• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efek analgesik dan anti-inflamasi jus buah nanas (Ananas comosus L) pada mencit betina galur Swiss - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Efek analgesik dan anti-inflamasi jus buah nanas (Ananas comosus L) pada mencit betina galur Swiss - USD Repository"

Copied!
138
0
0

Teks penuh

(1)

EFEK ANALGESIK DAN ANTI-INFLAMASI JUS BUAH NANAS

(

Ananas comosus

L. ) PADA MENCIT BETINA GALUR SWISS

SKRIPSI

Disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S. Farm)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh :

Ricky Hidayat

NIM : 068114123

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)

ii

EFEK ANALGESIK DAN ANTI-INFLAMASI JUS BUAH NANAS

(

Ananas comosus

L

.

) PADA MENCIT BETINA GALUR SWISS

SKRIPSI

Disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S. Farm)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh : Ricky Hidayat NIM : 068114123

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Sing to the Lord, for He has done glorious things;

let this be kwon to all the world. Isaiah 12:5

Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja

dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan

bagi mereka yang mengasihi Dia,yaitu bagi mereka

yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah

Roma 8:28

Kupersembahkan skripsi ini

bagi yang menginspirasi hidupku :

Tuhan Yesus Kristus

Papa dan Mamaku

Adikku dan teman-temanku

(6)
(7)

vi

PRAKATA

Penulis memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa oleh karena berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Efek Analgesik dan Anti-Inflamasi Jus Buah Nanas (Ananas Comosus L.) pada

Mencit Betina Galur Swiss” ini dengan baik.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi ( S. Farm. ) Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penyelesaian skripsi ini tentunya tidak lepas dari bantuan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Oleh karena itu penulis hendak mengucapkan terima kasih kepada :

1. Yosef Wijoyo, M.Si., Apt, selaku pembimbing utama skripsi ini atas segala kesabaran untuk selalu mendukung, memotivasi, membimbing, dan memberi masukan kepada penulis dalam menyusun skripsi ini

2. Phebe Hendra, M.Si., Ph.D., Apt. selaku penguji skripsi atas bantuan dan masukkan kepada penulis demi kemajuan skripsi ini.

3. Drs. Mulyono, Apt. selaku penguji skripsi atas bantuan dan masukkan kepada penulis demi kemajuan skripsi ini.

(8)

vii

5. Agatha Budi Susiana, M.Si., Apt., selalu pembimbing akademik penulis atas segala pendampingan, dukungan dan bimbingan selama ini.

6. Mas Parjiman, Mas Heru dan Mas Kayat selaku laboran bagian farmakologi, atas segala bantuan dan dinamika selama di laboratorium.

7. Papa, Mama dan Nike atas dukungan, kasih sayang dan perjuangan untuk terus memberikan yang terbaik bagiku, baik dalam materi maupun non-materi sehingga aku tetap bersemangat dalam penyusunan skripsi ini.

8. Devi Wijayanti, tulang dari tulangku, berkat terindah yang diberikan Tuhan kepadaku, terimakasih atas dukungan, kasih sayang, perhatian, dan doa sehingga penyusunan skripsi ini dapat berlangsung dengan baik.

9. Kelas Kuliah C angkatan 2006 atas persahabatan, suka dan duka selama ini. 10.Kelompok Praktikum E Angkatan 2006 atas persahabatan dan kerjasama

dalam belajar di laboratorium.

11.Pihak-Pihak lain yang turut membantu penulis namun tidak dapat disebutkan satu persatu.

“Nobody’s Perfect”. Penulis menyadari bahwa setiap manusia tidak ada yang sempurna termasuk penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan adanya kritik, saran dan masukan demi kemajuan di masa yang akan datang.

(9)
(10)

ix

INTISARI

Efek anti-inflamasi banyak digunakan dalam pengobatan, karena banyak penyakit memiliki manifestasi klinis inflamasi. Salah satu gejala inflamasi adalah nyeri, sehingga jika inflamasi dihambat maka akan menurunkan rasa nyeri juga. Efek analgesik saat ini digunakan untuk terapi berbagai macam penyakit, seperti asam urat, rematik, dll. Maka dari itu penelitian untuk penemuan obat baru dengan efek antiinflamasi dan analgesik sangat berharga. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui apakah jus buah nanas memiliki efek antiinflamasi dan analgesik dan berapa dosis efektif jus buah nanas (Ananas comosus L.) yang dapat menimbulkan efek anti-inflamasi dan analgesik.

Metode yang digunakan adalah metode Langford yang dimodifikasi untuk uji efek anti-inflamasi dan untuk metode rangsang kimia untuk uji analgesik. Variabel bebas yaitu dosis jus buah nanas. Variabel tergantung yaitu efek analgetik dan anti-inflamasi jus buah nanas. Cara mengukur variabel tergantung adalah dengan melihat % proteksi geliat dan % daya anti-inflamasi.

Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimental murni rancangan acak lengkap pola satu arah. Data yang diperoleh selanjutnya digunakan untuk mencari persen daya analgesik dan antiinflamasinya. Distribusi data dianalisis dengan uji Kolmogorov-Smirnov, dilanjutkan Anova satu jalan dan uji Scheffe dengan taraf kepercayaan 95%.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jus nanas memiliki efek antiinflamasi dan analgesik. Efek antiinflamasi yang dinyatakan oleh % daya antiinflamasi pada dosis 1,875 g/kgBB; 3,75 g/kgBB; dan 7,5 g/kgBB berturut-turut adalah 48,89%; 56,82%; dan 55,13 % sedangkan % daya analgesiknya berturut-turut adalah 27,39%; 58,90%; dan 48,63 %.

(11)

x

ABSTRACT

Anti-inflammatory effects are widely used in medicine, because many diseases have clinical manifestations of inflammation. One of the symptoms of inflammation is pain, so if inflammation is inhibited it will reduce pain as well. Analgesic effect is currently used for a variety of disease therapy, such as gout, rheumatism, etc. Thus the research for new drug discovery with anti-inflammatory and analgesic effects is very valuable. The objectives of this study is to determine anti-inflammatory and analgesic effects of pineapple juice and effective dose of pineapple juice (Ananas comosus L.) which can lead to anti-inflammatory and analgesic effect. This research used modificated Langford method to test the anti-inflammatory effects and to chemical stimulation method for testing analgesics.

This research was a pure one way randomized experimental research. The independent variable is the dose of pineapple juice. The dependent variable is the analgesic and anti-inflammatory effects of pineapple juice which is showed with percentage of analgesic and anti-inflammatory effect. Data distribution were analyzed with Kolmogorov-Smirnov test, followed by one-way Anova and Scheffe test with 95% confidence level.

(12)

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... vi

HALAMAN PENGESAHAN ... viv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PRAKATA ... vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... viii

INTISARI ... ix

ABSTRACT ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

BAB I. PENGANTAR ... 1

A. Latar belakang ... 1

1. Perumusan Masalah ... 2

2. Keaslian Penelitian ... 2

(13)

xii

B. Tujuan Penelitian ... 4

1. Tujuan umum ... 4

2. Tujuan khusus ... 4

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA... 5

A. Inflamasi ... 5

1. Definisi ... 5

2. Klasifikasi ... 5

3. Penyebab dan Gejala ... 6

4. Mekanisme ... 8

B. Nyeri ... 11

C. Nanas ... 17

D. Obat Antiinflamasi Non Steroid ... 21

E. Diklofenak ... 23

F. Analgetika ... 24

G. Parasetamol... 27

H. Metode Pengujian Daya Analgesik ... 28

I. Metode Uji Daya Antinflamasi ... 32

J. Landasan Teori ... 37

K. Hipotesis ... 38

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 39

(14)

xiii

B. Metode Uji yang Digunakan ... 39

C. Variabel Penelitian ... 39

D. Definisi Operasional ... 40

E. Alat dan Bahan Penelitian ... 41

F. Tata Cara Penelitian ... 43

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 52

A. Identifikasi Makroskopis ... 52

B. Uji Pendahuluan ... 52

C. Uji Daya Anti-Inflamasi ... 65

D. Uji Daya Analgesik ... 71

E. Perbandingan profil parasetamol dengan jus buah nanas ... 79

F. Perbandingan Daya Antiinflamasi dan Analgesik Jus Buah Nanas ... 80

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 85

A. Kesimpulan ... 85

B. Saran ... 85

DAFTAR PUSTAKA ... 86

LAMPIRAN ... 91

(15)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel I. Rata-rata bobot udema pada orientasi rentang waktu pemotongan kaki ... 53

Tabel II. Hasil uji Scheffe rata-rata bobot udema pada penetapan rentang waktu pemotongan kaki ... 54

Tabel III. Rata-rata bobot udema pada orientasi dosis diklofenak ... 55

Tabel IV. Hasil uji Scheffe rata-rata bobot udema pada orientasi dosis diklofenak .... 56

Tabel V. Rata-rata bobot udema pada orientasi waktu pemberian diklofenak ... 57

Tabel VI. Hasil uji Scheffe bobot udema pada orientasi rentang waktu pemberian diklofenak ... 58

Tabel VII. Rata-rata jumlah geliat pada orientasi dosis asam asetat ... 60

Tabel VIII. Hasil Uji Scheffe data geliat mencit pada uji pendahuluan penetapan dosis asam asetat ... 61

Tabel IX. Rata-rata jumlah geliat pada berbagai selang waktu pemberian asam asetat. 62 Tabel X. Hasil uji Scheffe jumlah geliat pada penetapan selang waktu pemberian asam asetat. ... 63

Tabel XI. Rata-rata jumlah geliat pada orientasi dosis parasetamol ... 63

Tabel XII. Hasil uji Scheffe jumlah geliat pada penetapan dosis parasetamol ... 65

