• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN FORMAL KEPALA KELUARGA DENGAN PERILAKU PEMBERANTASAN SARANG NYAMUK AEDES SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN FORMAL KEPALA KELUARGA DENGAN PERILAKU PEMBERANTASAN SARANG NYAMUK AEDES SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN FORMAL KEPALA KELUARGA DENGAN PERILAKU PEMBERANTASAN SARANG NYAMUK AEDES

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Nadhira Puspita Ayuningtyas G0009145

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

Surakarta

2012

(2)
(3)

ii

PENGESAHAN SKRIPSI

Skripsi dengan judul : Hubungan Tingkat Pendidikan Formal Kepala Keluarga

dengan Perilaku Pemberantasan Sarang Nyamuk Aedes

Nadhira Puspita Ayuningtyas, NIM: G0009145, Tahun: 2012

Telah diuji dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi

Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada hari Rabu, Tanggal 26 Desember 2012

Pembimbing Utama

Mutmainah, dr., M.Kes Prof. Dr. Zainal Arifin Adna n, dr., Sp. PD-KR-FINASIM

NIP 19660702 199802 2 001 NIP 19510601 197903 1 002

(4)

iii

(5)

iii

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan penulis tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Surakarta, 12 Desember 2012

Nadhira Puspita Ayuningtyas NIM G0009145

(6)

iv ABSTRAK

Nadhira Puspita Ayuningtyas, G0009145, 2012. Hubungan Tingkat Pendidikan Formal Kepala Keluarga dengan Perilaku Pemberantasan Sarang Nyamuk Aedes. Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Latar Belakang : Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan masalah kesehatan utama di Indonesia dan merupakan penyakit endemis yang ada hampir di seluruh propinsi. Jumlah kasus DBD semakin meningkat setiap tahunnya. Oleh karenanya pemerintah menggalakkan upaya pencegahan DBD melalui pengendalian vektornya yaitu nyamuk Aedes dengan gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk. Namun, tampaknya hingga saat ini upaya tersebut belum memberikan hasil yang diinginkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan antara tingkat pendidikan formal kepala keluarga dengan perilaku pemberantasan sarang nyamuk Aedes.

Metode Penelitian : Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan pendekatan cross sectional yang dilaksanakan pada bulan September - Desember 2012 di Surakarta. Subyek penelitian adalah kepala keluarga yang bertempat tinggal di Surakarta. Perilaku subyek diukur dengan menggunakan kuesioner yang meliputi kuesioner perilaku masyarakat terhadap pemberantasan sarang nyamuk Aedes yang terdiri atas 20 item pertanyaan. Diperoleh data sebanyak 50 dan analisis data menggunakan uji Annova satu jalan melalui program SPSS 17.00 for Windows.

Hasil Penelitian : Hasil penelitian dari total 50 sampel didapatkan skor rata-rata perilaku 25 dari skor 40. Penelitian ini menunjukkan nilai F hitung sebesar 11,64

sedangkan nilai F 1) = 3 dan (df2) = 46

didapatkan nilai sebesar 2,81. Hal ini berarti bahwa nilai F hitung > nilai F tabel.

Sementara itu = 0,000 yang berarti

bahwa p < 0,05. Kedua hasil analisis tersebut memiliki simpulan yang sama, yaitu menolak Ho.

Simpulan Penelitian : Terdapat hubungan yang signifikan secara statistik antara tingkat pendidikan formal kepala keluarga dengan perilaku pemberantasan sarang nyamuk Aedes. Semakin tinggi tingkat pendidikan kepala keluarga, semakin baik pula perilaku pemberantasan sarang nyamuk Aedes.

Kata Kunci : Tingkat pendidikan formal kepala keluarga, perilaku pemberantasan sarang nyamuk Aedes.

(7)

v ABSTRACT

Nadhira Puspita Ayuningtyas, G0009145, 2012. Correlation between Patriarch Formal Education Degree and Behaviour in Eradication of Aedes Mosquitoes Nest. Mini Thesis, Faculty of Medicine, Sebelas Maret University, Surakarta

Background: Dengue Hemoragic Fever (DHF) is a serious health problem in Indonesia and it is an endemic diesase in almost every province in Indonesia. The number of DHF cases increased each year. That’s why, the government promote a way to prevent DHF through controlling the vector, Aedes mosquitoes, with the eradication of mosquitoes nest. However, it seems that until today it hasn’t give the desired result. This study aims to determine the relationship between patriarch formal education degree with the behaviour in eradication of aedes mosquitoes nest.

Methods: This was an observational analytic study with cross-sectional approach that was conducted on September-December 2012 in Surakarta. The subject were partiarch residing in Surakarta. Subject’s behaviour was measured through a questionnaire which included questionnaires of behaviour towards eradication of Aedes mosquitoes nest which consist 20 items of questions. The obtained data were 50 and the data analysis used One Way Anova test with SPSS 17.00 for Windows program.

Results: The results of a total of 50 samples abtained an average score of their behaviour 25 out of 40. This study demonstrates the value of F count equal to 11.64, while the value of F table with = 0.05 and degrees of freedom (df1) = 3 and (df2) = 46 obtained a value of 2.81. It means that the value of F count > value of F table. Meanwhile, with = 0.05 shows p = 0.000, which means that p < 0.05. Thus, the two analyzes are the same conclusions that reject Ho.

Conclusion: There is a statistically significant relationship between patriarch formal education degree and behaviour in eradication of Aedes mosquitoes nest. The higher the education degree, the better the behaviour in eradiction of Aedes mosquitoes nest.

Keywords: Patriarch formal education degree, behaviour in eradication of Aedes mosquitoes nest.

(8)

vi

Alhamdulillah hirobbil’aalamin, segala puji kehadirat Allah SWT, atas segala karunia, rahmat, izin, dan nikmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hubungan Tingkat Pendidikan Formal Kepala Keluarga dengan Perilaku Pemberantasan Sarang Nyamuk Aedes”. Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu persyaratan dalam menyelesaikan Program Sarjana Pendidikan Dokter di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Dalam penyusunan skripsi ini tidak lepas dari berbagai hambatan dan kesulitan. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan berhasil tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu rasa hormat dan ucapan terima kasih yang dalam penulis berikan kepada :

1. Prof.Dr.Zainal Arifin Adnan,dr.,Sp.PD-KR-FINASIM selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. H. Rustam Siregar, dr. Sp. A selaku Pembimbing Utama atas semua bimbingan, saran, nasihat, dan masukannya selama penyusunan hingga selesainya skripsi ini. 3. Arif Suryawan, dr. selaku Pembimbing Pendamping atas semua bimbingan,

saran, dan masukannya selama penyusunan hingga selesainya skripsi ini.

4. Ismiranti Andarini, dr. Sp. A, M.Kes selaku Penguji Utama yang telah memberikan banyak kritik, saran, dan masukan dalam penyusunan skripsi ini. 5. Prasetyadi Mawardi, dr. Sp. KK selaku Penguji Pendamping yang telah

memberikan banyak kritik, saran, dan masukan dalam penyusunan skripsi ini. 6. Annang Giri Moelyo, dr. Sp. A, M.Kes, Mutmainah, dr.,M.Kes, Bu Enny, SH.,

MH dan Mas Sunardi selaku TIM Skripsi FK UNS, atas kepercayaan, bimbingan, koreksi dan perhatian yang sangat besar sehingga terselesainya skripsi ini

7. Yang tercinta dan amat saya sayangi kedua orang tua saya, Dra. Fathia, Apt. dan Hery Indyanto, drh. yang senantiasa mendoakan dengan tiada henti serta memberikan dukungan, semangat, dan motivasi sehingga terselesaikannya skripsi ini.

8. Kakak saya yang tercinta Imania Mustika Purwitaningtyas, S.T. yang senantiasa mendoakan dan memberi semangat sehingga terselesaikannya skripsi ini.

9. Novia Damara, Namira Octaviyati, Pratiwi Prasetya Primisawitri, dan teman-teman lainnya atas segala bantuan dan waktu yang selalu tersedia.

10. Mbak Daryanti yang sangat membantu saya dalam terselesaikannya skripsi ini. 11. Seluruh warga dan pihak kelurahan atas segala waktu dan bantuan selama proses

pengambilan data sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

12. Semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung membantu proses penyusunan skripsi ini yang tidak mungkin saya sebutkan satu persatu.

