• Tidak ada hasil yang ditemukan

Novel sebagai Karya Sastra

Dalam dokumen BAB II KAJIAN PUSTAKA (Halaman 26-35)

Novel sering kali dijadikan sebuah objek penelitian kesusastraan. Sebagai salah satu produk sastra, muatan yang ada di dalam novel cukup padat. Selain itu, menggambarkan cerita fantasi pada wujud kata-kata atau tulisan, serta memiliki kompleksitas cerita. Kisah maupun cerita yang diangkat sedemikian rupa dan selalu mengikuti perkembangan zaman. Apa yang hadir di masa lalu, tidaklah sama dengan yang terjadi sekarang, sehingga novel secara tidak langsung juga dapat dikatakan sebagai sejarah kehidupan manusia di masa sebelumnya. Di sisi lain, Sugiarti (2009: 68) menyatakan bahwa sastra bukan sekadar terbentuk dikarenakan gejala-gejala dari kelugasan sebuah kehidupan, melainkan pula dari pengarangnya yang memiliki kesadaran bahwa sastra sebagai sesuatu yang fiktif, inventif, dan imajinatif. Di samping itu, karya sastra yang baik muncul bukan hanya memberikan kesenangan semata namun juga dapat dijadikan petunjuk serta memberi pesan moral kepada pembaca maupun penikmatnya. Novel menjadi produk sastra yang digemari banyak orang, karena membaca novel dapat merasakan kejadian dalam kehidupan.

Ramadhanti (2016: 9) mengatakan bahwa wujud-wujud prosa fiksi dapat dibedakan menjadi empat, yaitucerpen, roman, novel, dan novelet. Perbedaan dari masing-masing itu secara umum dapat dilihat dari panjang pendeknya cerita di dalamnya dan isi cerita yang secara inti atau poin penting ditampilkan. Semua bentuk tersebut dituangkan dalam bahasa tulis.Novel selalu diidentik dengan bahasa tulis. Pengarang menampilkan certa lewat kenyataan yang dapat diciptakannya dengan bebas dan tetap dapat dipahami oleh pembaca dengan konvensi yang tersedia baik itu konvensi bahasa

maupun konvensi sastra. Karya sastra mengungkapkan apa yang ada. Hal ini berarti bahwa karya sastra adalah karya fiktif, karena semua isinya dibuat atas dasar pemikiran pengarang atau sastrawan. Terdapat unsur rekayasa yang berdasar padaapa yangada dalam kehidupan sehari-hari.

2.4 Unsur Pembangun Novel

Berbagai macam unsur pembangun novel diklasifikasikan menjadi dua, yaitu unsur intrinsik dan ektrinsik. Unsur ekstrinsik adalah unsur yang hadir di luar novel, sedangkan unsur intrinsik adalah yang membentuk cipta sastra. Berikut dijelaskan beberapa bagian intrinsik yang lahir dalam novel (Siswanto, 2013: 145).

a. Tema

Tema adalah bagian inti yang melandasi dalam riwayat. Dalam sebuah kesusastraan, tema menjadi poin utama dalam membangun sebuah cerita. Sama seperti yangdikatakan oleh Siswanto (2013: 146) bahwa dari suatu cerita, tema adalah ide yang menjadi landasan atau dasar. Selain itu, karya rekaan yang diciptakan pengarang berperan menjadi sumbernya dalam menguraikanceritanya, seperti diungkapkan oleh Nurgiyantoro (1995: 68) bahwa yang menjadi dasar pengembangan semua cerita adalah tema, yaitu berkarakter menghayati secara keseluruhan bagian cerita. Berdasarkan pemikiran Nurgiyantoro, maka disimpulkan bahwa sebuah fiksi dapat dijiwai atau diwakilkan oleh kehadiran tema.

Di sisi lain, dalam tema membawa arti yang terkandung dalam sebuah cerita (Stanton dan Kenny (dalam Nurgiyantoro, 1995: 67). Pada hal ini, tema sebuah cerita pun bersifat individual sekaligus universal. Tema-tema sebuah cerita diambil sejauh mana tema dapat memberikan makna pada setiap peristiwa kepada pembaca. Tema dapat berupa satu fakta dari pengalaman kemanusiaan yang kemudian dieksplorasi. Bahkan, tidak sekedar berupa fakta yang disuguhkan, tetapi pula kepribadian salah satu tokoh mampu dipaparkan.