(16)

xv

Tabel XIV. Uji Scheffe persen daya antiinflamasi pada kelompok perlakuan ... 68

Tabel XV. Rata-rata persen (%) daya antiinflamasi dan rata-rata persen (%) potensi relatif kelompok jus buah nanas pada 3 peringkat dosis dibandingkan diklofenak ... 70

Tabel XVI. Rata-rata jumlah geliat pada kelompok perlakuan ... 72

Tabel XVII. Persen penghambatan nyeri pada kelompok perlakuan ... 73

Tabel XVIII. Hasil Uji Scheffe persen penghambatan rangsang nyeri pada kelompok perlakuan ... 74

Tabel XIX. Perubahan persen penghambatan nyeri pada kelompok perlakuan ... 77

(17)

xvi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Mekanisme Inflamasi ... 10

Gambar 2. Mekanisme timbulnya nyeri ... 14

Gambar 3. Klasifikasi obat NSAID ... 22

Gambar 4. Struktur kimia diklofenak ... 23

Gambar 5. Struktur kimia parasetamol ... 28

Gambar 6. Diagram batang rata-rata bobot udema pada orientasi rentang waktu pemotongan kaki ... 53

Gambar 7. Diagram batang rata-rata bobot udema pada orientasi dosis diklofenak ... 55

Gambar 8. Grafik rata-rata bobot udema pada orientasi rentang waktu pemberian diklofenak ... 57

Gambar 9. Diagram batang rata-rata jumlah geliat pada orientasi dosis asam asetat. 60 Gambar 10. Grafik rata-rata jumlah geliat pada orientasi selang waktu pemberian asam asetat. ... 62

Gambar 11. Grafik rata-rata jumlah geliat pada orientasi dosis parasetamol ... 64

Gambar 12. Diagram batang rata-rata bobot udema kaki mencit kelompok perlakuan ... 66

(18)

xvii

Gambar 14. Efek bromelain pada Sintesis Prostaglandin ... 71

Gambar 15. Gambar rata-rata kumulatif jumlah geliat kelompok perlakuan ... 72

Gambar 16. Diagram batang persen penghambatan nyeri kelompok uji ... 73

Gambar 17. Diagram batang perubahan persen penghambatan rangsang nyeri

kelompok perlakuan ... 77

Gambar 18. Grafik profil kelompok perlakuan jus buah nanas dan parasetamol ... 79

Gambar 19. Mekanisme bromelain menghambat sistem kinin ... 81

(19)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Foto Buah Nanas ... 91 Lampiran 2. Foto Jus Buah Nanas ... 91 Lampiran 3. Foto geliat mencit yang memenuhi syarat ... 92 Lampiran 4. Data jumlah geliat pada penetapan dosis asam asetat dan selang waktu

pemberian berserta hasil analisis statistiknya ... 93 Lampiran 5. Data jumlah geliat pada penetapan dosis parasetamol dan hasil analisis

statistiknya ... 97 Lampiran 6. Data bobot udema kaki mencit hasil uji pendahuluan setelah diinjeksi

karagenin 1% pada rentang waktu tertentu dan hasil analisis statistiknya ... 99 Lampiran 7. Data bobot udema kaki mencit hasil uji pendahuluan waktu pemberian

diklofenak dan hasil analisis statistiknya ... 101 Lampiran 8. Data bobot udema kaki mencit hasil uji pendahuluan dosis diklofenak dan

hasil analisis statistiknya ... 103 Lampiran 9. Data jumlah geliat pada uji efek analgesik berserta hasil analisis

statistiknya ... 105 Lampiran 10. Data persen proteksi geliat pada uji efek analgesik berserta hasil analisis

(20)

xix

Lampiran 11. Data perubahan persen proteksi geliat terhadap kontrol positif pada uji efek analgesik ... 110 Lampiran 12. Data bobot udema kaki mencit hasil uji efek antiinflamasi dan hasil

analisis statistiknya ... 112 Lampiran 13. Tabel % daya antiinflamasi dan potensi relatif ... 115 Lampiran 14. Contoh cara perhitungan % daya antiinflamasi dan potensi relatif ... 116 Lampiran 15. Perhitungan penetapan peringkat dosis jus buah nanas pada kelompok

(21)

1

BAB I

PENGANTAR

A. Latar belakang

Inflamasi merupakan manifestasi dari terjadinya kerusakan jaringan, dimana nyeri merupakan salah satu gejalanya. Nyeri merupakan suatu keadaan yang tidak nyaman dan menyiksa bagi penderitanya, namun terkadang nyeri dapat digunakan sebagai tanda adanya kerusakan jaringan. Karena dipandang merugikan, maka inflamasi memerlukan obat untuk mengendalikannya. Ketika inflamasi dikendalikan maka nyeri juga dapat dikendalikan.

Bromelain adalah nama umum dari famili enzim proteolitik yang didapat dari

Ananas comosus L., atau tanaman nanas. Penggunaan bromelain yang paling sering

adalah agen anti-inflamasi dan anti-edema, antitrombotik dan aktivitas fibrinolitik

telah dilaporkan (Contrerasdkk, 2008).

Kandungan bromelain pada nanas memiliki aktivitas analgesik dan anti-inflamasi. Tetapi sampai saat ini belum ada penelitian mengenai efek analgesik dan anti-inflamasi jus buah nanas dan dosis efektif jus buah nanas (Ananas comosus L.) yang dapat menimbulkan efek analgesik dan anti-inflamasi .

Pada penelitian ini akan diuji apakah jus buah nanas memiliki efek antiinflamasi dan analgesik dan berapa dosis efektif jus buah nanas (Ananas comosus

(22)

metode tersebut dapat digunakan untuk analgesik pusat dan analgesik perifer, dan untuk menguji efek anti-inflamasinya digunakan metode Langford yang dimodifikasi karena metode ini cukup spesifik untuk menguji efek anti-inflamasinya.

1. Perumusan Masalah

Permasalahan yang akan diteliti adalah:

a. Apakah jus buah nanas memiliki efek analgesik dan anti-inflamasi?

b. Seberapa besar daya analgesik jika dibandingkan dengan daya anti-inflamasi jus buah nanas?

2. Keaslian Penelitian

Beberapa penelitian terkait efek analgesik dan anti-inflamasi jus buah nanas telah dilakukan, seperti : Bromelain as a Treatment for Osteoarthritis: a Review of Clinical Studies (Brien, Lewith, Walker, Hicks, and Middleton, 2004).

Data yang tersedia pada penelitian ini mengindikasikan potensi bromelain dalam mengobati osteoartritis. Hasilnya, bromelain potensial digunakan untuk pengobatan osteoarthritis kronis.

In vivo and in vitro effects of bromelain on PGE(2) and SP concentrations

in the inflammatory exudate in rats (Gaspani, Limiroli, Ferrario, and Bianchi, 2002).

(23)

Sejauh pengamatan penulis, penelitian tentang efek analgesik dan anti-inflamasi jus buah nanas (Ananas comosus L.) pada mencit betina galur Swiss belum pernah dilakukan.

3. Manfaat Penelitian a. Manfaat teoritis

Menambah informasi yang sudah ada di bidang ilmu kefarmasian mengenai khasiat buah nanas.

b. Manfaat Praktis

(24)

B. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Penelitian ini bertujuan untuk menambah informasi mengenai khasiat jus nanas terutama yang digunakan sebagai pengurang rasa nyeri dan anti inflamasi

2. Tujuan khusus

a. Penelitian ini akan membuktikan jus buah nanas (Ananas comosus L.)

memiliki efek analgesik dengan metode rangsang kimia dan anti-inflamasi dengan metode Langford yang dimodifikasi yang diujikan menggunakan mencit putih betina galur Swiss.

(25)

5

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Inflamasi

1. Definisi

Bila sel-sel atau jaringan tubuh mengalami cedera atau mati, selama hospes tetap hidup ada respon yang menyolok pada jaringan hidup di sekitarnya. Respon terhadap cedera ini dinamakan peradangan. Lebih khusus lagi peradangan adalah reaksi vaskular yang hasilnya merupakan pengiriman cairan, zat-zat terlarut, dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan-jaringan interstitial pada daerah cedera atau nekrosis (Price dan Wilson,1992).

Inflamasi merupakan suatu respon biologis dari jaringan–jaringan vaskular yang kompleks terhadap rangsangan yang dapat membahayakan seperti patogen, iritan, dan kerusakan sel. Inflamasi adalah usaha protektif dari suatu organism untuk menghilangkan stimuli yang merugikan sekaligus mengawali proses penyembuhan suatu jaringan (Denko, 1992). Proses inflamasi ini diperlukan dalam penyembuhan luka. Bagaimana pun inflamasi, apabila tidak dicegah dapat menjadi sebuah awalan dari beberapa penyakit seperti vasomotor rhinnorhoea, rheumatoid arthritis, dan

atherosclerosis (Henson and Murphy, 1989). 2. Klasifikasi

(26)

jaringan, hal tersebut terjadi melalui media rilisnya autacoid serta pada umumnya didahului oleh pembentukan respon imun (Katzung, 2001). Fase ini ditandai dengan adanya vasodilatasi lokal dan peningkatan permeabilitas kapiler (Vogel, 2002).

Respon imun terjadi bila sejumlah sel yang mampu menimbulkan kekebalan diaktifkan untuk merespon organisme asing atau substansi antigenik yang terlepas selama respon terhadap inflamasi akut serta kronis. Akibat dari respon imun bagi hospes mungkin menguntungkan, seperti bilamana ia menyebabkan organisme penyerang menjadi difagositosis atau dinetralisir. Sebaliknya, akibat tersebut juga dapat bersifat merusak bila menjurus kepada inflamasi kronis. Inflamasi kronis melibatkan keluarnya sejumlah mediator yang tidak begitu berperan dalam respon akut seperti interferon, platelet-derived growth factor (PDGF) serta interleukin-1,2,3 (Katzung, 2001). Pada fase ini terjadi degenerasi jaringan dan fibrosis (Vogel, 2002).

