BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Bab ini akan mengulas tentang ide maupun teori-teori sebagai rujukan dalam pengkajian yang dilakukan. Sub bab kajian teori akan menguraikan terkait: (1) pandangan hidup, (2) agama, (3) hasil renungan, (4) keimanan atau akidah, (5) ketakwaan, (6) kebaikan atau kebajikan, (7) novel sebagai karya sastra, (8) unsur pembangun novel, serta (9) sastra dalam religiusitas. Berikut uraian penjelasan yang berkaitan dengan landasan teori tersebut.
2.1 Pandangan Hidup
Setiap manusia memiliki pandangan hidup yang dijadikan poros hidupnya.Pandangan hidup bersifat alamiah yang telah diberikan oleh Sang Pencipta kepada setiap insan. Manusia akan mudah menentukan tujuan dan cita-cita hidupnya dari pandangan yang dimilikinya, karena pandangan tersebut menentukan masa depannya,seperti yang dikatakan oleh Nasution, dkk. (2015: 163) bahwa pertimbangan yang dijadikan sebagai pegangan, pedoman, arahan, atau petunjuk hidup di dunia supaya dapat menjalani hidup yang lebih baik lagi dengan adanya pandangan hidup yang dimiliki.Manusia harus mempersiapkan pandangan hidup sejak dini, agar dapat menjalani hidupnya sesuai dengan harapan dan sesuai perintah penciptanya. Dalam hal ini, pandangan hidup atau yang sering dikenal dengan filsafat hidup membimbing manusia menjadi
hamba yang taat jika landasan yang dimiliki sudah teratur dan ditancapkan sejak ditanamkan dan dibiasakan dalam kehidupan sehari-hari.
Setiap manusia memiliki permasalahan yang berbeda-beda dan menyelasaikannya pun memiliki caranya masing-masing. Dalam hal ini, mereka mempunyai konsep dasar yang sudah melekat dan menjadi acuan untuk membimbing menjawab setiap permasalahan. Menjawab setiap permasalahan dapat dilihat dari pandangan hidup seseorang, karena ia merupakan landasan yang menuntun dan membimbing kehidupan manusia secara jasmani dan rohani. Seperti yang dipaparkan oleh Sarinah (2016: 16) bahwa konsep yang dimiliki individu atau kelompok masyarakat yang bermaksud menerangkan suatu masalah tertentu dikenal dengan pandangan hidup. Pasha, dkk. (2000: 54) memaparkan bahwa pandangan hidup adalah suatu keyakinan yang paling mendasar tentang makna hidup yang paling sebenar-benarnya, yang dari padanya digunakan sebagai pedoman berpikir dan bertindak. Sedangkan demikian,Prasetya, dkk. (1991: 182) memaparkan bahwa suatu landasan untuk membimbing kehidupan rohani dan jasmani manusia adalah pandangan hidup. Ia berguna bagi perorangan, kelompok atau masyarakat, bahkan negara. Di sisi lain, Mustofa (dalam Sarinah, 2016: 16) memaparkan bahwa pandangan hidup merupakan nilai-nilai yang menjadi acuan dan harapan baik bagi perorangan, kelompok masyarakat maupun bangsa. Mustofa mengklasifikasikan pandangan hidup dalam tiga kategori, yaitu (1) dari norma-norma agama, (2) ideologi negara, dan (3) berasal dari renungan atau falsafah hidup. Pandangan hidup ini merupakan bagian yang
internal dari kehidupan manusia, sehingga dapat dinyatakan bahwa tak ada seorangpun yang tidak memiliki pandangan hidup dalam mendasari kehidupannya. Sulismadi dan Sofwani (2011: 37) memaparkan bahwa hasil dari sebuah pemikiran dan pengalaman yang berwujud nilai-nilai kehidupan yang memberi nilai guna, sehingga dijadikan pegangan, pedoman, pengarahan, atau petunjuk hidup disebut dengan pandangan hidup. Selain itu, ia bukan hanya menjadi acuan hidup seseorang. Namun demikian, ia dapat menjadi acuan hidup bermasyarakat dan bernegara. Filsafat hidup yang dimiliki oleh suatu masyarakat dan negara mempunyai perbedaan masing-masing, hanya sama dalam hal tetap menjadi masyarakat dan negara yang bermoral, menjunjung tinggi landasan tersebut, dan menerapkan aturan pencipta penuh dengan kecintaan dan keikhlasan.
Pandangan hidup tidak memandang suatu golongan dan tingkatan manusia, ia dapat dapat dicapai oleh siapa saja. Oleh sebab itu, perlu setiap individu dan semua golongan memiliki pedoman hidup, apalagi pandangan hidupnya berlandaskan pada Sang Pencipta. Landasan yang didasari keimanan dan ketawaan kepada Sang Rabb akan mengantarkan pada nilai-nilai kebajikan. Pandangan hidup yang mutlak dari Sang Kuasa menjadi nilai utama dalam hal ini. Kemudian, pandangan hidup yang dijadikan ide-ide dengan disesuaikan nilai budaya dan norma yang berlaku di suatu wilayah menjadi nilai penting bagi suatu negara. Terakhir, pandangan hidup dari hasil pemikiran yang kemudian mengantarkan pada nilai-nilai kebajikan. Nasution, dkk. (2015: 165) mengatakan bahwa pandangan
hidup dapat diklasifikasikan berdasarkan asalnya yaitu terdiri dari tiga macam, yaitu:
1) Pandangan hidup yang berasal dari agama yaitu yang mutlak kebenarannya.
2) Pandangan hidup yang berupa ideologi yaitu yang disesuaikan dengan kebudayaan dan norma yang berlaku dalam suatu negara.
3) Pandangan hidup hasil renungan adalah kebenarannya relatif.
Berdasarkan pendapat Nasution, dkk. (2015: 165) bahwa pandangan hidup mempunyaimakna yaitu merupakan konsep hidup seseorang atau sekelompok masyakarakat yang mengandung nilai-nilai luhur yang menjadi pedoman dan harapan untuk perindividu, masyarakat, bangsa, dan negara. Dalam hal ini, pedoman yang dihasilkan akan menjadi nilai-nilai yang tinggi. Pandangan hidup tidak timbul dalam waktu yang singkat, tetapi melalui proses waktu lama dan berkelanjutan, sehingga dapat diuji kenyataannya dari hasil pemikiran yang telah diperoleh.
Pandangan hidup menjadi kunci utama bagi setiap individu dalam menjalankan segala aktivitas, terutama dalam perihal agama. Pandangan hidup yang terarah dengan baik akan membimbing seseorang melaksanakan aktivitas agamanya dengan menyertakan penciptanya di setiap kehidupannya. Di samping itu, orang akan merenungi setiap perbuatannya dengan pedoman yang sudah diyakini. Hasil dari perenungannya secara menyeluruh dan terarah dengan baik akan menjadikan orang menghasilkan setiap perbuatan yang mendatangkan kebahagiaan, karena pandangan hidup yang yang teguh yang diyakini.
Meskipun, dalam setiap menghadapi kesulitan, orang itu akan selalu ingat Sang Penciptanya yang dilandasi ketaatan. Dalam hal ini, dikarenakan pandangan hidup juga sebagai pelindung kehidupan orang dalam setiap melakukan aktivitas kepada Sang Pencipta, sesama manusia, dan diri sendiri. Oleh sebab itu, pandangan hidup harus disertai dengan iman yang kuat, agar dalam melakukan tindakan tidak gegabah dan tidak mengarah pada hal-hal yang negatif. Pandangan hidup dengan landasan iman sebagai penguatnya dapat dipertahankan ketika meyakini agamanya dan menancapkan ajaran agamanya dalam dirinya. Agama yang dijaga dengan baik akan menjauhkan orang-orang dari hal-hal negatif. Maka dari itu, manusia yang menjaga keyakinannya dapat mengendalikan segala perbuatan dan pandangannya.
