• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

3. Nyamuk Aedes

a. Taksonomi

Secara taksonomi, nyamuk Aedes dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Filum : Arthropoda Kelas : Hexapoda Ordo : Diptera Subordo : Nematocera Famili : Culicidae Subfamili : Culicinae Tribus : Culicini Genus : Aedes

Spesies : Aedes aegypti dan Aedes albopictus (Sucipto, 2011).

b. Morfologi

1) Aedes aegypti

Bagian tubuh nyamuk dewasa terdiri atas kepala, dada (toraks) dan perut (abdomen). Tanda khas Aedes aegypti berupa gambaran lyre pada bagian dorsal toraks (mesonotum) yaitu sepasang garis putih yang sejajar di tengah dan garis lengkung putih yang lebih tebal pada tiap sisinya. Probosis berwarna hitam, skutelum trilobi, bersisik lebar berwarna putih. Pada betina palpus lebih pendek dari probocis. dan abdomen berpita putih pada bagian basal. Ruas tarsus kaki belakang berpita putih. Sisik sayap sempit panjang dengan ujung runcing.

Telur Aedes aegypti berwarna putih saat pertama kali dikeluarkan, lalu menjadi coklat kehitaman. Telur berbentuk oval, dan memiliki garis-garis yang menyerupai sarang lebah dengan panjang 0,5 mm. Telur dapat bertahan sampai berbulan-bulan dalam suhu 2-24°C, namun akan menetas dalam waktu 1-2 hari pada kelembaban rendah. Setelah telur menetas kemudian akan menjadi larva. Larva Aedes aegypti memiliki sifon yang pendek dan mempunyai sisir pada ruas ke-8 abdomen yang terdiri dari gigi-gigi bergerigi. Umur larva sekitar 7-9 hari kemudian menjadi pupa. Bentuk pada stadium pupa seperti bentuk terompet panjang dan ramping. Stadium pupa biasanya berlangsung selama 2 hari. Setelah

itu, pupa akan membuka dan melepaskan kulitnya, dan akan keluar stadium imago atau nyamuk dewasa (Sucipto, 2011).

2) Aedes albopictus

Nyamuk Aedes albopictus mempunyai ciri morfologi yang mirip dengan nyamuk Aedes aegypti, namun memiliki beberapa perbedaan. Aedes albopictus dewasa mempunyai ciri-ciri fisik mempunyai gambaran sebuah pita putih longitudinal pada bagian mesotonum. Selain itu, larva Aedes albopictus mempunyai sisir pada ruas ke-8 abdomen dan mempunyai gigi-gigi sederhana tanpa duri lateral. Stadium telur dan pupa pada nyamuk Aedes albopictus memiliki ciri morfologis yang sama dengan nyamuk Aedes aegypti (Sucipto, 2011).

c. Siklus Hidup

Telur nyamuk Aedes akan menetas menjadi larva dalam waktu 1-2 hari, kemudian larva akan berubah menjadi pupa dalam waktu 5-15 hari. Stadium pupa biasanya berlangsung selama 2 hari. Dalam suasana optimum, perkembanga dari telur sampai dewasa memerlukan waktu sekurang-kurangnya 9 hari.

Setelah nyamuk berkembang dan keluar dari pupa, nyamuk akan beristirahat terlebih dahulu di kulit pupa untuk sementara waktu hingga sayap menjadi kaku dan kuat untuk terbang. Pupa jantan menetas lebih

dahulu dari pupa betina. Setelah 1-2 hari keluar dari pupa, nyamuk betina dewasa siap untuk kawin dan menghisap darah manusia.

Nyamuk jantan tidak pergi jauh dari tempat perindukan karena menunggu nyamuk betina menetas dan siap berkopulasi. Sesudah kopulasi, nyamuk betina akan menghisap darah manusia yang diperlukannya untuk pembentukan telur. Waktu dari mulai nyamuk menghisap darah hingga telur dikeluarkan berlangsung sekitar 3-4 hari. Kemudian nyamuk betina akan meletakkan telurnya pada dinding tempat air di mana telur akan berkembang dan menetas. Jumlah telur yang dikeluarkan nyamuk betina rata-rata berjumlah 150 butir telur (Sungkar, 2005).

d. Kebiasaan Hidup Nyamuk

Aedes aegypti berkembangbiak di dalam tempat penampungan air yang tidak beralaskan tanah seperti bak mandi, tempayan, drum, vas bunga, dan barang-barang bekas yang dapat menampung air hujan. Aedes albopticus juga demikian tetapi lebih banyak terdapat di luar rumah, seperti dahan pohon atau daun yang menampung air.

