HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN FORMAL KEPALA KELUARGA DENGAN PERILAKU PEMBERANTASAN SARANG NYAMUK AEDES
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
Nadhira Puspita Ayuningtyas G0009145
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
Surakarta
2012
ii
PENGESAHAN SKRIPSI
Skripsi dengan judul : Hubungan Tingkat Pendidikan Formal Kepala Keluarga
dengan Perilaku Pemberantasan Sarang Nyamuk Aedes
Nadhira Puspita Ayuningtyas, NIM: G0009145, Tahun: 2012
Telah diuji dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada hari Rabu, Tanggal 26 Desember 2012
Pembimbing Utama
Mutmainah, dr., M.Kes Prof. Dr. Zainal Arifin Adna n, dr., Sp. PD-KR-FINASIM
NIP 19660702 199802 2 001 NIP 19510601 197903 1 002
iii
iii
Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan penulis tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Surakarta, 12 Desember 2012
Nadhira Puspita Ayuningtyas NIM G0009145
iv ABSTRAK
Nadhira Puspita Ayuningtyas, G0009145, 2012. Hubungan Tingkat Pendidikan Formal Kepala Keluarga dengan Perilaku Pemberantasan Sarang Nyamuk Aedes. Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Latar Belakang : Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan masalah kesehatan utama di Indonesia dan merupakan penyakit endemis yang ada hampir di seluruh propinsi. Jumlah kasus DBD semakin meningkat setiap tahunnya. Oleh karenanya pemerintah menggalakkan upaya pencegahan DBD melalui pengendalian vektornya yaitu nyamuk Aedes dengan gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk. Namun, tampaknya hingga saat ini upaya tersebut belum memberikan hasil yang diinginkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan antara tingkat pendidikan formal kepala keluarga dengan perilaku pemberantasan sarang nyamuk Aedes.
Metode Penelitian : Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan pendekatan cross sectional yang dilaksanakan pada bulan September - Desember 2012 di Surakarta. Subyek penelitian adalah kepala keluarga yang bertempat tinggal di Surakarta. Perilaku subyek diukur dengan menggunakan kuesioner yang meliputi kuesioner perilaku masyarakat terhadap pemberantasan sarang nyamuk Aedes yang terdiri atas 20 item pertanyaan. Diperoleh data sebanyak 50 dan analisis data menggunakan uji Annova satu jalan melalui program SPSS 17.00 for Windows.
Hasil Penelitian : Hasil penelitian dari total 50 sampel didapatkan skor rata-rata perilaku 25 dari skor 40. Penelitian ini menunjukkan nilai F hitung sebesar 11,64
sedangkan nilai F 1) = 3 dan (df2) = 46
didapatkan nilai sebesar 2,81. Hal ini berarti bahwa nilai F hitung > nilai F tabel.
Sementara itu = 0,000 yang berarti
bahwa p < 0,05. Kedua hasil analisis tersebut memiliki simpulan yang sama, yaitu menolak Ho.
Simpulan Penelitian : Terdapat hubungan yang signifikan secara statistik antara tingkat pendidikan formal kepala keluarga dengan perilaku pemberantasan sarang nyamuk Aedes. Semakin tinggi tingkat pendidikan kepala keluarga, semakin baik pula perilaku pemberantasan sarang nyamuk Aedes.
Kata Kunci : Tingkat pendidikan formal kepala keluarga, perilaku pemberantasan sarang nyamuk Aedes.
v ABSTRACT
Nadhira Puspita Ayuningtyas, G0009145, 2012. Correlation between Patriarch Formal Education Degree and Behaviour in Eradication of Aedes Mosquitoes Nest. Mini Thesis, Faculty of Medicine, Sebelas Maret University, Surakarta
Background: Dengue Hemoragic Fever (DHF) is a serious health problem in Indonesia and it is an endemic diesase in almost every province in Indonesia. The number of DHF cases increased each year. That’s why, the government promote a way to prevent DHF through controlling the vector, Aedes mosquitoes, with the eradication of mosquitoes nest. However, it seems that until today it hasn’t give the desired result. This study aims to determine the relationship between patriarch formal education degree with the behaviour in eradication of aedes mosquitoes nest.
Methods: This was an observational analytic study with cross-sectional approach that was conducted on September-December 2012 in Surakarta. The subject were partiarch residing in Surakarta. Subject’s behaviour was measured through a questionnaire which included questionnaires of behaviour towards eradication of Aedes mosquitoes nest which consist 20 items of questions. The obtained data were 50 and the data analysis used One Way Anova test with SPSS 17.00 for Windows program.
Results: The results of a total of 50 samples abtained an average score of their behaviour 25 out of 40. This study demonstrates the value of F count equal to 11.64, while the value of F table with = 0.05 and degrees of freedom (df1) = 3 and (df2) = 46 obtained a value of 2.81. It means that the value of F count > value of F table. Meanwhile, with = 0.05 shows p = 0.000, which means that p < 0.05. Thus, the two analyzes are the same conclusions that reject Ho.
Conclusion: There is a statistically significant relationship between patriarch formal education degree and behaviour in eradication of Aedes mosquitoes nest. The higher the education degree, the better the behaviour in eradiction of Aedes mosquitoes nest.
Keywords: Patriarch formal education degree, behaviour in eradication of Aedes mosquitoes nest.
vi
Alhamdulillah hirobbil’aalamin, segala puji kehadirat Allah SWT, atas segala karunia, rahmat, izin, dan nikmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hubungan Tingkat Pendidikan Formal Kepala Keluarga dengan Perilaku Pemberantasan Sarang Nyamuk Aedes”. Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu persyaratan dalam menyelesaikan Program Sarjana Pendidikan Dokter di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Dalam penyusunan skripsi ini tidak lepas dari berbagai hambatan dan kesulitan. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan berhasil tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu rasa hormat dan ucapan terima kasih yang dalam penulis berikan kepada :
1. Prof.Dr.Zainal Arifin Adnan,dr.,Sp.PD-KR-FINASIM selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. H. Rustam Siregar, dr. Sp. A selaku Pembimbing Utama atas semua bimbingan, saran, nasihat, dan masukannya selama penyusunan hingga selesainya skripsi ini. 3. Arif Suryawan, dr. selaku Pembimbing Pendamping atas semua bimbingan,
saran, dan masukannya selama penyusunan hingga selesainya skripsi ini.
4. Ismiranti Andarini, dr. Sp. A, M.Kes selaku Penguji Utama yang telah memberikan banyak kritik, saran, dan masukan dalam penyusunan skripsi ini. 5. Prasetyadi Mawardi, dr. Sp. KK selaku Penguji Pendamping yang telah
memberikan banyak kritik, saran, dan masukan dalam penyusunan skripsi ini. 6. Annang Giri Moelyo, dr. Sp. A, M.Kes, Mutmainah, dr.,M.Kes, Bu Enny, SH.,
MH dan Mas Sunardi selaku TIM Skripsi FK UNS, atas kepercayaan, bimbingan, koreksi dan perhatian yang sangat besar sehingga terselesainya skripsi ini
7. Yang tercinta dan amat saya sayangi kedua orang tua saya, Dra. Fathia, Apt. dan Hery Indyanto, drh. yang senantiasa mendoakan dengan tiada henti serta memberikan dukungan, semangat, dan motivasi sehingga terselesaikannya skripsi ini.
8. Kakak saya yang tercinta Imania Mustika Purwitaningtyas, S.T. yang senantiasa mendoakan dan memberi semangat sehingga terselesaikannya skripsi ini.
9. Novia Damara, Namira Octaviyati, Pratiwi Prasetya Primisawitri, dan teman-teman lainnya atas segala bantuan dan waktu yang selalu tersedia.