(9)

vii

PRAKATA ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 6

BAB II. LANDASAN TEORI ... 7

A. Tinjauan Pustaka... ... 7

1. Pendidikan ... ... 7

2. Tingkat Pendidikan Formal ... ... 8

3. Nyamuk Aedes ... ... 10

a. Taksonomi ... 10

b. Morfologi ... 11

c. Siklus Hidup ... 12

d. Kebiasaan Hidup Nyamuk ... 13

(10)

viii

a. Etiologi ... 15

b. Patofisio logi ... 15

c. Patogenesis ... 20

d. Manifestasi Klinis ... 25

e. Diagnosis ... 31

f. Klasifikasi ... 34

g. Penularan ... 35

h. Pencegahan Penyakit Dengue ... 35

5. Pemberantasan Sarang Nyamuk Aedes .... ... ... 38

6. Perilaku ... 40

a. Pengertian Perilaku ... ... 40

b. Bentuk Perilaku ... ... 41

c. Determ inan Perilaku ... ... 42

d. Proses Adopsi Perilaku ... 43

7. Hubungan Pendidikan Formal Kepala Keluarga dengan Perilaku terhadap PSN Aedes ... 44

B. Kerangka Pem ikiran ... 48

C. Hipotesis ... 49

BAB III. METODE PENELITIAN ... 50

A. Jenis Penelitian ... 50

B. Lokasi Penelitian ... 50

C. Subjek Penelitian ... 50

(11)

ix

E. Alat dan Bahan ... 52

F. Identifikasi Variabel Penelitian ... 52

G. Defin isi Operasional Penelitian ... 52

H. Desain Penelitian ... 54

I. Cara Penelitian ... 54

J. Teknik Analisis Data ... 55

BAB IV. HASIL PENELITIAN ... 56

BABV. PEMBAHASAN ... 61

BABVI. PENUTUP ... 67

A. Simpulan ... 67

B. Saran ... 67

DAFTAR PUSTAKA ... 68

LAMPIRAN

(12)

x

Tabel 2.1. Expanded Dengue Syndrome (Manifestasi Klinis yang Tidak Umum

pada Infeksi Dengue) ... 30

Tabel 2.2. Klasifikasi Infeksi Dengue dan Derajat Keparahan DBD ... 34

Tabel 4.1. Umur, Pekerjaan, dan Tingkat Pendidikan Formal Kepala Keluarga

... 56

Tabel 4.2. Distribusi Penyuluhan PSN ... 58

Tabel 4.3. Hasil Analisis Anova Satu Jalan tentang Hubungan Pendidikan Formal

Kepala Keluarga Dengan Perilaku Pemberantasan Sarang Nyamuk

Aedes ... 58

(13)

xi

Gambar 2.1. Skema Kerangka Pemikiran ... 48

Gambar 3.1. Skema Rancangan Penelitian ... 54

Gambar 4.1. Perbedaan Rata-Rata Skor Perilaku Pemberantasan Sarang Nyamuk

Menurut Tingkat Pendidikan ... 60

(14)

xii Lampiran A. Kuesioner Penelitian

Lampiran B. Data Penelitian

Lampiran C. Hasil Uji Anova Satu Jalan

Lampiran D.

Lampiran E. Surat Izin Penelitian

Lampiran F. Surat Telah Melakukan Penelitian

(15)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Demam Berdarah Dengue menjadi masalah kesehatan utama di

Indonesia dan merupakan penyakit endemis hampir di seluruh propinsi serta

sering menimbulkan Kejadian Luar Biasa/KLB (Depkes RI, 2008). Indonesia

sendiri menurut WHO termasuk ke dalam negara endemik DBD bersama

dengan Thailand, Sri Langka, dan Timor Leste dalam peta ASEAN (WHO,

2007). Selain itu, berdasarkan jumlah kasus yang terdata di WHO, Indonesia

memiliki jumlah kasus terbanyak di Asia Tenggara sejak tahun 2003 hingga

tahun 2009 dengan jumlah kasus yaitu, 51934 kasus pada tahun 2003, 79462

kasus pada tahun 2004, 95279 kasus pada tahun 2005, 106425 kasus pada

tahun 2006, 157442 kasus pada tahun 2007, 155607 kasus pada tahun 2008,

dan 156052 kasus pada tahun 2009 (WHO, 2010).

Demam Berdaah Dengue pertama kali ditemukan di Indonesia pada

tahun 1968 di Surabaya. Namun, konfirmasi virologis baru didapat pada

tahun 1972. Sejak saat itu hingga kini DBD telah tersebar ke seluruh propinsi

di Indonesia dan terus terjadi peningkatan jumlah kasus dari tahun ke tahun

(Zulkoni, 2011).

(16)

Berdasarkan data dari Departemen Kesehatan RI didapatkan pada

tahun 2002 jumlah kasus sebanyak 40.377 ( IR : 19,24/100.000 penduduk

dengan 533 kematian (CFR : 1,3 %), tahun 2003 jumlah kasus sebanyak

52.566 (IR : 24,34/100.000 penduduk) dengan 814 kematian (CFR : 1,5 %),

tahun 2004 jumlah kasus sebanyak 79.462 (IR : 37,01/100.000 penduduk)

dengan 957 kematian (IR : 1,20 %), tahun 2005 jumlah kasus sebanyak

95.279 (IR : 43,31/100.000 penduduk) dengan 1.298 kematian (CFR : 1,36

%) tahun 2006 jumlah kasus sebanyak 114.656 (IR : 52,48/100.000

penduduk) dengan 1.196 kematian (CFR : 1,04 %), tahun 2007 jumlah kasus

124.811 (IR: 57,52/100.000 penduduk) dengan 1.277 kematian (CFR:

1,02%), tahun 2008 jumlah kasus 137.469 (IR = 59,02 per 100.000

penduduk) dengan 1.187 kematian (CFR = 0.86%), dan jumlah kasus pada

tahun 2009 sebanyak 154.855 dengan 1.384 kematian (CFR = 0.89%).

Berdasarkan Grafik Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) Per

Propinsi di Indonesia Tahun 2011, Propinsi Jawa Tengah menduduki

peringkat kedua terbanyak jumlah kasus Demam Berdarah Dengue dengan

jumlah kasus sebanyak 2.345 setelah Propinsi Jawa Timur dengan jumlah

kasus sebanyak 3.152.

Upaya pengendalian penyakit DBD yang telah dilakukan sampai saat

ini adalah memberantas nyamuk penularnya, yaitu Aedes aegypti dan Aedes

albopictus baik nyamuk dewasa ataupun jentiknya karena obat dan

vaksinnya untuk membasmi virusnya belum ada hingga saat ini. Departemen

Kesehatan telah menetapkan 5 kegiatan pokok sebagai kebijakan dalam

(17)

pengendalian penyakit DBD yaitu menemukan kasus secepatnya dan

mengobati sesuai protap, memutuskan mata rantai penularan dengan

pemberantasan vektor (nyamuk dewasa dan jentik-jentiknya), kem itraan

dalam wadah POKJANAL DBD (Kelompok Kerja Operasional DBD),

pemberdayaan masyarakat dalam gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk

(PSN 3M Plus) dan Peningkatan profesionalisme pelaksana program (Depkes

RI, 2008).

Salah satu upaya pencegahan yang paling utama adalah pemberdayaan

masyarakat dalam gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN). Kampanye

PSN sudah digalakkan Departemen Kesehatan dengan semboyan 3M, yaitu

menguras tempat penampungan air secara teratur, menutup tempat-tempat

penampungan air dan mengubur barang-barang bekas yang dapat menjadi

sarang nyamuk. Kegiatan ini telah diintensifkan sejak tahun 1992 dan pada

tahun 2000 dikembangkan menjadi 3M Plus yaitu dengan cara menggunakan

larvasida, memelihara ikan pemakan jentik, menggunakan kelambu pada

waktu tidur, memasang kasa, menyemprot dengan insektisida, menggunakan

lotion anti nyamuk dan memeriksa jentik berkala sesuai dengan kondisi

setempat.

Pemberantasan Sarang Nyamuk berperan sangat penting dalam

mencegah terjadinya penularan penyakit demam berdarah dengue, karena

dengan dilakukannya PSN dapat memutus siklus hidup vektor penyakit DBD

yaitu Aedes aegypti dan Aedes albopictus.

(18)

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Institute for Medical

Research, Kuala Lumpur, Malaysia dan Department of Health, Cebu City,

Philippines ditemukan bahwa salah satu virus penyebab penyakit demam

berdarah dengue, dengue virus type 2 (DEN-2), dapat ditransmisikan secara

transovarial pada nyamuk Aedes aegypti sampai generasi kelima. Penelitian

tersebut dilakukan dengan cara memberi makan 200 nyamuk Aedes aegypti

betina berumur 4-5 haridengan darah yang terinfeksi oleh dengue virus type

2, kemudian nyamuk tersebut dibiakkan hingga sampai terdapat 7 generasi;

setiap generasi diuji dengan menggunakan metode immunological staining

untuk mengetahui keberadaan virus. Virus ternyata terdeteksi sampai pada

generasi kelima tetapi pada generasi keenam dan ketujuh sudah tidak

terdeteksi (Rohani et al., 2008)

Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan nyamuk Aedes aegypti

masih dapat menularkan virus demam berdarah dengue tipe 2 walaupun

keturunan dari nyamuk tersebut, sampai dengan generasi kelima, tanpa perlu

menghisap terlebih dahulu darah dari penderita DBD. Oleh karena itu, sangat

penting untuk memutus siklus hidup nyamuk dalam usaha pencegahan dan

penanggulangan penyakit demam berdarah dengue.