Nyamuk Aedes aegypti aktif menghisap darah pada siang hari dengan 2 puncak aktivitas, yaitu pada pukul 08.00-12.00 dan 15.00-17.00. nyamuk Aedes aegypti bersifat antropofilik, nyamuk betina lebih suka menghisap darah manusia darpada darah binatang dan mempunyai kebiasaan menggigit berulang sampai lambung penuh berisi darah.

Nyamuk betina menghisap darah umumnya 3 hari setelah melakukan kopulasi. Setelah menghisap darah, nyamuk Aedes aegypti hinggap untuk beristirahat dalam rumah yang berdekatan dengan tempat berkembangbiaknya. Tempat hinggap yang disenangi adalah tempat yang gelap dan lembab, dan nyamuk senang hinggap di benda yang menggantung seperti pakaian, kelambu, atau tumbuh-tumbuhan. Setelah beristirahat dan proses pematangan telur selesai, nyamuk betina akan meletakkan telurnya di dinding tempat berkembangbiaknya, sedikit di atas permukaan air. Jumlah telur yang dikeluarkan adalah sekitar 100-400 butir.

Nyamuk Aedes aegypti biasa menempatkan telurnya di air jernih terutama bak air WC, bak mandi, dan gentong air minum, sedangkan nyamuk Aedes albopticus lebih senang bertelur di luar rumah, seperti pekarangan, atau di kaleng sampah yang dibuang (Sucipto, 2011).

Jarak terbang nyamuk Aedes sekitar 30-50 meter per hari, tetapi jarak terbang ini juga bergantung dari tempat bertelur. Apabila tempat bertelur terdapat di dalam rumah atau di sekitar rumah maka nyamuk tidak akan terbang jauh. Kemampuan terbang nyamuk betina rata-rata 40 meter, maksimal 100 meter. Namun, nyamuk dapat berpindah lebih jauh secara pasif karena terbawa angin atau kendaraan (Sungkar, 2005).

4. Infeksi Virus Dengue

Infeksi virus dengue adalah penyakit yang sistemik dan dinamis. penyakit ini memiliki spektrum klinis yang luas yang meliputi baik manifestasi klinis berat dan ringan (WHO, 2009).

a. Etiologi

Virus dengue termasuk group B arthropod bone virus dan sekarang lebih dikenal sebagai genus flavivirus, famili Flaviviridae yang mempunyai 4 jenis serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotipe yang lain (Merdjani et al, .2008).

b. Patofisiologi

1) Volume Plasma

Patofisio logi utama yang membedakan antara Demam Dengue dengan Demam Berdarah Dengue adalah peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah, penurunan volume plasma, hipotensi, trombositopenia, serta diatesis hemorrhagik. Penyelid ikan volume plasma pada kasus DBD dengan menggunakan 131 Iodine labelled human albumin sebagai indikator membuktikan bahwa plasma merembes selama perjalanan penyakit mulai dari permulaan masa demam dan mencapai puncak pada masa syok. Pada kasus berat,

syok terjadi secara akut, nilai hematokrit meningkat secara bersamaan dengan menghilangnya plasma melalui endotel dinding pembuluh darah. Meningkatnya nilai hematokrit pada kasus syok mengarahkan kepada dugaan bahwa syok terjadi akibat kebocoran plasma ke daerah ekstra vaskular melalui kap iler yang rusak. Bukti yang mendukung adalah ditemukannya cairan dalam rongga serosa seperti rongga peritoneum, pleura, dan perikardium yang pada autopsi yang ternyata melebihi cairan yang diberikan melalui infus, dan terdapatnya edema (Merdjani et al, .2008).

2) Trombositopenia

Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang sering ditemukan pada kasus DBD. Nilai trombosit menurun pada masa

demam dan mencapai nilai terendah pada masa syok.

Trombositopenia dihubungkan dengan meningkatnya megakariosit muda dalam sumsum tulang dan pendeknya masa hidup trombosit akibat peningkatan destruksi trombosit. Fungsi trombosit pada DBD terbukti menurun yang kemungkinan disebabkan oleh proses imunologis. Trombositopenia dan gangguan fungsi trombosit dianggap sebagai penyebab utama terjadinya perdarahan pada DBD (Merdjani et al, .2008).