10. Mbak Daryanti yang sangat membantu saya dalam terselesaikannya skripsi ini. 11. Seluruh warga dan pihak kelurahan atas segala waktu dan bantuan selama proses
pengambilan data sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
12. Semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung membantu proses penyusunan skripsi ini yang tidak mungkin saya sebutkan satu persatu.
vii
PRAKATA ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR GAMBAR ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Perumusan Masalah ... 6
C. Tujuan Penelitian ... 6
D. Manfaat Penelitian ... 6
BAB II. LANDASAN TEORI ... 7
A. Tinjauan Pustaka... ... 7
1. Pendidikan ... ... 7
2. Tingkat Pendidikan Formal ... ... 8
3. Nyamuk Aedes ... ... 10
a. Taksonomi ... 10
b. Morfologi ... 11
c. Siklus Hidup ... 12
d. Kebiasaan Hidup Nyamuk ... 13
viii
a. Etiologi ... 15
b. Patofisio logi ... 15
c. Patogenesis ... 20
d. Manifestasi Klinis ... 25
e. Diagnosis ... 31
f. Klasifikasi ... 34
g. Penularan ... 35
h. Pencegahan Penyakit Dengue ... 35
5. Pemberantasan Sarang Nyamuk Aedes .... ... ... 38
6. Perilaku ... 40
a. Pengertian Perilaku ... ... 40
b. Bentuk Perilaku ... ... 41
c. Determ inan Perilaku ... ... 42
d. Proses Adopsi Perilaku ... 43
7. Hubungan Pendidikan Formal Kepala Keluarga dengan Perilaku terhadap PSN Aedes ... 44
B. Kerangka Pem ikiran ... 48
C. Hipotesis ... 49
BAB III. METODE PENELITIAN ... 50
A. Jenis Penelitian ... 50
B. Lokasi Penelitian ... 50
C. Subjek Penelitian ... 50
ix
E. Alat dan Bahan ... 52
F. Identifikasi Variabel Penelitian ... 52
G. Defin isi Operasional Penelitian ... 52
H. Desain Penelitian ... 54
I. Cara Penelitian ... 54
J. Teknik Analisis Data ... 55
BAB IV. HASIL PENELITIAN ... 56
BABV. PEMBAHASAN ... 61
BABVI. PENUTUP ... 67
A. Simpulan ... 67
B. Saran ... 67
DAFTAR PUSTAKA ... 68
LAMPIRAN
x
Tabel 2.1. Expanded Dengue Syndrome (Manifestasi Klinis yang Tidak Umum
pada Infeksi Dengue) ... 30
Tabel 2.2. Klasifikasi Infeksi Dengue dan Derajat Keparahan DBD ... 34
Tabel 4.1. Umur, Pekerjaan, dan Tingkat Pendidikan Formal Kepala Keluarga
... 56
Tabel 4.2. Distribusi Penyuluhan PSN ... 58
Tabel 4.3. Hasil Analisis Anova Satu Jalan tentang Hubungan Pendidikan Formal
Kepala Keluarga Dengan Perilaku Pemberantasan Sarang Nyamuk
Aedes ... 58
xi
Gambar 2.1. Skema Kerangka Pemikiran ... 48
Gambar 3.1. Skema Rancangan Penelitian ... 54
Gambar 4.1. Perbedaan Rata-Rata Skor Perilaku Pemberantasan Sarang Nyamuk
Menurut Tingkat Pendidikan ... 60
xii Lampiran A. Kuesioner Penelitian
Lampiran B. Data Penelitian
Lampiran C. Hasil Uji Anova Satu Jalan
Lampiran D.
Lampiran E. Surat Izin Penelitian
Lampiran F. Surat Telah Melakukan Penelitian
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Demam Berdarah Dengue menjadi masalah kesehatan utama di
Indonesia dan merupakan penyakit endemis hampir di seluruh propinsi serta
sering menimbulkan Kejadian Luar Biasa/KLB (Depkes RI, 2008). Indonesia
sendiri menurut WHO termasuk ke dalam negara endemik DBD bersama
dengan Thailand, Sri Langka, dan Timor Leste dalam peta ASEAN (WHO,
2007). Selain itu, berdasarkan jumlah kasus yang terdata di WHO, Indonesia
memiliki jumlah kasus terbanyak di Asia Tenggara sejak tahun 2003 hingga
tahun 2009 dengan jumlah kasus yaitu, 51934 kasus pada tahun 2003, 79462
kasus pada tahun 2004, 95279 kasus pada tahun 2005, 106425 kasus pada
tahun 2006, 157442 kasus pada tahun 2007, 155607 kasus pada tahun 2008,
dan 156052 kasus pada tahun 2009 (WHO, 2010).
Demam Berdaah Dengue pertama kali ditemukan di Indonesia pada
tahun 1968 di Surabaya. Namun, konfirmasi virologis baru didapat pada
tahun 1972. Sejak saat itu hingga kini DBD telah tersebar ke seluruh propinsi
di Indonesia dan terus terjadi peningkatan jumlah kasus dari tahun ke tahun
(Zulkoni, 2011).
Berdasarkan data dari Departemen Kesehatan RI didapatkan pada
tahun 2002 jumlah kasus sebanyak 40.377 ( IR : 19,24/100.000 penduduk
dengan 533 kematian (CFR : 1,3 %), tahun 2003 jumlah kasus sebanyak
52.566 (IR : 24,34/100.000 penduduk) dengan 814 kematian (CFR : 1,5 %),
tahun 2004 jumlah kasus sebanyak 79.462 (IR : 37,01/100.000 penduduk)
dengan 957 kematian (IR : 1,20 %), tahun 2005 jumlah kasus sebanyak
95.279 (IR : 43,31/100.000 penduduk) dengan 1.298 kematian (CFR : 1,36
%) tahun 2006 jumlah kasus sebanyak 114.656 (IR : 52,48/100.000
penduduk) dengan 1.196 kematian (CFR : 1,04 %), tahun 2007 jumlah kasus
124.811 (IR: 57,52/100.000 penduduk) dengan 1.277 kematian (CFR:
1,02%), tahun 2008 jumlah kasus 137.469 (IR = 59,02 per 100.000
penduduk) dengan 1.187 kematian (CFR = 0.86%), dan jumlah kasus pada
tahun 2009 sebanyak 154.855 dengan 1.384 kematian (CFR = 0.89%).
Berdasarkan Grafik Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) Per
Propinsi di Indonesia Tahun 2011, Propinsi Jawa Tengah menduduki
peringkat kedua terbanyak jumlah kasus Demam Berdarah Dengue dengan
jumlah kasus sebanyak 2.345 setelah Propinsi Jawa Timur dengan jumlah
kasus sebanyak 3.152.
Upaya pengendalian penyakit DBD yang telah dilakukan sampai saat
ini adalah memberantas nyamuk penularnya, yaitu Aedes aegypti dan Aedes
albopictus baik nyamuk dewasa ataupun jentiknya karena obat dan
vaksinnya untuk membasmi virusnya belum ada hingga saat ini. Departemen
Kesehatan telah menetapkan 5 kegiatan pokok sebagai kebijakan dalam
pengendalian penyakit DBD yaitu menemukan kasus secepatnya dan
mengobati sesuai protap, memutuskan mata rantai penularan dengan
pemberantasan vektor (nyamuk dewasa dan jentik-jentiknya), kem itraan
dalam wadah POKJANAL DBD (Kelompok Kerja Operasional DBD),
pemberdayaan masyarakat dalam gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk
(PSN 3M Plus) dan Peningkatan profesionalisme pelaksana program (Depkes
RI, 2008).
Salah satu upaya pencegahan yang paling utama adalah pemberdayaan
masyarakat dalam gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN). Kampanye
PSN sudah digalakkan Departemen Kesehatan dengan semboyan 3M, yaitu
menguras tempat penampungan air secara teratur, menutup tempat-tempat
penampungan air dan mengubur barang-barang bekas yang dapat menjadi
sarang nyamuk. Kegiatan ini telah diintensifkan sejak tahun 1992 dan pada
tahun 2000 dikembangkan menjadi 3M Plus yaitu dengan cara menggunakan
larvasida, memelihara ikan pemakan jentik, menggunakan kelambu pada
waktu tidur, memasang kasa, menyemprot dengan insektisida, menggunakan
lotion anti nyamuk dan memeriksa jentik berkala sesuai dengan kondisi
setempat.