2.1.1 Agama
Manusia yang terlahir ke dunia memiliki satu kepercayaan untuk memuja siapa pemilik dirinya. Dalam hal ini, kepercayaan tersebut ada manusia yang mengikuti jalan kepercayaan orangtua dan keluarga atau mencari sendiri sesuai dengan kemantapan diri yang sebelumnya melakukan perenungan, bahkan tidak sedikit dari manusia yang lebih memilih tidak memiliki kepercayaan terhadap Tuhan. Kepercayaan yang dilandasi keimanan terhadap Sang Pencipta itulah agama. Agama merupakan sistem yang mengatur kehidupan manusia serta hubungannya dengan diri sendiri, sesama manusia, dan Tuhannya. Agama menjadi satu poros hidup untuk menuntun hidup dan sebagai jati diri individu maupun
kelompok masyarakat. Wahyuddin, dkk. (2009: 12-13) menyatakan bahwa agama mengandung pengertian menguasai, ketaatan, dan balasan. Dalam hal ini, agama diartikan suatu sistem kepercayaan kepada pencipta, suatu penyembahan kepada Tuhan, dan suatu sistem nilai yang mengatur hubungan manusia dengan penciptanya (hubungan vertikal) dan hubungan manusia dengan manusia (hubungan horisontal).
Agama juga yakni dikatakan sebagai sesuatu yang dirasakan dengan menyeluruh dalam hati, pikiran, dan pelaksanaan dalam suatu tindakan, serta terlihat dalam sikap dan cara menghadapi hidupnya. Selain itu, agama diartikan juga sebagai sebuah sistem hubungan yang dihayati manusia dan mengatasi alam ciptaan Sang Pencipta. Dalam kamus An English Reader’s Dictionary, A.S Homby dan Parnwell (dalam Wahyuddin, dkk., 2009: 12) memaparkan agama dalam dua kategori, yaitu (1) kepercayaan kepada Tuhan sebagai yang menciptakan dan mengatur alam semesta, dan (2) sistem penyembahan yang didasarkan atas kepercayaan tertentu. Sedangkan demikian, menurut Majid, dkk. (1991: 71) menyatakan bahwa dalam Islam terdapat tiga tema yaitu Tuhan, manusia, dan alam. Apakah dia harus iman, Islam, dan beramal saleh. Dalam Islam, pandangan hidup harus berdampingan dengan tiga tema tersebut yang kemudian berdampingan atau beriringan dengan keimanan, akidah, dan amal saleh yang ditujukan dengan kebaikan atau kebajikan, karena ketiga unsur tersebut merupakan satu kesatuan yang memang menghasilkan seorang manusia berkualitas dihadapan Rabbnya. Islam sebagai agama sekaligus ideologi yang baik dan diridhai Allah,
mempunyai nilai lebih dari yang lainnya. Manusia di dunia dengan berpandangan hidup yang dilandasi dengan dorongan dan kemantapan akidah (keimanan) menjadikan ia tidak tersesat dalam menuntun kehidupan bahagia dunia dan akhirat. Sedangkan demikian, akhlak dan kebajikan merupakan hasil dan mengikuti keimanan yang sudah tertancap baik.
Agama sebagai suatu keyakinan yang menghubungkan manusia dengan Sang Penciptanya. Manusia mengenal penciptanya dengan pencarian jati dirinya dengan penuh penghayatan yang berdampingan dengan sikap hidup yang hakikatnya hanya pada Tuhan. Manusia tidak hanya mempercayai keberadaan Tuhan saja, tetapi juga melaksanakan semua perintah yang diwajibkan dan meninggalkan yang dilarang-Nya. Seperti ungkapan Gazaiba (Wahyuddin, dkk., 2009: 12) yang menyatakan bahwa kepercayaan pada hubungan individu dengan yang kudus, dihayati yang gaib, hubungan yang menyatakan diri dalam wujud serta sistem kultus dan sikap hidup berdasarkan doktrin tertentu disebut agama. Rachmat dan Wulandari (2004: 67) menyatakan bahwa sikap dan tindakan manusia yang dilakukan sesuai dengan perintah pada dasanya adalah agama.Muhammadin (2013: 101) mengemukakan bahwa agama mempunyai makna tidak kacau. Makna tersebut dapat dipahami dengan melihat hasil dari peraturan- peraturan agamakepada pemeluknya.Agama sebagai lembaga atau wadah yang menyatukan dan mengatur berbagai aktivitas ada hubungannya dengan pengungkapan dan penghayatan keimanan terhadap Allah. Dalam hal ini, manusia melakukan segala aktivitas merujuk aturan-aturan agama yang
dianutnya. Namun demikian, agama tidak hanya sekedar mengatur aktivitas terhadap Tuhan, tetapi juga mengatur aktivitas sosial terhadap manusia lainnya.
Salah satu agama yang menjadi pokok pembahasan adalah Islam. Kata ‘’Islam” berasal dari kata aslamayang bermakna berserah diri atau penyerahan diri secara totalitas kepada Sang Ilahi (Mahmudunnasir, 2005: 3). Dalam hal ini, Islam tidak hanya berarti berserah diri, ketenangan, kedamaian, keselamatan, tetapi juga di dalamnya juga terdapat berbuat kebajikan atau kebaikan. Selain mengakui dan meyakini adanya Allah sebagai Sang Pencipta, pemeluk agama Islam diajarkan untuk senantiasa berbuat kebaikan terhadap orang lain. Pada hakikatnya, Allah menciptakan manusia tidak hanya sekadar berinteraksi dengan Sang Pencipta, tetapi berinteraksi dengan antar manusia. Hal ini, karena manusia tidak dapat lepas dari hidup sendiri. Akan tetapi, saling melengkapi dan menolong. Manusia yang bangkit dengan pemikiran yang menyeluruh akan memperoleh keyakinan atas agamanya, kemudian menjaga agama menjadi suatu hal yang sangat penting bahkan mencerminkan kepribadian diri sebagai bentuk komitmennya.
Agama akan mengantarkan kebahagiaan dunia dan akhirat bagi pemeluknya yang taat dalam melaksanakan perintah Tuhan. Seperti yang diungkapkan oleh Sugiarti (2016: 91) bahwa pada dasarnya Islam adalah agama yang mengajarkan tentang kejujuran dan Islam mengandung estetika. Islam membawa keharmonisan dalam kehidupan dunia dan akhirat. Dalam agama tidak hanya ritualitas saja. Namun, agama mengatur
hubungan individu dengan sesama individu dan hubungannya dengan dirinya sendiri. Setiap pemeluk mengaplikasikan ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari dengan pedoman yang sudah dimiliki dan diyakini. Dalam hal ini, pedoman tersebut berbeda-beda dalam setiap agama. Namun demikian, memiliki tujuan yang sama yakni mencapai bahagia dunia akhirat. Oleh sebab itu, semua perbuatan dan sikap hidup manusia distandarkan pada agama mereka.
