• Tidak ada hasil yang ditemukan

5. Novel Suryak Suung Mangmung oleh Djelantik Santha (2007).

5.2 Strategi Pengarang

Strategi pengarang adalah cara pengarang untuk menyampaikan amanat yang akan disampaikan melalui karyanya itu agar bisa dipahami/ditangkap oleh pembaca. Strategi di sini menyangkut struktur karya sastra yang diperankan oleh tokoh-tokoh yang telah dipilih dan ditetapkan dalam urutan cerita. Adapun tokoh yang dimaksudkan itu baik sebagi tokoh utama (protagonis), tokoh sekunder (antagonis) maupun sampingan (tokoh pelengkap). Tokoh utama adalah tokoh yang menjadi sentral terjadinya peristiwa, baik dari segi latar (tempat, waktu) sekaligus yang menentukan insiden dan pola alur.

39

Pemberian nama seorang tokoh seringkali mencerminkan watak seorang tokoh yang berfungsi untuk menghidupkan, menjiwai,atau mengindividualisasikan sehingga memungkinkan terciptanya konflik-konflik cerita (narasi) sehingga tertarik untuk membaca atau menghayatinya. Oleh karena itu, Sudjiman (1986: 58) menyatakan bahwa penokohan merupakan penciptaan citra tokoh di dalam karya sastra yang sesungguhnya fiktif belaka. Kehebatan seorang pengarang ketika dia (pengarang) berhasil membawa pembaca masuk ke dalam karakter tokoh-tokoh ciptaannya itu, apakah pembaca bersimpati ataukan membencinya. Untuk itulah tokoh-tokoh harus dihidupkan. Nurgiyantoro (1995: 166) menyatakan bahwa penokohan dapat menggunakan beberapa cara sehingga dapat terungkap oleh (i) tindakannya, (ii) ujarannya, (iii) pikirannya, (iv) penampilan fisiknya, (v) apa yang dikatakan atau dipikirkan oleh tokoh cerita.

Saad (1967: 11) mengatakan bahwa ada tiga cara dalam menampilkan penokohan dalam karya sastra. Pertama, cara analitik, yakni pengarang memaparkan langsung tentang watak atau karkteristik tokoh dengan menyebutkan bahwa apakah tokoh itu keras hati, keras kepala, berhati lembut, dan sebagainya. Dalam hal ini, pengarang turut campur dalam melukiskan tokoh-tokohnya. Kedua, cara dramatik, yakni pengarang membiarkan tokoh-tokohnya mengungkapkan, menyatakan apa yang ada pada dirinya melalui ucapan, komentar, atau melalui penilaian tokoh lain. Ketiga, gabungan analitik dengan dramatik, yakni pengarang menampilkan tokoh- tokohnya secara analitik sekaligus dramatik, atau sebaliknya.

(1) Novel Gending Pengalu Karya Nyoman Manda

Sebagaimana yang telah disajikan dalam sinopsis dengan jelas dapat diketahui bahwa tokoh utamanya adalah Nyoman Sadia. Sebagai tokoh utama,

profesi seorang Sadia dijadikan judul novel ini, yakni sebagai seorang pangalu. Istilah pangalu ini merupakan merujuk pada profesi seorang pedagang keliling. Sebagai tokoh utama, dibutuhkan tokoh sekunder seorang gadis bernama Luh Widi. Kehidupan tokoh utama seorang Sadia dilukiskan dari bujang sampai menikah dengan Luh Widi dengan setting kehidupan tempo dulu ketika berdirinya kerajaan Gianyar. Kehidupan Sadia sebagai pedagang keliling membawanya bertemu dengan Luh Widi berlanjut dengan jalinan kisah kasih di antara mereka berdua dan akhirnya membawa mereka ke jenjang pernikahan. Sadia sebagai tokoh utama, tentu berperan sangat sentral dalam pola cerita. Munculnya tokoh antagonis seperti Bantar, seorang pemuda pemabuk yang cukup kaya di desanya menguatkan citra Sadia sebagai sosok idaman seorang gadis. Selain memiliki etos kerja yang tinggi, Sadia juga seorang tampan, tulus, serta berbakti pada Tuhan. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa tampilan tokoh dan penokohannya dilakukan secara implisit. Pembaca dibiarkan mencari pemahamannya sendiri untuk dapat mengenali dan memahami karakter- karakter dalam cerita. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa metode yang digunakan pengarang adalah dramatic. Sebagaimana nama tokoh utama, Nyoman Sadia, istilah sadia artinya „bahagia, berhasil‟ adalah seorang yang sangat percaya kepada Tuhan / Sanghyang Widhi Wasa (Hindu), di pihak lain Luh Widi, pacar Sadia dan kelak menjadi istrinya, juga orang baik dan taat beragama. Ungkapan di masyarakat seperti “usaha tanpa doa adalah sia-sia” adalah benar adanya sebagimana yang diisyaratkan dalam novel ini. Seorang pedagang keliling dengan usahanya tanpa kenal lelah akhirnya menemukan kebahagiaan bersama Luh Widi, yang menjadi inspirator dan penyemangatnya.