Pemberantasan Sarang Nyamuk berperan sangat penting dalam
mencegah terjadinya penularan penyakit demam berdarah dengue, karena
dengan dilakukannya PSN dapat memutus siklus hidup vektor penyakit DBD
yaitu Aedes aegypti dan Aedes albopictus.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Institute for Medical
Research, Kuala Lumpur, Malaysia dan Department of Health, Cebu City,
Philippines ditemukan bahwa salah satu virus penyebab penyakit demam
berdarah dengue, dengue virus type 2 (DEN-2), dapat ditransmisikan secara
transovarial pada nyamuk Aedes aegypti sampai generasi kelima. Penelitian
tersebut dilakukan dengan cara memberi makan 200 nyamuk Aedes aegypti
betina berumur 4-5 haridengan darah yang terinfeksi oleh dengue virus type
2, kemudian nyamuk tersebut dibiakkan hingga sampai terdapat 7 generasi;
setiap generasi diuji dengan menggunakan metode immunological staining
untuk mengetahui keberadaan virus. Virus ternyata terdeteksi sampai pada
generasi kelima tetapi pada generasi keenam dan ketujuh sudah tidak
terdeteksi (Rohani et al., 2008)
Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan nyamuk Aedes aegypti
masih dapat menularkan virus demam berdarah dengue tipe 2 walaupun
keturunan dari nyamuk tersebut, sampai dengan generasi kelima, tanpa perlu
menghisap terlebih dahulu darah dari penderita DBD. Oleh karena itu, sangat
penting untuk memutus siklus hidup nyamuk dalam usaha pencegahan dan
penanggulangan penyakit demam berdarah dengue.
Sampai saat ini, upaya PSN dengan 3M plus yang dilakukan baik
masyarakat maupun pemerintah belum memberikan hasil yang diinginkan
karena setiap tahun masih terjadi peningkatan jumlah kasus DBD. Berbagai
upaya untuk memberdayakan masyarakat dalam PSN sudah banyak dilakukan
tetapi hasilnya belum optimal dapat merubah perilaku masyarakat untuk
secara terus-menerus melakukan PSN di tatanan dan lingkungan
masing-masing (Depkes RI, 2008).
Dalam setiap persoalan kesehatan, termasuk dalam upaya
penanggulangan DBD, faktor perilaku senantiasa berperan penting. Perhatian
terhadap faktor perilaku sama pentingnya dengan perhatian terhadap faktor
lingkungan, khususnya dalam hal upaya pencegahan penyakit. Perilaku
kesehatan dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah latar
belakang seseorang. Latar belakang di sini mencakup pendidikan seseorang
(Liana, 1996).
Seseorang yang memiliki latar belakang pendidikan rendah atau buta
huruf, pada umumnya akan mengalami kesulitan untuk menyerap ide-ide baru
dan membuat seseorang tersebut bersifat konservatif, karena tidak mengenal
alternatif yang lebih baik (Kasnodiharjo, 1998).
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, tiap tahunnya masih
terjadi peningkatan kasus demam berdarah dan hal ini merupakan masalah
yang cukup serius dan perlu diwaspadai. Walaupun pemerintah telah
mengajak masyarakat berperan dalam pencegahan demam berdarah melalui
program Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), namun hal tersebut belum
memberikan hasil yang diinginkan hingga saat ini. Beberapa faktor dapat
mempengaruhi perilaku seseorang terhadap PSN yang merupakan perilaku
kesehatan dan salah satunya adalah tingkat pendidikan, maka peneliti ingin
mengetahui lebih lanjut adakah hubungan antara tingkat pendidikan formal
kepala keluarga dengan perilaku pemberantasan sarang nyamuk Aedes.
B. Perumusan Masalah
Bagaimana hubungan tingkat pendidikan formal kepala keluarga
dengan perilaku terhadap pemberantasan sarang nyamuk Aedes?
C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui hubungan tingkat pendidikan formal kepala
keluarga dengan perilaku terhadap pemberantasan sarang nyamuk Aedes.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi :
1. Dinas Kesehatan Surakarta untuk merumuskan langkah strategis yang
dapat dilakukan dalam menurunkan angka kejadian DBD.
2. Masyarakat, sebagai informasi untuk lebih menggalakkan kegiatan
pemberantasan sarang nyamuk Aedes.
3. Orang lain, untuk menambah wawasan dan sumber pustaka.
7 BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Pendidikan
Menurut Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1 (1) pendidikan adalah: “usaha sadar
dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara”.
Pengertian kata “pendidikan” menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (2001) adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang
atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya
pengajaran dan pelatihan.
Pendidikan dalam pengertian yang agak luas dapat diartikan sebagai
sebuah proses dengan metode-metode tertentu sehingga orang memperoleh
pengetahuan, pemahaman, dan cara bertingkah laku yang sesuai dengan
kebutuhan. Karena di dalam pendidikan tercakup proses perkembangan
seseorang menuju kedewasaan maka pendidikan mempunyai tujuan untuk
mengubah dan membentuk sikap, watak serta perilaku manusia ke arah
yang lebih baik (Syah, 2011).
2. Tingkat Pendidikan Formal
Berdasarkan lingkungan terselenggaranya, pendidikan dapat
diklasifikasikan menjadi: pendidikan informal, pendidikan non formal dan
pendidikan formal. Pendidikan informal adalah pendidikan yang diperoleh
dari pengalaman sehari-hari secara sadar atau tidak sepanjang hayat
seseorang. Pendidikan ini dapat berlangsung dalam keluarga, pergaulan
sehari-hari, pekerjaan, masyarakat, keluarga dan organisasi. Pendidikan
non formal adalah pendidikan yang dilaksanakan secara tertentu, dengan
sadar tetapi tidak terlalu mengikuti peraturan yang ketat. Pendidikan
formal adalah pendidikan yang berlangsung secara teratur, bertingkat dan
mengikuti syarat-syarat tertentu secara ketat. Pendidikan ini berlangsung
di sekolah. Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal karena
diadakan di tempat tertentu, teratur, sistematis, mempunyai jenjang dan
kurun waktu tertentu, serta berlangsung mulai dari Taman Kanak-kanak
hingga Perguruan tinggi berdasarkan aturan resmi yang sudah ditetapkan
(Ahmadi dan Uhbiyati, 1991).
Menurut Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2003 menjelaskan bahwa
pendidikan formal terbagi atas tiga jenjang pendidikan yaitu:
a. Pendidikan dasar
Pada prinsipnya, pendidikan dasar memberikan bekal dasar bagi
perkembangan kehidupan serta mempersiapkan peserta didik untuk
mengikuti pendidikan menengah. Pendidikan dasar berbentuk Sekolah
Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang
sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah
Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat. Jenjang waktu
yang ditempuh untuk pendidikan dasar adalah sembilan tahun, enam
tahun Sekolah Dasar atau bentuk lain yang sederajat dan tiga tahun
Sekolah Menengah Pertama atau bentuk lain yang sederajat.
b. Pendidikan menengah
Pendidikan menengah merupakan kelanjutan dari pendidikan dasar,
yang dipersiapkan menjadi anggota masyarakat yang mempunyai
kemampuan hubungan timbal balik dalam lingkungan dan dapat
mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau pendidikan tinggi.
Pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA),
Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan
Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.
Jenjang waktu yang ditempuh untuk pendidikan menengah adalah tiga
tahun.
c. Pendidikan tinggi
Pendidikan tinggi merupakan kelanjutan pendidikan menengah
yang diselenggarakan untuk menyiapkan peserta didik menjadi anggota
masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan profesional yang
dapat menerapkan, mengembangkan dan menciptakan ilmu
pengetahuan, teknologi dan kesenian. Pendidikan tinggi mencakup
program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor
yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi. Perguruan Tinggi
diselenggarakan dengan sistem terbuka, dan jenjang waktu yang
ditempuh untuk pendidikan tinggi bervariasi sesuai dengan gelar
akademik, profesi, atau vokasi yang ditempuh seseorang.
3. Nyamuk Aedes
a. Taksonomi
Secara taksonomi, nyamuk Aedes dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:
Filum : Arthropoda
Kelas : Hexapoda
Ordo : Diptera
Subordo : Nematocera
Famili : Culicidae
Subfamili : Culicinae
Tribus : Culicini
Genus : Aedes
Spesies : Aedes aegypti dan Aedes albopictus (Sucipto, 2011).
b. Morfologi
1) Aedes aegypti
Bagian tubuh nyamuk dewasa terdiri atas kepala, dada (toraks)
dan perut (abdomen). Tanda khas Aedes aegypti berupa gambaran
lyre pada bagian dorsal toraks (mesonotum) yaitu sepasang garis
putih yang sejajar di tengah dan garis lengkung putih yang lebih
tebal pada tiap sisinya. Probosis berwarna hitam, skutelum trilobi,
bersisik lebar berwarna putih. Pada betina palpus lebih pendek dari
probocis. dan abdomen berpita putih pada bagian basal. Ruas tarsus
kaki belakang berpita putih. Sisik sayap sempit panjang dengan
ujung runcing.
