• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA

B. Nyeri

Nyeri adalah suatu kondisi yang tidak nyaman dan menyiksa bagi penderitanya, namun terkadang nyeri dapat digunakan sebagai tanda adanya kerusakan jaringan. Inflamasi merupakan manifestasi dari terjadinya kerusakan jaringan, dimana nyeri merupakan salah satu gejalanya. Karena dipandang merugikan maka inflamasi memerlukan obat untuk mengendalikannya (Esvandiary, 2006)

Tjay dan Rahardja (2002) menyatakan bahwa nyeri sebagai perasaan sensoris dan emosional yang tidak enak serta berkaitan dengan kerusakan jaringan. Nyeri sendiri berfungsi untuk mengingatkan bahwa ada sesuatu yang tidak beres pada tubuh kita dan dapat memudahkan diagnosis penyakit tersebut dengan melihat sifat dan tempat terjadinya nyeri tersebut. Walaupun nyeri merupakan petunjuk yang berharga bagi tubuh, namun pasien merasakannya sebagai hal yang tidak mengenakkan, menyiksa, dan berusaha untuk bebas darinya (Mutschler, 1986).

Nyeri akan muncul ketika rangsang mekanik, termal, kimia, atau listrik melampaiui ambang tertentu (nilai ambang nyeri). Ketika terjadi rangsang nyeri dan melampaui nilai ambang nyeri, maka akan terjadi kerusakan jaringan dan pelepasan mediator-mediator nyeri (Mutschler, 1986). Mediator nyeri ini terdapat di seluruh jaringan dan organ tubuh, kecuali di susunan saraf pusat (SSP). Mediator-mediator nyeri yang juga disebut autocoida ini antara lain histamin, prostaglandin, serotonin, bradikinin, dan leukotrien. Mediator nyeri ini dapat menyebabkan terjadinya reaksi peradangan, kejang-kejang, dan demam (Tjay dan Rahardja, 2002).

Menurut DiPiro dkk (2008) proses penghantaran nyeri terdiri atas 4 tahap yaitu stimulasi, transmisi, persepsi nyeri dan modulasi.

a. Stimulasi

Sensasi nyeri diawali dengan pembebasan reseptor nyeri akibat rangsangan mekanis, panas, dan kimia. Adanya rangsangan tersebut (noxius stimuli) akan menyebabkan lepasnya bradikinin, K+, prostaglandin, histamin, leukotrien, serotonin dan substansi P. Aktivasi reseptor menimbulkan aksi potensial yang ditransmisikan sepanjang serabut saraf aferen menuju sumsum tulang belakang (Dipiro dkk, 2008) b. Transmisi

Transmisi rangsang nyeri terjadi di serabut aferen Aδ dan C. Serabut saraf aferen tersebut merangsang serabut nyeri di berbagai lamina spinal cord’s dorsal horn melepaskan berbagai neurotransmiter termasuk glutamat, substansi P, dan kalsitonin (Dipiro dkk, 2008).

c. Persepsi Nyeri

Merupakan titik utama transmisi impuls nyeri. Otak akan mengartikan sinyal nyeri dengan batas tertentu, sedangkan fungsi kognitif dan tingkah laku akan memodifikasi nyeri sehingga tidak lebih parah. Relaksasi, pengalihan, meditasi dan berkhayal dapat mengurangi rasa nyeri. Sebaliknya, perubahan biokimia saraf yang terjadi pada keadaan seperti depresi dan stres dapat memperparah rasa nyeri (Dipiro dkk, 2008).

d. Modulasi

Modulasi nyeri melalui sejumlah proses yang kompleks. Telah diketahui bahwa sistem opiat endogen terdiri atas neurotransmiter-neurotransmiter (seperti enkhepalin, dinorfin, dan β-endorfin dan reseptor-reseptor ( seperti μ, δ, dan κ) yang ditemukan dalam sistem saraf pusat. Opioid endogen berikatan dengan reseptor opioid dan mengantarkan transmisi rangsang nyeri (Dipiro dkk, 2008).

Faktor pertumbuhan neuron atau neuron growth factor (NGF) merupakan mediator mirip sitokinin yang dihasilkan oleh jaringan di perifer terutama pada jaringan yang mengalami peradangan dan beraksi secara spesifik pada serabut saraf aferen serta meningkatkan kemosensitifitas dan kandungan senyawa peptida. Senyawa peptida dilepaskan di pusat dan di perifer sebagai mediator yang berperan penting dalam terjadinya nyeri (Rang dkk, 2003). Proses timbulnya nyeri dapat dilihat pada gambar 2.