3. Penyebab dan Gejala

Penyebab inflamasi dapat ditimbulkan oleh rangsangan fisik, kimiawi, biologis (infeksi akibat mikroorganisme atau parasit), dan kombinasi ketiga agen tersebut (Mutschler, 1986). Gejala proses inflamasi akut yang sudah dikenal meliputi

rubor, calor, dolor, tumor, dan functio laesa (Wilmana, 1995). Mediator kimiawi pada reaksi inflamasi yaitu histamin dan bradikinin. Eikosanoid, pada dasarnya terdiri dari prostaglandin, tromboksan dan leukotrien (Rang, Dale, Ritter, and Moore, 2003).

(27)

ke dalam mikrosirkulasi lokal. Keadaan inilah yang bertanggungjawab atas warna merah lokal karena peradangan akut. Panas (calor), berjalan sejajar dengan kemerahan reaksi radang akut. Sebenarnya, panas hanyalah suatu sifat reaksi peradangan pada permukaan badan, yang dalam keadaan normal lebih dingin dari 37oC, yaitu suhu di dalam tubuh.

Rasa sakit (dolor) dalam reaksi peradangan dapat ditimbulkan melalui berbagai cara. Perubahan pH lokal menjadi lebih rendah atau konsentrasi lokal ion-ion tertentu dapat merangsang ujung-ujung saraf. Hal yang sama, pengeluaran zat kimia tertentu seperti histamin atau zat kimia bioaktif lainnya dapat merangsang saraf. Selain itu pembengkakan jaringan yang meradang mengakibatkab peningkatan tekanan lokal, yang tanpa dapat diragukan lagi dapat menimbulkan rasa sakit.

Gejala yang paling terlihat dari peradangan akut mungkin adalah pembengkakan lokal (tumor). Pembengkakan timbul akibat pengiriman cairan dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan-jaringan interestial. Campuran cairan dan sel yang tertimbun di daerah peradangan disebut eksudat.

(28)

4. Mekanisme

Mekanisme terjadinya radang sangat dipengaruhi oleh senyawa dan mediator yang dihasilkan oleh asam arakidonat. Bila membran sel mengalami kerusakan oleh suatu rangsangan kimiawi, fisik, atau mekanis maka enzim fosfolipase diaktifkan untuk mengubah fosfolipida yang terdapat di membran sel tersebut menjadi asam arakidonat (Gambar 1) (Tjay dan Rahardja, 2002).

Enzim siklooksigenase mengubah fosfolipida yang terdapat dalam membran sel tersebut menjadi senyawa prostaglandin dan tromboksan. Enzim siklooksigenase (COX) yang terlibat dalam reaksi ini ada 2 tipe, yaitu COX-1 dan COX-2 (Nandave, Ojha, and Arya, 2006). COX-1 terdapat di kebanyakan jaringan antara lain di pelat-pelat darah, ginjal, dan saluran cerna (Tjay dan Rahardja, 2002). COX-1 bersifat konstitutif (selalu ada) dan terlibat dalam homeostasis. COX-2 dalam keadaan normal tidak terdapat di jaringan tapi diinduksi dalam sel-sel yang meradang (Rang dkk, 2003).

(29)

Sebaliknya COX-1 tidak dihambat sehingga akan terjadi trombo embolik oleh aktivitas tromboxan. Hal ini sangat berbeda dengan golongan NSAID yang bekerja secara selektif preferential COX-2. Dimana penghambatan pada COX-2 nya tidak sekuat golongan rofecoxib. Sehingga tidak mengganggu fungsi fisiologis COX-2 yang berguna pada kardiovaskular, sehingga golongan NSAID ini disebut aman untuk kardiovaskular. Salah satu NSAID yang bekerja selektif preferential COX-2 adalah golongan Nimesulid (Ignatius, Zarraga, and Ernest, 2007).

(30)

Keterangan :

= menghambat PG = prostaglandin PGI

2 = prostasiklin

TX = troboksan LT = leukotrien

HETE = hydroxyeicosatetraenoic acid HPETE = hydroperoxyeicosatetraenoic acid PAF = platelet-activating factor

NSAIDs = Non-Steroidal Anti-inflammatory Drugs

(31)

B. Nyeri

Nyeri adalah suatu kondisi yang tidak nyaman dan menyiksa bagi penderitanya, namun terkadang nyeri dapat digunakan sebagai tanda adanya kerusakan jaringan. Inflamasi merupakan manifestasi dari terjadinya kerusakan jaringan, dimana nyeri merupakan salah satu gejalanya. Karena dipandang merugikan maka inflamasi memerlukan obat untuk mengendalikannya (Esvandiary, 2006)

Tjay dan Rahardja (2002) menyatakan bahwa nyeri sebagai perasaan sensoris dan emosional yang tidak enak serta berkaitan dengan kerusakan jaringan. Nyeri sendiri berfungsi untuk mengingatkan bahwa ada sesuatu yang tidak beres pada tubuh kita dan dapat memudahkan diagnosis penyakit tersebut dengan melihat sifat dan tempat terjadinya nyeri tersebut. Walaupun nyeri merupakan petunjuk yang berharga bagi tubuh, namun pasien merasakannya sebagai hal yang tidak mengenakkan, menyiksa, dan berusaha untuk bebas darinya (Mutschler, 1986).

(32)

Menurut DiPiro dkk (2008) proses penghantaran nyeri terdiri atas 4 tahap yaitu stimulasi, transmisi, persepsi nyeri dan modulasi.

a. Stimulasi

Sensasi nyeri diawali dengan pembebasan reseptor nyeri akibat rangsangan mekanis, panas, dan kimia. Adanya rangsangan tersebut (noxius stimuli) akan menyebabkan lepasnya bradikinin, K+, prostaglandin, histamin, leukotrien, serotonin dan substansi P. Aktivasi reseptor menimbulkan aksi potensial yang ditransmisikan sepanjang serabut saraf aferen menuju sumsum tulang belakang (Dipiro dkk, 2008) b. Transmisi

Transmisi rangsang nyeri terjadi di serabut aferen Aδ dan C. Serabut saraf aferen tersebut merangsang serabut nyeri di berbagai lamina spinal cord’s dorsal horn melepaskan berbagai neurotransmiter termasuk glutamat, substansi P, dan kalsitonin (Dipiro dkk, 2008).

c. Persepsi Nyeri

(33)

d. Modulasi

Modulasi nyeri melalui sejumlah proses yang kompleks. Telah diketahui bahwa sistem opiat endogen terdiri atas neurotransmiter-neurotransmiter (seperti enkhepalin, dinorfin, dan β-endorfin dan reseptor-reseptor ( seperti μ, δ, dan κ) yang ditemukan dalam sistem saraf pusat. Opioid endogen berikatan dengan reseptor opioid dan mengantarkan transmisi rangsang nyeri (Dipiro dkk, 2008).

(34)

Gambar 2. Mekanisme timbulnya nyeri (Rang dkk, 2003)

Keterangan : = menginduksi

= menghambat BK = Bradikinin

5-HT = 5-Hidroksi triptamin (serotonin) SP = Substansi P

PG = Prostaglandin

NGF = Neuron Growth Factor atau Faktor Pertumbuhan Neuron CGRP = Calcitonin gene-related peptide

NA = Nor Adrenalin

GABA = Gama Amino Butiric Acid (asam γ- aminobutirat)

+

(35)

Menurut Greene dan Harris (2000), ada tiga tipe serabut saraf yang terlibat dalam transmisi nyeri yaitu:

1. serabut A-β : berukuran besar, bermielin, cepat dalam menyalurkan impuls (30-100 m/detik), memiliki ambang nyeri yang rendah dan merespon terhadap sentuhan ringan;

2. serabut A-δ : berukuran kecil, bermielin tipis, dan memiliki kecepatan konduksi yang lebih rendah (6-30 m/detik). Serabut ini merespon terhadap tekanan, panas, zat kimia, dan memberi reaksi terhadap nyeri yang tajam, serta menimbulkan refleks penarikan diri atau gerakan cepat lainnya; dan

3. serabut C : berukuran kecil, tidak bermielin, dan memiliki kecepatan konduksi yang lambat (1-1,25 m/detik). Serabut ini merespon terhadap seluruh jenis rangsang bahaya dan mentransmisikan nyeri yang lambat dan tumpul.

(36)

oleh reaksi afektif dan vegetatif seperti tidak bergairah, mual, berkeringat, dan penurunan tekanan darah. Nyeri dalaman (viseral) terjadi antara lain ada tegangan organ perut, kejang otot polos, aliran darah kurang, dan penyakit yang disertai radang (Mutschler, 1991).

Berdasarkan waktu terjadinya, nyeri dibedakan menjadi nyeri akut dan nyeri kronik. Nyeri akut diperantarai oleh serabut saraf Aδ dengan adanya rangsang nyeri mayor (trauma fisik, infark miokard, peptic ulcer) dan bereaksi cepat. Nyeri kronik diperantarai oleh serabut saraf C (Laurence, Bennet, and Brown, 1997). Nyeri persisten dapat berupa nyeri akut maupun kronis. Nyeri persisten dipengaruhi oleh sensitisasi sentral dan kerusakan jaringan perifer (Coderre dan Katz, 1997).