Di samping itu, Ratna (2014: 257) menyatakan bahwa dalam suatu perbuatan tertentu, tema menjadi sebagai masalah pokok. Dalam karya sastra, melalui naskah dari awal hingga akhir cerita dijabarkan melalui tema dengan menggambarkan masalah utama dan isi secara keseluruhan, yakni terlihat dalam judul. Dalam hal ini, pembaca mengetahui inti dari sebuah cerita dari tema yang telah dipilih oleh penulis. Dalam karya fiksi, tema menjadi gagasan sentral yang ingin dicapai. Hal ini sesuai dengan pernyataan Wicaksono (2014: 96) yang menyatakan bahwa yang menjadi ide dasar cerita dan ide sentral berasal dari tema. Seorang penulis harus mampu menguatkan tema yang mendasari sebuah cerita, sehingga hasil cipta sastranya dapat dirasakan oleh pembaca sekaligus mengetahui pentingnya cerita yang dibangun.

Berdasarkan beberapa pendapat yang telah dipaparkan, tema adalah bagian penting yang terdapat inti dari sebuah cerita yang disampaikan melalui peistiwa-peristiwa yang terjadi dari awal sampai akhir, karena dengan tema, pembaca dapat mengetahui apa yang akan disampaikan oleh penulis. Tema

sebagai rancangan awal pikiran pengarang dalam proses pelaksanaan dengan terlebih dahulu melaksanakan langkah kreatif penciptaan. Sedangkan dari segi penikmat sastra mengetahui dengan dalam terkait tema setelah menyelesaikan bacaannya. Keberadaan tema akan membuat pembaca dapat menemukan makna dari yang terkandung dalam suatu cerita yang sedang dibaca. Oleh karena itu, pengarang harus memikirkan tema dengan sebaik-baiknya sebelum menciptkan sebuah cerita, terutama cerita yang menggugah hati pembaca dan cerita yang memberikan banyak manfaat dan menyenangkan.

b.Alur

Dalam karya sastra, dikenal adanya jalan cerita yang dirangkai dengan menarik oleh pengarang. Plot yaitu serangkaian urutan karangan yang menguatkan sebuah cerita dalam karya sastra. Alur yang dibangun oleh pengarang berbeda-beda, sehingga ketegangan dan kejutan yang diberikan pengarang memberikan rangsangan emosional kepada pembaca. Abrams (dalam Siswanto, 2013: 144) mengatakan bahwa suatu cerita yang dirangkai dengan langkah-langkah peristiwa dengan kehadiran para pemain yang di dalamnya menjalin sebuah cerita disebut dengan alur. Suatu cerita dapat dikatakan menyenangkan karena adanya alur. Alur akan memberikan efek tertentu kepada pembaca, karena dalam alur terdapat ketegangan cerita, kejutan yang terkadang diluar khayalan pembaca, dan kekuatan cerita yang dibangun oleh pengarang sebagai ciri khas nya.

Siswanto (2013: 144) juga menjelaskan lagi bahwa rentetan cerita yang dibuat dengan teliti kemudian menggerakkan jalan cerita menuju

klimak dan selesaian disebut dengan alur. Di samping itu, Stanton (dalam Nurgiyantoro, 1995: 113) memaparkan bahwa cerita yang di dalamnya mengandung rentetan peristiwa, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain adalah alur. Rangkaian-rangkaian peristiwa dalam sebuah cerita saling memberikan penguatan, karena peristiwa satu dengan peristiwa yang lain saling berkaitan dan berhubungan yang dihubungkan dengan sebab akibat. Sama halnya dengan yang dikemukakan Kenny bahwa alur atau plot sebagai peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita tidak bersifat sederhana, karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan kaitan sebab-akibat. Alur berbeda dengan elemen-elemen lain, karena alur dapat membuktikan keberadaannya dalam sebuah cerita dengan hubungan kausalitasnya, sehingga mampu merangsang pertanyaan pembaca pada peristiwa selanjutnya.