Gambar 2. Mekanisme timbulnya nyeri (Rang dkk, 2003)

Keterangan : = menginduksi = menghambat BK = Bradikinin

5-HT = 5-Hidroksi triptamin (serotonin) SP = Substansi P

PG = Prostaglandin

NGF = Neuron Growth Factor atau Faktor Pertumbuhan Neuron CGRP = Calcitonin gene-related peptide

NA = Nor Adrenalin

GABA = Gama Amino Butiric Acid (asam γ- aminobutirat)

+

Menurut Greene dan Harris (2000), ada tiga tipe serabut saraf yang terlibat dalam transmisi nyeri yaitu:

1. serabut A-β : berukuran besar, bermielin, cepat dalam menyalurkan impuls (30-100 m/detik), memiliki ambang nyeri yang rendah dan merespon terhadap sentuhan ringan;

2. serabut A-δ : berukuran kecil, bermielin tipis, dan memiliki kecepatan konduksi yang lebih rendah (6-30 m/detik). Serabut ini merespon terhadap tekanan, panas, zat kimia, dan memberi reaksi terhadap nyeri yang tajam, serta menimbulkan refleks penarikan diri atau gerakan cepat lainnya; dan

3. serabut C : berukuran kecil, tidak bermielin, dan memiliki kecepatan konduksi yang lambat (1-1,25 m/detik). Serabut ini merespon terhadap seluruh jenis rangsang bahaya dan mentransmisikan nyeri yang lambat dan tumpul.

Nyeri menurut tempat terjadinya dibagi atas nyeri somatik dan nyeri dalaman (viseral). Nyeri somatik dibagi lagi atas 2 kualitas yaitu nyeri permukaan dan nyeri dalam. Apabila rangsang bertempat dalam kulit maka rasa yang terjadi disebut nyeri permukaan. Sebaliknya nyeri yang berasal dari otot, persendian, tulang, dan jaringan ikat disebut nyeri dalam. Nyeri permukaan yang terbentuk kira-kira setelah tertusuk dengan jarum pada kulit, mempunyai karakter yang ringan, dapat dilokalisasi dengan baik, dan hilang cepat setelah berakhirnya rangsang. Nyeri dalam juga dirasakan sebagai tekanan, sukar dilokalisasi, dan kebanyakan menyebar di sekitarnya. Contoh yang paling dikenal dari nyeri dalam adalah sakit kepala yang dalam berbagai bentuknya merupakan bentuk nyeri yang paling sering. Nyeri dalam seringkali diikuti

oleh reaksi afektif dan vegetatif seperti tidak bergairah, mual, berkeringat, dan penurunan tekanan darah. Nyeri dalaman (viseral) terjadi antara lain ada tegangan organ perut, kejang otot polos, aliran darah kurang, dan penyakit yang disertai radang (Mutschler, 1991).

Berdasarkan waktu terjadinya, nyeri dibedakan menjadi nyeri akut dan nyeri kronik. Nyeri akut diperantarai oleh serabut saraf Aδ dengan adanya rangsang nyeri mayor (trauma fisik, infark miokard, peptic ulcer) dan bereaksi cepat. Nyeri kronik diperantarai oleh serabut saraf C (Laurence, Bennet, and Brown, 1997). Nyeri persisten dapat berupa nyeri akut maupun kronis. Nyeri persisten dipengaruhi oleh sensitisasi sentral dan kerusakan jaringan perifer (Coderre dan Katz, 1997).

Menurut Mutschler (1991) untuk mempengaruhi nyeri dengan obat, terdapat kemungkinan-kemungkinan berikut :

1. mencegah sensibilasi reseptor nyeri dengan cara penghambatan sintesis prostaglandin dengan analgetika yang bekerja perifer,

2. mencegah pembentukan rangsang dalam reseptor nyeri dengan memakai anestetika permukaan atau anestetika infiltrasi,

3. menghambat penerusan rangsang dalam serabut saraf sensorik dengan anestetika induksi,

4. meringankan nyeri atau meniadakan nyeri melalui kerja dalam sistem saraf pusat dengan analgetika yang bekerja pada pusat atau obat narkosis, dan

5. mempengaruhi pengalaman nyeri dengan psikofarmaka (transkuilansia, neuroleptika, dan antidepresan).

C. Nanas

Dokumen terkait