Sampai saat ini, upaya PSN dengan 3M plus yang dilakukan baik

masyarakat maupun pemerintah belum memberikan hasil yang diinginkan

karena setiap tahun masih terjadi peningkatan jumlah kasus DBD. Berbagai

upaya untuk memberdayakan masyarakat dalam PSN sudah banyak dilakukan

tetapi hasilnya belum optimal dapat merubah perilaku masyarakat untuk

(19)

secara terus-menerus melakukan PSN di tatanan dan lingkungan

masing-masing (Depkes RI, 2008).

Dalam setiap persoalan kesehatan, termasuk dalam upaya

penanggulangan DBD, faktor perilaku senantiasa berperan penting. Perhatian

terhadap faktor perilaku sama pentingnya dengan perhatian terhadap faktor

lingkungan, khususnya dalam hal upaya pencegahan penyakit. Perilaku

kesehatan dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah latar

belakang seseorang. Latar belakang di sini mencakup pendidikan seseorang

(Liana, 1996).

Seseorang yang memiliki latar belakang pendidikan rendah atau buta

huruf, pada umumnya akan mengalami kesulitan untuk menyerap ide-ide baru

dan membuat seseorang tersebut bersifat konservatif, karena tidak mengenal

alternatif yang lebih baik (Kasnodiharjo, 1998).

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, tiap tahunnya masih

terjadi peningkatan kasus demam berdarah dan hal ini merupakan masalah

yang cukup serius dan perlu diwaspadai. Walaupun pemerintah telah

mengajak masyarakat berperan dalam pencegahan demam berdarah melalui

program Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), namun hal tersebut belum

memberikan hasil yang diinginkan hingga saat ini. Beberapa faktor dapat

mempengaruhi perilaku seseorang terhadap PSN yang merupakan perilaku

kesehatan dan salah satunya adalah tingkat pendidikan, maka peneliti ingin

(20)

mengetahui lebih lanjut adakah hubungan antara tingkat pendidikan formal

kepala keluarga dengan perilaku pemberantasan sarang nyamuk Aedes.

B. Perumusan Masalah

Bagaimana hubungan tingkat pendidikan formal kepala keluarga

dengan perilaku terhadap pemberantasan sarang nyamuk Aedes?

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui hubungan tingkat pendidikan formal kepala

keluarga dengan perilaku terhadap pemberantasan sarang nyamuk Aedes.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi :

1. Dinas Kesehatan Surakarta untuk merumuskan langkah strategis yang

dapat dilakukan dalam menurunkan angka kejadian DBD.

2. Masyarakat, sebagai informasi untuk lebih menggalakkan kegiatan

pemberantasan sarang nyamuk Aedes.

3. Orang lain, untuk menambah wawasan dan sumber pustaka.

(21)

7 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Pendidikan

Menurut Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1 (1) pendidikan adalah: “usaha sadar

dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran

agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya,

masyarakat, bangsa dan negara”.

Pengertian kata “pendidikan” menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia (2001) adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang

atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya

pengajaran dan pelatihan.

Pendidikan dalam pengertian yang agak luas dapat diartikan sebagai

sebuah proses dengan metode-metode tertentu sehingga orang memperoleh

pengetahuan, pemahaman, dan cara bertingkah laku yang sesuai dengan

kebutuhan. Karena di dalam pendidikan tercakup proses perkembangan

seseorang menuju kedewasaan maka pendidikan mempunyai tujuan untuk

mengubah dan membentuk sikap, watak serta perilaku manusia ke arah

yang lebih baik (Syah, 2011).

(22)

2. Tingkat Pendidikan Formal

Berdasarkan lingkungan terselenggaranya, pendidikan dapat

diklasifikasikan menjadi: pendidikan informal, pendidikan non formal dan

pendidikan formal. Pendidikan informal adalah pendidikan yang diperoleh

dari pengalaman sehari-hari secara sadar atau tidak sepanjang hayat

seseorang. Pendidikan ini dapat berlangsung dalam keluarga, pergaulan

sehari-hari, pekerjaan, masyarakat, keluarga dan organisasi. Pendidikan

non formal adalah pendidikan yang dilaksanakan secara tertentu, dengan

sadar tetapi tidak terlalu mengikuti peraturan yang ketat. Pendidikan

formal adalah pendidikan yang berlangsung secara teratur, bertingkat dan

mengikuti syarat-syarat tertentu secara ketat. Pendidikan ini berlangsung

di sekolah. Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal karena

diadakan di tempat tertentu, teratur, sistematis, mempunyai jenjang dan

kurun waktu tertentu, serta berlangsung mulai dari Taman Kanak-kanak

hingga Perguruan tinggi berdasarkan aturan resmi yang sudah ditetapkan

(Ahmadi dan Uhbiyati, 1991).

Menurut Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2003 menjelaskan bahwa

pendidikan formal terbagi atas tiga jenjang pendidikan yaitu:

a. Pendidikan dasar

Pada prinsipnya, pendidikan dasar memberikan bekal dasar bagi

perkembangan kehidupan serta mempersiapkan peserta didik untuk

mengikuti pendidikan menengah. Pendidikan dasar berbentuk Sekolah

(23)

Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang

sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah

Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat. Jenjang waktu

yang ditempuh untuk pendidikan dasar adalah sembilan tahun, enam

tahun Sekolah Dasar atau bentuk lain yang sederajat dan tiga tahun

Sekolah Menengah Pertama atau bentuk lain yang sederajat.

b. Pendidikan menengah

Pendidikan menengah merupakan kelanjutan dari pendidikan dasar,

yang dipersiapkan menjadi anggota masyarakat yang mempunyai

kemampuan hubungan timbal balik dalam lingkungan dan dapat

mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau pendidikan tinggi.

Pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA),

Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan

Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.

Jenjang waktu yang ditempuh untuk pendidikan menengah adalah tiga

tahun.

c. Pendidikan tinggi

Pendidikan tinggi merupakan kelanjutan pendidikan menengah

yang diselenggarakan untuk menyiapkan peserta didik menjadi anggota

masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan profesional yang

dapat menerapkan, mengembangkan dan menciptakan ilmu

pengetahuan, teknologi dan kesenian. Pendidikan tinggi mencakup

(24)

program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor

yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi. Perguruan Tinggi

diselenggarakan dengan sistem terbuka, dan jenjang waktu yang

ditempuh untuk pendidikan tinggi bervariasi sesuai dengan gelar

akademik, profesi, atau vokasi yang ditempuh seseorang.

3. Nyamuk Aedes

a. Taksonomi

Secara taksonomi, nyamuk Aedes dapat diklasifikasikan sebagai

berikut:

Filum : Arthropoda

Kelas : Hexapoda

Ordo : Diptera

Subordo : Nematocera

Famili : Culicidae

Subfamili : Culicinae

Tribus : Culicini

Genus : Aedes

Spesies : Aedes aegypti dan Aedes albopictus (Sucipto, 2011).

(25)

b. Morfologi

1) Aedes aegypti

Bagian tubuh nyamuk dewasa terdiri atas kepala, dada (toraks)

dan perut (abdomen). Tanda khas Aedes aegypti berupa gambaran

lyre pada bagian dorsal toraks (mesonotum) yaitu sepasang garis

putih yang sejajar di tengah dan garis lengkung putih yang lebih

tebal pada tiap sisinya. Probosis berwarna hitam, skutelum trilobi,

bersisik lebar berwarna putih. Pada betina palpus lebih pendek dari

probocis. dan abdomen berpita putih pada bagian basal. Ruas tarsus

kaki belakang berpita putih. Sisik sayap sempit panjang dengan

ujung runcing.

Telur Aedes aegypti berwarna putih saat pertama kali

dikeluarkan, lalu menjadi coklat kehitaman. Telur berbentuk oval,

dan memiliki garis-garis yang menyerupai sarang lebah dengan

panjang 0,5 mm. Telur dapat bertahan sampai berbulan-bulan dalam

suhu 2-24°C, namun akan menetas dalam waktu 1-2 hari pada

kelembaban rendah. Setelah telur menetas kemudian akan menjadi

larva. Larva Aedes aegypti memiliki sifon yang pendek dan

mempunyai sisir pada ruas ke-8 abdomen yang terdiri dari gigi-gigi

bergerigi. Umur larva sekitar 7-9 hari kemudian menjadi pupa.