Menurut Mutschler (1991) untuk mempengaruhi nyeri dengan obat, terdapat kemungkinan-kemungkinan berikut :

1. mencegah sensibilasi reseptor nyeri dengan cara penghambatan sintesis prostaglandin dengan analgetika yang bekerja perifer,

2. mencegah pembentukan rangsang dalam reseptor nyeri dengan memakai anestetika permukaan atau anestetika infiltrasi,

3. menghambat penerusan rangsang dalam serabut saraf sensorik dengan anestetika induksi,

4. meringankan nyeri atau meniadakan nyeri melalui kerja dalam sistem saraf pusat dengan analgetika yang bekerja pada pusat atau obat narkosis, dan

(37)

C. Nanas

1.Klasifikasi umum

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Magnoliophyta (berbunga) Kelas : Monocotyledonae (Liliopsida) Ordo : Farinosae (Bromeliales) Famili : Bromiliaceae

Genus : Ananas

Species : Ananas comosus L. (Van Steenis, 1992)

2. Nama

1. Sinonim

Ananas comosus Merr. , Ananas comosus L., Bromelia comosa L., Ananas sativus (Lindley) Schulters f, Ananassa sativa Lindl, Bromeliad

2. Nama Daerah :

(38)

bangkala, kai nasu, kambala, kampala, arnasinu, kanasi, kunasin, mangala, nanasi, nanasu, anasul, kalnasi, nanaki, nanas.

3. Nama asing :

Pineapple (inggris)

3. Morfologi

(39)

4. Kandungan Kimia

Per 100 g nanas mengandung karbohidrat 12.63 g, gula 9.26 g, serat 1.4 g, lemak 0.12 g, protein 0.54 g, thiamine (Vit. B1) 0.079 mg (6%), riboflavin (Vit.B2) 0.031 mg (2%), niacin (Vit. B3) 0.489 mg (3%), pantothenic acid (B5) 0.205 mg (4%), vitamin B6 0.110 mg 8%, folat (Vit. B9) 15 μg (4%), vitamin C 36.2 mg (60%), kalsium 13 mg (1%), zat besi 0.28 mg (2%), magnesium 12 mg (3%), fosfor 8 mg (1%), kalium 115 mg (2%), zinc 0.10 mg (1%).

Nanas juga mengandung enzim bromelain yang merupakan enzim proteolitik yang berkhasiat sebagai agen antiinflamasi. Selain itu juga dilaporkan terdapat kandungan vanillin, metil-propil keton, asam n-valerianic, asam isokapronat, asam akrilat, L(-)-asam malat, asam β-metiltiopropionat metil ester (dan etil ester), 5-hydroksitriptamine, asam kuainat-1, 4-di-p-kumarin (List dan Horhammer, 1979). Selain itu nanas juga mengandung beta-karoten.

5. Monografi nanas (Ananas comosus L.)

Nanas merupakan tanaman buah berupa semak yang memiliki nama ilmiah

Ananas comosus L. Nanas, nenas, atau ananas (Ananas comosus L.) adalah sejenis tumbuhan tropis yang berasal dari Brazil, Bolivia, dan Paraguay. Tumbuhan ini termasuk dalam familia nanas-nanasan (Famili Bromeliaceae). Perawakan tumbuhannya rendah, berujung tajam, tersusun dalam bentuk roset mengelilingi batang yang tebal. Buahnya

(40)

pinus. Nama 'nanas' berasal dari sebutan orang Tupi untuk buah ini: anana, yang bermakna "buah yang sangat baik". Burung penghisap madu (hummingbird) merupakan penyerbuk alamiah dari buah ini, meskipun berbagai serangga juga memiliki peran yang sama (Duke,1979)

2. Bromelain

(41)

D. Obat Antiinflamasi Non Steroid

Pengobatan pasien dengan antiinflamasi mempunyai 2 tujuan utama: pertama, meringankan rasa nyeri yang sering kali merupakan gejala awal yang terlihat dan keluhan utama pasien dan kedua, memperlambat atau membatasi proses perusakan pada jaringan. Pengurangan inflamasi dengan obat-obat antiinflamasi non steroid seringkali berakibat rasa nyeri mereda selama periode yang bermakna (Katzung, 2001).

Obat anti-inflamasi berdasarkan mekanisme kerjanya secara umum dibagi dalam 2 (dua) golongan yaitu golongan steroid dan golongan non steroid. Obat antiinflamasi golongan steroid memiliki daya anti-inflamasi kuat yang mekanismenya terutama menghambat pelepasan prostaglandin dari sel-sel sumbernya, sedangkan obat antiinflamasi golongan non steroid (NSAID) bekerja melalui mekanisme lain seperti inhibisi siklooksigenase yang berperan dalam biosintesis prostaglandin (Anonim, 1991).

(42)

prostaglandin dengan inhibisi COX-1 dan COX-2 (Derle dkk, 2006). Didasarkan pada selektifitasnya terhadap COX, NSAID dapat diklasifikasikan menjadi beberapa golongan yaitu non selektif COX inhibitor, meliputi aspirin, indometasin, diklofenak, piroksikam, ibuprofen, naproxen, dan asam mefenamat; selektif COX-2 inhibitor meliputi nimesulid, meloksikam, nabumeton, dan aseklofenak; sangat selektif COX-2 inhibitor meliputi celecoxib, rofecoxib, valdecoxib, parecoxib, etoricoxib dan lumiracoxib (gambar 3) (Derle dkk, 2006).

NSAID

COX-2 inhibitor

Non selektif

COX-2 inhibitor

selekt if

COX-2 inhibitor

sangat selektif

aspirin indometasin diklofenak piroksikam ibuprofen naproxen asam mefenamat

nimesulid meloksikam nabumeton asekl ofenak

celecoxib rofecoxib valdecoxib parecoxib etoricoxib lumiracoxib

(43)

E. Diklofenak

Diklofenak adalah golongan obat nonsteroid dengan aktivitas analgesik, antiinflamasi, dan antipiretik. Struktur kimia diklofenak ditunjukkan pada Gambar 4.

Cl

Cl N H O

HO

Gambar 4. Struktur kimia diklofenak (Hanson, 2000)

Diklofenak merupakan obat antiinflamasi yang efektif, memiliki waktu paruh eliminasi 1-2 jam (Chowdary, Mohapatra, and Murali, 2006), dapat larut di (dalam) air dan pH asam (1-3) tetapi dengan cepat dapat larut dalam pH bersifat alkali (5-8) (Manjunatha, Ramana, and Satyanarayana, 2007). Diklofenak juga dapat menyebabkan gangguan saluran pencernaan dan peptic ulcer dan pendarahan pada saluran pencernaan bila digunakan dalam jangka panjang (Chowdary, et.al, 2006). Diklofenak memiliki kecepatan klirens yang tinggi (Yeole, Galgatte, Babla, and Nakhtat, 2006), dan merupakan salah satu obat NSAID yang banyak digunakan (Thakare and Singh, 2006).

(44)

diklofenak adalah 75-150 mg/hari dalam 2-3 dosis, sebaiknya setelah makan. Dosis maksimal tiap hari untuk setiap cara pemberian adalah 150 mg (Anonim, 2000).

F. Analgetika

Analgetika adalah senyawa yang dalam dosis terapeutik meringankan atau menekan rasa nyeri, tanpa memiliki kerja anestesi umum. Kemajuan penelitian dalam dasawarsa terakhir ini memberikan penjelasan mengapa kelompok heterogen tersebut memiliki kesamaan efek terapi dan efek samping. Ternyata sebagian besar efek samping dan terapinya berdasarkan atas penghambatan biosintesis prostaglandin (Anonim, 1995).

Berdasarkan potensi kerja, mekanisme kerja, dan efek sampingnya, analgetika dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu :

3. Analgetika yang berkhasiat kuat, bekerja pada pusat (hipoanalgetika)

4. Analgetika yang berkhasiat lemah (sampai sedang), bekerja terutama pada perifer dengan sifat antipiretika dan kebanyakan juga mempunyai sifat antiinflamasi (Mutschler,1986).

(45)

1. Analgetika Opioid (narkotik)

Analgetika narkotik merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat seperti opium dan morfin. Meskipun memperlihatkan berbagai efek farmakodinamik yang lain, golongan obat ini terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri. Tetapi semua analgetika opioid menimbulkan adiksi, maka usaha untuk mendapatkan suatu analgetika yang ideal masih tetap diteruskan dengan tujuan mendapatkan suatu analgetika yang sama kuat dengan morfin tanpa bahaya adiksi (Anonim, 1995).

Yang termasuk golongan obat opioid antara lain : a. obat yang berasal dari opium-morfin.

b. senyawa semi sintetik morfin; dan

c. senyawa sintetik yang berefek seperti morfin

Obat yang melawan efek opioid disebut antagonis opioid. Reseptor tempat terikatnya opioid ke sel otak disebut reseptor opioid (Anonim, 1995).

2. Analgetika non narkotik

(46)

Analgetika golongan ini diabsorbsi dengan baik dan cepat. Kebanyakan analgetika golongan ini berdaya antipiretik dan atau antiradang. Oleh karena itu obat ini tidak hanya digunakan sebagai obat anti nyeri saja tetapi juga pada gangguan demam dan peradangan. Obat ini banyak digunakan pada nyeri ringan sampai sedang, seperti sakit kepala, sakit gigi, otot, perut, haid, dll (Tjay dan Rahardja, 2002).

Obat-obatan golongan ini terbukti mempengaruhi metabolisme atau kerja sejumlah mediator biokimia dan sel pada proses peradangan. Mekanisme kerjanya yakni menghambat atau menghalangi biosintesis prostaglandin dan metabolisme yang bersangkutan yang merupakan penyebab nyeri, demam dan radang. Analgetika non narkotik mempunyai mekanisme perifer maupun sentral dalam meredakan nyeri (Hite, 1995).

Menurut Tjay dan Rahardja (2002), rasa nyeri dapat dilawan dengan beberapa cara yakni :

1. merintangi terbentuknya rangsangan pada reseptor nyeri perifer dengan analgetika perifer

2. merintangi penyaluran rangsangan di saraf–saraf sensoris, misalnya dengan anastetika lokal.

(47)

Untuk memperoleh efek analgesik yang optimal dari suatu obat, diperlukan beberapa kriteria atau sifat–sifat farmakokinetika sebagai berikut :

1. diabsorbsi dengan cepat dan sempurna, dengan ketersediaan hayati absolut (100 %).

2. terdistribusi secara cepat dan baik ke jaringan target dengan konsentrasi yang tidak terlalu tinggi di organ–organ untuk mengurangi efek samping.