Telur Aedes aegypti berwarna putih saat pertama kali
dikeluarkan, lalu menjadi coklat kehitaman. Telur berbentuk oval,
dan memiliki garis-garis yang menyerupai sarang lebah dengan
panjang 0,5 mm. Telur dapat bertahan sampai berbulan-bulan dalam
suhu 2-24°C, namun akan menetas dalam waktu 1-2 hari pada
kelembaban rendah. Setelah telur menetas kemudian akan menjadi
larva. Larva Aedes aegypti memiliki sifon yang pendek dan
mempunyai sisir pada ruas ke-8 abdomen yang terdiri dari gigi-gigi
bergerigi. Umur larva sekitar 7-9 hari kemudian menjadi pupa.
Bentuk pada stadium pupa seperti bentuk terompet panjang dan
ramping. Stadium pupa biasanya berlangsung selama 2 hari. Setelah
itu, pupa akan membuka dan melepaskan kulitnya, dan akan keluar
stadium imago atau nyamuk dewasa (Sucipto, 2011).
2) Aedes albopictus
Nyamuk Aedes albopictus mempunyai ciri morfologi yang
mirip dengan nyamuk Aedes aegypti, namun memiliki beberapa
perbedaan. Aedes albopictus dewasa mempunyai ciri-ciri fisik
mempunyai gambaran sebuah pita putih longitudinal pada bagian
mesotonum. Selain itu, larva Aedes albopictus mempunyai sisir pada
ruas ke-8 abdomen dan mempunyai gigi-gigi sederhana tanpa duri
lateral. Stadium telur dan pupa pada nyamuk Aedes albopictus
memiliki ciri morfologis yang sama dengan nyamuk Aedes aegypti
(Sucipto, 2011).
c. Siklus Hidup
Telur nyamuk Aedes akan menetas menjadi larva dalam waktu 1-2
hari, kemudian larva akan berubah menjadi pupa dalam waktu 5-15
hari. Stadium pupa biasanya berlangsung selama 2 hari. Dalam suasana
optimum, perkembanga dari telur sampai dewasa memerlukan waktu
sekurang-kurangnya 9 hari.
Setelah nyamuk berkembang dan keluar dari pupa, nyamuk akan
beristirahat terlebih dahulu di kulit pupa untuk sementara waktu hingga
sayap menjadi kaku dan kuat untuk terbang. Pupa jantan menetas lebih
dahulu dari pupa betina. Setelah 1-2 hari keluar dari pupa, nyamuk
betina dewasa siap untuk kawin dan menghisap darah manusia.
Nyamuk jantan tidak pergi jauh dari tempat perindukan karena
menunggu nyamuk betina menetas dan siap berkopulasi. Sesudah
kopulasi, nyamuk betina akan menghisap darah manusia yang
diperlukannya untuk pembentukan telur. Waktu dari mulai nyamuk
menghisap darah hingga telur dikeluarkan berlangsung sekitar 3-4 hari.
Kemudian nyamuk betina akan meletakkan telurnya pada dinding
tempat air di mana telur akan berkembang dan menetas. Jumlah telur
yang dikeluarkan nyamuk betina rata-rata berjumlah 150 butir telur
(Sungkar, 2005).
d. Kebiasaan Hidup Nyamuk
Aedes aegypti berkembangbiak di dalam tempat penampungan air
yang tidak beralaskan tanah seperti bak mandi, tempayan, drum, vas
bunga, dan barang-barang bekas yang dapat menampung air hujan.
Aedes albopticus juga demikian tetapi lebih banyak terdapat di luar
rumah, seperti dahan pohon atau daun yang menampung air.
Nyamuk Aedes aegypti aktif menghisap darah pada siang hari
dengan 2 puncak aktivitas, yaitu pada pukul 08.00-12.00 dan
15.00-17.00. nyamuk Aedes aegypti bersifat antropofilik, nyamuk betina lebih
suka menghisap darah manusia darpada darah binatang dan mempunyai
kebiasaan menggigit berulang sampai lambung penuh berisi darah.
Nyamuk betina menghisap darah umumnya 3 hari setelah melakukan
kopulasi. Setelah menghisap darah, nyamuk Aedes aegypti hinggap
untuk beristirahat dalam rumah yang berdekatan dengan tempat
berkembangbiaknya. Tempat hinggap yang disenangi adalah tempat
yang gelap dan lembab, dan nyamuk senang hinggap di benda yang
menggantung seperti pakaian, kelambu, atau tumbuh-tumbuhan. Setelah
beristirahat dan proses pematangan telur selesai, nyamuk betina akan
meletakkan telurnya di dinding tempat berkembangbiaknya, sedikit di
atas permukaan air. Jumlah telur yang dikeluarkan adalah sekitar
100-400 butir.
Nyamuk Aedes aegypti biasa menempatkan telurnya di air jernih
terutama bak air WC, bak mandi, dan gentong air minum, sedangkan
nyamuk Aedes albopticus lebih senang bertelur di luar rumah, seperti
pekarangan, atau di kaleng sampah yang dibuang (Sucipto, 2011).
Jarak terbang nyamuk Aedes sekitar 30-50 meter per hari, tetapi
jarak terbang ini juga bergantung dari tempat bertelur. Apabila tempat
bertelur terdapat di dalam rumah atau di sekitar rumah maka nyamuk
tidak akan terbang jauh. Kemampuan terbang nyamuk betina rata-rata
40 meter, maksimal 100 meter. Namun, nyamuk dapat berpindah lebih
jauh secara pasif karena terbawa angin atau kendaraan (Sungkar, 2005).
4. Infeksi Virus Dengue
Infeksi virus dengue adalah penyakit yang sistemik dan dinamis.
penyakit ini memiliki spektrum klinis yang luas yang meliputi baik
manifestasi klinis berat dan ringan (WHO, 2009).
a. Etiologi
Virus dengue termasuk group B arthropod bone virus dan sekarang
lebih dikenal sebagai genus flavivirus, famili Flaviviridae yang
mempunyai 4 jenis serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4.
Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup
terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan
terhadap serotipe yang lain (Merdjani et al, .2008).
b. Patofisiologi
1) Volume Plasma
Patofisio logi utama yang membedakan antara Demam Dengue
dengan Demam Berdarah Dengue adalah peningkatan permeabilitas
dinding pembuluh darah, penurunan volume plasma, hipotensi,
trombositopenia, serta diatesis hemorrhagik. Penyelid ikan volume
plasma pada kasus DBD dengan menggunakan 131 Iodine labelled
human albumin sebagai indikator membuktikan bahwa plasma
merembes selama perjalanan penyakit mulai dari permulaan masa
demam dan mencapai puncak pada masa syok. Pada kasus berat,
syok terjadi secara akut, nilai hematokrit meningkat secara
bersamaan dengan menghilangnya plasma melalui endotel dinding
pembuluh darah. Meningkatnya nilai hematokrit pada kasus syok
mengarahkan kepada dugaan bahwa syok terjadi akibat kebocoran
plasma ke daerah ekstra vaskular melalui kap iler yang rusak. Bukti
yang mendukung adalah ditemukannya cairan dalam rongga serosa
seperti rongga peritoneum, pleura, dan perikardium yang pada
autopsi yang ternyata melebihi cairan yang diberikan melalui infus,
dan terdapatnya edema (Merdjani et al, .2008).
2) Trombositopenia
Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang sering
ditemukan pada kasus DBD. Nilai trombosit menurun pada masa
demam dan mencapai nilai terendah pada masa syok.
Trombositopenia dihubungkan dengan meningkatnya megakariosit
muda dalam sumsum tulang dan pendeknya masa hidup trombosit
akibat peningkatan destruksi trombosit. Fungsi trombosit pada DBD
terbukti menurun yang kemungkinan disebabkan oleh proses
imunologis. Trombositopenia dan gangguan fungsi trombosit
dianggap sebagai penyebab utama terjadinya perdarahan pada DBD
(Merdjani et al, .2008).
3) Sistem Koagulasi dan Fibrinolisis
Kelainan sistem koagulasi juga berperan sebagai penyebab
perdarahan pada DBD. Masa perdarahan memanjang, masa
pembekuan normal atau memanjang, masa tromboplastin parsial
yang teraktivasi memanjang. Beberapa faktor pembekuan menurun,
yaitu faktor II, V, VII, VIII, X dan fibrinogen. Pada kasus berat
terjadi peningkatan Fibrinogen Degradation Products (FDP).