Bentuk pada stadium pupa seperti bentuk terompet panjang dan

ramping. Stadium pupa biasanya berlangsung selama 2 hari. Setelah

(26)

itu, pupa akan membuka dan melepaskan kulitnya, dan akan keluar

stadium imago atau nyamuk dewasa (Sucipto, 2011).

2) Aedes albopictus

Nyamuk Aedes albopictus mempunyai ciri morfologi yang

mirip dengan nyamuk Aedes aegypti, namun memiliki beberapa

perbedaan. Aedes albopictus dewasa mempunyai ciri-ciri fisik

mempunyai gambaran sebuah pita putih longitudinal pada bagian

mesotonum. Selain itu, larva Aedes albopictus mempunyai sisir pada

ruas ke-8 abdomen dan mempunyai gigi-gigi sederhana tanpa duri

lateral. Stadium telur dan pupa pada nyamuk Aedes albopictus

memiliki ciri morfologis yang sama dengan nyamuk Aedes aegypti

(Sucipto, 2011).

c. Siklus Hidup

Telur nyamuk Aedes akan menetas menjadi larva dalam waktu 1-2

hari, kemudian larva akan berubah menjadi pupa dalam waktu 5-15

hari. Stadium pupa biasanya berlangsung selama 2 hari. Dalam suasana

optimum, perkembanga dari telur sampai dewasa memerlukan waktu

sekurang-kurangnya 9 hari.

Setelah nyamuk berkembang dan keluar dari pupa, nyamuk akan

beristirahat terlebih dahulu di kulit pupa untuk sementara waktu hingga

sayap menjadi kaku dan kuat untuk terbang. Pupa jantan menetas lebih

(27)

dahulu dari pupa betina. Setelah 1-2 hari keluar dari pupa, nyamuk

betina dewasa siap untuk kawin dan menghisap darah manusia.

Nyamuk jantan tidak pergi jauh dari tempat perindukan karena

menunggu nyamuk betina menetas dan siap berkopulasi. Sesudah

kopulasi, nyamuk betina akan menghisap darah manusia yang

diperlukannya untuk pembentukan telur. Waktu dari mulai nyamuk

menghisap darah hingga telur dikeluarkan berlangsung sekitar 3-4 hari.

Kemudian nyamuk betina akan meletakkan telurnya pada dinding

tempat air di mana telur akan berkembang dan menetas. Jumlah telur

yang dikeluarkan nyamuk betina rata-rata berjumlah 150 butir telur

(Sungkar, 2005).

d. Kebiasaan Hidup Nyamuk

Aedes aegypti berkembangbiak di dalam tempat penampungan air

yang tidak beralaskan tanah seperti bak mandi, tempayan, drum, vas

bunga, dan barang-barang bekas yang dapat menampung air hujan.

Aedes albopticus juga demikian tetapi lebih banyak terdapat di luar

rumah, seperti dahan pohon atau daun yang menampung air.

Nyamuk Aedes aegypti aktif menghisap darah pada siang hari

dengan 2 puncak aktivitas, yaitu pada pukul 08.00-12.00 dan

15.00-17.00. nyamuk Aedes aegypti bersifat antropofilik, nyamuk betina lebih

suka menghisap darah manusia darpada darah binatang dan mempunyai

kebiasaan menggigit berulang sampai lambung penuh berisi darah.

(28)

Nyamuk betina menghisap darah umumnya 3 hari setelah melakukan

kopulasi. Setelah menghisap darah, nyamuk Aedes aegypti hinggap

untuk beristirahat dalam rumah yang berdekatan dengan tempat

berkembangbiaknya. Tempat hinggap yang disenangi adalah tempat

yang gelap dan lembab, dan nyamuk senang hinggap di benda yang

menggantung seperti pakaian, kelambu, atau tumbuh-tumbuhan. Setelah

beristirahat dan proses pematangan telur selesai, nyamuk betina akan

meletakkan telurnya di dinding tempat berkembangbiaknya, sedikit di

atas permukaan air. Jumlah telur yang dikeluarkan adalah sekitar

100-400 butir.

Nyamuk Aedes aegypti biasa menempatkan telurnya di air jernih

terutama bak air WC, bak mandi, dan gentong air minum, sedangkan

nyamuk Aedes albopticus lebih senang bertelur di luar rumah, seperti

pekarangan, atau di kaleng sampah yang dibuang (Sucipto, 2011).

Jarak terbang nyamuk Aedes sekitar 30-50 meter per hari, tetapi

jarak terbang ini juga bergantung dari tempat bertelur. Apabila tempat

bertelur terdapat di dalam rumah atau di sekitar rumah maka nyamuk

tidak akan terbang jauh. Kemampuan terbang nyamuk betina rata-rata

40 meter, maksimal 100 meter. Namun, nyamuk dapat berpindah lebih

jauh secara pasif karena terbawa angin atau kendaraan (Sungkar, 2005).

(29)

4. Infeksi Virus Dengue

Infeksi virus dengue adalah penyakit yang sistemik dan dinamis.

penyakit ini memiliki spektrum klinis yang luas yang meliputi baik

manifestasi klinis berat dan ringan (WHO, 2009).

a. Etiologi

Virus dengue termasuk group B arthropod bone virus dan sekarang

lebih dikenal sebagai genus flavivirus, famili Flaviviridae yang

mempunyai 4 jenis serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4.

Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup

terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan

terhadap serotipe yang lain (Merdjani et al, .2008).

b. Patofisiologi

1) Volume Plasma

Patofisio logi utama yang membedakan antara Demam Dengue

dengan Demam Berdarah Dengue adalah peningkatan permeabilitas

dinding pembuluh darah, penurunan volume plasma, hipotensi,

trombositopenia, serta diatesis hemorrhagik. Penyelid ikan volume

plasma pada kasus DBD dengan menggunakan 131 Iodine labelled

human albumin sebagai indikator membuktikan bahwa plasma

merembes selama perjalanan penyakit mulai dari permulaan masa

demam dan mencapai puncak pada masa syok. Pada kasus berat,

(30)

syok terjadi secara akut, nilai hematokrit meningkat secara

bersamaan dengan menghilangnya plasma melalui endotel dinding

pembuluh darah. Meningkatnya nilai hematokrit pada kasus syok

mengarahkan kepada dugaan bahwa syok terjadi akibat kebocoran

plasma ke daerah ekstra vaskular melalui kap iler yang rusak. Bukti

yang mendukung adalah ditemukannya cairan dalam rongga serosa

seperti rongga peritoneum, pleura, dan perikardium yang pada

autopsi yang ternyata melebihi cairan yang diberikan melalui infus,

dan terdapatnya edema (Merdjani et al, .2008).

2) Trombositopenia

Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang sering

ditemukan pada kasus DBD. Nilai trombosit menurun pada masa

demam dan mencapai nilai terendah pada masa syok.

Trombositopenia dihubungkan dengan meningkatnya megakariosit

muda dalam sumsum tulang dan pendeknya masa hidup trombosit

akibat peningkatan destruksi trombosit. Fungsi trombosit pada DBD

terbukti menurun yang kemungkinan disebabkan oleh proses

imunologis. Trombositopenia dan gangguan fungsi trombosit

dianggap sebagai penyebab utama terjadinya perdarahan pada DBD

(Merdjani et al, .2008).

(31)

3) Sistem Koagulasi dan Fibrinolisis

Kelainan sistem koagulasi juga berperan sebagai penyebab

perdarahan pada DBD. Masa perdarahan memanjang, masa

pembekuan normal atau memanjang, masa tromboplastin parsial

yang teraktivasi memanjang. Beberapa faktor pembekuan menurun,

yaitu faktor II, V, VII, VIII, X dan fibrinogen. Pada kasus berat

terjadi peningkatan Fibrinogen Degradation Products (FDP).

Penelitian lebih lanjut membuktikan adanya penurunan

aktivitas antitrombin III. Selain itu juga dibuktikan bahwa

menurunnya aktivitas faktor VII, faktor II dan antitrombin III tidak

sebanyak fibrinogen dan faktor VIII. Hal tersebut menimbulkan

dugaan bahwa menurunnya kadar fibrinogen dan faktor VIII tidak

hanya diakibatkan oleh konsumsi sistem koagulasi, tetapi juga oleh

konsumsi sistem fibrinolisis. Kelainan fibrinolisis pada DBD

dibuktikan dengan adanya penurunan aktivit -2 plasmin inhibitor

dan penurunan aktivitas plasminogen (Merdjani, et al., .2008).