3. eliminasinya cepat, baik melalui hepar maupun ginjal untuk mencegah terjadinya penimbunan obat, khususnya pada penderita ginjal dan hepar (Soelistiono, 2002 cit Wiandini, 2005).

G. Parasetamol

Parasetamol diindikasikan sebagai penghilang nyeri ringan sampai sedang. Kemanjurannya mirip dengan asetosal, tetapi tidak memiliki aktivitas antiinflamasi yang berarti, parasetamol kurang mengiritasi lambung, oleh karena itu sekarang secara umum lebih disukai daripada asetosal. Overdosis pada parasetamol khususnya berbahaya karena dapat mengakibatkan kerusakan hati yang kadang-kadang tidak tampak dalam 4-6 hari pertama (Anonim, 2000).

(48)

Gambar 5. Struktur kimia parasetamol (Anonim, 1995)

H. Metode Pengujian Daya Analgesik

Secara umum pengujian daya analgesik dilakukan secara in vitro dan in vivo. Uji in vitro lebih banyak dilakukan untuk menguji aktivitas analgesik sentral, yaitu dengan menguji kemampuan suatu zat uji dalam menduduki/ berikatan dengan reseptor (Vogel, 2002).

Uji in vitro yang digunakan untuk menguji aktivitas analgesik sentral antara lain : survei, ikatan 3H-Naloxone dengan jaringan, 3H-Dihydromorphine yang terikat reseptor μ opiat otak tikus, 3H-Bremazocine yang terikat reseptor κ opiat pada otak

kecil babi Guinea, penghambatan enkephalinase, reseptor yang terikat nociceptin,

vasoactive intestinal polypeptid (VIP), reseptor yang terikat cannabinoid, reseptor yang terikat vanilloid (Vogel, 2002). Senyawa-senyawa tersebut mengandung suatu molekul hidrogen yang bersifat radioaktif

3

H (tritium). Dengan adanya senyawa tersebut akan mempermudah dalam monitoring.

(49)

1. Golongan analgetika narkotik

a. Metode Jepit Ekor

Sekelompok tikus diinjeksi dengan senyawa uji dengan dosis tertentu secara subkutan atau intra vena. Setelah beberapa menit penjepit langsung dipasang pada pangkal ekor yang telah dilapisi karet tipis selama 30 menit. Tikus yang diberi analgetik tidak akan berusaha untuk melepaskan jepitan, sedangkan yang tidak diberi analgetik akan berusaha untuk melepaskan jepitan. Sehingga respon yang dicatat adalah ada atau tidaknya usaha untuk melepaskan diri dari jepitan tersebut.

b. Metode rangsang panas

Pada metode ini alat yang digunakan adalah lempeng panas (hot plate) yang terdapat silindernya untuk mengendalikan panas. Lempeng panas diatur suhunya antara 50-55ºC, dilengkapi dengan penangas yang berisi campuran aseton dan etil formiat dengan perbandingan 1 : 1. Hewan uji yang telah diberi larutan uji secara subkutan atau peroral diletakkan pada hot plate, kemudian diamati reaksinya ketika hewan uji mulai menjilat kaki belakang dan kemudian melompat.

c. Metode pengukuran tekanan

Alat yang digunakan pada metode ini menggunakan dua buah syringe yang dihubungkan pada kedua ujungnya, bersifat elastis, fleksibel, serta terdapat pipa plastik yang diisi dengan cairan. Sisi dari pipa dihubungkan dengan manometer.

(50)

pertama lalu pada ekor tikus. Tekanan yang sama pada syringe kedua akan meningkatkan tekanan pada ekor tikus, sehingga akan menimbulkan respon dan akan terbaca pada manometer. Respon tikus yang pertama adalah meronta-ronta kemudian akan mengeluarkan suara (mencicit) sebagai tanda kesakitan.

d. Metode antagonis nalorfin.

Uji analgetik dengan menggunakan metode ini untuk mengetahui aksi dari obat-obat seperti morfin, karena mempunyai kemampuan untuk meniadakan aksi dari morfin. Hewan uji yang bisa digunakan pada metode ini adalah tikus, mencit dan anjing. Hewan tersebut diberi obat dengan dosis toksik kemudian segera diberi nalorfin (0,5-10,0 mg/kg BB) secara intravena. Teori menyebutkan bahwa nalorfin dapat menggantikan ikatan morfin dengan reseptornya, sehingga ikatan antara morfin dengan reseptornya terlepas.

e. Metode potensiasi petidin

Metode ini kurang baik karena hewan uji yang cukup banyak, tiap kelompok terdiri dari tikus sebanyak 20 ekor, setengah kelompok dibagi menjadi 3 bagian yang diberi petidin dengan dosis 2, 4, dan 8 mg/kg. Setengah kelompok yang lainnya diberi senyawa uji dengan dosis 20% dari LD

50. Persen daya analgesik dihitung dengan metode rangsang panas.

f. Metode kejang oksitosin

(51)

Responnya berupa kontraksi abdominal, sehingga menarik pinggang dan kaki ke belakang. Penurunan jumlah kejang diamati dan ED

50 dapat diperkirakan. Selain morfin senyawa analgetik yang dapat diuji dengan menggunakan metode ini adalah heroina, metadon, kodein, dan meperidina.

g. Metode pencelupan pada air panas

Tikus disuntik secara intra peritonial dengan senyawa uji, kemudian ekor tikus dicelupkan pada air panas (suhu 58º C). Respon tikus terlihat dari hentakan ekornya menghindari panas.

2. Golongan analgetika non narkotika

a. Metode rangsang kimia

Metode ini menggunakan zat kimia yang diinjeksikan pada hewan uji secara intraperitoneal, sehingga akan menimbulkan nyeri. Beberapa zat kimia yang biasanya digunakan antara lain asam asetat dan fenil kuinon. Metode ini sederhana,

reproducible (dapat diulang-ulang hasilnya), dan cukup peka untuk menguji senyawa analgetik dengan daya analgetik lemah, namun mempunyai kekurangan yaitu masalah kespesifikasinya. Oleh karena itu metode ini sering digunakan untuk penapisan (screening). Daya analgetik dapat dievaluasi menggunakan persen penghambatan terhadap geliat menggunakan persamaan menurut Handershot dan Forsaith.

(52)

Hewan uji yang digunakan pada metode ini dapat bermacam-macam, antara lain : anjing, marmot, tikus, merpati, dan mencit. Untuk mencit, yang sering digunakan adalah mencit betina, dikarenakan kepekaan terhadap rangsang lebih besar daripada yang jantan. Respon mencit yang biasa diamati adalah lompatan dan konstraksi perut dengan disertai tarikan kaki belakang (rentangan) yang disebut geliat (Soerjandari, 1991 cit Putra, 2003).

b. Metode pedodolometri

Hewan uji diletakkan pada kandang yang bagian atasnya terbuat dari kepingan metal sehingga bisa dialiri arus listrik. Respon yang timbul yaitu ketika hewan uji mengeluarkan teriakan dengan pengukuran dilakukan tiap 10 menit selama 1 jam.

c. Metode rektodolometri

Tikus diletakkan di sebuah kandang yang dibuat dengan alas tembaga yang dihubungkan dengan sebuah penginduksi berupa sebuah gulungan. Ujung lain dari gulungan tersebut dihubungkan dengan silinder elektrode tembaga. Sebuah voltmeter yang sensitif untuk mengubah 0,1 volt dihubungkan dengan konduktor pada gulungan di bagian atas. Pada penggunaan tegangan 1 sampai 2 volt akan menimbulkan teriakan pada tikus.

I. Metode Uji Daya Antinflamasi

(53)

sedangkan inflamasi kronis dibuat dengan pembentukan granuloma dan induksi artritis (Gryglewski, 1977).

Beberapa metode yang dapat dipakai untuk mengukur daya antiinflamasi adalah sebagai berikut:

1. Uji eritema

Eritema (kemerahan) merupakan tanda awal dari reaksi inflamasi. Timbulnya eritema adalah akibat dari terjadinya sejumlah iritan kimiawi seperti xilem, minyak kroton, vesikan, histamin, dan bradikinin (Gryanglewski, 1977). Eritema ini dapat diamati dua jam setelah kulit diradiasi dengan sinar UV. Kelemahan metode ini adalah eritema dapat dihambat oleh obat yang kerjanya tidak menghambat sintesa prostaglandin (Turner, 1965).

2. Induksi udema telapak kaki belakang

Pada metode ini induksi udem dilakukan pada kaki hewan percobaan yaitu tikus jantan atau betina, dengan cara penyuntikan suspensi karagenin secara sublantar pada telapak kaki kiri bagian belakang. Ukuran udema kaki diukur dengan alat plestimometer segera setelah injeksi (Khana dan Sharma, 2001). Aktivitas anti-inflamasi obat ditunjukkan oleh kemampuannya mengurangi udema yang diinduksi pada kaki tikus (Vogel, 2002).

(54)

subplantar tersebut tidak menjamin pembentukan volume udema yang seragam pada hewan percobaan, akan dapat mempengaruhi nilai simpangan pada masing-masing kelompok tikus yang cukup besar (Gryanglewski, 1977).

3. Tes granuloma

Hewan uji berupa tikus putih betina galur Wistar diinjeksi bagian punggung secara subkutan dengan 10-25 ml udara, kemudian 0,50 ml minyak kapas sebagai senyawa iritan. Pada hari kedua setelah pembentukan kantong, udara dihampakan. Pada hari keempat, kantung dibuka dan cairan eksudat disedot, selanjutnya diukur volume cairannya (Turner, 1965). Persen inhibisi granuloma dihitung dengan membandingkan volume cairan eksudat kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol (Khana dan Sharma, 2001). Model percobaan ini lebih responsif untuk uji obat antiinflamasi steroid daripada nonsteroid (Turner, 1965).