3) Sistem Koagulasi dan Fibrinolisis

Kelainan sistem koagulasi juga berperan sebagai penyebab perdarahan pada DBD. Masa perdarahan memanjang, masa pembekuan normal atau memanjang, masa tromboplastin parsial yang teraktivasi memanjang. Beberapa faktor pembekuan menurun, yaitu faktor II, V, VII, VIII, X dan fibrinogen. Pada kasus berat terjadi peningkatan Fibrinogen Degradation Products (FDP).

Penelitian lebih lanjut membuktikan adanya penurunan aktivitas antitrombin III. Selain itu juga dibuktikan bahwa menurunnya aktivitas faktor VII, faktor II dan antitrombin III tidak sebanyak fibrinogen dan faktor VIII. Hal tersebut menimbulkan dugaan bahwa menurunnya kadar fibrinogen dan faktor VIII tidak hanya diakibatkan oleh konsumsi sistem koagulasi, tetapi juga oleh konsumsi sistem fibrinolisis. Kelainan fibrinolisis pada DBD dibuktikan dengan adanya penurunan aktivit -2 plasmin inhibitor dan penurunan aktivitas plasminogen (Merdjani, et al., .2008).

Selain itu, pada penderita DBD terjadi disfungsi endotel, hal ini dibuktikan dengan terdapatnya peningkatan kadar sVCAM-1, faktor von Willebrand (vWF) dan D dimer. Namun tidak ada hubungan antara sVCAM-1 dengan beratnya penyakit, hanya ada hubungan yang lemah antara vWF dengan D dimer maupun beratnya penyakit (Dharma, et al., 2006).

4) Sistem Komplemen

Terdapat penurunan kadar C3, C3 proaktivator, C4, dan C5 baik pada kasus yang disertai syok atau tidak. Terdapat hubungan positif antara kadar serum komplemen dengan derajat penyakit. Penurunan menimbulkan perkiraan bahwa pada dengue, aktivasi komplemen terjadi baik melalui jalur klasik maupun alternatif. Hasil penelitian radioisotop mendukung pendapat bahwa penurunan kadar komplemen disebabkan oleh aktivasi sistem komplemen bukan karena produksi yang menurun. Aktivasi sistem komplemen menghasilkan anafilatoksin C3a dan C5a yang mempunyai kemampuan menstimulasi sel mast untuk melepaskan histamin dan merupakan mediator kuat untuk menimbulkan peningkatan permeabilitas kapiler, pengurangan volume plasma, dan syok hipovolemik. Komplemen juga bereaksi dengan epitop virus pada sel endotel, permukaan trombosit dan limfosit T, yang mengakibatkan waktu paruh trombosit memendek, kebocoran plasma, syok, dan perdarahan. Selain itu, komplemen juga merangsang monosit untuk memproduksi sitokin seperti Tumor Necrosis Factor (TNF), interfeon gamma, dan interleukin (IL-2 dan IL-1) (Merdjani et al, .2008).

5) Respon Leukosit

Pada perjalanan penyakit DBD, sejak demam hari ketiga terlihat peningkatan limfosit atipik yang berlangsung sampai hari kedelapan. Dilaporkan juga bahwa pada sediaan hapus buffy coat kasus DBD dijumpai transformed lymphocytes dalam presentase tinggi (20-50%). Hal tersebut khas untuk DBD karena pada infeksi virus lain hanya terdapat sekitar 0-10%. Penelitian lebih lanjut yang dilakukan oleh Sutaryo pada tahun 1978, yang kemudian menyebutnya sebagai Limfosit Plasma Biru (LPB). Pemeriksaan LPB secara seri memperlihatkan bahwa LPB pada infeksi dengue mencapai puncak pada hari keenam. Dari penelitian imunologi disimpulkan bahwa LPB merupakan campuran antara limfosit-B dan limfosit T. LPB adalah limfosit dengan sitoplasma biru tua, ukurannya lebih besar atau sama dengan limfosit besar, sitoplasma lebar dengan vakuolisasi halus sampai sangat nyata, dengan daerah perinuklear yang jernih. Inti terletak pada salah satu tepi sel berbentuk bulat oval. Kromosom inti kasar dan terkadang dalam inti terdapat nukleoli. Pada sitoplasma tidak ada granula azurofilik. Daerah yang berdekatan dengan eritrosit tidak melekuk dan tidak bertambah biru (Merdjani, et al., .2008)

c. Patogenesis

Virus dengue dibawa oleh nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopticus sebagai vektor ke tubuh manusia melalui gigitan nyamuk tersebut. Infeksi yang pertama kali dapat memberi gejala sebagai diagnosis banding. Demam Berdarah Dengue dapat terjadi apabila seseorang yang telah terinfeksi dengue pertama kali, mendapat infeksi berulang virus dengue lainnya (Hendrawanto, 2002).

