• Tidak ada hasil yang ditemukan

Novel Gita Ning Nusa Alit ‘Nyanyian Hening di Pulau Kecil’ oleh Djelantik Santha (2003).

Novel ini merupakan lanjutan dari novel Sembalun Rinjani sebagaimana yang disampaikan oleh pengarang dalam atur pangaksama (kata pengantarnya). Kisahnya terbagi atas delapan episode. Bagian pertama diawali tentang jalinan asmara Gusti Ngurah Darsana seorang pegawai bank dengan seorang gadis Sasak

27

Lale Dumilah. Darsana adalah sosok idaman kaum perempuan, selain sudah bekerja Darsana adalah pemuda yang tampan, simpatik, dan sangat sopan. Namun demikian, Darsana terlanjur jatuh cinta kepada Lale Dumilah yang berbeda agama (Islam). Keadaan ini tentu membuat hati Lale Dumilah gundah, takut kalau tidak direstui dan dianggap murtad dan memang demikian adanya. Kepindahan tugas Darsana ke Atambua dan cintanya yang tulus membuat Lale Dumilah memutuskan untuk menikah dan ikut bersamanya. Setelah menikah, Lale Dumilah berganti nama menjadi Ratna Dumilah. Ratna Dumilah pun berganti agama dari Islam menjadi Hindu sesuai dengan agama Darsana. Walaupun kedua orang tuanya kecewa, namun pada akhirnya mereka disadarkan oleh anaknya Lalu Wiradana dan merestui perkawinan mereka.

Pernikahan mereka dikarunia seorang putra dan diberi nama Gusti Ngurah Anantha Bhuwana. Kelahiran Anantha Bhuwana membuat semua keluarga sangat bahagia. Hal ini terlihat ketika melakukan upacara untuk Anantha Buwana semuanya hadir. Ngurah Darsana juga berhasil mempertemukan dua bersaudara yang terpisahkan dan bahkan tidak saling mengenali oleh keadaan darurat (huru- hara) antara Wayan Galang dengan Meina Victoria. Kepindahan Darsana dari dari Atambua ke Rababima Kupang membuat keluarga Lale Dumilah senang karena memudahkan mereka untuk bertemu.

Lika-liku cinta dan kehidupan rumah tangga Ngurah Darsana dengan Ratna Dumilah diselingi dengan berbagai daya estetis lainnya seperti rasa cemburu kepada Darsana, penolakan dari keluarga besar Ratna Dumilah bahkan sebelumnya Ratna Dumilah sudah dipasangkan dengan sepupunya, Raden Nuna, seorang calon camat. Bahkan, karena cinta tak terbalaskan, Raden Nuna menggunakan ilmu hitam untuk

menghancurkan Ngurah Darsana dan Ratna Dumilah. Oleh karena belum takdir untuk mati, Ngurah Darsana dan Ratna Dumilah berhasil ditolong.

Kearifan Lokal dalam Gita Ning Nusa Alit: a) Salunglung Sobayantaka:

Ungkapan ini merupakan ungkapan budaya lokal masyarakat Bali tersebar secara luas baik kalangan buruh, petani, nelayan, seniman, pegawai negeri, dan sebainya. Ungkapan ini amatlah popular dapat diucapkan dimana saja, baik formal maupun informal, perseorangan maupun kelompok. Secara morfologis, ungkapan ini berasal dari kata salung-lung „sama-sama patah. Maksudnya, apa pun yang akan terjadi dalam mewujudkan cita-cita mereka, akibatnya akan ditanggung secara bersama. Kata sobayantaka berasal dari kata sa-+ ubaya + antaka. Sa- prefiks yang artinya se- dalam bahasa Indonesia, ubaya „janji‟, antaka „mati/meninggal‟. Dengan demikian salunglung sobayantaka berarti hidup yang senasib dan sepenanggungan (sehidup semati) (Tim Penulis, 1984: 142). Mirip dengan ungkapan ini, di daerah Minangkabau ada ungkapan sejenis, yang maksudnya kurang lebih sama. Adapun ungkapan yang dimaksud adalah: Mati anak berkalang bapak,

dalam mati bapak berkalang anak”, artinya „anak dan bapak hendaklah

tolong-menolong, sandar-menyandar dalam waktu kesusahan dan sebagainya (Pamuntjak, dkk., 2004: 341).

Secara tekstual, dalam novel Gita Ning Nusa Alit di wujudkan ketika Ratna Dumilah mengambil keputusan untuk menikah dengan Ngurah Darsana dengan konsekuensi Ratna Dumilah harus berhenti dari kuliahnya dan tidak direstui oleh kedua orang tuanya. Namun, cinta mengalahkan

29

segalanya, Ratna Dumilah mengambil keputusan itu sebagaimana dalam kutipan berikut ini.