4. Induksi artritis

Uji ini dilakukan dengan injeksi subkutan ataupun intrakutan suspense

Mycobacterium butyricum dalam minyak mineral. Respon inflamasi lokal ditunjukkan dengan terbentuknya udema yang diikuti dengan timbulnya penyakit sistemik imun yang memberikan gejala pembengkakan tungkai dan lengan, hiperpireksida lokal dan munculnya benjolan pada telinga dan ekor (Gryanglewski, 1977).

5. Percobaan in vitro

(55)

terjadinya inflamasi. Contoh beberapa percobaan in vitro adalah : penghambatan ikatan reseptor 3H-bradikinin, ikatan reseptor neurokinin, dan uji kemotaksis leukosit polimorfonuklear (Vogel, 2002).

Metode uji yang digunakan pada penelitian ini yaitu metode Langford dkk termodifikasi. Dasar metode ini adalah dengan membuat udema pada telapak kaki belakang mencit menggunakan karagenin 1%, kemudian kaki dipotong pada sendi

torsocrural dan ditimbang. Prosentase daya antiinflamasi dapat dihitung dari perubahan bobot kaki hewan uji.

Adapun rumus aslinya adalah sebagai berikut :

Daya antiinflamasi (dalam %) = x100%

D D U

Keterangan :

U = harga rata-rata berat kelompok karagenin (kaki kiri) dikurangi rata-rata berat kaki normal (kaki kanan)

(56)

Karena prosentase daya anti-inflamasi dihitung dari pengurangan bobot udema maka rumus di atas diubah menjadi sebagai berikut:

Daya antiinflamasi (dalam %) = x100%

U D U

Keterangan:

U = rata-rata bobot kaki kelompok karagenin dikurangi rata-rata bobot kaki kelompok normal (tanpa perlakuan)

D = rata-rata bobot kaki kelompok perlakuan dikurangi rata-rata bobot kaki kelompok normal (tanpa perlakuan).

(57)

J. Landasan Teori

Bromelain adalah senyawa yang memiliki aktivitas analgesik dan anti-inflamasi, ditunjukkan oleh penelitian (Gaspani, 2002) dan (Brien, 2004), karena bromelain dapat menurunkan nilai PGE2 dan substansi P dan nanas mengandung bromelain, sehingga diduga nanas memiliki aktivitas analgesik dan anti-inflamasi juga.

Digunakan jus karena lebih praktis, dan aplikatif, sehingga nantinya jika terbukti berkhasiat, maka proses pengolahannya hanya memerlukan sedikit waktu dan biaya saja. Selain itu jus dibuat dengan menggunakan blender, sehingga homogenitasnya terjaga.

(58)

dari asam asetat dan menyebabkan luka pada membran sel. Fosfolipid dari membran sel akan melepaskan asam arakhidonat yang pada akhirnya akan membentuk prostaglandin dan menimbulkan nyeri (Wilmana,1995). Kedua metode tersebut dipilih karena cakupan untuk menguji efek analgesik dan anti-inflamasinya cukup luas, sehingga sekalipun belum diketahui secara spesifik bagaimana mekanisme efeknya tetap dapat terlihat efeknya melalui metode ini.

K. Hipotesis

(59)

39

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Rancangan Penelitian

Penelitian tentang efek analgesik dan anti-inflamasi jus buah nanas (Ananas comosus L.) pada mencit betina galur Swiss ini merupakan jenis penelitian eksperimental murni rancangan acak lengkap pola satu arah.

B. Metode Uji yang Digunakan

Metode yang digunakan untuk uji daya analgesik dalam penelitian ini adalah metode rangsang kimia, sedangkan metode yang digunakan untuk uji daya antiinflamasi adalah metode Langford yang dimodifikasi.

C. Variabel Penelitian

1. Variabel utama

a. Variabel bebas : dosis jus buah nanas (Ananas comosus L.)

Dosis jus buah nanas yang digunakan adalah jumlah gram nanas tiap kilogram berat badan hewan uji.

(60)

nanas untuk mengurangi proses inflamasi pada kaki mencit yang disebabkan oleh udema buatan dengan injeksi supensi karagenin 1% subplantar.

2. Variabel terkendali

a. Hewan uji : mencit putih betina galur Swiss b. Berat badan : 20-30 gram

c. Umur : 2-3 bulan

d. Kondisi hewan uji : sehat

3. Variabel Pengacau Tak Terkendali

Variasi biologis mencit betina yaitu proses absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi dari mencit betina terhadap senyawa uji.

D. Definisi Operasional

1. Geliat adalah keadaan dimana hewan uji merenggangkan kaki belakangnya hingga batas maksimalnya atau hingga lurus dan perut hewan uji bagian bawah menyentuh alas tempat perlakuan.

2. Injeksi sub plantar adalah injeksi pada telapak kaki hewan uji, arah jarum harus menuju ke jari-jari hewan uji.

3. Sendi torsokrural adalah sendi pada hewan uji yang terdapat pada pergelangan kaki bagian bawah.

(61)

5. Aktivitas antiinflamasi adalah kemampuan untuk mengurangi udema pada kaki hewan uji akibat injeksi karagenin subplantar.

6. Metode Langford et al. adalah metode uji efek anti-inflamasi dengan cara membandingkan kaki udem yang telah diinduksi oleh inflamatogen dengan kelompok perlakuan sehingga dapat diketahui kemampuan perlakuan tersebut mengurangi udem.

7. Metode rangsang kimia adalah metode uji efek analgetika yang tidak spesifik. Efek tersebut dilihat dari banyak sedikitnya geliat. Adanya efek analgesik ditunjukkan dengan penurunan jumlah geliat sebesar 50% dari kontrol negatif. Semakin sedikit geliat semakin besar efek analgesiknya.

E. Alat dan Bahan Penelitian

1. Bahan penelitian

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain sebagai berikut :

a. Hewan uji yang digunakan yaitu mencit betina galur Swiss, dengan umur 2-3 bulan, berat badan 20-30 g yang diperoleh dari LPPT UGM

b. Bahan uji yang digunakan Buah nanas (Ananas comosus L.) yang diperoleh dari penjual nanas di Beringharjo, DIY.

(62)

d. Asam asetat sebagai perangsang nyeri, diperoleh dari Laboratorium Farmakologi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

e. Parasetamol (Brataco Chemika), sebagai kontrol positif analgesik, diperoleh dari Laboratorium Farmakologi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

f. Tablet Cataflam D 50 (Novartis Indonesia) yang mengandung kalium diklofenak 50 mg sebagai kontrol positif.

g. NaCl fisiologis 0,9 % (Otsuka) sebagai pelarut karagenin diperoleh dari Apotek Kimia Farma

h. Carboxymethylcellulose-natrium (Dai-Ichi Seiyaku Co., Ltd), sebagai pensuspensi parasetamol diperoleh dari Laboratorium Farmakologi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

i. Akuades diperoleh dari Laboratorium Biokimia Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

2. Alat penelitian

a. Spuit injeksi 1 ml (Terumo) b. Spuit injeksi oral 1 ml (Terumo)

c. Alat-alat gelas :gelas beker, pipet tetes, pengaduk, labu takar, labu ukur, pipet ukur (Pyrek Iwaki Glass)

(63)

e. Mortir dan stamper f. Kamera

g. Neraca analitik (Metler Toledo AB 204, Germany), h. Stopwatch (Olympic),

i. Gunting bedah dan pinset j. Blender jus merk Phillips k. Bilik pengamatan mencit

F. Tata Cara Penelitian

1. Pengumpulan bahan dan Identifikasi makroskopis Buah Nanas (Ananas

comosus L.)

Pemilihan buah nanas (Ananas comosus L.) yang masih segar dan baik yaitu yang daging buahnya berwarna kuning dan berair untuk digunakan sebagai bahan uji penelitian ini. Buah nanas yang digunakan berasal dari tanaman siap panen dari perkebunan nanas di Blitar, Jawa Timur, yang kemudian diperoleh pada bulan Agustus 2009 dari pedagang di Beringharjo, DIY.

2. Pembuatan Jus Buah Nanas (Ananas comosus L.)

(64)

nanas yang digunakan adalah 22,5% (konsentrasi yang dapat ditarik dan dikeluarkan oleh spuit oral).

3. Penetapan Konsentrasi Jus Buah Nanas (Ananas comosus L.)

Dosis yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1,875; 3,75; dan 7,5 g/kgBB. Penentuan besarnya dosis ini dapat dilihat pada lampiran.

4. Penelitian Efek Analgetik

a. Uji Pendahuluan

1. Penentuan dosis asam asetat

Penentuan dilakukan pada konsentrasi 1%, dimana larutan ini dibuat dengan cara pengenceran asam asetat glasial. Kemudian larutan ini diuji pada 4 peringkat dosis, yaitu : 25 mg/kgBB; 50 mg/kgBB; 75 mg/kgBB; dan 100 mg/kgBB. Dicari dosis yang menyebabkan jumlah geliat yang tidak terlalu banyak dan sedikit, sehingga memudahkan pengamatan.

2. Penetapan kriteria geliat

(65)

3. Penetapan rentang waktu pemberian rangsang

Waktu pemberian rangsang ditetapkan dengan harapan pada selang waktu pemberian bahan uji dengan asam asetat, telah terjadi absorbsi sehingga dapat menimbulkan efek. Diuji dengan menggunakan 3 rentang waktu pemberian yang berbeda yaitu 5, 10 dan 15 menit. Dilihat rentang waktu mana yang memberikan respon maksimal.

4. Pembuatan larutan CMC Na 1%

Larutan CMC Na 1% dibuat dengan cara menimbang dengan seksama 1 g serbuk CMC Na kemudian ditaburkan di atas air panas sedikit demi sedikit hingga mengembang sambil diaduk. Setelah terbentuk larutan kemudian dimasukkan dalam labu ukur 100 mL dan ditambah aquadest hingga 100 mL lalu digojog.

