-laki, baik keturunan karena kelahiran maupun keturunan karena pengangkatan anak, maka bolehlah ia mengangkat seorang anak laki-laki sebagai anaknya pengangkatan anak tersebut harus dilakukan oleh seorang suami, bersama-sama dengan istrinya atau jika dilakukannya setelah perkawinannya dibubarkan oleh dia sendiri anak yang boleh diangkat hanyalah orang-orang Tionghoa laki-laki yang tidak beristri dan tidak beranak, serta yang tidak telah diangkat oleh orang lain orang yang diangkat harus berumur paling sedikit 18 tahun lebih muda daripada suami dan paling sedikitnya pula 15 tahun lebih muda daripada si istri atau si janda yang mengangkatnya.

Apabila yang diangkat itu seorang keluarga sedarah, baik yang sah maupun yang keluarga luar kawin, maka keluarga tadi karena angkatannya terhadap moyang kedua belah pihak bersama, harus memperoleh derajat keturunan yang sama pula dengan derajat keturunannya, sebelum ia diangkat pengangkatan terhadap anak-anak perempuan dan pengangkatan dengan cara lain daripada cara membuat akta autentik adalah batal karena hukum. Ketentuan ini sebenarnya berangkat dari satu

(34)

kepercayaan adat Tionghoa, bahwa anak laki-laki itu dianggap sebagai penerus keturunan keluarga di kemudian hari. Di samping itu, anak laki-laki diyakini oleh kepercayaan mereka sebagai yang dapat memelihara abu leluhur orang tuanya.

E. Syarat-syarat dan Prosedur Pengangkatan Anak Perempuan pada Masyarakat Etnis Tionghoa di Kota Medan

Pengangkatan anak sebagaimana dijelaskan sebelumnya bukan merupakan hal yang baru di Indonesia karena hal ini sudah lazim dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Hanya saja cara dan motivasinya yang berbeda-beda sesuai dengan sistem hukum yang dianut didaerah yang bersangkutan. Pengangkatan anak (adopsi) akhir-akhir ini banyak diperbincangkan dan sudah mendapat perhatian pula dari pihak termasuk dikalangan warga etnis Tionghoa. Keanekaragaman hukum yang mengatur masalah pengangkatan anak di Indonesia ini akan tampak jika diteliti secara cermat ketentuan-ketentuan tentang lembaga pengangkatan ini dari berbagai sumber hukum yang berlaku, baik hukum Barat dari BW dan hukum Adat yang berlaku di dalam masyarakat Indonesia, maupun hukum Islam yang banyak dianut masyarakat Indonesia.

(35)

angkat tersebut. Namun demikian, anak yang berkedudukan sebagai anak angkat, apakah ia berhak mewarisi harta dari orang tuanya, akan ditentukan oleh hukum adatnya masing-masing daerah hukum adat itu di pertahankan oleh penganutnya.

Dari penelitian yang peneliti lakukan menunjukkan bahwa pada salah satu suku bangsa etnis Tionghoa di Kota Medan termasuk yang berasal dari suku Hainan. Suku Hainan berasal dari pulau Hainan yang terletak di wilayah China. Walaupun terdiri dari berbagai suku etnis Tionghoa dan terdapat perbedaan dialek, namun memiliki kebiasaan adat yang sama. Josh Chen mengatakan bahwa Hainan dikenal cukup luas di Indonesia dan Asia Tenggara karena kuliner khas’nya, yaitu ‘nasi Hainan’ ada yang menyebut ‘nasi hainam’. Letak perbedaan lafal “nan” dan “nam” hanyalah pengaruh dialek saja. Lafal Mandarin memang di sebut NAN yang berarti selatan (南), yang pengucapannya menjadi NAM dalam dialek provinsi-provinsi Selatan

China, terutama Hokkian, walaupun kadang diucapkan juga dengan “lam”.68

Pulau Hainan merupakan rumah bagi Etnis Li (黎族, Li Zu, baca: Li Cu), yang

mencapai jumlah sekitar 1.247.814 jiwa, mayoritas bertempat tinggal di Tongze, ibukota HainanLi-Miao Autonomous Prefecture. Selain di sini, Etnis Li juga tersebar di seluruh wilayah China, berbaur dengan etnis yang lain. Keberadaan suku Hainan tersebar di 25 negara dari benua Amerika, Australia, Eropa dan Asia. Kini, suku

(36)

Hainan sudah berada di sejumlah negara maju seperti Amerika Serikat, Prancis, Jerman, Inggris, Australia serta sejumlah negara lainnya.