Penelitian lebih lanjut membuktikan adanya penurunan
aktivitas antitrombin III. Selain itu juga dibuktikan bahwa
menurunnya aktivitas faktor VII, faktor II dan antitrombin III tidak
sebanyak fibrinogen dan faktor VIII. Hal tersebut menimbulkan
dugaan bahwa menurunnya kadar fibrinogen dan faktor VIII tidak
hanya diakibatkan oleh konsumsi sistem koagulasi, tetapi juga oleh
konsumsi sistem fibrinolisis. Kelainan fibrinolisis pada DBD
dibuktikan dengan adanya penurunan aktivit -2 plasmin inhibitor
dan penurunan aktivitas plasminogen (Merdjani, et al., .2008).
Selain itu, pada penderita DBD terjadi disfungsi endotel, hal
ini dibuktikan dengan terdapatnya peningkatan kadar sVCAM-1,
faktor von Willebrand (vWF) dan D dimer. Namun tidak ada
hubungan antara sVCAM-1 dengan beratnya penyakit, hanya ada
hubungan yang lemah antara vWF dengan D dimer maupun beratnya
penyakit (Dharma, et al., 2006).
4) Sistem Komplemen
Terdapat penurunan kadar C3, C3 proaktivator, C4, dan C5
baik pada kasus yang disertai syok atau tidak. Terdapat hubungan
positif antara kadar serum komplemen dengan derajat penyakit.
Penurunan menimbulkan perkiraan bahwa pada dengue, aktivasi
komplemen terjadi baik melalui jalur klasik maupun alternatif. Hasil
penelitian radioisotop mendukung pendapat bahwa penurunan kadar
komplemen disebabkan oleh aktivasi sistem komplemen bukan
karena produksi yang menurun. Aktivasi sistem komplemen
menghasilkan anafilatoksin C3a dan C5a yang mempunyai
kemampuan menstimulasi sel mast untuk melepaskan histamin dan
merupakan mediator kuat untuk menimbulkan peningkatan
permeabilitas kapiler, pengurangan volume plasma, dan syok
hipovolemik. Komplemen juga bereaksi dengan epitop virus pada sel
endotel, permukaan trombosit dan limfosit T, yang mengakibatkan
waktu paruh trombosit memendek, kebocoran plasma, syok, dan
perdarahan. Selain itu, komplemen juga merangsang monosit untuk
memproduksi sitokin seperti Tumor Necrosis Factor (TNF),
interfeon gamma, dan interleukin (IL-2 dan IL-1) (Merdjani et al,
.2008).
5) Respon Leukosit
Pada perjalanan penyakit DBD, sejak demam hari ketiga
terlihat peningkatan limfosit atipik yang berlangsung sampai hari
kedelapan. Dilaporkan juga bahwa pada sediaan hapus buffy coat
kasus DBD dijumpai transformed lymphocytes dalam presentase
tinggi (20-50%). Hal tersebut khas untuk DBD karena pada infeksi
virus lain hanya terdapat sekitar 0-10%. Penelitian lebih lanjut yang
dilakukan oleh Sutaryo pada tahun 1978, yang kemudian
menyebutnya sebagai Limfosit Plasma Biru (LPB). Pemeriksaan
LPB secara seri memperlihatkan bahwa LPB pada infeksi dengue
mencapai puncak pada hari keenam. Dari penelitian imunologi
disimpulkan bahwa LPB merupakan campuran antara limfosit-B dan
limfosit T. LPB adalah limfosit dengan sitoplasma biru tua,
ukurannya lebih besar atau sama dengan limfosit besar, sitoplasma
lebar dengan vakuolisasi halus sampai sangat nyata, dengan daerah
perinuklear yang jernih. Inti terletak pada salah satu tepi sel
berbentuk bulat oval. Kromosom inti kasar dan terkadang dalam inti
terdapat nukleoli. Pada sitoplasma tidak ada granula azurofilik.
Daerah yang berdekatan dengan eritrosit tidak melekuk dan tidak
bertambah biru (Merdjani, et al., .2008)
c. Patogenesis
Virus dengue dibawa oleh nyamuk Aedes aegypti dan Aedes
albopticus sebagai vektor ke tubuh manusia melalui gigitan nyamuk
tersebut. Infeksi yang pertama kali dapat memberi gejala sebagai
diagnosis banding. Demam Berdarah Dengue dapat terjadi apabila
seseorang yang telah terinfeksi dengue pertama kali, mendapat infeksi
berulang virus dengue lainnya (Hendrawanto, 2002).
Organ sasaran dari virus dengue ini adalah organ Reticulo
Endotelial System (RES) yang meliputi sel kuffer hepar, endotel
pembuluh darah, nodus limfaticus, sumsum tulang serta paru-paru.
Setelah masuk dalam aliran darah, virus akan difagosit oleh sel-sel
monosit perifer. Namun, virus tersebut ternyata mampu bertahan hidup
dan dapat melakukan multiplikasi di dalam sel monosit. Virus akan
melakukan hal tersebut dengan cara memasukkan genomnya masuk ke
dalam sel dengan bantuan organel-organel sel, kemudian genom akan
virus membentuk komponen-komponennya, baik komponen perantara
maupun komponen struktural virus. Setelah komponen struktural
dirakit, virus dilepaskan dari dalam sel. Proses perkembangbiakan virus
DEN ini terjadi dalam sitoplasma sel.
Secara In Vitro antibodi terhadap virus DEN mempunyai empat
fungsi biologis yaitu: netralisasi virus, sitolisis komplemen, Antibody
Dependent Cell-mediated Cytotoxity (ADCC) dan Antibody Dependent
Enhancement (ADE).
Antibodi terhadap virus DEN secara In Vivo dapat berperan pada
dua hal yang berbeda, yaitu : Antibodi netralisasi atau neutralizing
antibodies yang memiliki serotip spesifik yang dapat mencegah infeksi
virus dan antibody non neutralising yang memiliki peran cross-reactive
dan dapat meningkatkan infeksi yang berperan dalam patogenesis DBD
dan DSS.
Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini
masih diperdebatkan. Namun, berdasarkan data yang ada, terdapat bukti
yang kuat bahwa mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya
DBD dan DSS. Dua teori yang sering digunakan untuk menjelaskan
perubahan patogenesis pada DBD dan DSS yaitu hipotesis infeksi
sekunder (Secondary heterologous infection theory) dan hipotesis
Antibody Dependent Enhancement (ADE).
Teori infeksi sekunder menyebutkan bahwa apabila seseorang
mendapatkan infeksi primer dengan satu jenis serotipe virus, maka akan
terjadi proses kekebalan terhadap virus jenis tersebut untuk jangka
waktu yang lama, tetapi apabila orang tersebut mendapatkan infeksi
sekunder dari jenis serotipe virus yang berbeda, maka akan terjadi
infeksi yang berat. Antibodi yang telah terbentuk dari infeksi primer
akan membentuk kompleks dengan infeksi virus dengue dengan
serotipe yang berbeda, tetapi antibodi tersebut tidak dapat menetralisir
virus, bahkan akan membentuk suatu kompleks yang infeksius.
Karena adanya non neutralizing antibody, maka partikel virus DEN
dan molekul antibodi IgG akan membentuk suatu kompleks
virus-antibodi. Kompleks tersebut akan berikatan dengan reseptor Fc gama
pada sel, yang akan menimbulkan peningkatan infeksi virus DEN.
Kompleks virus antibodi juga akan meliputi sel makrofag yang beredar,
antibodi tersebut akan bersifat opsonisasi dan internalisasi sehingga
makrofag mudah terinfeksi dan akan teraktivasi, yang selanjutnya akan
memproduksi IL-1, IL-6 dan TNF- Platelet Activating Faktor
(PAF). TNF- akan berperan dalam menyebabkan kebocoran dinding
pembuluh darah, merembesnya cairan plasma ke jaringan tubuh yang
disebabkan kerusakan endothel pembuluh darah, dimana hal-hal
tersebut dapat mengakibatkan syok.
Pada teori yang lain, yaitu teori Antibody Dependent Enhancement
(ADE), menyebutkan tiga hal, yaitu: antibodies enhance infection,
T-cells enhance infection serta limfosit T dan monosit yang akan
melepaskan sitokin yang berkontribusi terhadap terjad inya DBD dan
DSS.