Pengertian agama dalam pengertian terminologi bahwa agama bermakna sebagai sekumpulan keyakinan, norma, dan hukum yang akan mengantarkan manusia kepada kebahagian hidup di dunia dan akhirat. Agama merupakan sistem keyakinan yang di dalamnya terdapat aturan untuk hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan manusia, dan manusia dengan dirinya yang dilandasi dengan keimanan kepada Tuhan yang menjadi jati diri bagi pemeluknya dan pemeluk agama tersebut konsekuen melaksanakan segala kewajiban dan meninggalkan yang telah dilarangoleh Tuhan sebagai bukti kecintaan dan mengakui Tuhan sebagai pencipta yang mutlak dengan ditanamkan suatu pandangan hidup terhadap keimanan kepadaTuhan. Dalam hal ini, dapat dilihat bahwa setiap pemeluk yang sadar dengan keyakinannya terhadap Tuhan, maka akan sangat menjaga keyakinannya dan akan selalu menyertakan Tuhan dalam setiap perbuatannya, bahkan akan selalu bergantung dengan Sang Pencipta.
Sama halnya yang diungkapkan oleh Sugiarti (2016: 92) bahwa pada manusia mempunyai ketergantungandengan Tuhan, karena ia memiliki kesadaran bahwa Tuhanlah yang menjadikan dirinya sebagai makhluk yang
mampu melaksanakan perbuatan dalam rangka berhubungan dengan Tuhan dan kepada sesama manusia.Hal ini akan mengakibatkan melahirkan manusia-manusia yang berkualitas dan melakukan perbuatan baik. Memperoleh kualitas yang baik sebagai manusia melalui banyak proses, salah satunya melakukan perenungan terhadap dirinya. Perenungan-perenungan yang dilakukan sebagai proses dalam pencarian dan memilih yang baik dan buruk. Aktivitas merenung ini akan berhasil tatkal manusia melakukan secara menyeluruh dengan pemikiran yang mendalam, sehingga,diperoleh keputusan dan tindakan yang tepat sesuai perintah Sang Pencipta.
2.1.2 Hasil Renungan
Setiap individu tentunya pernah merenung. Kadar renungannya pun berbeda antara satu sama lain, meskipun objek yang direnungkan serupa. Merenung atau renung artinya dengan diam-diam memikirkan sesuatu dengan dalam-dalam (Mawardi dan Hidayati, 2007: 162). Merenung merupakan suatu kegiatan yang mengevaluasi segala pengetahuan yang telah dimiliki dengan menggunakan proses berpikir. Dalam hal ini, proses berpikirnya logis dan analitis. Berpikir menrupakan kegiatan untuk mencari, menelaah, mengkritisi untuk menyusun pengetahuan atau jawaban yang benar.
Pandangan hidup yang melekat dalam diri seseorang hasil dari kegiatan perenungan manusia. Pandangan hidup yang merupakan arah menjadi tujuan dan pedoman hidup, tentunya manusia memikirkan secara matang, logis, dan sesuai dengan pedomannya. Dalam hal ini, orang yang
beragama Islam mempunyai pedoman berupa Alquran dan sunnah. Pandangan hidup ini akan menentukan kehidupan seseorang yang menjalani kehidupannya. Dalam hal ini, pandangan hidup dari hasil renungan setiap orang berbeda-beda, karena proses berpikir yang dilalui. Sulismadi dan Sofwani (2011: 40-44) pandangan hidup memiliki banyak macamnya, salah satunya pandangan hidup hasil renungan. Unsur-unsur pandangan hidup hasil renungan yaitu:
a. Cita-cita
Cita-cita adalah apa yang ingin dicapai dengan usaha atau perjuangan yang akan ditempuh dengan optimal untuk memperolehnya. Kebajikan merupakan tujuan yang ingin dicapai (Nasution, dkk., 2015:163). Harapan yang ada dalam pikiran atau hati seseorang dikenal dengan cita-cita. Keinginan ini dilandasi oleh nafsu yang hadir dari berbagai macam kebutuhan. Cita-cita ini mesti mampu diwujudkan atau dicapai dengan usaha atau perjuangan yang dikerjakan secara optimal (Sulismadi dan Sofwani, 2011: 40).
Setiap orang tentunya memikirkan dan memiliki cita-cita dalam hidupnya, bahkan sampai tataran mengatur strategi untuk dapat mencapai cita-cita tersebut. Cita-cita berasal dari perasaan hati yang merupakan keinginan untuk mencapainya. Seperti yang diungkapkan oleh Prasetya, dkk. (1991: 175) bahwa setiap individu memiliki keinginan yang terkandung dalam hatinya. Cita-cita merupakan bagian dari salah satu unsur pandangan hidup manusia, yaitu sesuatu yang ingin dicapai manusia melalui usaha yang sungguh-sungguh. Meskipun demikian, dalam
mencapai cita-cita setiap orang berbeda-beda dalam melakukannya. Oleh sebab itu, dalam mencapai cita-cita juga diperlukan wawasan yang luas dan keyakinan yang kuat agar hasilnya tidak megarah pada hal-hal negatif. b. Kebajikan
Kebajikan bermakna kebaikan, sesuatu yang dapat menghadirkan kebaikan, keberuntungan, keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan. Kebaikan atau kebajikan menjadi tujuan individu mencapai kebahagiaan dunia akhirat. Selain itu, juga wujud dari cita-cita atau yang dicita-citakan. Dalam melakukan perbuatan bajik, terdapat dua sumber yaitu kebajikan manusia dan kebajikan Tuhan. Kebajikan manusia adalah usaha atau perjuangan individu, baik dilakukan sendiri ataupun secara bersama-sama. Kebajikan juga merupakan sebuah karunia dari Allah. Bagi orang yang tidak percaya Tuhan, maka tidak mengakui adanya kebajikan Tuhan. Kebajikan dapat berupa tingkah laku atau dapat berupa benda berbentuk atau benda yang tidak berwujud atau tidak terlihat (Sulismadi dan Sofwani, 2011: 42).
Kebajikan adalah sesuatu yang berkaitan dengan hal baik yang dapat membuat manusia itu tentram, sejahtera, dan bahagia (Nasution, dkk., 2015: 163). Manusia melakukan kebajikan sebagai hasil perenungan terhadap kehidupannya. Pada hakikatnya, manusia menginginkan kebahagiaan setelah hasil perenungannya dapat terealisasi dengan baik. Manusia dengan kesadaran penuh dan pandangan hidup yang dimilikinya akan bergerak melakukan kebajikan penuh ketulusan. Mengingat bahwa dalam Islam ditekankan untuk selalu berbuat baik terhadap sesama.
Perbuatan kebajikan akan mengantarkan orang-orang pada kebahagiaan akhirat.
c. Usaha atau Perjuangan
Setiap orang akan melakukan segala upaya untuk mendapatkan apa yang diinginkannya dengan mencurahkan segala kemampuannya. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang melaukan pengorbanan demi yang diinginkan. Kerja keras yang didasari oleh keyakinan dan kepercayaan dikenal dengan usaha atau perjuangan (Nasution, dkk., 2015: 163). Usaha atau perjuangan ialah kerja keras untuk mewujudkan sebuah cita-cita. Orang-orang yang telah memiliki pandangan hidup kuat terhadap sesuatu, maka mereka akan berusaha melakukannya dengan sepenuh hati. Meski, terkadang usaha yang dilakukan ada yang bernilai buruk dan baik. Oleh sebab itu, sebagian besar waktu manusia hidup digunakan untuk melakukan usaha atau perjuangan atau bekerja. Pada poin utamanya bahwa kerja keras itu menghargai dan meningkatkan harkat dan martabat manusia (Sulismadi dan Sofawani, 2011: 43).