Masyarakat Tionghoa suku Hainan juga melakukan pengangkatan anak pada umumnya dilakukan berdasarkan adat Tionghoa.

Pengangkatan anak perempuan secara adat Tionghoa suku Hainan di kota Medan dilakukan dengan memenuhi beberapa persyaratan yaitu :69

a) Mencocokkan shio antara anak dengan orang tua yang akan mengangkatnya. Hal ini dilakukan guna menghindari hal-hal negatif yang dapat terjadi di dalam keluarga, karena menurut kepercayaan etnis Tionghoa terdapat aturan mengenai antar shio yang memiliki kecocokan dan ketidakcocokan.

b) Melaksanakan ibadah sembahyang kepada Tuhan, dengan mempersiapkan beberapa material yaitu:

i. Meja berwarna merah yang biasa di pakai untuk melakukan sembahyang. Berwarna merah karena merah melambangkan kebahagiaan.

ii. Lilin, sebagai lambang penerangan sedang berlangsungnya suatu upacara sembahyang.

iii.Teh 3 cangkir,sebagai lambang penghormatan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

iv. Buah-buahan 3 macam dengan 3 buah tiap macam. Biasanya buah yang dipakai adalah buah jeruk (melambangkan kekekalan), buah apel

(37)

(melambangkan ketentraman) dan buah Nenas (melambangkan kesejahteraan).

v. Dupa, merupakan suatu penghormatan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. c) Sembayang kepada leluhur yang telah meninggal dengan mempersiapkan

lilin,dupa dan 3 gelas teh serta pembakaran kertas sembahyang.

d) Upacara sembahyang untuk pengangkatan anak dilakukan dengan mengatakan bahwa “pada hari ini, tanggal, kami (orang tua angkat,bernama,umur,shio) mengangkat seorang anak (laki-laki atau perempuan, shio) yang bernama, yang kemudian akan dijadikan sebagai anak dalam keluarga kami.

e) Disaksikan oleh keluarga

Adapun beberapa alasan yang mendasari masyarakat etnis Tionghoa untuk melakukan pengangkatan anak, antara lain untuk merawat anak yang diangkat dalam kondisi tidak sehat, karena keinginan untuk membantu merawat, memelihara dan mendidik anak dari keluarga atau kerbat yang kurang mampu baik dari segi ekonomi maupun dari segi moral dan mental.70

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam hal pengangkatan anak ini baik pada masyarakat umum maupun pada etnis Tionghoa sebab yang mendorong dilakukannya pengangkatan anak, antara lain :

a. Alasan yang disebabkan dalam keluarga tidak mempunyai anak;

(38)

b. Alasan karena belas kasihan terhadap anak yang mempunyai orang tua kandung tidak mampu, atau anak tersebut sudah yatim piatu;

c. Dalam keluarga hanya memiliki anak laki-laki saja atau anak perempuan saja; d. Digunakan sebagai pancingan agar dapat memiliki anak sendiri.71

Adanya beberapa sebab dan alasan yang ada di beberapa daerah termasuk menyangkut pengangkatan anak menunjukkan bahwa di Indonesia terdapat keanekaragaman hukum adat yang mengatur masalah anak angkat, hal ini memberikan pengaruh pada kedudukan anak angkat demikian pula dalam hal pembagian warisannya.