41

Novel ini menampilkan tokoh utama Wayan Landra dan Putu Arini serta beberapa tokoh sekunder seperti Gung Wirati, Dewa Raka, Gung Ratih. Sebagaimana telah disajikan dalam sinopsis, kedua tokoh utama ini menjalin kisah asmara yang romantis. Tokoh Landra digambarkan secara dramatik oleh pengarang sebagai seorang pemuda yang kalem dan ramah melalui ucapan pacarnya. Hal ini

bisa dilihat dalam kutipan berikut. “Gung Wirati ngusap-usap anak bagus kalem di sampingne” (hal. 98). Pengarang beberapa kali menggambarkan Landra dengan

sebutan “kalem” dalam berbagai peristiwa, misalnya saat akan melakukan pengibaran bendera merah putih (hal 6). Demikian juga dengan ciri fisik Landra tidak diungkapkan secara terang oleh pengarang, hanya secara sosiologis digambarkan sebagai kolektor lukisan di Ubud yang sangat terkenal.

Penggambaran tokoh Arini tidaklah sebanyak penggambaran tokoh Landra walaupun Arini sesungguhnya juga sebagai tokoh utama (protagonis). Namun, secara tekstual dapat dikatakan bahwa tokoh Arini dimunculkan secara dramatik. Tidak ditemukan penggambaran fisik dan karakter secara gamblang. Keceriaan Arini yang masih berstatus seorang pelajar SMA adalah wajar. Kelembutan hati Arini digambarkan ketika menasihati Landra agar hati-hati mengendai mobil karena tanjakan di seputaran Bedugul (hal 61).

(3) Novel-Novel Djelantik Santha: Gita Ning Nusa Alit, dan Suryak Suung Mangmung).

Kedua novel Djelantik Santha ini merupakan bagian dari trilogis novel yang diawali oleh Sembalun Rinjani. Antara novel Gita Ning Nusa Alit dengan novel Suryak Suung Mangmung berisikan masa kehidupan berumah tangga dengan berbagi

macam lika-likunya. Kedua novel tersebut masih mempertahankan I Gusti Ngurah Darsana, seorang pegawai bank, dan Ratna Dumilah (semasa bujang bernama Lale Dumilah), seorang gadis Sasak, akhirnya mereka menjadi suami istri yang serasi. Tampilan sosok Ngurah Darsana adalah idaman setiap gadis, perangainya lemah lembut, rendah hati, sabar, cerdas, perhatian, bertanggung jawab, beriman, dan suatu saat bisa juga santai melucu. Sesuai namanya, Darsana, dalam kosa kata Bali berarti

„contoh, teladan‟ (Kamus Bali-Indonesia, 1978: 145). Secara tekstual, karakter Ngurah Darsana seperti itu membuat dia disegani baik di kantor maupun di rumah. Sosok Ngurah Darsana selalu menjadi kunci pemecahan masalah, menjadi tempat untuk minta nasihat, dan sebagainya.

Tokoh utama Ratna Dumilah yang sebelumnya beragama Islam setalah menikah memeluk Hindu sesuai keyakinan Ngurah Darsana. Nama Ratna Dumilah secara tekstual juga menunjukkan karakter yang jujur, cantik, bersahaja, tepat menjadi penyeimbang dengan karakter Ngurah Darsana. Dalam budaya Bali kata

ratna” berarti „bunga ratna, mutiara‟; dumilah berarti „bercahaya, berkobar,

memancar, bersinar‟ (Kamus Jawa Kuna-Indonesia, 1998: 218). Perubahan keyakinan yang awalnya Islam seorang Lale Dumilah menjadi Ratna Dumilah yang menjadi Hindu adalah contoh yang baik dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Saling mengisi, toleran, suami menghargai istri, sebaliknya istri member rasa hormat dan penuh pengabdian.