Manusia yang menginginkan kesejaheteraannya dalam kehidupannya, maka harus bekerja keras dan berusaha untuk meraihnya. Namun, manusia dibatasi oleh kemampuannya saat bekerja keras. Dalam hal ini, keterbatasan kemampuan manusia memunculkan perbedaan tingkat kesejahteraan setiap manusia dengan mausia lainnya. Usaha atau perjuangan merupakan salah satu unsur pandangan hidup manusia. Dalam hal ini, manusia yang memiliki pandangan hidup dalam suatu hal, maka manusia akan berusaha untuk memenuhi atau mewujudkannya.
d. Kepercayaan
Kepercayaan adalah sistem yang dianut oleh seseorang atau sekelompok orang. Liliweri (2002: 152) menyatakan bahwa kepercayaan adalah bagian dasar atau komponen pola budaya yang penting. Keragaman keyakinan dan kepercayaan mampu membantu orang untuk merasa turut dalam banyak atau sedikit kejadian, atau justru mengendalikannya. Di sisi lain, Effendi (2009: 371) memaparkan bahwa sistem kepercayaan dan ajaran budaya spritual adat atau kesukubangsaan dari kelompok kepercayaan, berakar pula budaya spritual leluhur adanya yang ada sebelum adanya aliran ajaran keyakinan. Kepercayaan melekat pada seseorang atau sekelompok karena warisan turun-temurun dan memiliki keyakinan padanya yang akhirnya menjadi sebuah pemikiran kental dan doktrin yang dijadikan acuan. Menurut Prasetya, dkk. (1991: 232) bahwa mengakui adanya kebenaran berasal dari sebuah kepercayaan. Kepercayaan sebagai hasil dari pandangan hidup manusia terhadap suatu hal yang didasarkan oleh kondisi setiap individu dan konteks sosialnya. Seseorang atau sekelompok orang secara terbiasa pun akan melakukan kepercayaan tersebut karena telahmelihat kondisi yang sudah menjadi rutinitas atau budaya setempat.
2.1.3 Keimanan atau Akidah
Keimanan sering disebut dengan mengakuisecara lisan dan membenarkan dalam hati terkait adanya Allah. Sehingga, menghadirkankeyakinan yang diterapkan dalam perbuatan. Marzuki (2002:
103) memaparkan bahwa akidah adalah sebuah sistem kepercayaan manusia kepada Islam. Seorang manusia disebut muslim ketika dirinya dengan penuh kesadaran dan ketulusan bersedia terikat dengan sistem kepercayaan Islam. Karena itu, akidah atau keimanan merupakan ikatan, kunci utama, dan sampul besar Islam yang utama.
Keimanan dilandaskan enam rukun iman, yakni meliputi keimanan kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab, para rasul, hari akhir, dan iman kepada qada’ dan qadar (Hudorrahman, 2012: 4). Berdasarkan pondasi keimanan itu, maka hubungan setiap muslim kepada Islamh harusnya ada pada setiap jiwa setiap muslim adalah:
a. Meyakini bahwa Islam adalah agama terakhir, yang memiliki syariat yang menyempurnakan hukum-hukum yang diturunkan Allah terdahulu.
b. Meyakini jika hanya Islam sebagai agama yang benar di sisi Allah. Ia datang membawa kebenaran yang bersifat absolut untuk menjadi petunjuk hidup dan kehidupan manusia.
c. Meyakini bahwa Islam adalah agama yang umum serta berlaku untuk semua manusia dan mampu menjawab semua permasalaha yang timbul di kehidupan lapisan masyarakat dan sesuai dengan fitrah manusia. Menurut Al-Bana (dalam Hamdi, 2016: 7) mengemukakan bahwa ruang lingkup pembahasan akidah meliputi: (1) ilahiah, yaitu yang mengulas terkait semua sesuatu yang berkaitan dengan Rabb (pencipta), misal bentuk Allah, asmaul husna dan sifat yang dimiliki Allah, dan lain-lain, (2) Nubuwwah, yaitu suatu topik tentang segala hal yang memiliki
hubungan dengan nabi dan rasul, dan sebagainya, (3) Ruhaniah, yakni hal yang membahas yang berkaitan dengan sesuatu yang memiliki keterkaitan dengan alam metafisik, seperti malaikat, jin, iblis, setan, dan ruh, (4) Sam’iyah, yaitu pembahasan tentang sesuatu yang berkaitan dengan dalil naqli berupa Alquran dan Sunnah. Dalam hal ini, inti pokok dari keimanan atau akidah meliputi enam rukun iman, yaitu (1) mengimani Allah, (2) beirman kepada malaikat-malaikat-Nya, (3) mengimani kitab-kitab-Nya, (4) beriman kepada rasul-rasul-Nya, (5) mengimani hari akhir, (6) dan beriman kepada qada dan qadar.
Keimanan yang kokoh dan memegang teguh atas enam rukun iman, akan menuntun dan membimbing orang-orang dalam melakukan tindakan atau perbuatannya. Manusia sebagai ciptaan Tuhan, selain memiliki dorongan kebutuhan hidup, juga memiliki dorongan kebutuhan rohani. Atas dasar keimanan itu lah, orang-orang mengharapkan kebaikan, kebahagiaan, kesejahteraan, kepuasan dalam melakukan segala perbuatan yang sesuai dengan standar ketetapan Sang Penciptanya. Seperti yang dikemukakan oleh Mawardi dan Hidayati (2007: 181), bahwa keperluan rohani meliputi kesejahteraan, kebahagiaan, kepuasan, hiburan, dan sebagainya. Keimanan tidak sekadar mengucapkan percaya atau meyakini Sang Pencipta. Akan tetapi, ada tindakan atau sikap yang ditunjukkan sebagai bukti telah meyakinkan dirinya terhadap segala perintah Sang Pencipta. Keimanan seserang akan terlihat dari ketakwaannya kepada Sang Pencipta, karena takwa ini lah yang akan membedakan manusia satu
dengan yang lainnya. Bahkan, dua aspek ini tidak dapat dipisahkan, karena keterkaitannya yang selalu berdampingan.
2.1.4 Ketakwaan
Menurut bahasa Arab makna takwa ialah menjaga diri dari hal-hal yang ditakuti. Adapun pengertian takwa menurut syara ialah meninggalkan sesuatu yang dilarang oleh Allah dan mengerjakan sesuatu yang diperintahkan Allah. Dalam hal ini, sesuatu yang bernilai buruk di sisi Allah, manusia wajib meninggalkan, sebaliknya jika hal tersebut bernilai positif maka manusia melaksanakan yang sudah menjadi perintah Allah. Nabi Muhammad SAW pun memerintahkan kepada manusia untuk bertawakal seperti yang diriwayatkan oleh Ahmad, at-Tirmidzi, dan Abu Dzar yang berbunyi “Bertawakalah kepada Allah di mana saja kamu berada dan lakukan kebajikan sesudah kejahatan agar kejahatan itu terhapus dan bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang baik”. Takwa menuntut supaya setiap individu mempererat tali hubungan antara manusia dengan sesama manusia dan antara manusia dengan Tuhan. Menurut Kartini (2012: 26) menyatakan bahwa takwa adalah tabiat jiwa seseorang yang berintikan kesadaran ketuhanan dan perilaku muslim dalam menjaga, memelihara, dan melindungi dirinya dalam hubungan dengan Allah. Dalam hal ini, takwa merupakan pokok asasi ajaran Islam. Takwa merupakan hasil dari buah keimanan yang dipegang teguh oleh umat muslim. Takwa menjadi modal utama bagi setiap muslim, bekal yang paling baik dalam mengurusi urusan duniawi dan ukhruwi. Sedangkan
Saichon (2017: 42) menyatakan bahwa para enskilopedi mengatakan akar kata takwa adalah memelihara dan menjaga. Seseorang akan memelihara perbuatan baik dan menjaga perbuatannya supaya terhindar dari kemaksiatan. Dalam hal ini, menjaga hubungan dengan Allah dengan menjadi insan manusia yang taat melaksanakan perintah dan menghindari apa yang dilarang-Nya. Di sisi lain, menjaga hubungan baik dengan manusia dengan senantiasa melakukan perbuatan baik dan menyayangi tanpa belas kasih.