Berdasarkan uraian tersebut di atas jelaslah bahwa motivasi pengangkatan anak mempunyai hukum yang berbeda-beda. Akibatnya hukum yang penting adalah kekuasaan orang tua, hak waris, hak alimentasi atau hak pemeliharaan dan juga soal nama. Adanya pengangkatan anak tersebut mengakibatkan perpindahannya keluarga dari orang tua kandungnya kepada orang tua yang mengangkatnya. Status anak tersebut seolah-olah dilahirkan dari perkawinan orang tua angkat. Jadi status anak angkat itu sama dengan anak sah dan di dalam hukum waris ia disebut juga sebagai ahli waris terhadap kedua orang tua angkatnya tersebut.

Dalam pelaksanaannya dalam praktek prosedur pengangkatan anak dilakukan dengan :

1. Prosedur formal, yaitu dengan adanya penetapan dari Pengadilan Negeri,

(39)

2. Prosedur informal, yaitu menurut adat/kebiasaan masyarakat, sehingga bagi golongan Warganegara Indonesia keturunan Tionghoa untuk sahnya pengangkatan anak berlaku juga prosedur pengangkatan anak formal, yaitu dengan adanya penetapan dari Pengadilan Negeri.

Prosedur formal pengangkatan anak bagi Warganegara Indonesia golongan Tionghoa sebelum dikeluarkan SEMA No. 2 Tahun 1979, yang kemudian disempurnakan dengan SEMA No. 6 Tahun 1983 tentang pengangkatan anak, yang berwenang membuat akta pengangkatan anak adalah notaris.

Dalam Stb. 1917 nomor 129, Bab II Pasal 10 ayat (1), diatur tentang pengangkatan anak, yang berisikan bahwa pengangkatan anak hanya dapat terjadi dengan adanya akta notaris dan Pasal 10 ayat (4) Stbl. 1917 No. 129 menentukan bahwa “Setiap orang yang berkepentingan dapat meminta agar pada akta kelahiran orang yang diangkat, pada sisi akta itu dicantumkan tentang pengangkatan anak itu”. Setelah dibuatnya akta notaris mengenai pengangkatan anak, akta tersebut didaftarkan dan dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil. Kemudian atas pendaftaran dan pencatatan tersebut dikeluarkan petikan akta kelahiran yang baru yang menyebutkan bahwa anak tersebut adalah anak dari orang tua angkat yang mengangkatnya dan bukan sebagai anak angkat.

(40)

Pengadilan Negeri di mana anak tersebut berdomisili. Bagi golongan Warganegara Indonesia keturunan Tionghoa berlaku juga prosedur pengangkatan anak formal untuk sahnya pengangkatan anak, yaitu adanya penetapan dari Pengadilan Negeri.

Adapun prosedur pengangkatan dan syarat-syarat pengangkatan anak ditentukan sebagai berikut :

Syarat dan bentuk surat permohonan (sifatnyavoluntair) :

1. Permohonan seperti ini hanya dapat diterima apabila telah ternyata ada urgensi yang memadai. Misalnya : ada ketentuanketentuan UU yang mengharuskan. 2. Seperti permohonan-permohonan yang lain, permohonan seperti ini dapat

dilakukan secara lisan sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Pengadilan Negeri atau permohonan secara tertulis.

3. Dapat diajukan dan ditandatangani oleh pemohon sendiri atau kuasanya. Di samping itu pemohon dapat juga didampingi/dibantu seseorang. Dalam hal didampingi/dibantu maka hal ini berarti pemohon/calon orang tua angkat tetap harus hadir dalam pemeriksaan di persidangan. Begitu juga meskipun pemohon memakai seseorang kuasa namun ia wajib hadir dalam pemeriksaan sidang Pengadilan Negeri.

4. Dibubuhi meterai secukupnya.

5. Dialamatkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal/domisili anak yang akan diangkat.72

(41)

Isi surat permohonan memuat :

1. Dalam bagian dasar hukum dari permohonan tersebut secara jelas diuraikan dasar yang mendorong (motif) diajukan permohonan pengesahan/pengangkatan anak tersebut.

2. Juga harus nampak bahwa permohonan pengesahan pengangkatan anak itu dilakukan terutama untuk kepentingan calon anak yang bersangkutan, dan digambarkan kemungkinan kehidupan hari depan si anak setelah pengangkatan terjadi.