Menurut Nurgiyantoro (1995: 114), bahwa plot atau alur merupakan cerminan berupa perjalanan tingkah laku para tokoh dalam melakukan aktivitas, berpikir berasa, dan bersikap dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan yang dialami. Sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Nurgiyantoro dapat dikatakan bahwa agar dapat dikatakan sebagai alur atau plot yang dapat memberikan pengaruh-pengaruh kepada pembaca, maka peristiwa-peristiwa yang dibangun harus ditata dengan baik, supaya tidak menimbulkan kemenotonan pada sebuah cerita. Peristiwa-peristiwa yang terlihat dalam pengurutan dan penyajian untuk memberikan efek emosional dan artistik tertentu.

Dalam cerita lama, alur dimulai dari pengenalan tokoh, konflik-konflik yang terjadi, komplikasi, klimaks, peleraian, dan diakhiri dengan tahap penyelesaian. Walaupun demikian, ada beberapa cerita yang tidak mempunyai tahapan alur seperti di atas, tergantung dari segi pengarangnya menciptakan dan menghidupkan cerita. Namun demikian, cerita akan lebih menarik dan menegangkan apabila semua tahapan alur digunakan. Berbeda pula pada cerita modern, alur tidak selalu dimulai dari pengenalan tokoh lalu diakhiri dengan penyelesaian yang bersifat terbuka ataupun tertutup. Beberapa cerita ada dimulai dengan konflik yang dialami tokoh dalam cerita, yang kemudian alur akan bersifat mundur untuk mengetahui cerita sebelumnya. Dalam hal ini, alur terbagi menjadi tiga bagian, yaitu alur maju, mundur, dan campuran.

Oleh sebab itu, menurut beberapa penjelasan terkait alur dapat disimpulkan bahwa alur atau plot merupakan serangakaian atau urutan peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita yang diciptakan oleh penulis dalam mengembangkan ceritanya. Rangkaian peristiwa yang ditampilkan dan diolah secara menarik dapat memberikan efek emosional dan artistik tertentu, karena dibangun dengan adanya hubungan sebab akibat yang saling mengubungkan peristiwa satu dengan peristiwa yang lain.

c. Tokoh dan Penokohan

Dalam dunia kesusasteraan dikenal, khususnya dalam dunia cerpen, novelet, novel, serta drama pastinya memiliki tokoh-tokoh yang berperan dan berkecimbung dalam cerita tersebut. Dalam cerita karya sastra

banyak sekali tokoh yang bermain peran dan menjadi objek utama, salah satunya tokoh. Tokoh adalah pelaku-pelaku atau pengemban cerita yang terdiri dari banyak karakter. Kehadiran tokoh-tokoh yang menarik dan khas menambah keunikan dan nilai tambah pada sebuah cerita, seperti yang dijelaskan Siswanto (2013: 129) bahwa orang yang melakukan peristiwa dalam cerita disebut tokoh.

Kehadiran tokoh sebagai pelengkap dari sebuah cerita karya sastra. Tokoh dalam cerita fiksi selalu mempunyai sifat, sikap, tingkah laku. Tokoh tidak hanya selalu manusia, tetapi binatang dan benda juga dapat menjadi tokoh dalam cerita fiksi. Berdasarkan keterlibatan dalam cerita. tokoh dapat dibedakan atas (1) tokoh utama, (2) tokoh tambahan, (3) tokoh bawahan (Sudjiman, Sukada, dan Aminuddin (dalam Siswanto, 2013: 129). Aminuddin (dalam Siswanto, 2013: 129-130) menyatakan bahwa dari kepribadian, tokoh terdiri atas tokoh dinamis dan tokoh statis Kemudian, dilihat dari watak yang dimiliki tokoh, Aminuddin pun membaginya dalam dua bagian, yaitu antagonis dan protagonis. Pada watak inilah yang sering membangkitkan emosional pembaca.