Takwa yang menjadi sumber penggerak kepada setiap individu untuk berbuat bajik atau kebaikan dan mencegah berbuat jahat dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini, ketakwaan merupakan hasil dari proses keimanan yang telah dipegang teguh oleh pemiliknya. Ketakwaan bukanlah ucapan, tetapi merupakan tindakan konkret. Tindakan nyata yang dilakukan manusia merupakan wujud dari keimanan yang sudah melekat dalam individu. Dalam hal ini, ketakwaan dilakukan dengan keikhlasan. Farid (2008: 23-24) memaparkan pengertian beberapa takwa berdasarkan makna dasar takwa, yaitu:
1) Khasyyah (takut berbalut cinta) dan haibah (takut berbalut pengagungan). Dalam surah Al-Baqarah: 41 yang berbunyi “KepadaKu hendaknya kalian bertakwa”, dan dalam surah Al-Baqarah: 281 yang berbunyi “Takutlah kalian dari (adzab yang terjadi pada) pada hari yang pada waktu itu kalian dikembalikan kepada Allah”.
2) Taat dan ibadah. Dalam surah Ali-Imran: 102 yang berbunyi “Hai orang-orang yangberiman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya”.
3) Membersihkan hati dari berbagai dosa atau taubat. Firman Allah yang tertuang dalam Surah An-Nur: 52 yang berbunyi “Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, mereka itulah orang-orang yang mendapat kemenangan”. Ketakwaan menjadi tingkatan tertinggi seseorang dalam Islam, bahkan menjadi tujuan hidup manusia untuk menjadi makhluk Allah yang taat, karena Islam tidak hanya sekadar keimanan dan ibadah ritual yang sudah melekat dan menjadi kebiasaan sehari-hari. Namun lebih dari itu, Islam merupakan sistem yang menyeluruh menyangkut pemikiran dan tindakan bagi pemeluknya. Hal ini senada yang diungkapkan oleh Arif (2016: 146) bahwa tujuan hidup manusia hanya terkait pada hal nilai yang di bawanya yaitu sikap takwa. Bagi umat muslim, mereka ditekankan bahwa manusia diciptakan dalam bentuk sempurna oleh Allah untuk menjadi orang yang paling bertakwa. Affandi dan Su’ud (2016: 120) menyatakan bahwa takwa mempunyai kesadaran yang lurus, yaitu hubungan makhluk dengan Tuhannya, dan kesadaran yang sejajar, yaitu hubungan manusia dengan manusia. Dua kesadaran itu harus saling seimbang dengan melalui melakukan segala perintah dan menjauhi segala larangan serta mencerminkan akhlaqul karimah. Saling berlomba-lomba dalam mengerjakan ketakwaan, karena pembeda manusia satu dengan manusia lainnya adalah ketakwaan kepadaAllah. Hasil dari ketakwaan
yang dilakukan seseorang akan memancarkan sifat dan sikap kebaikan. Dalam hal ini, aktivitas ketakwaan menghasilkan perbuatan baik kepada sesama manusia. Perbuatan baik akan senantiasa dilakukan tatkala ketakwaan selalu menancap dalam diri manusia dan menjaganya dengan penuh hati-hati. Fiman Sang Rabb dalam Surah Al-Baqarah: 197 yang artinya:
“Dan berbekallah kamu. Bahwa sebaik-baiknya bekal ialah ketakwaan.Dan berketakwaanlah kepadaKu hai orang-orang berakal”
Wahyudi (2016: 94) menyatakan bahwa orang yang dapat dikatakan berakal ialah dia yang menggunakan akalnya untuk memikirkan aktivitas-aktivitas yang hendak dilakukan, sehingga tingkah lakunya sesuai dengan perintah atau larangan agama, ini yang kemudian disebut orang yang bertakwa.
2.1.5 Kebaikan atau Kebajikan
Manusia memiliki nilai dasar yang sudah ditetapkan Allah yang dikenal dengan kebaikan atau kebajikan. Kebaikan adalah salah satu sikap manusia yang dilandaskan atas hukum syariat dan akal sehat manusia.Kebaikan merupakan sikap alamiah dalam diri manusia yang berkeinginan melakukan sesuatu yang lebih untuk orang lain dengan tujuan membantu orang lain. Kebaikan pun bagian dari akhlak dan terletak pada “berpikir”, karena akhlak yang baik akan mencerminkan tindakan yang baik
pula. Seperti yang diungkapkan Enoh (2004: 29) bahwa potensi jiwa manusia dikatakan sukses ketika mampu mengarahkan pada aktivitas kebaikan, yang itu berupa akal, hati dan bashirahnya dengan tujuan untuk mengendalikan hawa dan syahwanya, maka ini lah yang dikenal dengan kebaikan akhlak.Apabilahadir dalam diri manusia seluruh sikap dan tindakan yang sesuai atau tepatdengan berlandaskanpemikiranyang didasarkan pada aturan Allah.Maka sebab itu, kebahagiaan manusia dengan jenis pemikiran, serta apa yang dipikirkan.
Menurut Prasetya, dkk. (1991: 176) bahwa kebajikan atau kebaikan adalah aktivitas yang pada dasarnya serupa dengan aktivitas moral, yaitu dengan tetap menyesuaikan aturan agama atau etika. Sedangkan, menurut Ismail (2009: 84) bahwa kebajikan atau kebaikan dipandang sebagai sesuatu yang lapang dan luas yang bertumpu pada keimanan dan ketundukan manusia kepada Penciptanya. Seperti yang tercantum dalam Al-Baqarah ayat 177 yang artinya “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta, dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, dan orang-orang yang menepati janjinya apa bila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dalam peperangan.
Kebajikan yang dimaksud dalam surah Al-Baqarah 177, Ismail (2009: 85-86) menjelaskan bahwa terdapat tiga prinsip kebajikan dalam ayat tersebut, yakni sebagai berikut.
1) Prinsip keimanan merupakan segala sumber kebaikan. Dalam hal ini, iman yang menggetarkan hati dan melahirkann ketundukan dan kepatuhan kepada Tuhan tanpa reserve.
2) Prinsip amal saleh. Prinsip ini tidak hanya melahirkan kesalehan pribadi, tetapi juga kesalehan sosial. Kesalehan ini ditunjukkan antara lain kesediaan seseorang untuk mengeluarkan hartanya untuk membant fakir miskin, kaum dhuafa, dan anak-anak yatim.