3. Isi petitum bersifat tunggal, yaitu : tidak disertai (in samenloop met) petitum yang lain.

Misalnya, cukup dengan :

“agar si anak dari B ditetapkan sebagai anak angkat dari C”, atau “agar pengangkatan anak yang telah dilakukan oleh pemohon (C) terhadap anak B yang bernama A dinyatakan sah”.

Tanpa ditambah tuntutan lain seperti :

“agar ditetapkan anak bernama A tersebut, ditetapkan sebagai ahli waris dari C”.

Syarat bagi perbuatan pengangkatan anak antar Warganegara Indonesia yang harus dipenuhi antara lain sebagai berikut :73

1. Syarat bagi calon orang tua angkat (pemohon):

(42)

a. Pengangkatan anak yang langsung dilakukan antara orang tua kandung dengan orang tua angkat (private adoption) diperbolehkan.

b. Pengangkatan anak yang dilakukan oleh seorang yang tidak terikat dalam perkawinan sah/belum menikah (single parent adoption) diperbolehkan. 2. Syarat bagi calon anak yang diangkat :

a. Dalam hal calon anak angkat tersebut berada dalam asuhan suatu Yayasan Sosial harus dilampirkan surat izin tertulis Menteri Sosial bahwa Yayasan yang bersangkutan telah diizinkan bergerak di bidang kegiatan pengangkatan anak.

b. Calon anak angkat yang berada dalam asuhan Yayasan Sosial yang dimaksud di atas harus pula mempunyai izin tertulis dari Menteri Sosial atau Pejabat yang ditunjuk bahwa anak tersebut diizinkan untuk diserahkan sebagai anak angkat.

Selanjutnya sebagai akibat dari pengangkatan anak menurut ketentuan dalam Stbl 1917 No. 129 bahwa pengangkatan anak bagi golongan warga negara Indonesia keturunan Tionghoa ini mengakibatkan putusnya hubungan keperdataan antara anak yang diangkat dengan orang tua kandung, dan kedudukan anak angkat dipersamakan dengan anak kandung oleh orang tua yang mengangkat, sehingga anak angkat berhak mewaris harta kekayaan dari orang tua angkatnya.

(43)

1) Pasal 11 menentukan bahwa “Pengangkatan anak mempunyai akibat hukum bahwa orang yang diangkat sebagai anak itu memperoleh nama marga dari ayah angkatnya dalam hal marganya berbeda dari marga orang yang diangkat sebagai anak”.

2) Pasal 12 ayat (1) menenentukan bahwa “Dalam hal sepasang suami isteri mengangkat seseorang sebagai anak laki-lakinya, maka anak tersebut dianggap sebagai yang lahir dari perkawinan mereka”

3) Pasal 14 mengatur bahwa “karena pengangkatan anak putuslah hak-hak keperdataan yang berkaitan dengan garis keturunan antara orang tua kandung dan saudara sedarah dan dari garis ke samping dengan orang yang diangkat”.

Sehubungan dengan hal-hal tersebut, maka terhadap anak angkat golongan Warganegara Indonesia keturunan Tionghoa berhak untuk mendapatkan harta warisan dari orang tua yang mengangkatnya. Hal ini didasarkan pada sistem dan hak pewarisan yang diatur dalam KUH Perdata terhadap anak angkat yang berlaku di Indonesia yang di dasari oleh ketentuan Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945, yang menyatakan bahwa “segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.

(44)

merugikan dan tidak praktis. Masyarakat Tionghoa lebih memilih melakukan pengangkatan anak melalui adat etnis Tionghoa yang dihadiri oleh kedua belah pihak keluarga (orang tua kandung dan orang tua angkat), dengan membicarakan maksud dan tujuan dari pengangkatan anak tersebut, hal ini cukup bagi masyarakat Tionghoa khususnya dari suku Hainan di Kota Medan sebagai syarat sahnya pengangkatan anak.74