Peran pengarang mengenalkan tokoh-tokohnya sangat piawai. Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2013: 247) menegaskan bahwa dalam penggunaan istilah penokohan dalam berbagai referensi bahasa Inggris mengarah pada dua arah pengertian yang berbeda, yaitu sebagai tokoh cerita yang ditampilkan dan sebagai sikap karakteristik, keinginan, emosi, dan prinsip moral yang dimiliki tokoh tersebut.Penokohan adalah penghadiran tokoh-tokoh dalam cerita fiksi (novel) dengan cara langsung atau tidak langsung

dan mengandung pembaca untuk menafsirkan kualitas dirinya. Jones (dalam Nurgiyantoro, 1995: 165) mengemukakan bahwa pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita dikenal dengan penokohan. Dalam sebuah cerita, tokoh dalam cerita dapat memberikan kejutan pada pembaca. Di sisi lain Nurgiyantoro (1995: 166) menyatakan bahwa penokohan sekaligus menyaran pada teknik perwujudan dan pengembangan tokoh dalam sebuah cerita.

Penokohan adalah penghadiran tokoh atau pelaku dalam sebuah cerita fiksi (novel) dengan cara langsung atau tidak langsung dan mengundang pembaca untuk menafsirkan kualitas dirinya lewat kata dan tindakannya. Sastrawan atau penulis menghadirkan tokoh-tokoh dalam ceritanya melalui proses khayalan maupun terinspirasi dari berbagai pengalaman dan kisah yang pernah terjadi. Tokoh-tokoh yang dihadirkan akan muncul di berbagai suasana, tempat-tempat kejadian dan waktu-waktu yang sudah disiapkan untuk memberikan kejutan kepada pembaca.

d. Latar

Sebuah cerita akan memiliki beberapa latar sebagai pendukung cerita. Latar adalah rangkaian tempat, waktu, dan dan suasana yang terdapat dalam sebuah cerita. Latar ini menjadikan cerita karya sastra lebih bervariasi. Abrams (dalam Nurgiyantoro, 1995: 216) menyatakan bahwa landas yang merujuk pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dikenal dengan latar. Ia pun memberikan pijakan cerita secara konkret dan

jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca. Dalam hal ini, pengarang menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh ada dan terjadi. Pembaca dapat merasakan dan menilai kebenaran, ketepatan, dan aktualisasi latar sehingga merasa lebih akrab, seolah-olah latar itu pernah terjadi pada dirinya.

Membaca sebuah novel sama halnya seperti membawa diri masuk pada peristiwa yang ada dalam cerita. Pembaca akan bertemu dengan lokasi tertentu seperti nama kota, desa, jalan, hotel, penginapan, dan lainnya sesuai tempat kejadian cerita. Pembaca dapat menggunakan imajinasi dan berperan secara kritis terhadap pengetahuannya tentang latar. Latar dapat berwujud tempat, waktu, dan suasana. Latar dijabarkan melalui kalimat deskriptif. Deskripsi-deskripsi ini yang membuat atau membangkitkan emosional pembaca, karena cenderung ingin terjun dalam inti cerita. Menurut Siswanto (2013: 137), untuk mengembangkan cerita dibutuhkan kehadiran latar. Bagi sastrawan, latar dapat digunakan untuk menggambarkan watak tokoh, suasana cerita atau atmosfer, alur, atau tema ceritanya. Sedangkan bagi pembaca, latar cerita dapat membantu untuk membayangkan tentang tempat, waktu, dan suasana yang dialami tokoh.

Latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial. Latar tempat mengarah pada suatu tempat atau lokasi sebuah peristiwa terjadi. Sama halnya yang diungkapkan oleh Nurgiyantoro (1995: 227) bahwa lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi disebut latar. Sedangkan, latar waktu berkaitan dengan “kapan” terjadinya peristiwa dalam sebuah cerita fiksi. Dalam hal ini,

Nurgiyantoro (1995: 227) menyatakan bahwa masalah “kapan” itu biasanya dikaitkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Latar sosial menurut Nurgiyantoro (1995: 233) yaitu mengarah pada hal-hal yang berkaitan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat. Dalam hal ini, dengan penampakan latar sosial yang diciptakan oleh penulis akan semakin menambah nilai sisi cerita fiksi, karena pembaca menjadi tahu dengan gambaran kondisi sosial dalam sebuah karya fiksi.

Dalam dokumen BAB II KAJIAN PUSTAKA (Halaman 26-35)

Dokumen terkait