3) Prinsip akhlak al-karimah dan keluhuran budi pekerti yang ditunjukkan antara lain melalui komitmen dan kesetiaan yang tinggi terhadap setiap janji dan transaksi yang dilakukan.
Dalam hal ini, untuk mencapai kebajikan tidak boleh berhenti pada segi-segi lahiriah dari agama. Dalam kehidupan anak Adam kewajiban berbuat baik dan menjauhi aktivitas buruk yang secara umum dan merupakan kewajiban moral, berlandaskan garis hidup turunan Adam. Bertumpu pada hal ini,setiap insan memahami semua keharusannya sebagai instruksi Tuhan. Hal itu sebenarnya fakta terkait adanya Tuhan, dan bukti itu praktis.Nilai kebaikan selalu akan menjadi sumber pedoman (frame of reference) ketika melaksanakan berbagai tugas hidupnya. Manusia dalam semua perbuatannya, bagaimanapunjuga mengejar sesuatu yang baik. Manusia yang sadar akan hubungannya dengan sesama manusia akan melakukan tindakan berupa kebaikan sebagai bentuk manusia yang memiliki kasih sayang terhadap
sesama. Di sisi lain, Allah juga memberikan petunjuk kepada manusia untuk senantiasa berbuat baik.
Aktivitas kebaikan yang dilakukan manusia merupakan bentuk kasih sayang terhadap sesama, karena berpegang pada perintah yang sudah dicontohkan dan diajarkan. seperti yang diungkapkan oleh Anatassia dan El Hafiz (2015: 336) bahwa nilai-nilai kebajikan setiap masyarakat mengembangkan dan mengajarkan nilai-nilai kebajikan kepada setiap generasi secara turun-temurun. Dalam hal ini, tidak hanya individu yang melakukan kebaikan atau kebajikan, masyarakat pun melakukannya dan memberikan contoh kepada generasinya. Kebaikan ini sebagai bentuk investasi manusia untuk hidup bahagia di akhirat. Manusia yang melakukan kebaikan didorong dengan pengetahuan sebelumnya yakni berpegang teguh pada prinsip yang dimiliki, sehingga, ketika dalam melakukan kebaikan tanpa memperhatikan pamrih. Kebaikan atau kebajikan yang didasari tanpa pamrih akan menghasilkan kepuasan tersendiri untuk orang-orang yang melakukannya. Kesadaran dalam diri yang mendorong untuk berbuat kebajikan atau kebaikan. Mengingat bahwasannya seorang mukmin adalah orang yang mampu memberi kebaikan. Hal tersebut tercantum dalam firman Allah dalam Al-Hajj: 77yang berbunyi:
“Hai orang-orang yang beriman, rukuklah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan”
Firman Allah di atas menunjukkan bahwa orang-orang beriman tidak hanya sekedar melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim saja, tetapi dalam firman tersebut Allah menekankan kepada hamba-hambanya untuk melakukan aktivitas kebaikan atau kebajikan. Dalam hal ini, Allah memberikan balasan berupa kemenangan. Hakikat manusia sebagai ciptaan istimewa Allah telah memberikan akal sebagai bentuk salah satu anugrah, yaitu mampu membedakan kebaikan dan kejahatan.
Mujiono (2013: 362) menjelaskan bahwa Allah telah menanamkan kesiapan pada manusia dan kehendak untuk melakukan aktivitas kebaikan dan menghindari keburukan yang akan menjerumuskannya pada kebinasaan atau dalam kehancuran. Manusia yang mampu mengaktualisasikan potensi imannya dengan baik, maka aktivitas kebaikan pun mudah dilakukan dengan ikhlas, karena dengan melakukan aktivitas kebaikan, maka akan menjelma manusia terpuji di sisi Allah dan berkualitas di bumi Allah.
2.2 Religiusitas dalam Sastra
Sebuah karya sastra dikenal sebagai hasil pengamatan dan pengalaman penulisnya yang di dalamnya juga terdapat unsur estetik. Namun, di sisi lain, sebuah karya sastra juga merupakan luapan eskpresi diri penulis, salah satu dari sekian eskpresi yaitu yang berkaitan dengan unsur religiusitas. Tema-tema religius sudah banyak dilakukan dan sekarang semakin marak di dunia sastra. Bahkan Mangunwijaya (dalam Sitanggang, dkk., 2003: 3) menyatakan bahwa pada mulanya semua sastra adalah religius.
Religiuisitas dan agama sama-sama saling berorientasi pada perbuatan dan sikap terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Karya sastra menyoroti berbagai segi kehidupan, termasuk di dalamnya masalah keagamaan. Pembahasan dalam karya sastra mampu memberikan kesadaran dan pengetahuan baru untuk pembaca. Terutama pembahasan yang bertema Islam, sehingga, pembaca dapat merasakan suasana dan kondisi yang diciptakan penulis. Seperti yang diungkapkan oleh Sugiarti (2016: 91) bahwa karya sastra mampu memberikan kesadaran baru tentang sesuatu yang awalnya belum dikenali, dipahami sehingga membuat orang terasing mampu menyatu dalam suasana yang bernafaskan keislaman.
Karya sastra juga tidak dapat dipisahkan dari masyarakat, karena karya sastra merupakan hasil dari interaksi dengan sosial setempat. Selain itu, karya sastra berdampingan dengan kebudayaan. Dalam hal ini, karya sastra dan kebudayaan merupakan satu kesatuan. Sugiarti (2016: 91) mengungkapkan bahwa karyasastra tidak akan dipahami sepenuhnya, jika karya itu dipisahkan dari lingkungan kebudayaan dan masyarakat yang menghasilkannya yang termasuk di dalamnya tanggung jawab sebagai mahkluk Tuhan. Meskipun, karya sastra mengandung nilai seni, tetapi tetap di dalamnya memberikan pengetahuan dan pengalaman spritual yang mendalam penuh dengan penghayatan. Sehingga, sastra menggambarkan keinginan dan harapan dalam pikiran individu atau masyarakat. Selain itu, sastra menjadi hasil perenungan penulis terhadap pengalaman batin dengan menghayati ajaran agama dan filsafat hidupnya.
2.3 Novel sebagai Karya Sastra
Novel sering kali dijadikan sebuah objek penelitian kesusastraan. Sebagai salah satu produk sastra, muatan yang ada di dalam novel cukup padat. Selain itu, menggambarkan cerita fantasi pada wujud kata-kata atau tulisan, serta memiliki kompleksitas cerita. Kisah maupun cerita yang diangkat sedemikian rupa dan selalu mengikuti perkembangan zaman. Apa yang hadir di masa lalu, tidaklah sama dengan yang terjadi sekarang, sehingga novel secara tidak langsung juga dapat dikatakan sebagai sejarah kehidupan manusia di masa sebelumnya. Di sisi lain, Sugiarti (2009: 68) menyatakan bahwa sastra bukan sekadar terbentuk dikarenakan gejala-gejala dari kelugasan sebuah kehidupan, melainkan pula dari pengarangnya yang memiliki kesadaran bahwa sastra sebagai sesuatu yang fiktif, inventif, dan imajinatif. Di samping itu, karya sastra yang baik muncul bukan hanya memberikan kesenangan semata namun juga dapat dijadikan petunjuk serta memberi pesan moral kepada pembaca maupun penikmatnya. Novel menjadi produk sastra yang digemari banyak orang, karena membaca novel dapat merasakan kejadian dalam kehidupan.