Hasil penelitian pada etnis Tionghoa suku Hainan di Kota Medan diketahui bahwa pengangkatan anak tidak saja dilakukan terhadap anak laki-laki tetapi juga anak perempuan walaupun dalam sebagian warga etnis Tionghoa ada pantangan. Adanya pengangkatan anak perempuan yang dilakukan warga suku Hainan dapat dikatakan sah (tidak dilarang), walaupun bertolak belakang dengan ketentuan yang dimaksud dalam Staatblaad tahun 1917 No. 129 yang menyatakan bahwa, anak yang diangkat harus anak laki-laki dan adanya ancaman demi hukum bagi masyarakat Tionghoa yang melakukan pengangkatan terhadap anak perempuan. Dengan demikian adanya Staatblaad tahun 1917 No. 129 tersebut tidak berpengaruh terhadap pelaksanaan pengangkatan anak dalam masyarakat suku Hainan dari etnis Tionghoa di Kota Medan.

Hal ini juga didukung dari adanya ketentuan pengangkatan anak sebagaimana yang diatur dalam beberapa ketentuan lainnya yang berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia, yaitu :

(45)

a. Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.6 Tahun 1983 yang mengatur tentang cara mengadopsi anak menyatakan bahwa untuk mengadopsi anak harus terlebih dahulu mengajukan permohonan pengesahan/pengangkatan kepada Pengadilan Negeri di tempat anak yang akan diangkat itu berada.

b. Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ditentukan bahwa pengangkatan anak tersebut harus seagama dan tidak memutuskan hubungan darah anak angkat dengan orang tua kandungnya.

c. Pengaturan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak yaitu bahwa Tata cara pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia bahwa seorang dapat mengangkat anak paling banyak 2 (dua) kali dengan jarak waktu paling singkat 2 (dua) tahun.

(46)

maupun peraturan perundang-undangan, hak waris anak menurut hukum adat mengikuti aturan adat dari masing-masing daerah.

Hasil wawancara dengan beberapa responden diketahui bahwa dalam hubungannya dengan syarat-syarat bagi calon orang tua angkat yang melakukan pengangkatan anak, pada umumnya berstatus kawin atau pernah kawin. Dengan demikian pengangkatan anak dapat dilakukan oleh mereka yang pernah terikat dalam perkawinan termasuk janda atau duda. Selanjutnya dari keterangan responden, juga dinyatakan bahwa pengangkatan anak yang dilakukan tidak pernah meminta ijin dari keluarga maupun mantan suami. Hal ini menunjukkan bahwa, seorang janda ataupun duda dalam masyarakat Tionghoa termasuk etnis Tionghoa dari Suku Hainan di Kota Medan telah dianggap cukup dalam melakukan tindakan hukum tanpa harus didampingi orang lain.75

Sementara itu berdasarkan pernyataan tokoh masyarakat Tionghoa dari Suku Hainan di Medan, yang menyatakan bahwa pengangkatan anak dapat pula dilakukan oleh orang yang belum kawin, hal tersebut menunjukan bahwa praktek pengangkatan anak dalam masyarakat adat Tionghoa tidak hanya dapat dilakukan oleh mereka yang telah atau pernah kawin. Dengan demikian pengangkatan anak dalam masyarakat adat Tionghoa tidak seiring dengan Staatblaad 1917 No.129 yang menyatakan bahwa pengangkatan anak hanya dapat dilakukan oleh orang yang telah terikat atau pernah terikat perkawinan. Namun demikian praktek pengangkatan anak dalam masyarakat

(47)

adat Tionghoa di Kota Medan lebih sejalan dengan SEMA No 2. tahun 1979 jo No.6 Tahun 1982 yang menyebutkan bahwa pengangkatan anak dapat dilakukan oleh mereka yang memutuskan untuk tidak menikah atau tidak terikat dalam perkawinan.