Organ sasaran dari virus dengue ini adalah organ Reticulo Endotelial System (RES) yang meliputi sel kuffer hepar, endotel pembuluh darah, nodus limfaticus, sumsum tulang serta paru-paru. Setelah masuk dalam aliran darah, virus akan difagosit oleh sel-sel monosit perifer. Namun, virus tersebut ternyata mampu bertahan hidup dan dapat melakukan multiplikasi di dalam sel monosit. Virus akan melakukan hal tersebut dengan cara memasukkan genomnya masuk ke dalam sel dengan bantuan organel-organel sel, kemudian genom akan virus membentuk komponen-komponennya, baik komponen perantara maupun komponen struktural virus. Setelah komponen struktural dirakit, virus dilepaskan dari dalam sel. Proses perkembangbiakan virus DEN ini terjadi dalam sitoplasma sel.

Secara In Vitro antibodi terhadap virus DEN mempunyai empat fungsi biologis yaitu: netralisasi virus, sitolisis komplemen, Antibody

Dependent Cell-mediated Cytotoxity (ADCC) dan Antibody Dependent Enhancement (ADE).

Antibodi terhadap virus DEN secara In Vivo dapat berperan pada dua hal yang berbeda, yaitu : Antibodi netralisasi atau neutralizing antibodies yang memiliki serotip spesifik yang dapat mencegah infeksi virus dan antibody non neutralising yang memiliki peran cross-reactive dan dapat meningkatkan infeksi yang berperan dalam patogenesis DBD dan DSS.

Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini masih diperdebatkan. Namun, berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya DBD dan DSS. Dua teori yang sering digunakan untuk menjelaskan perubahan patogenesis pada DBD dan DSS yaitu hipotesis infeksi sekunder (Secondary heterologous infection theory) dan hipotesis Antibody Dependent Enhancement (ADE).

Teori infeksi sekunder menyebutkan bahwa apabila seseorang mendapatkan infeksi primer dengan satu jenis serotipe virus, maka akan terjadi proses kekebalan terhadap virus jenis tersebut untuk jangka waktu yang lama, tetapi apabila orang tersebut mendapatkan infeksi sekunder dari jenis serotipe virus yang berbeda, maka akan terjadi infeksi yang berat. Antibodi yang telah terbentuk dari infeksi primer akan membentuk kompleks dengan infeksi virus dengue dengan

serotipe yang berbeda, tetapi antibodi tersebut tidak dapat menetralisir virus, bahkan akan membentuk suatu kompleks yang infeksius.

Karena adanya non neutralizing antibody, maka partikel virus DEN dan molekul antibodi IgG akan membentuk suatu kompleks virus-antibodi. Kompleks tersebut akan berikatan dengan reseptor Fc gama pada sel, yang akan menimbulkan peningkatan infeksi virus DEN. Kompleks virus antibodi juga akan meliputi sel makrofag yang beredar, antibodi tersebut akan bersifat opsonisasi dan internalisasi sehingga makrofag mudah terinfeksi dan akan teraktivasi, yang selanjutnya akan memproduksi IL-1, IL-6 dan TNF- Platelet Activating Faktor (PAF). TNF- akan berperan dalam menyebabkan kebocoran dinding pembuluh darah, merembesnya cairan plasma ke jaringan tubuh yang disebabkan kerusakan endothel pembuluh darah, dimana hal-hal tersebut dapat mengakibatkan syok.

Pada teori yang lain, yaitu teori Antibody Dependent Enhancement (ADE), menyebutkan tiga hal, yaitu: antibodies enhance infection, T-cells enhance infection serta limfosit T dan monosit yang akan melepaskan sitokin yang berkontribusi terhadap terjad inya DBD dan DSS.

Teori ADE dapat dijelaskan sebagai berikut, bahwa jika terdapat antibodi spesifik terhadap jenis virus tertentu, maka antibodi tersebut dapat mencegah timbulnya penyakit, akan tetapi apabila antibodi yang

terdapat dalam tubuh merupakan antibodi yang tidak dapat menetralisasi virus, justru dapat menimbulkan penyakit yang berat (Soegijanto, 2006).