Selain itu, pada penderita DBD terjadi disfungsi endotel, hal

ini dibuktikan dengan terdapatnya peningkatan kadar sVCAM-1,

faktor von Willebrand (vWF) dan D dimer. Namun tidak ada

hubungan antara sVCAM-1 dengan beratnya penyakit, hanya ada

hubungan yang lemah antara vWF dengan D dimer maupun beratnya

penyakit (Dharma, et al., 2006).

(32)

4) Sistem Komplemen

Terdapat penurunan kadar C3, C3 proaktivator, C4, dan C5

baik pada kasus yang disertai syok atau tidak. Terdapat hubungan

positif antara kadar serum komplemen dengan derajat penyakit.

Penurunan menimbulkan perkiraan bahwa pada dengue, aktivasi

komplemen terjadi baik melalui jalur klasik maupun alternatif. Hasil

penelitian radioisotop mendukung pendapat bahwa penurunan kadar

komplemen disebabkan oleh aktivasi sistem komplemen bukan

karena produksi yang menurun. Aktivasi sistem komplemen

menghasilkan anafilatoksin C3a dan C5a yang mempunyai

kemampuan menstimulasi sel mast untuk melepaskan histamin dan

merupakan mediator kuat untuk menimbulkan peningkatan

permeabilitas kapiler, pengurangan volume plasma, dan syok

hipovolemik. Komplemen juga bereaksi dengan epitop virus pada sel

endotel, permukaan trombosit dan limfosit T, yang mengakibatkan

waktu paruh trombosit memendek, kebocoran plasma, syok, dan

perdarahan. Selain itu, komplemen juga merangsang monosit untuk

memproduksi sitokin seperti Tumor Necrosis Factor (TNF),

interfeon gamma, dan interleukin (IL-2 dan IL-1) (Merdjani et al,

.2008).

(33)

5) Respon Leukosit

Pada perjalanan penyakit DBD, sejak demam hari ketiga

terlihat peningkatan limfosit atipik yang berlangsung sampai hari

kedelapan. Dilaporkan juga bahwa pada sediaan hapus buffy coat

kasus DBD dijumpai transformed lymphocytes dalam presentase

tinggi (20-50%). Hal tersebut khas untuk DBD karena pada infeksi

virus lain hanya terdapat sekitar 0-10%. Penelitian lebih lanjut yang

dilakukan oleh Sutaryo pada tahun 1978, yang kemudian

menyebutnya sebagai Limfosit Plasma Biru (LPB). Pemeriksaan

LPB secara seri memperlihatkan bahwa LPB pada infeksi dengue

mencapai puncak pada hari keenam. Dari penelitian imunologi

disimpulkan bahwa LPB merupakan campuran antara limfosit-B dan

limfosit T. LPB adalah limfosit dengan sitoplasma biru tua,

ukurannya lebih besar atau sama dengan limfosit besar, sitoplasma

lebar dengan vakuolisasi halus sampai sangat nyata, dengan daerah

perinuklear yang jernih. Inti terletak pada salah satu tepi sel

berbentuk bulat oval. Kromosom inti kasar dan terkadang dalam inti

terdapat nukleoli. Pada sitoplasma tidak ada granula azurofilik.

Daerah yang berdekatan dengan eritrosit tidak melekuk dan tidak

bertambah biru (Merdjani, et al., .2008)

(34)

c. Patogenesis

Virus dengue dibawa oleh nyamuk Aedes aegypti dan Aedes

albopticus sebagai vektor ke tubuh manusia melalui gigitan nyamuk

tersebut. Infeksi yang pertama kali dapat memberi gejala sebagai

diagnosis banding. Demam Berdarah Dengue dapat terjadi apabila

seseorang yang telah terinfeksi dengue pertama kali, mendapat infeksi

berulang virus dengue lainnya (Hendrawanto, 2002).

Organ sasaran dari virus dengue ini adalah organ Reticulo

Endotelial System (RES) yang meliputi sel kuffer hepar, endotel

pembuluh darah, nodus limfaticus, sumsum tulang serta paru-paru.

Setelah masuk dalam aliran darah, virus akan difagosit oleh sel-sel

monosit perifer. Namun, virus tersebut ternyata mampu bertahan hidup

dan dapat melakukan multiplikasi di dalam sel monosit. Virus akan

melakukan hal tersebut dengan cara memasukkan genomnya masuk ke

dalam sel dengan bantuan organel-organel sel, kemudian genom akan

virus membentuk komponen-komponennya, baik komponen perantara

maupun komponen struktural virus. Setelah komponen struktural

dirakit, virus dilepaskan dari dalam sel. Proses perkembangbiakan virus

DEN ini terjadi dalam sitoplasma sel.

Secara In Vitro antibodi terhadap virus DEN mempunyai empat

fungsi biologis yaitu: netralisasi virus, sitolisis komplemen, Antibody

(35)

Dependent Cell-mediated Cytotoxity (ADCC) dan Antibody Dependent

Enhancement (ADE).

Antibodi terhadap virus DEN secara In Vivo dapat berperan pada

dua hal yang berbeda, yaitu : Antibodi netralisasi atau neutralizing

antibodies yang memiliki serotip spesifik yang dapat mencegah infeksi

virus dan antibody non neutralising yang memiliki peran cross-reactive

dan dapat meningkatkan infeksi yang berperan dalam patogenesis DBD

dan DSS.

Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini

masih diperdebatkan. Namun, berdasarkan data yang ada, terdapat bukti

yang kuat bahwa mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya

DBD dan DSS. Dua teori yang sering digunakan untuk menjelaskan

perubahan patogenesis pada DBD dan DSS yaitu hipotesis infeksi

sekunder (Secondary heterologous infection theory) dan hipotesis

Antibody Dependent Enhancement (ADE).

Teori infeksi sekunder menyebutkan bahwa apabila seseorang

mendapatkan infeksi primer dengan satu jenis serotipe virus, maka akan

terjadi proses kekebalan terhadap virus jenis tersebut untuk jangka

waktu yang lama, tetapi apabila orang tersebut mendapatkan infeksi

sekunder dari jenis serotipe virus yang berbeda, maka akan terjadi

infeksi yang berat. Antibodi yang telah terbentuk dari infeksi primer

akan membentuk kompleks dengan infeksi virus dengue dengan

(36)

serotipe yang berbeda, tetapi antibodi tersebut tidak dapat menetralisir

virus, bahkan akan membentuk suatu kompleks yang infeksius.

Karena adanya non neutralizing antibody, maka partikel virus DEN

dan molekul antibodi IgG akan membentuk suatu kompleks

virus-antibodi. Kompleks tersebut akan berikatan dengan reseptor Fc gama

pada sel, yang akan menimbulkan peningkatan infeksi virus DEN.

Kompleks virus antibodi juga akan meliputi sel makrofag yang beredar,

antibodi tersebut akan bersifat opsonisasi dan internalisasi sehingga

makrofag mudah terinfeksi dan akan teraktivasi, yang selanjutnya akan

memproduksi IL-1, IL-6 dan TNF- Platelet Activating Faktor

(PAF). TNF- akan berperan dalam menyebabkan kebocoran dinding

pembuluh darah, merembesnya cairan plasma ke jaringan tubuh yang

disebabkan kerusakan endothel pembuluh darah, dimana hal-hal

tersebut dapat mengakibatkan syok.

Pada teori yang lain, yaitu teori Antibody Dependent Enhancement

(ADE), menyebutkan tiga hal, yaitu: antibodies enhance infection,

T-cells enhance infection serta limfosit T dan monosit yang akan

melepaskan sitokin yang berkontribusi terhadap terjad inya DBD dan

DSS.

Teori ADE dapat dijelaskan sebagai berikut, bahwa jika terdapat

antibodi spesifik terhadap jenis virus tertentu, maka antibodi tersebut

dapat mencegah timbulnya penyakit, akan tetapi apabila antibodi yang

(37)

terdapat dalam tubuh merupakan antibodi yang tidak dapat

menetralisasi virus, justru dapat menimbulkan penyakit yang berat

(Soegijanto, 2006).

Dalam teori ADE diperkirakan bahwa proses terjadinya

peningkatan replikasi virus pada infeksi sekunder adalah akibat antibodi

yang berkadar rendah dan bersifat subnetral yang sudah terbentuk pada

saat terjadi infeksi primer tidak mampu membunuh virus, sehingga

kompleks imun melekat pada reseptor Fc sel mononuklear fagosit,

terutama makrofag, yang kemudian akan mempermudah virus masuk ke

sel dan meningkatkan kemampuan multiplikasi virus tersebut (Sutaryo,

2004).

Imunoglobulin spesifik terhadap virus dengue di dalam serum

pasien DD, DBD dan DSS didominasi o leh IgM, IgG1 dan IgG3,

sedangkan IgA dijumpai paling banyak pada fase akut dari DSS.

Sehingga banyak juga yang mengatakan bahwa IgA, IgG1 dan IgG4

dapat digunakan sebagai marker dari risiko berkembangnya DBD dan

DSS.

Di samping kedua teori tersebut masih ada teori-teori lain tentang

patogenesis dari DBD, di antaranya adalah teori virulensi virus, teori ini

didasarkan pada perbedaan serotipe virus dengue DEN-1, DEN-2,

DEN-3 dan DEN-4 yang semuanya dapat ditemukan pada kasus-kasus

yang fatal, tetapi berbeda antara daerah yang satu dengan yang lain.

(38)

Selain itu juga ada teori antigen-antibodi, teori ini berdasarkan bukti

bahwa pada penderita DBD terjadi penurunan aktivitas sistem

komplemen yang ditandai dengan penurunan dari kadar C3, C4 dan C5.

Selain itu, pada 48-72% penderita DBD terbentuk kompleks imun

antara IgG dengan virus Dengue yang dapat menempel pada trombosit,

sel B, dan sel-sel dalam organ tubuh lain. Terbentuknya kompleks imun

tersebut juga akan mempengaruhi aktivitas komponen sistem imun

yang lain. Juga ada teori mediator, yang menjelaskan bahwa makrofag

yang terinfeksi virus Dengue akan melepas berbagai mediator seperti

interferon, IL-1, IL-6, IL-12, TNF, dan lain lain. Diperkirakan mediator

dan endotoksin yang bertanggungjawab atas terjadinya syok septik,

demam dan peningkatan permeabilitas kapiler.

Pada infeksi virus dengue, virem ia terjadi sangat cepat, akan tetapi

derajat kerusakan jaringan yang ditimbulkan tidak cukup untuk

menyebabkan kematian dari infeksi virus tersebut, kematian lebih

disebabkan oleh gangguan metabolik dan juga keadaan shock.

Diketahui juga bahwa akibat dari replikasi virus di dalam sel akan

menimbulkan stres pada sel sampai dapat menyebabkan kematian sel

(apoptotik). Mekanisme pertahanan tubuh melalu i apoptosis dan

aktivasi sel-sel fagosit dapat menimbulkan jejas jaringan lokal juga

ketidakseimbangan homeostasis.

Pada infeksi fase akut virus dengue terjadi penurunan dari populasi

limfosit CD2+ dan berbagai subsetnya CD4+ dan CD8+. Juga terjadi

(39)

penurunan respon proliferatif dari sel-sel mononuklear, sebaliknya pada

fase konvalesen respon proliferatif kembali normal. Terjad i

peningkatan konsentrasi IFN-g, TNF-a, IL-10 dan reseptor TNF terlarut

di dalam plasma pasien DBD/DSS. Peningkatan TNF-a berhubungan

dengan manifestasi hemoragik, sedangkan kenaikan IL-10 berhubungan

dengan fungsi trombosit.

Sehingga, pada infeksi virus Dengue fase akut akan terjadi

penurunan jumlah maupun fungsi dari limfosit T, sedangkan sitokin

proinflamasi TNF-a akan meningkat dan berperan penting dalam

derajat keparahan dan patogenesis DBD/DSS. Juga terjadi peningkatan

IL-10 yang akan menurunkan fungsi limfosit T dan fungsi trombosit.

Penyebab utama dari kebocoran plasma yang khas terjadi pada pasien

DBD dan DSS disebabkan oleh kerjasama aktivasi komplemen, induksi

kemokin dan kematian sel apoptotik (Soegijanto, 2006).

d. Manifestasi Klinis

Infeksi virus dengue mungkin bersifat asimtomatik atau dapat

menyebabkan demam tidak terdiferensiasi (undifferentiated fever),

Demam Dengue (Dengue Fever), atau Demam Berdarah Dengue

(Dengue Haemorrhagic Fever) termasuk Sindrom Syok Dengue

(Dengue Shock Syndrome) dan Expanded Dengue Syndrome. Infeksi

salah satu serotipe dengue akan memberikan kekebalan seumur hidup

terhadap serotipe tersebut, tetapi hanya ada proteksi-silang jangka

(40)

pendek untuk serotipe lainnya. Manifestasi klinis infeksi virus dengue

tergantung pada faktor-faktor strain virus dan host seperti usia, status

kekebalan, dan lain lain (WHO, 2011).

1) Demam tidak terdiferensiasi

Pada bayi, anak dan orang dewasa yang terinfeksi virus

dengue, terutama untuk pertama kalinya (infeksi dengue primer),

dapat terjadi demam sederhana yang tidak dapat dibedakan dari

infeksi virus lainnya. Ruam makulopapular dapat menyertai demam

atau mungkin muncul selama penurunan suhu badan sampai normal.

Gejala saluran pernapasan atas dan saluran pencernaan juga umum

terjadi (WHO, 2011).

2) Demam Dengue

Pada masa awal penyakit b iasanya mendadak, disertai gejala

prodromal seperti nyeri kepala, nyeri di berbagai bagian tubuh,

anoreksia, menggigil, dan malaise. Akan dijumpai trias sindrom,

yaitu demam tinggi, nyeri pada anggota badan, dan ruam. Ruam

timbul pada 6-12 jam sebelum suhu naik pertama kali, pada hari

sakit ke 3-5 dan berlangsung selama 3-4 hari. Ruam bersifat

makulopapular yang menghilang pada penekanan. Ruam biasanya

terdapat di dada, abdomen, anggota gerak dan wajah.

Anoreksia dan obstipasi sering dilaporkan, selain itu rasa tidak

(41)

sering ditemukan. Pada stadium dini sering timbul perubahan pada

indra pengecap. Gejala klinis lain yaitu fotofobia, keringat

bercucuran, serak, batuk, epistaksis, dan disuria. Demam akan

menghilang secara lisis disertai keringat yang banyak.

Kelenjar limfa servikal d ilaporkan membesar pada 67-77%

kasus. Kelainan darah tepi demam dengue adalah leukopenia selama

periode pra-demam dan demam, neutrofilia relatif dan limfopenia,

disusul oleh neutropenia relatif dan limfositosis pada periode puncak

penyakit dan masa kovalesens. Eosinofil menurun atau menghilang

pada permulaan dan puncak penyakit, hitung jenis neutrofil bergeser

ke kiri selama periode demam, sel plasma meningkat pada periode

memuncaknya penyakit dengan terdapatnya trombositopenia. Darah

tepi akan menjadi normal kembali dalam waktu 1 minggu.

Komplikasi demam dengue jarang dilaporkan, antara lain

orkhitis atau ovaritis, keratitis, dan retinitis. Berbagai kelainan

neurologis juga dilaporkan, di antaranya menurunnya kesadaran,

paralisis sensorium yang sementara, meningismus, dan ensefalopati

(Merdjani, et al., 2008).

3) Demam Berdarah Dengue

Demam Berdarah Dengue ditandai oleh 4 manifestasi klinis,

yaitu demam tinggi, perdarahan, hepatomegali, dan kegagalan

peredaran darah (circulatory failure).

(42)

Pada DBD terdapat perdarahan kulit, uji torniquet positif,

memar, dan perdarahan pada tempat pengambilan darah vena.

Petekia halus yang tersebar di anggota gerak, wajah, aksila sering

ditemukan pada masa dini demam. Perdarahan dapat juga terjadi di

setiap organ tubuh. Pada masa kovalesens sering ditemukan eritema

pada telapak tangan dan kaki.

Pada DBD yang disertai syok, setelah demam berlangsung

selama beberapa hari keadaan umum tiba-tiba memburuk. Hal

tersebut biasa terjadi pada saat atau setelah demam menurun, yaitu

antara hari sakit ke 3-7. Pada sebagian kasus ditemukan tanda

kegagalan peredaran darah, kulit terasa lembab dan dingin, sianosis

di sekitar mulut, nadi menjadi cepat dan lembut. Anak akan tampak

lesu dan gelisah kemudian secara cepat masuk dalam fase syok.

Pasien sering mengeluh nyeri di daerah perut sesaat sebelum syok.

Syok yang terjadi selama periode demam biasanya mempunyai

prognosis buruk.