Teori ADE dapat dijelaskan sebagai berikut, bahwa jika terdapat
antibodi spesifik terhadap jenis virus tertentu, maka antibodi tersebut
dapat mencegah timbulnya penyakit, akan tetapi apabila antibodi yang
terdapat dalam tubuh merupakan antibodi yang tidak dapat
menetralisasi virus, justru dapat menimbulkan penyakit yang berat
(Soegijanto, 2006).
Dalam teori ADE diperkirakan bahwa proses terjadinya
peningkatan replikasi virus pada infeksi sekunder adalah akibat antibodi
yang berkadar rendah dan bersifat subnetral yang sudah terbentuk pada
saat terjadi infeksi primer tidak mampu membunuh virus, sehingga
kompleks imun melekat pada reseptor Fc sel mononuklear fagosit,
terutama makrofag, yang kemudian akan mempermudah virus masuk ke
sel dan meningkatkan kemampuan multiplikasi virus tersebut (Sutaryo,
2004).
Imunoglobulin spesifik terhadap virus dengue di dalam serum
pasien DD, DBD dan DSS didominasi o leh IgM, IgG1 dan IgG3,
sedangkan IgA dijumpai paling banyak pada fase akut dari DSS.
Sehingga banyak juga yang mengatakan bahwa IgA, IgG1 dan IgG4
dapat digunakan sebagai marker dari risiko berkembangnya DBD dan
DSS.
Di samping kedua teori tersebut masih ada teori-teori lain tentang
patogenesis dari DBD, di antaranya adalah teori virulensi virus, teori ini
didasarkan pada perbedaan serotipe virus dengue DEN-1, DEN-2,
DEN-3 dan DEN-4 yang semuanya dapat ditemukan pada kasus-kasus
yang fatal, tetapi berbeda antara daerah yang satu dengan yang lain.
Selain itu juga ada teori antigen-antibodi, teori ini berdasarkan bukti
bahwa pada penderita DBD terjadi penurunan aktivitas sistem
komplemen yang ditandai dengan penurunan dari kadar C3, C4 dan C5.
Selain itu, pada 48-72% penderita DBD terbentuk kompleks imun
antara IgG dengan virus Dengue yang dapat menempel pada trombosit,
sel B, dan sel-sel dalam organ tubuh lain. Terbentuknya kompleks imun
tersebut juga akan mempengaruhi aktivitas komponen sistem imun
yang lain. Juga ada teori mediator, yang menjelaskan bahwa makrofag
yang terinfeksi virus Dengue akan melepas berbagai mediator seperti
interferon, IL-1, IL-6, IL-12, TNF, dan lain lain. Diperkirakan mediator
dan endotoksin yang bertanggungjawab atas terjadinya syok septik,
demam dan peningkatan permeabilitas kapiler.
Pada infeksi virus dengue, virem ia terjadi sangat cepat, akan tetapi
derajat kerusakan jaringan yang ditimbulkan tidak cukup untuk
menyebabkan kematian dari infeksi virus tersebut, kematian lebih
disebabkan oleh gangguan metabolik dan juga keadaan shock.
Diketahui juga bahwa akibat dari replikasi virus di dalam sel akan
menimbulkan stres pada sel sampai dapat menyebabkan kematian sel
(apoptotik). Mekanisme pertahanan tubuh melalu i apoptosis dan
aktivasi sel-sel fagosit dapat menimbulkan jejas jaringan lokal juga
ketidakseimbangan homeostasis.
Pada infeksi fase akut virus dengue terjadi penurunan dari populasi
limfosit CD2+ dan berbagai subsetnya CD4+ dan CD8+. Juga terjadi
penurunan respon proliferatif dari sel-sel mononuklear, sebaliknya pada
fase konvalesen respon proliferatif kembali normal. Terjad i
peningkatan konsentrasi IFN-g, TNF-a, IL-10 dan reseptor TNF terlarut
di dalam plasma pasien DBD/DSS. Peningkatan TNF-a berhubungan
dengan manifestasi hemoragik, sedangkan kenaikan IL-10 berhubungan
dengan fungsi trombosit.
Sehingga, pada infeksi virus Dengue fase akut akan terjadi
penurunan jumlah maupun fungsi dari limfosit T, sedangkan sitokin
proinflamasi TNF-a akan meningkat dan berperan penting dalam
derajat keparahan dan patogenesis DBD/DSS. Juga terjadi peningkatan
IL-10 yang akan menurunkan fungsi limfosit T dan fungsi trombosit.
Penyebab utama dari kebocoran plasma yang khas terjadi pada pasien
DBD dan DSS disebabkan oleh kerjasama aktivasi komplemen, induksi
kemokin dan kematian sel apoptotik (Soegijanto, 2006).
d. Manifestasi Klinis
Infeksi virus dengue mungkin bersifat asimtomatik atau dapat
menyebabkan demam tidak terdiferensiasi (undifferentiated fever),
Demam Dengue (Dengue Fever), atau Demam Berdarah Dengue
(Dengue Haemorrhagic Fever) termasuk Sindrom Syok Dengue
(Dengue Shock Syndrome) dan Expanded Dengue Syndrome. Infeksi
salah satu serotipe dengue akan memberikan kekebalan seumur hidup
terhadap serotipe tersebut, tetapi hanya ada proteksi-silang jangka
pendek untuk serotipe lainnya. Manifestasi klinis infeksi virus dengue
tergantung pada faktor-faktor strain virus dan host seperti usia, status
kekebalan, dan lain lain (WHO, 2011).
1) Demam tidak terdiferensiasi
Pada bayi, anak dan orang dewasa yang terinfeksi virus
dengue, terutama untuk pertama kalinya (infeksi dengue primer),
dapat terjadi demam sederhana yang tidak dapat dibedakan dari
infeksi virus lainnya. Ruam makulopapular dapat menyertai demam
atau mungkin muncul selama penurunan suhu badan sampai normal.
Gejala saluran pernapasan atas dan saluran pencernaan juga umum
terjadi (WHO, 2011).
2) Demam Dengue
Pada masa awal penyakit b iasanya mendadak, disertai gejala
prodromal seperti nyeri kepala, nyeri di berbagai bagian tubuh,
anoreksia, menggigil, dan malaise. Akan dijumpai trias sindrom,
yaitu demam tinggi, nyeri pada anggota badan, dan ruam. Ruam
timbul pada 6-12 jam sebelum suhu naik pertama kali, pada hari
sakit ke 3-5 dan berlangsung selama 3-4 hari. Ruam bersifat
makulopapular yang menghilang pada penekanan. Ruam biasanya
terdapat di dada, abdomen, anggota gerak dan wajah.
Anoreksia dan obstipasi sering dilaporkan, selain itu rasa tidak
sering ditemukan. Pada stadium dini sering timbul perubahan pada
indra pengecap. Gejala klinis lain yaitu fotofobia, keringat
bercucuran, serak, batuk, epistaksis, dan disuria. Demam akan
menghilang secara lisis disertai keringat yang banyak.
Kelenjar limfa servikal d ilaporkan membesar pada 67-77%
kasus. Kelainan darah tepi demam dengue adalah leukopenia selama
periode pra-demam dan demam, neutrofilia relatif dan limfopenia,
disusul oleh neutropenia relatif dan limfositosis pada periode puncak
penyakit dan masa kovalesens. Eosinofil menurun atau menghilang
pada permulaan dan puncak penyakit, hitung jenis neutrofil bergeser
ke kiri selama periode demam, sel plasma meningkat pada periode
memuncaknya penyakit dengan terdapatnya trombositopenia. Darah
tepi akan menjadi normal kembali dalam waktu 1 minggu.
Komplikasi demam dengue jarang dilaporkan, antara lain
orkhitis atau ovaritis, keratitis, dan retinitis. Berbagai kelainan
neurologis juga dilaporkan, di antaranya menurunnya kesadaran,
paralisis sensorium yang sementara, meningismus, dan ensefalopati
(Merdjani, et al., 2008).
3) Demam Berdarah Dengue
Demam Berdarah Dengue ditandai oleh 4 manifestasi klinis,
yaitu demam tinggi, perdarahan, hepatomegali, dan kegagalan
peredaran darah (circulatory failure).