Dalam teori ADE diperkirakan bahwa proses terjadinya peningkatan replikasi virus pada infeksi sekunder adalah akibat antibodi yang berkadar rendah dan bersifat subnetral yang sudah terbentuk pada saat terjadi infeksi primer tidak mampu membunuh virus, sehingga kompleks imun melekat pada reseptor Fc sel mononuklear fagosit, terutama makrofag, yang kemudian akan mempermudah virus masuk ke sel dan meningkatkan kemampuan multiplikasi virus tersebut (Sutaryo, 2004).

Imunoglobulin spesifik terhadap virus dengue di dalam serum pasien DD, DBD dan DSS didominasi o leh IgM, IgG1 dan IgG3, sedangkan IgA dijumpai paling banyak pada fase akut dari DSS. Sehingga banyak juga yang mengatakan bahwa IgA, IgG1 dan IgG4 dapat digunakan sebagai marker dari risiko berkembangnya DBD dan DSS.

Di samping kedua teori tersebut masih ada teori-teori lain tentang patogenesis dari DBD, di antaranya adalah teori virulensi virus, teori ini didasarkan pada perbedaan serotipe virus dengue DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang semuanya dapat ditemukan pada kasus-kasus yang fatal, tetapi berbeda antara daerah yang satu dengan yang lain.

Selain itu juga ada teori antigen-antibodi, teori ini berdasarkan bukti bahwa pada penderita DBD terjadi penurunan aktivitas sistem komplemen yang ditandai dengan penurunan dari kadar C3, C4 dan C5. Selain itu, pada 48-72% penderita DBD terbentuk kompleks imun antara IgG dengan virus Dengue yang dapat menempel pada trombosit, sel B, dan sel-sel dalam organ tubuh lain. Terbentuknya kompleks imun tersebut juga akan mempengaruhi aktivitas komponen sistem imun yang lain. Juga ada teori mediator, yang menjelaskan bahwa makrofag yang terinfeksi virus Dengue akan melepas berbagai mediator seperti interferon, IL-1, IL-6, IL-12, TNF, dan lain lain. Diperkirakan mediator dan endotoksin yang bertanggungjawab atas terjadinya syok septik, demam dan peningkatan permeabilitas kapiler.

Pada infeksi virus dengue, virem ia terjadi sangat cepat, akan tetapi derajat kerusakan jaringan yang ditimbulkan tidak cukup untuk menyebabkan kematian dari infeksi virus tersebut, kematian lebih disebabkan oleh gangguan metabolik dan juga keadaan shock. Diketahui juga bahwa akibat dari replikasi virus di dalam sel akan menimbulkan stres pada sel sampai dapat menyebabkan kematian sel (apoptotik). Mekanisme pertahanan tubuh melalu i apoptosis dan aktivasi sel-sel fagosit dapat menimbulkan jejas jaringan lokal juga ketidakseimbangan homeostasis.

Pada infeksi fase akut virus dengue terjadi penurunan dari populasi limfosit CD2+ dan berbagai subsetnya CD4+ dan CD8+. Juga terjadi

penurunan respon proliferatif dari sel-sel mononuklear, sebaliknya pada fase konvalesen respon proliferatif kembali normal. Terjad i peningkatan konsentrasi IFN-g, TNF-a, IL-10 dan reseptor TNF terlarut di dalam plasma pasien DBD/DSS. Peningkatan TNF-a berhubungan dengan manifestasi hemoragik, sedangkan kenaikan IL-10 berhubungan dengan fungsi trombosit.

Sehingga, pada infeksi virus Dengue fase akut akan terjadi penurunan jumlah maupun fungsi dari limfosit T, sedangkan sitokin proinflamasi TNF-a akan meningkat dan berperan penting dalam derajat keparahan dan patogenesis DBD/DSS. Juga terjadi peningkatan IL-10 yang akan menurunkan fungsi limfosit T dan fungsi trombosit. Penyebab utama dari kebocoran plasma yang khas terjadi pada pasien DBD dan DSS disebabkan oleh kerjasama aktivasi komplemen, induksi kemokin dan kematian sel apoptotik (Soegijanto, 2006).

d. Manifestasi Klinis

Infeksi virus dengue mungkin bersifat asimtomatik atau dapat menyebabkan demam tidak terdiferensiasi (undifferentiated fever), Demam Dengue (Dengue Fever), atau Demam Berdarah Dengue (Dengue Haemorrhagic Fever) termasuk Sindrom Syok Dengue (Dengue Shock Syndrome) dan Expanded Dengue Syndrome. Infeksi salah satu serotipe dengue akan memberikan kekebalan seumur hidup terhadap serotipe tersebut, tetapi hanya ada proteksi-silang jangka

pendek untuk serotipe lainnya. Manifestasi klinis infeksi virus dengue tergantung pada faktor-faktor strain virus dan host seperti usia, status kekebalan, dan lain lain (WHO, 2011).