Selain kegagalan sirku lasi, saat syok tekanan nadi menurun

menjadi 20 mm Hg atau kurang dan tekanan sistolik menurun

sampai 80 mm Hg atau lebih rendah. Pada pemeriksaan laboratorium

ditemukan trombositopenia dan hemokonsentrasi. Jumlah trombosit

<100.000/µ l ditemukan antara hari sakit ke 3-7. Peningkatan kadar

hematokrit merupakan sebuah bukti adanya kebocoran plasma. Hasil

laboratorium lain yang sering ditemukan adalah hipoproteinemia,

(43)

hiponatremia, kadar transaminase serum dan urea nitrogen darah

meningkat. Pada beberapa kasus ditemukan asidosis metabolik.

Jumlah lekosit bervariasi antara leukopenia dan leukositosis.

Terkadang ditemukan albuminuria ringan yang bersifat sementara

(Merdjani, et al., 2008).

4) Expanded Dengue Syndrome

Merupakan manifestasi klinis yang tidak biasa pada pasien

dengan keterlibatan organ-organ penting seperti hati, otak ginjal,

atau jantung yang terkait dengan infeksi dengue yang tidak terdapat

kebocoran plasma. Manifestasi yang tidak biasa ini, mungkin terkait

dengan co-infeksi, komorbiditas atau komplikasi syok yang

berkepanjangan. Investigasi lengkap harus dilakukan dalam kasus

ini. Kebanyakan pasien DBD yang memiliki manifestasi yang tidak

biasa adalah hasil dari syok berkepanjangan dengan kegagalan organ

atau pasien dengan penyakit penyerta atau koinfeksi (WHO, 2011).

Manifestasi Klinis ini mungkin tidak dilaporkan, tidak

terdeteksi, atau tidak terkait dengan infeksi dengue. Namun,

penilaian klinis yang tepat sangat penting dilakukan agar selanjutnya

dapat diberikan manajemen dan penatalaksanaan yang sesuai.

(44)

Tabel 2.1. Expanded Dengue Syndrome (Manifestasi Klinis yang

Tidak Umum pada Infeksi Dengue)

Sistem Manifestasi Klinis yang Tidak Umum

Neurologis Kejang demam pada anak-anak

Ensefalopati

Respirasi Acute Respiratory Distress Syndrome

Perdarahan pulmonal

Muskuloskeletal Myostitis dengan peningkatan creatinine

phosphokinase

Rhabdomyolisis

Lymphoreticular Infeksi terkait Haemophagocytic Syndrome

(45)

e. Diagnosis

1) Demam Dengue

Demam akut dengan dua atau lebih dari kriteria berikut:

a) sakit kepala

b) Nyeri retro-orbital

c) mialgia

d) arthralgia

e) ruam

f) manifestasi perdarahan

g) leukopenia (lekosit

h) trombositopenia (jumlah trombosit <150 000 sel/mm3)

i) kenaikan hematokrit (5 - 10%);

dan setidaknya salah satu dari kriteria berikut:

a) Hasil tes serologi yang mendukung: titer test

Penghambatan Hemaglutinasi, titer IgG yang comparable dengan

enzyme-linked immunosorbent assay, atau tasting positive pada

test antibodi IgM

(46)

b) Terjadinya di lokasi dan waktu yang sama dengan kasus demam

dengue yang sudah terkonfirmasi.

Untuk mengkonfirmasi diagnosis harus memenuhi kriteria yang telah

disebutkan di atas, dengan setidaknya salah satu dari berikut:

a) isolasi virus dengue dari serum, CSF atau sampel otopsi.

b) peningkatan empat kali lipat atau lebih kenaikan serum IgG

(dengan uji inhibisi Hemaglutinasi) atau peningkatan IgM

antibodi spesifik untuk virus dengue.

c) deteksi virus dengue atau antigen dalam jaringan, serum atau

cairan serebrospinal dengan uji imunohistokimia,

imunofluoresensi atau enzyme-linked immunosorbent assay.

d) deteksi urutan genom virus dengue dengan reverse

transcription-polymerase chain reaction (WHO, 2011).

2) Demam Berdarah Dengue

Terdapat semua dari kriteria berikut:

a) Onset akut demam 2-7 hari.

b) Manifestasi perdarahan, yang ditunjukkan oleh salah satu dari

berikut: tourniquet tes positif, petechiae, ekimosis atau purpura,

atau perdarahan dari mukosa, saluran pencernaan, situs injeksi,

atau lokasi lainnya.

(47)

c) Trombosit

d) Bukti objektif kebocoran plasma karena peningkatan

permeabilitas pembuluh darah yang ditunjukkan oleh salah satu

kriteria berikut: Meningkatnya hematokrit

asites atau hipoproteinemia/hipoalbuminemia (WHO, 2011).

3) Dengue Shock Syndrome

Memenuhi kriteria untuk demam berdarah dengue seperti yang

tercantum sebelumnya, dengan tanda-tanda shock berikut:

a) Takikardia, ekstremitas dingin, waktu pengisian kapiler

melambat, nadi lemah, lesu atau gelisah, yang mungkin

merupakan tanda perfusi otak berkurang.

b) Tekanan nadi Hg dengan tekanan diastolik yang

meningkat.

c) Hipotensi berdasarkan usia, yang didefinisikan sebagai tekanan

sistolik < 80 mm Hg bagi anak berusia <5 tahun, dan 80-90 mm

Hg untuk anak yang lebih tua dan orang dewasa (WHO, 2011).

Konfirmasi laboratorium lain yang dapat dlakukan untuk

infeksi dengue adalah dengan melalui isolasi virus, deteksi asam

nukleat virus, deteksi antigen virus, test imunologis (IgM dan IgG),

dan analisis parameter hematologis (Mandal, et al., 2008)

(48)

f. Klasifikasi

Klasifikasi infeksi dengue menurut WHO tahun 2011 terbagi dalam

Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD), di mana

Demam Berdarah Dengue terbagi dalam empat derajat menurut tigkat

keparahannya. DBD derajat III dan IV sudah masuk ke dalam keadaan

Dengue Shock Syndrome (DSS).

Tabel 2.2. Klasifikasi Infeksi Dengue dan Derajat Keparahan DBD

DD/DBD Derajat Tanda dan Gejala Laboratorium

DD Demam dengan dua Leukopenia (leukosit

dari gejala berikut: 5000 sel/mm3)

Sakit kepala Trombositopenia

(test torniquet positif) Kenaikan hematokrit

Adanya bukti kebocoran plasma

DBD II Seperti derajat I Trombositopenia

ditambah perdarahan (<100000 sel/mm3)

spontan Kenaikan hematokrit

DBD III Seperti derajat I atau II Trombositopenia

ditambah kegagalan (<100000 sel/mm3)

peredarah darah (nadi Kenaikan hematokrit

lemah, tekanan nadi

gelisah)

DBD IV Seperti derajat III Trombositopenia

ditambah syok berat (<100000 sel/mm3)

dengan tekanan darah Kenaikan hematokrit

(49)

dan nadi yang tidak terdeteksi

(WHO, 2011).

g. Penularan

Virus dengue ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti atau

Aedes albopticus betina. Nyamuk tersebut dapat secara langsung

menularkan virus dengue kepada manusia, yaitu setelah menggigit

orang yang mengalami viremia, atau secara tidak langsung setelah

mengalami masa inkubasi dalam tubuhnya selama 8-10 hari.

Pada manusia diperlukan waktu 4-6 hari sebelum menjadi sakit

setelah virus masuk ke dalam tubuhnya. Pada nyamuk, sekali virus

masuk ke dalam tubuhnya, maka nyamuk tersebut dapat menularkan

virus seumur hidupnya. Penularan dari manusia ke nyamuk hanya dapat

terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang sedang mengalam i

viremia, yaitu 2 hari sebelum panas sampai lima hari setelah demam

timbul (Depkes RI, 2001).

h. Pencegahan Penyakit Dengue

Pencegahan penyakit dengue yang ditularkan melalui gigitan

nyamuk Aedes dikelompokkan menjadi tiga tahap, yaitu:

1) Pencegahan Primer

Pada tahap ini dilakukan upaya menghilangkan kemungkinan

terjadinya penyakit yang akan terjadi. Tingkatan ini terdiri dari:

(50)

a) Promosi Kesehatan

Promosi kesehatan dilakukan dengan cara penyuluhan

kesehatan yaitu memberikan penyuluhan kesehatan kepada

masyarakat mengenai apa itu DBD, apa tanda-tandanya, apa

penyebabnya, dan bagaimana cara penularannya; bila terjadi

serangan apa yang harus dilakukan.

b) Perlindungan khusus

Karena penyakit ini tidak terdapat vaksinnya, dan penularan

terjadi melalui gigitan nyamuk Aedes yang mengandung virus

dengue, masyarakat diminta untuk menghindari gigitan nyamuk

(Farouk, 2004)