Pada DBD terdapat perdarahan kulit, uji torniquet positif,
memar, dan perdarahan pada tempat pengambilan darah vena.
Petekia halus yang tersebar di anggota gerak, wajah, aksila sering
ditemukan pada masa dini demam. Perdarahan dapat juga terjadi di
setiap organ tubuh. Pada masa kovalesens sering ditemukan eritema
pada telapak tangan dan kaki.
Pada DBD yang disertai syok, setelah demam berlangsung
selama beberapa hari keadaan umum tiba-tiba memburuk. Hal
tersebut biasa terjadi pada saat atau setelah demam menurun, yaitu
antara hari sakit ke 3-7. Pada sebagian kasus ditemukan tanda
kegagalan peredaran darah, kulit terasa lembab dan dingin, sianosis
di sekitar mulut, nadi menjadi cepat dan lembut. Anak akan tampak
lesu dan gelisah kemudian secara cepat masuk dalam fase syok.
Pasien sering mengeluh nyeri di daerah perut sesaat sebelum syok.
Syok yang terjadi selama periode demam biasanya mempunyai
prognosis buruk.
Selain kegagalan sirku lasi, saat syok tekanan nadi menurun
menjadi 20 mm Hg atau kurang dan tekanan sistolik menurun
sampai 80 mm Hg atau lebih rendah. Pada pemeriksaan laboratorium
ditemukan trombositopenia dan hemokonsentrasi. Jumlah trombosit
<100.000/µ l ditemukan antara hari sakit ke 3-7. Peningkatan kadar
hematokrit merupakan sebuah bukti adanya kebocoran plasma. Hasil
laboratorium lain yang sering ditemukan adalah hipoproteinemia,
hiponatremia, kadar transaminase serum dan urea nitrogen darah
meningkat. Pada beberapa kasus ditemukan asidosis metabolik.
Jumlah lekosit bervariasi antara leukopenia dan leukositosis.
Terkadang ditemukan albuminuria ringan yang bersifat sementara
(Merdjani, et al., 2008).
4) Expanded Dengue Syndrome
Merupakan manifestasi klinis yang tidak biasa pada pasien
dengan keterlibatan organ-organ penting seperti hati, otak ginjal,
atau jantung yang terkait dengan infeksi dengue yang tidak terdapat
kebocoran plasma. Manifestasi yang tidak biasa ini, mungkin terkait
dengan co-infeksi, komorbiditas atau komplikasi syok yang
berkepanjangan. Investigasi lengkap harus dilakukan dalam kasus
ini. Kebanyakan pasien DBD yang memiliki manifestasi yang tidak
biasa adalah hasil dari syok berkepanjangan dengan kegagalan organ
atau pasien dengan penyakit penyerta atau koinfeksi (WHO, 2011).
Manifestasi Klinis ini mungkin tidak dilaporkan, tidak
terdeteksi, atau tidak terkait dengan infeksi dengue. Namun,
penilaian klinis yang tepat sangat penting dilakukan agar selanjutnya
dapat diberikan manajemen dan penatalaksanaan yang sesuai.
Tabel 2.1. Expanded Dengue Syndrome (Manifestasi Klinis yang
Tidak Umum pada Infeksi Dengue)
Sistem Manifestasi Klinis yang Tidak Umum
Neurologis Kejang demam pada anak-anak
Ensefalopati
Respirasi Acute Respiratory Distress Syndrome
Perdarahan pulmonal
Muskuloskeletal Myostitis dengan peningkatan creatinine
phosphokinase
Rhabdomyolisis
Lymphoreticular Infeksi terkait Haemophagocytic Syndrome
e. Diagnosis
1) Demam Dengue
Demam akut dengan dua atau lebih dari kriteria berikut:
a) sakit kepala
b) Nyeri retro-orbital
c) mialgia
d) arthralgia
e) ruam
f) manifestasi perdarahan
g) leukopenia (lekosit
h) trombositopenia (jumlah trombosit <150 000 sel/mm3)
i) kenaikan hematokrit (5 - 10%);
dan setidaknya salah satu dari kriteria berikut:
a) Hasil tes serologi yang mendukung: titer test
Penghambatan Hemaglutinasi, titer IgG yang comparable dengan
enzyme-linked immunosorbent assay, atau tasting positive pada
test antibodi IgM
b) Terjadinya di lokasi dan waktu yang sama dengan kasus demam
dengue yang sudah terkonfirmasi.
Untuk mengkonfirmasi diagnosis harus memenuhi kriteria yang telah
disebutkan di atas, dengan setidaknya salah satu dari berikut:
a) isolasi virus dengue dari serum, CSF atau sampel otopsi.
b) peningkatan empat kali lipat atau lebih kenaikan serum IgG
(dengan uji inhibisi Hemaglutinasi) atau peningkatan IgM
antibodi spesifik untuk virus dengue.
c) deteksi virus dengue atau antigen dalam jaringan, serum atau
cairan serebrospinal dengan uji imunohistokimia,
imunofluoresensi atau enzyme-linked immunosorbent assay.
d) deteksi urutan genom virus dengue dengan reverse
transcription-polymerase chain reaction (WHO, 2011).
2) Demam Berdarah Dengue
Terdapat semua dari kriteria berikut:
a) Onset akut demam 2-7 hari.
b) Manifestasi perdarahan, yang ditunjukkan oleh salah satu dari
berikut: tourniquet tes positif, petechiae, ekimosis atau purpura,
atau perdarahan dari mukosa, saluran pencernaan, situs injeksi,
atau lokasi lainnya.
c) Trombosit
d) Bukti objektif kebocoran plasma karena peningkatan
permeabilitas pembuluh darah yang ditunjukkan oleh salah satu
kriteria berikut: Meningkatnya hematokrit
asites atau hipoproteinemia/hipoalbuminemia (WHO, 2011).
3) Dengue Shock Syndrome
Memenuhi kriteria untuk demam berdarah dengue seperti yang
tercantum sebelumnya, dengan tanda-tanda shock berikut:
a) Takikardia, ekstremitas dingin, waktu pengisian kapiler
melambat, nadi lemah, lesu atau gelisah, yang mungkin
merupakan tanda perfusi otak berkurang.
b) Tekanan nadi Hg dengan tekanan diastolik yang
meningkat.
c) Hipotensi berdasarkan usia, yang didefinisikan sebagai tekanan
sistolik < 80 mm Hg bagi anak berusia <5 tahun, dan 80-90 mm
Hg untuk anak yang lebih tua dan orang dewasa (WHO, 2011).
Konfirmasi laboratorium lain yang dapat dlakukan untuk
infeksi dengue adalah dengan melalui isolasi virus, deteksi asam
nukleat virus, deteksi antigen virus, test imunologis (IgM dan IgG),
dan analisis parameter hematologis (Mandal, et al., 2008)
f. Klasifikasi
Klasifikasi infeksi dengue menurut WHO tahun 2011 terbagi dalam
Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD), di mana
Demam Berdarah Dengue terbagi dalam empat derajat menurut tigkat
keparahannya. DBD derajat III dan IV sudah masuk ke dalam keadaan
Dengue Shock Syndrome (DSS).
Tabel 2.2. Klasifikasi Infeksi Dengue dan Derajat Keparahan DBD
DD/DBD Derajat Tanda dan Gejala Laboratorium
DD Demam dengan dua Leukopenia (leukosit
dari gejala berikut: 5000 sel/mm3)
Sakit kepala Trombositopenia
(test torniquet positif) Kenaikan hematokrit
Adanya bukti kebocoran plasma
DBD II Seperti derajat I Trombositopenia
ditambah perdarahan (<100000 sel/mm3)
spontan Kenaikan hematokrit
DBD III Seperti derajat I atau II Trombositopenia
ditambah kegagalan (<100000 sel/mm3)
peredarah darah (nadi Kenaikan hematokrit
lemah, tekanan nadi
gelisah)
DBD IV Seperti derajat III Trombositopenia
ditambah syok berat (<100000 sel/mm3)
dengan tekanan darah Kenaikan hematokrit
dan nadi yang tidak terdeteksi
(WHO, 2011).
g. Penularan
Virus dengue ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti atau
Aedes albopticus betina. Nyamuk tersebut dapat secara langsung
menularkan virus dengue kepada manusia, yaitu setelah menggigit
orang yang mengalami viremia, atau secara tidak langsung setelah
mengalami masa inkubasi dalam tubuhnya selama 8-10 hari.