Pengangkatan anak yang dilakukan oleh Jauhari Chandradan Amin Wijaya yang ditemui dalam pelaksanaan penelitian ini pada umumnya dapat dikatakan sebagai pengangkatan anak dengan cara tidak terang dan tidak tunai, karena pengangkatan anak dengan cara tidak terang dan tidak tunai, tidak dihadiri oleh pemuka adat dan tidak disaksikan oleh masyarakat setempat dan tidak tunai karena pengangkatan anak tersebut tidak dilakukan dengan pemberian atau barang. Selain itu, lainnya dilakukan dengan cara tidak terang dan tunai seperti pengangkatan anak dilakukan karena dalam pengangkatan tersebut hanya dihadiri oleh kedua belah pihak keluarga saja, tidak ada tokoh masyarakat yang di undang sebagai saksi dan tidak ada upacara adat yang dilakukan. Dalam hal pihak yang mengangkat anak tersebut memberikan sejumlah barang dan angpao kepada orang tua kandung anak tersebut sebagai simbol bahwa telah dilakukannya pengangkatan anak.76

Pengangkatan anak dalam masyarakat etnis Tionghoa khususnya dari suku Hainan di Kota Medan yang memperkenankan pengangkatan anak perempuan lebih sejalan dengan maksud dari SEMA No. 2 tahun 1979 jo SEMA No. 6 tahun 1983 tentang pengangkatan anak yang menyebutkan sahnya pengangkatan anak terhadap anak perempuan. Dalam kaitannya dengan calon anak angkat, para responden yang

(48)

berhasil ditemui mengatakan bahwa usia anak angkat pada saat diangkat berkisar antara 1 (satu) tahun hingga 5 (lima) tahun dan selisih anak angkat dengan orang tua angkatnya berkisar lebih dari 25 tahun. Dengan melihat praktek anak angkat tersebut maka dapat dikatakan bahwa responden lebih memilih mengangkat anak yang berumur dibawah 6 (enam) tahun serta mengangkat anak yang jauh lebih muda dibandingkan dengan usia orang tua angkatnya. Hal tersebut seiring dengan apa yang disebutkan dalam Staatblaad Tahun 1917 No. 129 yang menyatakan bahwa anak angkat sekurang-kurangnya harus berumur lebih muda dari laki-laki yang mengangkatnya dan sekurang-kurangnya 15 tahun lebih muda dari perempuan yang kawin atau janda yang mengangkat.

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa pelaksanaan pengangkatan anak menurut hukum adat Tionghoa termasuk dalam hal ini yang dilakukan suku Hainan di Kota Medan diawali dengan prosesi atau upacara adat, biasanya masyarakat Tionghoa yang melakukan pengangkatan anak akan membuat akta pengangkatan anak di hadapan notaris untuk digunakan sebagai alat bukti bahwa telah terjadi pengangkatan anak. Pada masyarakat etnis Tionghoa suku Hainan anak angkat dianggap selayaknya anak kandung sehingga memperoleh harta warisan dari orangtua angkatnya.

(49)

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kesiapan menghadapi menstruasi pertama ( menarche ) dengan kelekatan aman anak dan ibu dengan pada remaja

Berda- sarkan uraian tersebut, dapat disim- pulkan bahwa kemampuan komu- nikasi matematis siswa pada kelas yang menggunakan pembelajaran berbasis masalah lebih tinggi

7.2 Kondisi untuk penyimpanan yang aman, termasuk ketidakcocokan Bahan atau campuran tidak cocok. Pertimbangan untuk nasihat lain •

Respon siswa terhadap Lembar Kegiatan Siswa (LKS) adalah kriteria Sangat Layak sehingga LKS dapat digunakan sebagai media

permukaan lahan yang terdiri dari pohon, tumbuhan bawah dan serasah menunjukkan bahwa potensi biomassa total pada tegakan mangium (Acacia mangium Willd.) petak 14

Subyek dalam asuhan ini adalah Ny „‟N‟‟ G2P1A0 26 minggu kehamilan normal dengan nyeri punggung di PBM Dyah Ayu Amd.Keb Mojoagung jombang Hasil : asuhan kebidanan

10,5 g/ha memiliki daya kendali yang berbeda dengan herbisida paraquat 900 g/ha dan penyiangan mekanis sehingga dapat diketahui bahwa herbisida 1,8-cineole tidak mampu menyamai

 Manakala bagi pekerja yang berkhidmat lebih lima tahun tempoh juga antara yang cenderung yang mempengaruhi di antara faktor motivasi (motivasi ekstrinsik dan