1) Demam tidak terdiferensiasi

Pada bayi, anak dan orang dewasa yang terinfeksi virus dengue, terutama untuk pertama kalinya (infeksi dengue primer), dapat terjadi demam sederhana yang tidak dapat dibedakan dari infeksi virus lainnya. Ruam makulopapular dapat menyertai demam atau mungkin muncul selama penurunan suhu badan sampai normal. Gejala saluran pernapasan atas dan saluran pencernaan juga umum terjadi (WHO, 2011).

2) Demam Dengue

Pada masa awal penyakit b iasanya mendadak, disertai gejala prodromal seperti nyeri kepala, nyeri di berbagai bagian tubuh, anoreksia, menggigil, dan malaise. Akan dijumpai trias sindrom, yaitu demam tinggi, nyeri pada anggota badan, dan ruam. Ruam timbul pada 6-12 jam sebelum suhu naik pertama kali, pada hari sakit ke 3-5 dan berlangsung selama 3-4 hari. Ruam bersifat makulopapular yang menghilang pada penekanan. Ruam biasanya terdapat di dada, abdomen, anggota gerak dan wajah.

Anoreksia dan obstipasi sering dilaporkan, selain itu rasa tidak nyaman di daerah epigastrium disertai nyeri kolik dan perut lembek

commit to user

sering ditemukan. Pada stadium dini sering timbul perubahan pada indra pengecap. Gejala klinis lain yaitu fotofobia, keringat bercucuran, serak, batuk, epistaksis, dan disuria. Demam akan menghilang secara lisis disertai keringat yang banyak.

Kelenjar limfa servikal d ilaporkan membesar pada 67-77% kasus. Kelainan darah tepi demam dengue adalah leukopenia selama periode pra-demam dan demam, neutrofilia relatif dan limfopenia, disusul oleh neutropenia relatif dan limfositosis pada periode puncak penyakit dan masa kovalesens. Eosinofil menurun atau menghilang pada permulaan dan puncak penyakit, hitung jenis neutrofil bergeser ke kiri selama periode demam, sel plasma meningkat pada periode memuncaknya penyakit dengan terdapatnya trombositopenia. Darah tepi akan menjadi normal kembali dalam waktu 1 minggu.

Komplikasi demam dengue jarang dilaporkan, antara lain orkhitis atau ovaritis, keratitis, dan retinitis. Berbagai kelainan neurologis juga dilaporkan, di antaranya menurunnya kesadaran, paralisis sensorium yang sementara, meningismus, dan ensefalopati (Merdjani, et al., 2008).

3) Demam Berdarah Dengue

Demam Berdarah Dengue ditandai oleh 4 manifestasi klinis, yaitu demam tinggi, perdarahan, hepatomegali, dan kegagalan peredaran darah (circulatory failure).

Pada DBD terdapat perdarahan kulit, uji torniquet positif, memar, dan perdarahan pada tempat pengambilan darah vena. Petekia halus yang tersebar di anggota gerak, wajah, aksila sering ditemukan pada masa dini demam. Perdarahan dapat juga terjadi di setiap organ tubuh. Pada masa kovalesens sering ditemukan eritema pada telapak tangan dan kaki.

Pada DBD yang disertai syok, setelah demam berlangsung selama beberapa hari keadaan umum tiba-tiba memburuk. Hal tersebut biasa terjadi pada saat atau setelah demam menurun, yaitu antara hari sakit ke 3-7. Pada sebagian kasus ditemukan tanda kegagalan peredaran darah, kulit terasa lembab dan dingin, sianosis di sekitar mulut, nadi menjadi cepat dan lembut. Anak akan tampak lesu dan gelisah kemudian secara cepat masuk dalam fase syok. Pasien sering mengeluh nyeri di daerah perut sesaat sebelum syok. Syok yang terjadi selama periode demam biasanya mempunyai prognosis buruk.

Selain kegagalan sirku lasi, saat syok tekanan nadi menurun

Dokumen terkait