Badah, ene mara ya tusing nawang unduk. Sing bisa dadi pengacara utawi pukrul. Ene Denda ane dadi pesakitan sawireh suba ngamaling isin jejeroan cange, hati, jantung, paru-paru kayang tresnan cange palinga. Jani pamidandane kaputus dadi kurenan/rabin cang Saumur hidup. Sing dadi belas yadiapin suka, duka, lara, pati yen dadi tunas apang mabarengan ane madan salunglung subayantaka”, kenten Gusti Ngurah saha nundikin gelanne ane milu bengong mirengang hukumane ane katiba teken dewekne. Mara raganne ngerti teken ujud pandikane Gusti Ngurah, lantas mabading ngelut, ngecup gelanne mawanti-wanti” (hal 22).

„Wah, ini tidak tahu masalah. Tidak bisa menjadi pengacara. Ini adinda yang

menjadi pesakitan/terdakwa karena telah mencuri jantung hatiku dan juga cintaku. Sekarang hukumannya adalah menjadi istriku seumur hidup. Tidak boleh berpisah baik dalam keadaan suka dan duka, hidup maupun mati agar selalu bersama seperti dalam ungkapan salunglung subayantaka / sehidup semati baik suka dan duka, demikian Gusti Ngurah sembari mencolek pacarnya yang terbengong-bengong mendengar hukumannya. Ketika tahu akan maksud perkataan Gusti Ngurah lalu berbalik memeluk, mencium pacarnya berulang-ulang”.

Perkataan Ngurah Darsana lalu dibalas oleh Ratna Dumilah seperti kutipan berikut ini.

Nggih, hukuman katerima. Nanging tiang masih patuh ngukum Tu Ngurah dadi rabin tiange salawase, tusing megatang tresnane kayang kawekas,

swarga nunut neraka katut” kenten Lale Dumilah matadah gugup sawireh

„Ya, hukuman diterima, tetapi saya juga akan menghuku Tu Ngurah (Darsana) menjadi suami saya selamanya, tidak memutuskan tali cinta selamanya, baik di sorga maupun di neraka harus bersama” demikian Ratna Dumilah seperti gugup karena Gusti Ngurah (Darsana) segera memeluknya sampai susah bernafas”.

Demikianlah ungkapan romantisme antara Ngurah Darsana dengan Ratna Dumilah. Semuanya diungkapkan dengan bahasa wajar dan lancar dengan pengandaian atau pemakaian bahasa hokum yang menandakan bahwa Ngurah Darsana adalah seorang yang terpelajar. Ungkapan cinta Ngurah Darsana sebaliknya dibalas dengan peluk cium sebagai tanda akan ketulusan cintanya. Pengungkapan salunglung sobayantaka dalam konteks kisah romantisme ini sangat tepat karena dalam ikatan perkawinan diibaratkan sebuah perahu yang akan berlayar mengarungi samudra luas kehidupan. Berbagai rintangan dihadapi bersama sehingga mencapai tujuan bersama dan kebahagiaan menjadi milik bersama. Hal ini ditegaskan dalam kutipan teks berikut.

… Cirin anak pinter kabisane ane bakat di sekolahan sinah patut ingetang

kayang kawekas. Nanging tresnane ane matemuang iraga nganti makurenan patut belanin kayang mati. Apa buin cara Denda ngajak tiang jani suba dadi aperahu, jalan layarin tuut tukade yadiapin mabias, mabatu-batu, nganti teked ka telenging samudrane tan patepi, ane dadi uleng tetujon saluiring

tukade ane ada di gumine….” (hal. 63).

„… Ciri orang cerdas adalah mampu menerapkan pengetahuan yang didapatkan di bangku sekolah dijadikan pedoman selamanya. Namun, cinta yang mempertemukan kita sampai kita menikah patut dibela sampai mati. Apalagi adinda dan saya sudah berada dalam satu perahu, marilah kita berlayar mengikuti arus sungai walaupun berpasir, berbatu-batu, sampai ke tengah samudra luas tiada tepi, yang menjadi tujuan dari semua tujuan

(aliran) yang ada di dunia ini….‟

Mengenai pelafalan istilah sobayantaka, ada juga yang mengucapkan sabayantaka atau pun subayantaka. Perbedaan pelafalan itu tidak membawa perbedaan arti. Istilah salunglung sobayantaka adalah ikrar/janji untuk saling mempertahankan prinsip yang telah ditetapkan, prinsip yang harus terus

31

dipupuk, dibela, dan dipertahakan demi tegaknya kesatuan bersama yang telah dibentuk bersama. Dengan demikian, dibutuhkan loyalitas yang kuat dan pengorbanan yang ikhlas sehingga seringkali memunculkan fanatisme dalam tindakan itu. Kesetikawanan antarindividu dalam kelompok benar- benar diuji. Semangat salunglung sobayantakan diharapkan menjadi modal pemersatu/perekat masyarakat sehingga mampu bertahan dari anasir-anasir asing yang bersifat negatif.

Dokumen terkait