Secara tekstual karakter Ngurah Darsana disajikan secara dramatik. Pembaca dipersilakan bebas untuk memahami Darsana dan juga karakter Ratna Dumilah yang diwujudkan dalam alur cerita yang rapat mulai awal cerita sampai akhir cerita. Karakter-karakter Ngurah Darsana sebagai tokoh idola dapat pula disimak melalui

43

penilaian tokoh lain (sekunder) sehingga pembaca lebih mudah untuk memahaminya. Berikut salah satu kutipannya.

Saja Denda. Tegarang pidenin. Amonto makelonne iraga gradag-grudug dini. Kaden Tu Ngurah sing taen culig macanda kaliwatan teken iraga. Apa buin ngalemesin. Enggalan iraga ane tusing tahan, bilang maekin raganne.”….

“Ooh, saja Luh.Tiang masih marasa buka keto. Tambis-tambis tiang tusing

tahan ngerasayang apang nyidang nuduk ulungan tresnanne Tu Ngurah. Sawireh caran raganne matimpal ngajak iraga makejang patuh. Yapin teken

Gek Sri, Luh Ade, Luh Purnama. Nganti tiang nyerah kalah”….. (Gita Ning

Nusa Alit: 3). Terjemahannya:

“Benar Denda (Ratna Dumilah). Cobalah pikiran. Demikian lama kita bergaul

di sini. Rasanya Tu Ngurah (Darsana) tidak pernah kelewatan bercandanya.

Apalagi merayu. Justru kita yang tidak tahan bila dekat dengannya”.

“Oh ya, benar Luh. Saya juga merasakan demikian. Hampir tidak tahan saya rasanya agar dapat mendengar kata cinta darinya. Hal itu karena caranya berteman semuanya sama. Baik terhadap Gek Sri, Luh Ade, Luh Purnama”.

Kutipan di atas adalah percakapan antara Ratna Dumilah ketika masih gadis dengan teman kosnya Luh Purnama. Tersirat betapa bijaknya seorang Ngurah Darsana karena dia tidak mau menyatakan cintanya kepada Ratna Dumilah dan bila hal itu dilakukan akan menyakiti perasaan Luh Purnama (yang juga jatuh cinta pada Ngurah Darsana). Ngurah Darsana sadar betul di antara mereka berdua, Ratna Dumilah dengan Luh Purnama adalah sahabat karib.

Dalam novel Suryak Suung Mangmung berisikan kehidupan rumah tangga memasuki tahap akhir ketika Ngurah Darsana mulai pensiun dan pulang kembali ke kampung halamannya di Desa Badeg Selat Karangasem. Dalam tahap ini karakter Ngurah Darsana semakin arif demikian juga istrinya Ratna Dumilah. Mereka berdua rajin bermasyarakat dan juga melakukan persembahyangan ke pura-pura yang sejak lama tidak pernah dijalaninya. Pembelajarannya terhadap ajaran agama semakin

diperdalam sehingga keyakinnya semakin bertambah juga. Disadari betul bahwa semakin tua memang harus semakin bijak dan mulai mendekatkan diri pada Tuhan. Peristiwa demi peristiwa disajikan secara terstruktur mulai awal cerita sampai akhir. Perannya sebagai sosok teladan ditunjukkan dengan baik oleh pengarang. Demikianlah deskripsi Ngurah Darsana dan istrinya Ratna Dumilah digambarkan secara implisit melalui alur cerita dan peristiwa-peristiwa yang melukiskan karakteristik ideal kehidupan berumah tangga.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pengarang dalam menggambarkan tokoh-tokoh dalam cerita dilakukan secara implisit. Bilamana nama-nama tokoh yang dihadirkan itu sesuai dengan karakternya yang direpresentasikan dalam cerita maka pengarang memilih dengan cara impisit atau dramatik. Sebaliknya, bila nama-nama tokoh tidak mengandung makna karakter dalam cerita, pengarang lebih memilih cara analitik. Namun demikian, kedua cara ini tidak mutlak diterapkan, di sana-sini secara parsial kedua cara ini digunakan secara bergantian.

45

Dokumen terkait