5. Pembuatan suspensi parasetamol 1%

Suspensi parasetamol 1% dibuat dengan cara menimbang 100 mg parasetamol kemudian digerus dan ditambahkan CMC Na 1% sedikit demi sedikit hingga volume 10 ml.

6. Penetapan dosis parasetamol

(66)

b. Uji Efek Analgetik

Dua puluh lima ekor mencit dibagi menjadi 5 kelompok secara acak, dan dipuasakan selama 18 jam dengan tetap melakukan pemberian minum. Kelompok I diberi aquadest sebagai kontrol negatif, kelompok II diberi suspensi parasetamol dalam CMC Na 1% dengan dosis sesuai hasil orientasi, Kelompok III-V merupakan kelompok perlakuan dengan pemberian jus buah nanas secara oral. Kemudian seluruh kelompok pada menit ke-5 setelah pemberian praperlakuan diberi rangsang kimia asam asetat dosis 100 mg/KgBB (sesuai orientasi) secara intraperitoneal kemudian respon geliat diamati dengan selang waktu 5 menit selama 1 jam.

c. Perhitungan % Proteksi Geliat (Efek Analgetik)

Besarnya penghambatan jumlah geliat dihitung dengan persamaan Handerson dan Forsaith yaitu :

% proteksi geliat = (100 – [(P/K) x 100])% Keterangan :

P= jumlah kumulatif geliat hewan uji setelah pemberian senyawa uji K= jumlah rata-rata kumulatif geliat hewan uji kontrol negatif

(67)

Perubahan persen proteksi geliat terhadap kontrol positif dihitung menggunakan rumus :

Perubahan % proteksi rangsang nyeri = ( )x100%

Kp P Kp

Keterangan :

P = % proteksi rangsang nyeri pada tiap kelompok perlakuan

Kp = rata-rata proteksi rangsang nyeri pada kontrol positif (Utami,2000 cit Putra, 2003)

d. Analisis data

Setelah melalui proses di atas, data yang terkumpul dari pengamatan geliat selama 1 jam pada masing-masing kelompok dianalisis dengan Kolmogorov-Smirnov untuk melihat normalitas distribusi data. Jika data terdistribusi normal maka dilanjutkan dengan ANOVA satu arah dengan taraf kepercayaan 95% untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan antar kelompok. Kemudian dilanjutkan dengan uji Scheffe untuk melihat perbedaan antar kelompok bermakna (signifikan) (p<0,05) atau tidak bermakna (tidak signifikan) (p>0,05).

5. Penelitian Efek Anti Inflamasi

a. Uji Pendahuluan

1. Pembuatan larutan karagenin

(68)

volume 10 ml, akan diperoleh larutan karagenin 1% (b/v) yang setara dengan dosis 25 mg/kgBB. Perhitungan karagenin adalah sebagai berikut

Dosis karagenin = (0,05 x 100 mg / 10 ml) : 0,02 kg = 25 mg/kgBB

2. Orientasi rentang waktu pemotongan kaki setelah injeksi karagenin 1% sub plantar

Dua belas ekor hewan uji dibagi ke dalam 4 kelompok, kemudian kaki kirinya diinjeksi dengan karagenin 1% sebanyak 0,05 ml, sedangkan kaki kanannya sebagai kontrol, hanya disuntik dengan spluit injeksi tanpa karagenin. Setiap kelompok dikorbankan pada selang waktu tertentu. Waktu pengorbanan adalah 1, 2, 3, dan 4 jam setelah injeksi karagenin. Setelah dikorbankan, kedua kaki belakangnya dipotong pada sendi torsocrural dan ditimbang. Rentang waktu ditentukan berdasarkan waktu yang paling efektif untuk karagenin menimbulkan udem yang dapat dilihat dari berat kakinya.

3. Penetapan dosis diklofenak

Dosis diklofenak dipilih berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya ( Djunarko dan Donatus, 2003). Menurut penelitian, dosis natrium diklofenak untuk tikus dengan berat badan 250 gram adalah 40 mg/kgBB.

(69)

Dari tikus dengan berat badan 200 gram kemudian dikonversikan ke mencit dengan berat badan 20 gram, perhitungannya sebagai berikut :

0,14 x 32 mg/kgBB = 4,48 mg/kgBB

Sehingga dosis natrium diklofenak untuk mencit dengan berat badan 20 gram adalah 4,48 mg/kgBB. Kemudian dua dosis lainnya diperoleh dengan menaikkan dosis sebesar satu seperempatnya dan menurunkan dosis sebesar tiga perempatnya. Hasil orientasi digunakan sebagai kontrol positif.

4. Orientasi waktu pemberian diklofenak

Dua belas ekor hewan uji dibagi dalam 4 kelompok. Tiap kelompok diberi diklofenak secara per oral pada selang waktu tertentu. Kelompok I diberi diklofenak 15 menit sebelum diinjeksi dengan karagenin 1%. Kelompok II diberi diklofenak 30 menit sebelum diinjeksi dengan karagenin 1%. Kelompok III diberi diklofenak 45 menit sebelum diinjeksi karagenin 1%. Kelompok IV diberi diklofenak 60 menit sebelum diinjeksi karagenin 1%. Tiga jam setelah diinjeksi dengan karagenin 1%, hewan uji dikorbankan. Kedua kaki belakangnya dipotong pada sendi torsocrural

kemudian ditimbang. Waktu pemberian diklofenak ditentukan pada saat kaki mengalami penurunan udema yang berarti.

b. Uji Efek Anti Inflamasi

(70)

1% dengan selang waktu pemberian sesuai orientasi. Kelompok III adalah kelompok kontrol positif diklofenak secara peroral dengan dosis sesuai orientasi dan setelah itu diinjeksi 0,05 ml suspensi karagenin 1% dengan selang waktu pemberian sesuai orientasi. Kelompok IV-VI sebagai kelompok perlakuan dengan pemberian jus nanas (Ananas comosus L.) peroral dosis 1,875; 3,75; dan 7,5 g/kgBB. Kemudian diinjeksi 0,05 ml suspensi karagenin 1% subplantar pada kaki kiri dengan selang waktu pemberian sesuai orientasi sementara kaki kanan disuntik dengan spuit tanpa suspensi karagenin dan mencit dikorbankan, kedua kaki belakang dipotong pada sendi torsocrural kemudian ditimbang.

c. Perhitungan % Efek Anti Inflamasi

Metode Langford dkk (1972) yang telah dimodifikasi digunakan untuk mengetahui efek anti inflamasi, yang dihitung dalam persen (%) daya anti inflamasi dengan rumus sebagai berikut :

%daya antiinflamasi =  − x100%

U D U

Keterangan :

U = harga rata-rata berat kelompok karagenin (kaki kiri) dikurangi rata-rata berat kaki normal (kaki kanan)

(71)

Untuk mengetahui % potensi relatif daya antiinflamasi jus buah nanas terhadap diklofenak sebagai kontrol positif digunakan rumus :

% potensi relatif daya antiinflamasi = x100%

DAd DAp

   

Keterangan : DAp = % daya antiinflamasi kelompok perlakuan DAd = % daya antiinflamasi larutan diklofenak d. Analisis data

(72)

52

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Identifikasi Makroskopis

Buah nanas berwarna kuning dan berbentuk oval, memiliki mahkota daun yang runcing dan bergerigi. Panjang antara 11-16 cm, mempunyai diameter antara 8- 11 cm, berasa manis dan mengeluarkan bau yang khas.

B. Uji Pendahuluan

Uji pendahuluan diperlukan untuk validasi metode uji yang akan digunakan untuk penelitian ini. Uji pendahuluan yang dilakukan dibagi menjadi 2, uji pendahuluan untuk uji analgesik meliputi penetapan geliat mencit, orientasi dosis asam asetat, orientasi dosis parasetamol dan orientasi rentang waktu pemberian asam asetat. Uji pendahuluan kedua adalah untuk uji anti-inflamasi meliputi orientasi rentang waktu pemotongan kaki, orientasi rentang waktu pemberian diklofenak dan orientasi dosis diklofenak.

1) Uji Pendahuluan Anti-inflamasi

a. Orientasi rentang waktu pemotongan kaki

(73)

distribusi data. Selanjutnya dianalisis dengan analisis variansi satu arah dengan taraf kepercayaan 95% untuk mengetahui perbedaan di antara setiap kelompok. Untuk melihat perbedaan antar kelompok maka dilanjutkan dengan uji Scheffe sehingga bisa diketahui kelompok mana yang berbeda dan apakah perbedaan itu bermakna secara statistik atau tidak.

Tabel I. Rata-rata bobot udema pada orientasi rentang waktu pemotongan kaki Kelompok Perlakuan

(jam)

Rata-rata bobot udema dalam miligram (X + SE)

1 jam 123,5 + 0,6

2 jam 112,8 + 6,2

3 jam 153,2 + 1,7

4 jam 112,6 + 4,1

Keterangan :

X = Mean (Rata-rata) SE = Standard Error (SD/√n)

Gambar 6. Diagram batang rata-rata bobot udema pada orientasi rentang waktu pemotongan kaki

Rentang waktu pemotongan kaki

4 jam 3 jam

2 jam 1 jam

200.0

150.0

100.0

50.0

0.0

Orientasi rentang waktu pemotongan kaki

(74)

Dari analisis variansi satu arah diketahui nilai probabilitasnya 0,000 (< 0,05), hal ini menunjukkan bahwa keempat kelompok terdapat perbedaan. Selanjutnya untuk mengetahui kebermaknaan perbedaan antar kelompok dilanjutkan dengan uji Scheffe. Data dan analisisnya dapat dilihat di tabel II.