Ramadhanti (2016: 9) mengatakan bahwa wujud-wujud prosa fiksi dapat dibedakan menjadi empat, yaitucerpen, roman, novel, dan novelet. Perbedaan dari masing-masing itu secara umum dapat dilihat dari panjang pendeknya cerita di dalamnya dan isi cerita yang secara inti atau poin penting ditampilkan. Semua bentuk tersebut dituangkan dalam bahasa tulis.Novel selalu diidentik dengan bahasa tulis. Pengarang menampilkan certa lewat kenyataan yang dapat diciptakannya dengan bebas dan tetap dapat dipahami oleh pembaca dengan konvensi yang tersedia baik itu konvensi bahasa
maupun konvensi sastra. Karya sastra mengungkapkan apa yang ada. Hal ini berarti bahwa karya sastra adalah karya fiktif, karena semua isinya dibuat atas dasar pemikiran pengarang atau sastrawan. Terdapat unsur rekayasa yang berdasar padaapa yangada dalam kehidupan sehari-hari.
2.4 Unsur Pembangun Novel
Berbagai macam unsur pembangun novel diklasifikasikan menjadi dua, yaitu unsur intrinsik dan ektrinsik. Unsur ekstrinsik adalah unsur yang hadir di luar novel, sedangkan unsur intrinsik adalah yang membentuk cipta sastra. Berikut dijelaskan beberapa bagian intrinsik yang lahir dalam novel (Siswanto, 2013: 145).
a. Tema
Tema adalah bagian inti yang melandasi dalam riwayat. Dalam sebuah kesusastraan, tema menjadi poin utama dalam membangun sebuah cerita. Sama seperti yangdikatakan oleh Siswanto (2013: 146) bahwa dari suatu cerita, tema adalah ide yang menjadi landasan atau dasar. Selain itu, karya rekaan yang diciptakan pengarang berperan menjadi sumbernya dalam menguraikanceritanya, seperti diungkapkan oleh Nurgiyantoro (1995: 68) bahwa yang menjadi dasar pengembangan semua cerita adalah tema, yaitu berkarakter menghayati secara keseluruhan bagian cerita. Berdasarkan pemikiran Nurgiyantoro, maka disimpulkan bahwa sebuah fiksi dapat dijiwai atau diwakilkan oleh kehadiran tema.
Di sisi lain, dalam tema membawa arti yang terkandung dalam sebuah cerita (Stanton dan Kenny (dalam Nurgiyantoro, 1995: 67). Pada hal ini, tema sebuah cerita pun bersifat individual sekaligus universal. Tema-tema sebuah cerita diambil sejauh mana tema dapat memberikan makna pada setiap peristiwa kepada pembaca. Tema dapat berupa satu fakta dari pengalaman kemanusiaan yang kemudian dieksplorasi. Bahkan, tidak sekedar berupa fakta yang disuguhkan, tetapi pula kepribadian salah satu tokoh mampu dipaparkan.
Di samping itu, Ratna (2014: 257) menyatakan bahwa dalam suatu perbuatan tertentu, tema menjadi sebagai masalah pokok. Dalam karya sastra, melalui naskah dari awal hingga akhir cerita dijabarkan melalui tema dengan menggambarkan masalah utama dan isi secara keseluruhan, yakni terlihat dalam judul. Dalam hal ini, pembaca mengetahui inti dari sebuah cerita dari tema yang telah dipilih oleh penulis. Dalam karya fiksi, tema menjadi gagasan sentral yang ingin dicapai. Hal ini sesuai dengan pernyataan Wicaksono (2014: 96) yang menyatakan bahwa yang menjadi ide dasar cerita dan ide sentral berasal dari tema. Seorang penulis harus mampu menguatkan tema yang mendasari sebuah cerita, sehingga hasil cipta sastranya dapat dirasakan oleh pembaca sekaligus mengetahui pentingnya cerita yang dibangun.
Berdasarkan beberapa pendapat yang telah dipaparkan, tema adalah bagian penting yang terdapat inti dari sebuah cerita yang disampaikan melalui peistiwa-peristiwa yang terjadi dari awal sampai akhir, karena dengan tema, pembaca dapat mengetahui apa yang akan disampaikan oleh penulis. Tema
sebagai rancangan awal pikiran pengarang dalam proses pelaksanaan dengan terlebih dahulu melaksanakan langkah kreatif penciptaan. Sedangkan dari segi penikmat sastra mengetahui dengan dalam terkait tema setelah menyelesaikan bacaannya. Keberadaan tema akan membuat pembaca dapat menemukan makna dari yang terkandung dalam suatu cerita yang sedang dibaca. Oleh karena itu, pengarang harus memikirkan tema dengan sebaik-baiknya sebelum menciptkan sebuah cerita, terutama cerita yang menggugah hati pembaca dan cerita yang memberikan banyak manfaat dan menyenangkan.
b.Alur
Dalam karya sastra, dikenal adanya jalan cerita yang dirangkai dengan menarik oleh pengarang. Plot yaitu serangkaian urutan karangan yang menguatkan sebuah cerita dalam karya sastra. Alur yang dibangun oleh pengarang berbeda-beda, sehingga ketegangan dan kejutan yang diberikan pengarang memberikan rangsangan emosional kepada pembaca. Abrams (dalam Siswanto, 2013: 144) mengatakan bahwa suatu cerita yang dirangkai dengan langkah-langkah peristiwa dengan kehadiran para pemain yang di dalamnya menjalin sebuah cerita disebut dengan alur. Suatu cerita dapat dikatakan menyenangkan karena adanya alur. Alur akan memberikan efek tertentu kepada pembaca, karena dalam alur terdapat ketegangan cerita, kejutan yang terkadang diluar khayalan pembaca, dan kekuatan cerita yang dibangun oleh pengarang sebagai ciri khas nya.
Siswanto (2013: 144) juga menjelaskan lagi bahwa rentetan cerita yang dibuat dengan teliti kemudian menggerakkan jalan cerita menuju
klimak dan selesaian disebut dengan alur. Di samping itu, Stanton (dalam Nurgiyantoro, 1995: 113) memaparkan bahwa cerita yang di dalamnya mengandung rentetan peristiwa, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain adalah alur. Rangkaian-rangkaian peristiwa dalam sebuah cerita saling memberikan penguatan, karena peristiwa satu dengan peristiwa yang lain saling berkaitan dan berhubungan yang dihubungkan dengan sebab akibat. Sama halnya dengan yang dikemukakan Kenny bahwa alur atau plot sebagai peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita tidak bersifat sederhana, karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan kaitan sebab-akibat. Alur berbeda dengan elemen-elemen lain, karena alur dapat membuktikan keberadaannya dalam sebuah cerita dengan hubungan kausalitasnya, sehingga mampu merangsang pertanyaan pembaca pada peristiwa selanjutnya.
Menurut Nurgiyantoro (1995: 114), bahwa plot atau alur merupakan cerminan berupa perjalanan tingkah laku para tokoh dalam melakukan aktivitas, berpikir berasa, dan bersikap dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan yang dialami. Sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Nurgiyantoro dapat dikatakan bahwa agar dapat dikatakan sebagai alur atau plot yang dapat memberikan pengaruh-pengaruh kepada pembaca, maka peristiwa-peristiwa yang dibangun harus ditata dengan baik, supaya tidak menimbulkan kemenotonan pada sebuah cerita. Peristiwa-peristiwa yang terlihat dalam pengurutan dan penyajian untuk memberikan efek emosional dan artistik tertentu.