2) Pencegahan Sekunder

Pada tahap ini dilakukan upaya untuk menghambat perjalanan

penyakit dan mencegah komplikasi. Upaya ini meliputi melakukan

diagnosis seawal mungkin terhadap kasus penyakit dengue dan

memberikan pengobatan yang tepat. Begitu didapatkan kasus dengan

gejala panas segera dilakukan pemeriksaan fisik dengan cermat

untuk menetapkan apakah kasus dengue atau bukan dan bila telah

didiagnosis dilakukan pengobatan yang tepat terutama untuk

mencegah terjadinya perdarahan dan syok (Farouk, 2004)

3) Pencegahan Tersier

(51)

Upaya yang dilakukan pada tahap ini bertujuan agar penderita

sembuh seperti sedia kala dan tanpa cacat. Upaya ini meliputi:

a) Menghindakan dari kecacatan. Bila kasus menjadi berat dilakukan

perawatan rumah sakit untuk menghindari perdarahan hebat dan

kematian.

b) Rehabilitasi. Bila ada tanda-tanda penyembuhan, dilakukan

pemulihan kesehatan dengan cara pemberian makanan yang

bergizi serta vitamin. (Farouk, 2004)

Langkah pencegahan DBD yang paling baik adalah dengan

mengeliminasi nyamuk Aedes dengan cara mengeliminasi tempat

berbiaknya (Wijaya, 2007). Pemberantasan vektor tersebut dapat

dilakukan dengan beberapa metode yaitu:

1) Lingkungan

Metode lingkungan untuk mengendalikan nyamuk trsebut antara lain

dengan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), pengelolaan sampah

padat, menyingkirkan tempat perkembangbiakan nyamuk, dan

perbaikan desain rumah

2) Biologis

Pengendalian biologis antara lain dengan menggunakan ikan

pemakan jentik (ikan cupang), tanaman pencegah nyamuk, dan

bakteri

(52)

3) Kimiawi

Pengendalian kim iawi antara lain dengan pengasapan/fogging

dengan menggunakan malathion dan fenthion, berguna untuk

mengurangi kemungkinan penularan sampai batas waktu tertentu.

Dapat juga dilakukan dengan memberikan bubuk abate (temephos)

pada tempat-tempat penampungan air, seperti gentong air, vas

bunga, kolam, dan lain-lain. Bubuk abate 1% diberikan dengan dosis

1ppm (part per-million) yaitu 10 gram untuk 100 liter air diulangi

dalam jangka waktu 2-3 bulan (Wijaya, 2007)

5. Pemberantasan Sarang Nyamuk Aedes

Upaya Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) adalah upaya untuk

memberantas nyamuk Aedes, dilakukan dengan cara:

a. Menguras dengan menggosok tempat-tempat penampungan air

sekurang-kurangnya seminggu sekali yang bertujuan untuk merusak

telur nyamuk, sehingga jentik-jentik tidak bisa menjadi nyamuk atau

menutupnya rapat-rapat agar nyamuk tidak bisa bertelur di tempat

penampungan air tersebut.

b. Mengganti air vas bunga, perangkap semut, air tempat minum burung

seminggu sekali dengan tujuan untuk merusak telur maupun jentik

nyamuk.

(53)

c. Mengubur atau menyingkirkan barang-barang bekas dan

sampah-sampah lainnya yang dapat menampung air hujan sehingga tidak

menjadi tempat berkembang biaknya nyamuk.

d. Mencegah barang-barang/pakaian-pakaian yang bergelantungan di

kamar ruang yang remang-remang atau gelap yang berpotensi untuk

menjadi tempat hinggap nyamuk. (Depkes RI, 1996).

Gerakan PSN biasa disebut dengan 3M Plus, yaitu menguras, menutup,

dan menimbun. Selain itu juga melakukan beberapa plus yang bertujuan

untuk mencegah gigitan nyamuk, seperti memelihara ikan pemakan jentik,

menabur larvasida, menggunakan kelambu pada waktu tidur, memasang

kawat kasa pada ventilasi, menyemprot insektisida, menggunakan lotion

anti nyamuk, memasang obat nyamuk, memeriksa jentik berkala, tidak

menggantung pakaian di ruang gelap, menutup pintu dan jendela saat

senja, dan lain-lain sesuai dengan kondisi setempat (Wahono, 2004).

Dengan melakukan kegiatan PSN secara rutin dan dilakukan oleh

semua masyarakat, maka perkembangan penyakit akibat infeksi virus

dengue di suatu wilayah tertentu dapat dicegah dan dibatasi

penyebarannya, sehingga dapat menurunkan angka kejadian penyakit yang

disebabkan oleh infeksi virus dengue.

(54)

6. Perilaku

a. Pengertian Perilaku

Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme (makhluk

hidup) yang bersangkutan. Oleh sebab itu, dari sudut pandang biologis,

semua makhluk hidup mulai dari tumbuh-tumbuhan, binatang sampai

dengan manusia memiliki perilaku karena semua itu mempunyai

aktifitas masing-masing.

Perilaku manusia, pada hakikatnya adalah tindakan atau aktifitas

manusia yang mempunyai bentangan yang sangat luas, antara lain:

berjalan, berbicara, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca dan

sebagainya. Maka, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan

perilaku adalah semua kegiatan atau aktifitas seseorang, baik yang

dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati pihak luar

(Notoatmodjo, 2003).

Skiner (1938) seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa perilaku

merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan

dari luar). Oleh karena perilaku terjadi melalui proses adanya stimulus

terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespon. Teori

skiner disebut teori Stimulus-Organisme-Respon atau S-O-R. Skiner

membedakan adanya dua respon, yaitu:

1) Respondent response atau reflexsive response, yakni respon yang

(55)

Stimulus semacam ini disebut electing stimulation karena

menimbulkan respon-respon yang relatif tetap. Misalnya : makanan

yang lezat menimbulkan keinginan untuk makan, cahaya terang

menyebabkan mata tertutup, dan sebagainya. Respondent response

ini juga mencakup perilaku emosional, misalnya mendengar berita

musibah menjadi sedih atau menangis, lulus ujian meluapkan

kegembiraannya dengan mengadakan pesta, dan sebagainya.

2) Operant response atau instrumental response, yakni respon yang

timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau

perangsang tertentu. Perangsang ini disebut reinforcing stimulation,

karena perangsangan tersebut bersifat memperkuat respon yang

telah dilakukan. Misalnya apabila seorang petugas kesehatan

melaksanakan tugasnya dengan baik kemudian memperoleh

penghargaan dari atasannya, maka petugas kesehatan tersebut akan

lebih baik lagi dalam melaksanakan tugasnya (Notoatmodjo, 2003).

b. Bentuk Perilaku

Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus, maka perilaku dapat

dibedakan menjadi dua, yaitu:

1) Perilaku tertutup. Merupakan respon seseorang terhadap stimulus

dalam bentuk terselubung atau tertutup (covert). Respon atau reaksi

terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi,

Gambar

Tabel 2.2. Klasifikasi Infeksi Dengue dan Derajat Keparahan DBD  .......................
Gambar 4.1. Perbedaan Rata-Rata Skor Perilaku Pemberantasan Sarang Nyamuk
Tabel 2.1. Expanded Dengue Syndrome (Manifestasi Klinis yang
Tabel 2.2. Klasifikasi Infeksi Dengue dan Derajat Keparahan DBD
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode perbaikan tanah salin pada perlakuan gypsum dan pupuk kandang dapat meningkatkan serapan nitrogen dan fosfor pada tanah

Grafik selang pertambahan waktu ( Δt ) vs periode (T) untuk rata-rata nilai prosentase perbedaan hasil simpangan menggunakan metode Newmark dibandingkan dengan

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Pengaruh

Analisis Pengaruh Penerapan Remedial Terhadap Prestasi Belajar Pendidikan Agama Islam Siswa Di SMUN 5 Kendari. Sebagai bahan pembanding statistik dengan maksud

terkait dengan pengelolaan data dan informasi strategi tata kelola perusahaan maupun teknologi informasi dirasakan kurang memadai dalam konteks pengelolaan data dan

Registrasi Nama Tempat Tanggal Lahir Penguruan Tinggi No... Registrasi Nama Tempat Tanggal Lahir Penguruan

Daya Hambat Ekstrak Teripang Pasir (Holothuria scabra) terhadap Pertumbuhan Jamur Candida albicans ; Qori Winda Ekawati; 070210193169; 2012: 81 halaman; Program

12 Saya cenderung menggunakan sudut pandang saya sendiri ketika berkomunikasi dengan orang yang berbeda etnis.. 13 Saya sering mendukung pendapat