Tabel II. Hasil uji Scheffe rata-rata bobot udema pada penetapan rentang waktu pemotongan kaki

Waktu 1 jam 2 jam 3 jam 4 jam

1 jam - TB B TB

2 jam TB - B TB

3 jam B B - B

4 jam TB TB B -

Keterangan :

TB = Berbeda tidak bermakna (p > 0,05) B = Berbeda bermakna (p < 0,05)

Dari hasil di atas diketahui bahwa pada rentang waktu pemotongan kaki 3 jam berbeda secara signifikan terhadap rentang waktu pemotongan kaki 1, 2, dan 4 jam setelah mencit diinjeksi karagenin 1% secara subplantar. Selain itu pada rentang waktu pemotongan kaki 3 jam menimbulkan udema yang paling tinggi yang artinya karagenin menginduksi secara maksimal pada jam tersebut sehingga dipilih rentang waktu pemotongan kaki 3 jam.

b. Orientasi dosis diklofenak

(75)

untuk diuji yaitu diambil 25% dosis di atasnya dan 25% dosis di bawahnya sehingga didapat 2 dosis lainnya yaitu 3,36 dan 5,6 mg/kgBB. Rata-rata bobot udema pada orientasi dosis diklofenak dapat dilihat di tabel III.

Tabel III. Rata-rata bobot udema pada orientasi dosis diklofenak Kelompok Dosis

(mg/kgBB)

Rata-rata bobot udema dalam miligram (X + SE)

3,36 76,9 + 4,2

4,48 59,3 + 2,4

5,6 69,5 + 1,6

Keterangan :

X = Mean (Rata-rata)

SE = Standard Error (SD/√n)

Gambar 7. Diagram batang rata-rata bobot udema pada orientasi dosis diklofenak

Dari analisis variansi satu arah diketahui nilai probabilitasnya 0,001 (< 0,05), hal ini menunjukkan bahwa ketiga kelompok terdapat perbedaan. Selanjutnya untuk

Dosis diklofenak

5,6 mg/kgBB 4,48 mg/kgBB

3,36 mg/kgBB 80.0

60.0

40.0

20.0

0.0

Orientasi dosis diklofenak

(76)

mengetahui kebermaknaan perbedaan antar kelompok dilanjutkan dengan uji Scheffe. Data dan analisisnya dapat dilihat di tabel IV.

Tabel IV. Hasil uji Scheffe rata-rata bobot udema pada orientasi dosis diklofenak Kelompok Dosis

(mg/kgBB)

3,36 4,48 5,6

3,36 - B TB

4,48 B - B

5,6 TB B -

Keterangan :

TB = Berbeda tidak bermakna (p > 0,05) B = Berbeda bermakna (p < 0,05)

Dari hasil di atas diketahui bahwa pada dosis diklofenak 4,48 mg/kgBB berbeda secara signifikan terhadap dosis diklofenak 3,36 mg/kgBB dan 5,6 mg/kgBB. Selain itu pada dosis diklofenak 4,48 mg/kgBB menimbulkan udema yang paling rendah yang artinya diklofenak berefek secara maksimal pada dosis tersebut sehingga dipilih dosis diklofenak 4,48 mg/kgBB.

c. Orientasi waktu pemberian diklofenak

(77)

Tabel V. Rata-rata bobot udema pada orientasi waktu pemberian diklofenak Kelompok Perlakuan

(menit)

Rata-rata bobot udema dalam miligram (X + SE)

15 menit 56,5 + 3,5

30 menit 75,7 + 1,1

45 menit 70,2 + 1,3

60 menit 67,7 + 1,8

Keterangan :

X = Mean (Rata-rata)

SE = Standard Error (SD/√n)

Orientasi waktu pemberian diklofenak

56.5 75.7 70.2 67.7 0 10 20 30 40 50 60 70 80

0 10 20 30 40 50 60 70

Waktu (menit) B o b o t u d e m a ( m g )

Gambar 8. Grafik rata-rata bobot udema pada orientasi rentang waktu pemberian diklofenak

(78)

Tabel VI. Hasil uji Scheffe bobot udema pada orientasi rentang waktu pemberian diklofenak

Waktu (menit) 15 menit 30 menit 45 menit 60 menit

15 menit - B B B

30 menit B - TB TB

45 menit B TB - TB

60 menit B TB TB -

Keterangan :

TB = Berbeda tidak bermakna (p > 0,05) B = Berbeda bermakna (p < 0,05)

Dari hasil di atas diketahui bahwa pada rentang waktu pemberian diklofenak 15 menit berbeda secara signifikan terhadap rentang waktu pemberian diklofenak 30, 45, dan 60 menit sebelum mencit diinjeksi karagenin 1% secara subplantar. Sedangkan antar waktu pemberian diklofenak selain 15 menit tidak berbeda secara signifikan. Selain itu pada rentang waktu pemberian diklofenak 15 menit menimbulkan udema yang paling rendah yang artinya diklofenak telah dapat menimbulkan efek secara maksimal pada waktu tersebut sehingga dipilih waktu pemberian diklofenak 15 menit.

2) Uji Pendahuluan Analgesik

a. Penetapan geliat mencit

(79)

karena rasa sakit sifatnya subyektif. Subyektifitas rasa nyeri dipengaruhi ketahanan mencit terhadap rangsang nyeri dan diwujudkan dengan respon geliat yang berbeda pula. Pengamatan geliat setelah pemberian rangsang/induktor nyeri asam asetat dilakukan setiap 5 menit selama 60 menit. Geliat yang dihitung adalah geliat yang memenuhi kriteria yang disebutkan di atas. Geliat yang tidak memenuhi kriteria tidak dihitung. Foto geliat mencit yang memenuhi kriteria dapat dilihat pada lampiran.

b. Orientasi dosis asam asetat

Uji analgesik pada penelitian ini menggunakan metode induksi rangsang kimia. Pada metode ini diinjeksikan senyawa penginduksi nyeri, dalam penelitian ini adalah asam asetat secara intraperitoneal pada mencit putih betina dengan selang waktu tertentu.

Orientasi dosis asam asetat bertujuan untuk mendapatkan dosis asam asetat dalam jumlah geliat yang tidak terlalu banyak ataupun sedikit, agar memudahkan pengamatan. Asam asetat adalah suatu iritan yang merusak jaringan secara lokal yang menyebabkan nyeri pada rongga perut. Hal itu disebabkan oleh kenaikan ion H+ akibat turunnya pH dibawah 6 yang menyebabkan membran sel luka. Kerusakan jaringan ini menimbulkan keadaan nyeri yang direspon dengan cara menggeliat untuk menyesuaikan keadaan.

(80)

Tabel VII. Rata-rata jumlah geliat pada orientasi dosis asam asetat Kelompok Perlakuan

(mg/kgBB)

Rata-rata jumlah geliat (X + SE)

25 26 + 1,2

50 36 + 1,2

75 51 + 1,8

100 76 + 2,1

Keterangan :

X = Mean (Rata-rata)

SE = Standard Error (SD/√n)

Gambar 9. Diagram batang rata-rata jumlah geliat pada orientasi dosis asam asetat.

Dosis asam asetat

100 mg/kgBB 75 mg/kgBB

50 mg/kgBB 25 mg/kgBB

80

60

40

20

0

Orientasi Dosis Asam Asetat

(81)

Dari analisis variansi satu arah diketahui nilai probabilitasnya 0,000 (< 0,05), hal ini menunjukkan bahwa keempat kelompok terdapat perbedaan. Selanjutnya untuk mengetahui kebermaknaan perbedaan antar kelompok dilanjutkan dengan uji Scheffe. Data dan analisisnya dapat dilihat di tabel VIII.

Tabel VIII. Hasil Uji Scheffe data geliat mencit pada uji pendahuluan penetapan dosis asam asetat

Kelompok Dosis (mg/kgBB)

25 50 75 100

25 - B B B

50 B - B B

75 B B - B

100 B B B -

Keterangan :

B = Berbeda bermakna (p < 0,05)

Dari hasil di atas diketahui bahwa pemberian asam asetat pada dosis 100 mg/kgBB berbeda bermakna dengan dosis 25 mg/kgBB; dosis 50 mg/kgBB dan dosis 75

Gambar

Gambar 1. Mekanisme Inflamasi (Rang dkk, 2003)
Gambar 2. Mekanisme timbulnya nyeri (Rang dkk, 2003)
Gambar 3. Klasifikasi obat NSAID (Derle dkk, 2006)
Gambar 4. Struktur kimia diklofenak (Hanson, 2000) Diklofenak merupakan obat antiinflamasi yang efektif, memiliki waktu paruh
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil uji Scheffe persen perubahan efek analgesik terhadap kontrol positif (asetosal dosis 91 mg/KgBB) pada pengujian efek analgesik seluruh kelompok. Penurunan ini

Tujuan penelitian adalah mengetahui efek analgesik jahe merah terhadap rangsangan nyeri dengan cara termis pada mencit jantan.. 1.4

Infusa daun songgolangit memiliki efek antiinflamasi dalam menurunkan volume udema dari kaki mencit yang terinduksi karagenin 3%.. Dosis infusa daun songgolangit yang dapat

Efek Analgesik Ekstrak Etanol Biji Pala (Myristicae semen) terhadap mencit galur Swiss-Webster dengan metode geliat. Sekolah Tinggi

jukkan bahwa aquadest tidak mempunyai efek analgesik yang ditunjukkan dengan rata jumlah geliat yang paling besar dengan kelompok lain (106,6 5,4) dan

Data rata-rata bobot udema kaki mencit, rata-rata % daya antiinflamasi kelompok perlakuan jus tomat pada 4 peringkat dosis disertai kontrol dan uji Scheffe. Hasil uji

Rata-rata Nilai AUC Total dan Rata-rata Persen Penghambatan Inflamasi (%PI) Mencit yang di Induksi Karagenin pada Penelitian Efek Antiinflamasi Ekstrak Etanol Sambiloto

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui banyaknya jus buah nanas yang memberikan efek sebagai pencahar pada mencit dan pada konsentrasi berapakah jus buah