Dalam cerita lama, alur dimulai dari pengenalan tokoh, konflik-konflik yang terjadi, komplikasi, klimaks, peleraian, dan diakhiri dengan tahap penyelesaian. Walaupun demikian, ada beberapa cerita yang tidak mempunyai tahapan alur seperti di atas, tergantung dari segi pengarangnya menciptakan dan menghidupkan cerita. Namun demikian, cerita akan lebih menarik dan menegangkan apabila semua tahapan alur digunakan. Berbeda pula pada cerita modern, alur tidak selalu dimulai dari pengenalan tokoh lalu diakhiri dengan penyelesaian yang bersifat terbuka ataupun tertutup. Beberapa cerita ada dimulai dengan konflik yang dialami tokoh dalam cerita, yang kemudian alur akan bersifat mundur untuk mengetahui cerita sebelumnya. Dalam hal ini, alur terbagi menjadi tiga bagian, yaitu alur maju, mundur, dan campuran.
Oleh sebab itu, menurut beberapa penjelasan terkait alur dapat disimpulkan bahwa alur atau plot merupakan serangakaian atau urutan peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita yang diciptakan oleh penulis dalam mengembangkan ceritanya. Rangkaian peristiwa yang ditampilkan dan diolah secara menarik dapat memberikan efek emosional dan artistik tertentu, karena dibangun dengan adanya hubungan sebab akibat yang saling mengubungkan peristiwa satu dengan peristiwa yang lain.
c. Tokoh dan Penokohan
Dalam dunia kesusasteraan dikenal, khususnya dalam dunia cerpen, novelet, novel, serta drama pastinya memiliki tokoh-tokoh yang berperan dan berkecimbung dalam cerita tersebut. Dalam cerita karya sastra
banyak sekali tokoh yang bermain peran dan menjadi objek utama, salah satunya tokoh. Tokoh adalah pelaku-pelaku atau pengemban cerita yang terdiri dari banyak karakter. Kehadiran tokoh-tokoh yang menarik dan khas menambah keunikan dan nilai tambah pada sebuah cerita, seperti yang dijelaskan Siswanto (2013: 129) bahwa orang yang melakukan peristiwa dalam cerita disebut tokoh.
Kehadiran tokoh sebagai pelengkap dari sebuah cerita karya sastra. Tokoh dalam cerita fiksi selalu mempunyai sifat, sikap, tingkah laku. Tokoh tidak hanya selalu manusia, tetapi binatang dan benda juga dapat menjadi tokoh dalam cerita fiksi. Berdasarkan keterlibatan dalam cerita. tokoh dapat dibedakan atas (1) tokoh utama, (2) tokoh tambahan, (3) tokoh bawahan (Sudjiman, Sukada, dan Aminuddin (dalam Siswanto, 2013: 129). Aminuddin (dalam Siswanto, 2013: 129-130) menyatakan bahwa dari kepribadian, tokoh terdiri atas tokoh dinamis dan tokoh statis Kemudian, dilihat dari watak yang dimiliki tokoh, Aminuddin pun membaginya dalam dua bagian, yaitu antagonis dan protagonis. Pada watak inilah yang sering membangkitkan emosional pembaca.
Peran pengarang mengenalkan tokoh-tokohnya sangat piawai. Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2013: 247) menegaskan bahwa dalam penggunaan istilah penokohan dalam berbagai referensi bahasa Inggris mengarah pada dua arah pengertian yang berbeda, yaitu sebagai tokoh cerita yang ditampilkan dan sebagai sikap karakteristik, keinginan, emosi, dan prinsip moral yang dimiliki tokoh tersebut.Penokohan adalah penghadiran tokoh-tokoh dalam cerita fiksi (novel) dengan cara langsung atau tidak langsung
dan mengandung pembaca untuk menafsirkan kualitas dirinya. Jones (dalam Nurgiyantoro, 1995: 165) mengemukakan bahwa pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita dikenal dengan penokohan. Dalam sebuah cerita, tokoh dalam cerita dapat memberikan kejutan pada pembaca. Di sisi lain Nurgiyantoro (1995: 166) menyatakan bahwa penokohan sekaligus menyaran pada teknik perwujudan dan pengembangan tokoh dalam sebuah cerita.
Penokohan adalah penghadiran tokoh atau pelaku dalam sebuah cerita fiksi (novel) dengan cara langsung atau tidak langsung dan mengundang pembaca untuk menafsirkan kualitas dirinya lewat kata dan tindakannya. Sastrawan atau penulis menghadirkan tokoh-tokoh dalam ceritanya melalui proses khayalan maupun terinspirasi dari berbagai pengalaman dan kisah yang pernah terjadi. Tokoh-tokoh yang dihadirkan akan muncul di berbagai suasana, tempat-tempat kejadian dan waktu-waktu yang sudah disiapkan untuk memberikan kejutan kepada pembaca.
d. Latar
Sebuah cerita akan memiliki beberapa latar sebagai pendukung cerita. Latar adalah rangkaian tempat, waktu, dan dan suasana yang terdapat dalam sebuah cerita. Latar ini menjadikan cerita karya sastra lebih bervariasi. Abrams (dalam Nurgiyantoro, 1995: 216) menyatakan bahwa landas yang merujuk pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dikenal dengan latar. Ia pun memberikan pijakan cerita secara konkret dan
jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca. Dalam hal ini, pengarang menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh ada dan terjadi. Pembaca dapat merasakan dan menilai kebenaran, ketepatan, dan aktualisasi latar sehingga merasa lebih akrab, seolah-olah latar itu pernah terjadi pada dirinya.
Membaca sebuah novel sama halnya seperti membawa diri masuk pada peristiwa yang ada dalam cerita. Pembaca akan bertemu dengan lokasi tertentu seperti nama kota, desa, jalan, hotel, penginapan, dan lainnya sesuai tempat kejadian cerita. Pembaca dapat menggunakan imajinasi dan berperan secara kritis terhadap pengetahuannya tentang latar. Latar dapat berwujud tempat, waktu, dan suasana. Latar dijabarkan melalui kalimat deskriptif. Deskripsi-deskripsi ini yang membuat atau membangkitkan emosional pembaca, karena cenderung ingin terjun dalam inti cerita. Menurut Siswanto (2013: 137), untuk mengembangkan cerita dibutuhkan kehadiran latar. Bagi sastrawan, latar dapat digunakan untuk menggambarkan watak tokoh, suasana cerita atau atmosfer, alur, atau tema ceritanya. Sedangkan bagi pembaca, latar cerita dapat membantu untuk membayangkan tentang tempat, waktu, dan suasana yang dialami tokoh.
Latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial. Latar tempat mengarah pada suatu tempat atau lokasi sebuah peristiwa terjadi. Sama halnya yang diungkapkan oleh Nurgiyantoro (1995: 227) bahwa lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi disebut latar. Sedangkan, latar waktu berkaitan dengan “kapan” terjadinya peristiwa dalam sebuah cerita fiksi. Dalam hal ini,
Nurgiyantoro (1995: 227) menyatakan bahwa masalah “kapan” itu biasanya dikaitkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Latar sosial menurut Nurgiyantoro (1995: 233) yaitu mengarah pada hal-hal yang berkaitan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat. Dalam hal ini, dengan penampakan latar sosial yang diciptakan oleh penulis akan semakin menambah nilai sisi cerita fiksi, karena pembaca menjadi tahu dengan gambaran kondisi sosial dalam sebuah karya fiksi.