Pada manusia diperlukan waktu 4-6 hari sebelum menjadi sakit
setelah virus masuk ke dalam tubuhnya. Pada nyamuk, sekali virus
masuk ke dalam tubuhnya, maka nyamuk tersebut dapat menularkan
virus seumur hidupnya. Penularan dari manusia ke nyamuk hanya dapat
terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang sedang mengalam i
viremia, yaitu 2 hari sebelum panas sampai lima hari setelah demam
timbul (Depkes RI, 2001).
h. Pencegahan Penyakit Dengue
Pencegahan penyakit dengue yang ditularkan melalui gigitan
nyamuk Aedes dikelompokkan menjadi tiga tahap, yaitu:
1) Pencegahan Primer
Pada tahap ini dilakukan upaya menghilangkan kemungkinan
terjadinya penyakit yang akan terjadi. Tingkatan ini terdiri dari:
a) Promosi Kesehatan
Promosi kesehatan dilakukan dengan cara penyuluhan
kesehatan yaitu memberikan penyuluhan kesehatan kepada
masyarakat mengenai apa itu DBD, apa tanda-tandanya, apa
penyebabnya, dan bagaimana cara penularannya; bila terjadi
serangan apa yang harus dilakukan.
b) Perlindungan khusus
Karena penyakit ini tidak terdapat vaksinnya, dan penularan
terjadi melalui gigitan nyamuk Aedes yang mengandung virus
dengue, masyarakat diminta untuk menghindari gigitan nyamuk
(Farouk, 2004)
2) Pencegahan Sekunder
Pada tahap ini dilakukan upaya untuk menghambat perjalanan
penyakit dan mencegah komplikasi. Upaya ini meliputi melakukan
diagnosis seawal mungkin terhadap kasus penyakit dengue dan
memberikan pengobatan yang tepat. Begitu didapatkan kasus dengan
gejala panas segera dilakukan pemeriksaan fisik dengan cermat
untuk menetapkan apakah kasus dengue atau bukan dan bila telah
didiagnosis dilakukan pengobatan yang tepat terutama untuk
mencegah terjadinya perdarahan dan syok (Farouk, 2004)
3) Pencegahan Tersier
Upaya yang dilakukan pada tahap ini bertujuan agar penderita
sembuh seperti sedia kala dan tanpa cacat. Upaya ini meliputi:
a) Menghindakan dari kecacatan. Bila kasus menjadi berat dilakukan
perawatan rumah sakit untuk menghindari perdarahan hebat dan
kematian.
b) Rehabilitasi. Bila ada tanda-tanda penyembuhan, dilakukan
pemulihan kesehatan dengan cara pemberian makanan yang
bergizi serta vitamin. (Farouk, 2004)
Langkah pencegahan DBD yang paling baik adalah dengan
mengeliminasi nyamuk Aedes dengan cara mengeliminasi tempat
berbiaknya (Wijaya, 2007). Pemberantasan vektor tersebut dapat
dilakukan dengan beberapa metode yaitu:
1) Lingkungan
Metode lingkungan untuk mengendalikan nyamuk trsebut antara lain
dengan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), pengelolaan sampah
padat, menyingkirkan tempat perkembangbiakan nyamuk, dan
perbaikan desain rumah
2) Biologis
Pengendalian biologis antara lain dengan menggunakan ikan
pemakan jentik (ikan cupang), tanaman pencegah nyamuk, dan
bakteri
3) Kimiawi
Pengendalian kim iawi antara lain dengan pengasapan/fogging
dengan menggunakan malathion dan fenthion, berguna untuk
mengurangi kemungkinan penularan sampai batas waktu tertentu.
Dapat juga dilakukan dengan memberikan bubuk abate (temephos)
pada tempat-tempat penampungan air, seperti gentong air, vas
bunga, kolam, dan lain-lain. Bubuk abate 1% diberikan dengan dosis
1ppm (part per-million) yaitu 10 gram untuk 100 liter air diulangi
dalam jangka waktu 2-3 bulan (Wijaya, 2007)
5. Pemberantasan Sarang Nyamuk Aedes
Upaya Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) adalah upaya untuk
memberantas nyamuk Aedes, dilakukan dengan cara:
a. Menguras dengan menggosok tempat-tempat penampungan air
sekurang-kurangnya seminggu sekali yang bertujuan untuk merusak
telur nyamuk, sehingga jentik-jentik tidak bisa menjadi nyamuk atau
menutupnya rapat-rapat agar nyamuk tidak bisa bertelur di tempat
penampungan air tersebut.
b. Mengganti air vas bunga, perangkap semut, air tempat minum burung
seminggu sekali dengan tujuan untuk merusak telur maupun jentik
nyamuk.
c. Mengubur atau menyingkirkan barang-barang bekas dan
sampah-sampah lainnya yang dapat menampung air hujan sehingga tidak
menjadi tempat berkembang biaknya nyamuk.
d. Mencegah barang-barang/pakaian-pakaian yang bergelantungan di
kamar ruang yang remang-remang atau gelap yang berpotensi untuk
menjadi tempat hinggap nyamuk. (Depkes RI, 1996).
Gerakan PSN biasa disebut dengan 3M Plus, yaitu menguras, menutup,
dan menimbun. Selain itu juga melakukan beberapa plus yang bertujuan
untuk mencegah gigitan nyamuk, seperti memelihara ikan pemakan jentik,
menabur larvasida, menggunakan kelambu pada waktu tidur, memasang
kawat kasa pada ventilasi, menyemprot insektisida, menggunakan lotion
anti nyamuk, memasang obat nyamuk, memeriksa jentik berkala, tidak
menggantung pakaian di ruang gelap, menutup pintu dan jendela saat
senja, dan lain-lain sesuai dengan kondisi setempat (Wahono, 2004).
Dengan melakukan kegiatan PSN secara rutin dan dilakukan oleh
semua masyarakat, maka perkembangan penyakit akibat infeksi virus
dengue di suatu wilayah tertentu dapat dicegah dan dibatasi
penyebarannya, sehingga dapat menurunkan angka kejadian penyakit yang
disebabkan oleh infeksi virus dengue.
6. Perilaku
a. Pengertian Perilaku
Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme (makhluk
hidup) yang bersangkutan. Oleh sebab itu, dari sudut pandang biologis,
semua makhluk hidup mulai dari tumbuh-tumbuhan, binatang sampai
dengan manusia memiliki perilaku karena semua itu mempunyai
aktifitas masing-masing.
Perilaku manusia, pada hakikatnya adalah tindakan atau aktifitas
manusia yang mempunyai bentangan yang sangat luas, antara lain:
berjalan, berbicara, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca dan
sebagainya. Maka, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
perilaku adalah semua kegiatan atau aktifitas seseorang, baik yang
dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati pihak luar
(Notoatmodjo, 2003).
Skiner (1938) seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa perilaku
merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan
dari luar). Oleh karena perilaku terjadi melalui proses adanya stimulus
terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespon. Teori
skiner disebut teori Stimulus-Organisme-Respon atau S-O-R. Skiner
membedakan adanya dua respon, yaitu:
1) Respondent response atau reflexsive response, yakni respon yang
Stimulus semacam ini disebut electing stimulation karena
menimbulkan respon-respon yang relatif tetap. Misalnya : makanan
yang lezat menimbulkan keinginan untuk makan, cahaya terang
menyebabkan mata tertutup, dan sebagainya. Respondent response
ini juga mencakup perilaku emosional, misalnya mendengar berita
musibah menjadi sedih atau menangis, lulus ujian meluapkan
kegembiraannya dengan mengadakan pesta, dan sebagainya.
2) Operant response atau instrumental response, yakni respon yang
timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau
perangsang tertentu. Perangsang ini disebut reinforcing stimulation,
karena perangsangan tersebut bersifat memperkuat respon yang
telah dilakukan. Misalnya apabila seorang petugas kesehatan
melaksanakan tugasnya dengan baik kemudian memperoleh
penghargaan dari atasannya, maka petugas kesehatan tersebut akan
lebih baik lagi dalam melaksanakan tugasnya (Notoatmodjo, 2003).
b. Bentuk Perilaku
Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus, maka perilaku dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu:
1) Perilaku tertutup. Merupakan respon seseorang terhadap stimulus
dalam bentuk terselubung atau tertutup (covert). Respon atau reaksi
terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi,