UJI EFEKTIVITAS ANTIINFLAMASI EKSTRAK HERBA SAMBILOTO
(Andrographis paniculata Nees.) SECARA TOPIKAL PADA MENCIT
BETINA GALUR SWISS YANG DIINDUKSI KARAGENIN SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)
Program Studi Farmasi
Lusiana Rani Oktaviani
NIM : 108114158
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
i
UJI EFEKTIVITAS ANTIINFLAMASI EKSTRAK HERBA SAMBILOTO
(Andrographis paniculata Nees.) SECARA TOPIKAL PADA MENCIT
BETINA GALUR SWISS YANG DIINDUKSI KARAGENIN SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)
Program Studi Farmasi
Lusiana Rani Oktaviani
NIM : 108114158
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
iv
Halaman Persembahan
Karya ini kupersembahkan kepada
Tuhan Yesus Kristus kekuatanku
Orang tuaku, Antonius Sutarto dan Yustina
Adikku Gregorius Mulya Dika Akhirta
Teman-teman yang selalu memberi semangat
vii
PRAKATA
Penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat, rahmat, bimbingan dan penyertaan-Nya penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Uji Efektivitas Antiinflamasi Ekstrak Herba Sambiloto
(Andrographis paniculata Nees.) secara Topikal pada Mencit Betina Galur Swiss
yang diinduksi Karagenin”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar sarjana farmasi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada :
1. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma atas dukungan yang
diberikan.
2. Ibu Drh. Sitarina Widyarini MP, PhD selaku dosen pembimbing dan penguji
yang telah mengarahkan, mendampingi, dan meluangkan waktu untuk
berdiskusi bersama penulis selama proses penelitian, penyusunan hingga
selesainya skripsi ini.
3. Bapak Yohanes Dwiatmaka S.Si.,M.si sebagai dosen pembimbing yang telah
meluangkan waktu dan tenaga serta bimbingan, semangat dan dukungan
dalam proses penyusunan skripsi.
4. Bapak Ipang Djunarko, M.Sc., Apt. selaku dosen penguji yang telah
memberikan masukan dan saran yang membangun demi kesempurnaan
skripsi ini.
5. Ibu Phebe Hendra, M.Si., Ph.D., Apt selaku dosen penguji yang telah
memberikan masukan dan saran yang membangun demi kesempurnaan
viii
6. Pak Parjiman, Pak Heru dan staf laboratorium Farmasi yang telah bersedia
membantu dan menemani selama penelitian berlangsung, atas segala bantuan
dan dinamika selama di laboratorium.
7. Bapak, Ibu dan adikku atas dukungan, kasih sayang, doa, nasehat dan
dukungannya yang tidak pernah terlewatkan sehingga penulis dapat semangat
dalam menyelesaikan skripsi ini.
8. Temanku Mita Artaningsih atas bantuannya dalam pengolahan data statistik
penelitian penulis.
9. Teman-teman kost: Mita, Nanda, Kezia, Prisil, Mba Rea, Mba Alvia, Mba
Anggi, Mba Sangkin, Kurry, Lia,Istri, Raisa, Lydia atas dukungan dan
doanya.
10.Rekan-rekan penelitian, Ocha, Gilda dan Ivan atas bantuan, kerjasama,
perjuangan dan suka duka yang dialamai selama penelitian
11.Sella, Siska, Mz Leo, Mas Deli, Mz Lui, Mz Aan, Mz Marcel, Nando, Cahyo,
Hari, Liris, Santi, Ucok dan Linda atas kebersamaan dan keceriaan yang telah
diberikan selama ini.
12.Teman-teman FKKB 2010 dan semua pihak yang telah membantu yang tidak
dapat diucapkan satu per satu.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan ketidaksempurnaan
yang ada dalam penyusunan skripsi ini. Maka penulis mengharapkan kritik dan
saran yang dapat membuat karya ini menjadi lebih baik. Akhir kata, semoga
skripsi ini bermanfaat untuk menambah ilmu pengetahuan.
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vi
PRAKATA ... vii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR GAMBAR ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
INTISARI... xviii
ABSTRACT... xix
BAB I. PENGANTAR... 1
A. Latar Belakang ... 1
1. Perumusan masalah ... 3
x
B. Anti Inflamasi (Obat Golongan Anti Inflamasi) ... 9
C. Kulit ... 10
BAB. III METODE PENELITIAN... 19
A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 19
B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 19
1. Variabel penelitian ... 19
a. Variabel utama... 19
1) Variabel bebas... 19
xi
D. Alat atau Instrumen Penelitian ... 22
1. Alat pembuatan ekstrak kental... 22
a. Orientasi pemberian karagenin sebagai penginduksi edema 26
b. Orientasi waktu pengolesan senyawa terhadap edema punggung mencit... 26
c. Pencampuran ekstrak etanol sambiloto dengan biocream 26
xii
e. Pengambilian kulit punggung mencit untuk histopatologi 27
F. Tata Cara Analisis Hasil... 29
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31
A. Ekstraksi Herba Sambiloto ... 31
B. Hasil Orientasi Penyuntikan Karagenin ... 33
C. Hasil Efek Antiinflamasi Ekstrak Etanol Sambiloto secara Topikal terhadap Edema Kulit Punggung Mencit ... 34
D. Rata-rata Nilai AUC Total dan Rata-rata Persen Penghambatan Inflamasi (%PI) Mencit yang di Induksi Karagenin pada Penelitian Efek Antiinflamasi Ekstrak Etanol Sambiloto secara Topikal terhadap Edema Kulit Punggung Mencit ... 37
E. Hasil Uji Hubungan Linearitas Ekstrak Etanol Herba Sambiloto terhadap Daya Antiinflamasi yang Ditimbulkan ... 40
F. Gambaran Kulit Punggung Mencit dengan Pewarnaan Hematoxilin Eosin (HE) ... 42
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 47
A. Kesimpulan ... 47
B. Saran ... 47
DAFTAR PUSTAKA ... 48
LAMPIRAN ... 51
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel I. Rata-rata AUC tebal lipatan kulit punggung mencit pada kelompok
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Diagram mediator inflamasi yang terbentuk dari fosfolipid dengan
skema aksinya dan tempat bekerja obat antiinflamasi ... 8
Gambar 2. Komponen epidermis dan dermis kulit manusia ... 11
Gambar 3. Selisih tebal lipat kulit berbagai konsentrasi karagenin ... 33
Gambar 4. Grafik penurunan edema kulit punggung mencit yang diinduksi
karagenin dan diberi berbagai konsentrasi dari ekstrak etanol herba
sambiloto ... 35
Gambar 5. Diagram batang rata-rata persentase penghambatan inflamasi (edema
kulit punggung mencit) yang diinduksi karagenin selama 6 jam
pengamatan ... 38
Gambar 6. Grafik hubungan linearitas konsentrasi ekstrak etanol herba sambiloto
1,67; 2,5 dan 3,75% terhadap persen penghambatan inflamasi . 41
Gambar 7. Gambaran mikroskopik kulit 24 jam setelah injeksi karagenin secara
subkutan dan setelah diberi perlakuan dengan berbagai konsentrasi
ekstrak etanol herba sambiloto ... 43
Gambar 8. Gambaran penghambatan asam arakidonat oleh kortikosteroid dan
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1:Surat Determinasi Tanaman ... 52
Lampiran 2: Ethical Clearence ... 53
Lampiran 3: Gambar Penelitian Antiinflamasi ... 54
a. Determinasi dan pembuatan ekstrak etanol herba sambiloto ... 54
1. Foto herba sambiloto ... 54
2. Foto herba sambiloto kering ... 54
3. Foto serbuk herba sambiloto ... 54
4. Foto perendaman serbuk ... 54
5. Foto ekstrak kental sambiloto ... 54
b. Pengujian antiinflamasi ... 55
1. Hewan uji mencit betina... 55
2. Basis ekstrak sambiloto ... 55
3. Kontrol positif ... 55
4. Spuit injeksi ... 55
5. Kulit punggung setelah pencukuran ... 55
6. Cara pengukuran tebal kulit ... 55
7. Pengolesan ekstrak sambiloto ... 56
8. Foto cara pemotongan kulit ... 56
9. Hasil pemotongan kulit ... 56
xvi
c. Gambaran Histologi dengan perbesaran 200x ... 57
1. Kulit normal ... 57
2. Kontrol negatif ... 57
3. Kontrol biocream ... 57
4. Kontrol positif ... 57
5. Sambiloto konsentrasi 1,67% ... 57
6. Sambiloto konsentrasi 2,5% ... 57
7. Sambiloto konsentrasi 3,75% ... 57
Lampiran 4: Data Perhitungan Statistik ... 58
a. Data perhitunganAUC tebal lipatan kulit punggung mencit ... 58
1. Data kontrol karagenin ... 58
2. Data kontrol biocream ... 58
3. Data kontrol calacort® ... 58
4. Data ekstrak sambiloto konsentrasi 1,67% ... 59
5. Data ekstrak sambiloto konsentrasi 2,5% ... 59
6. Data ekstrak sambiloto konsentrasi 3,75% ... 59
7. Grafik penurunan edema kulit punggung mencit ... 60
8. Data hasil uji statistik ... 60
xvii
b. Data perhitungan persen penghambatan inflamasi (%PI) ... 64
1. Data % PI karagenin... 64
2. Data % PI biocream ... 64
3. Data % PI calacort® ... 64
4. Data % PI ekstrak sambiloto konsentrasi 1,67% ... 64
5. Data % PI ekstrak sambiloto konsentrasi 2,5% ... 65
6. Data % PI ekstrak sambiloto konsentrasi 3,75% ... 65
7. Data hasil uji statistik % PI ... 65
8. Nilai AUC edema pada setiap kelompok perlakuan dan hasil uji Scheffe masing-masing kelompok perlakuan ... 68
xviii
INTISARI
Inflamasi merupakan respon umum terhadap adanya gangguan di dalam tubuh. Sambiloto (Andrographis paniculata Nees.) telah banyak diketahui memiliki efek farmakologi salah satunya sebagai antiinflamasi. Salah satu golongan senyawa yang terkandung dalam sambiloto adalah flavonoid yang berperan dalam penghambatan proses inflamasi. Tujuan penelitian ini adalah menguji efektivitas antiinflamasi topical, mengukur persen penghambatan inflamasi serta menentukan konsentrasi efektif (EC50) ekstrak etanol herba
sambiloto sebagai agen antiinflamasi terhadap kulit punggung mencit betina galur
Swiss.
Penelitian ini termasuk eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola searah. Mencit dibagi dalam 6 kelompok, yaitu kelompok kontrol negatif karagenin 1,5%; kelompok kontrol positif calacort®; kelompok kontrol biocream; kelompok perlakuan ekstrak etanol herba sambiloto 1,67%; kelompok perlakuan ekstrak etanol herba sambiloto 2,5%; dan kelompok perlakuan ekstrak etanol herba sambiloto 3,75%. Pengolesan senyawa uji diberikan setelah injeksi karagenin dan pengukuran tebal edema kulit punggung mencit dilakukan tiap jam selama 6 jam pengamatan. Data tebal edema dianalisis dengan uji Shapiro-Wilk dan dilanjutkan dengan analisis ANOVA satu arah dengan taraf kepercayaan 95% dan uji Scheffe.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ekstrak etanol herba sambiloto (Andrographis paniculata Nees.) memiliki efek antiinflamasi. Efek antiinflamasi dinyatakan dengan persentase penghambatan inflamasi ekstrak etanol sambiloto 1,67; 2,5 dan 3,75% berturut-turut adalah 24,40%; 52,31% dan 66,69%. Konsentrasi efektif (EC50) ekstrak etanol herba sambiloto sebesar 2,57%.
xix
ABSTRACT
Inflammation is a common response to a disturbance in the body. Bitter (Andrographis paniculata Nees.) has been widely known to have pharmacological effects one of which is as anti-inflammatory. One of compounds that are contained in the bitter flavonoids that play a role in the inhibition of the inflammatory process. The purpose of this study was to test the effectiveness of topical anti-inflammatory, measuring the percent inhibition of inflammation and to determine the effective concentration (EC50) of ethanol extract of bitter herbs as
an anti-inflammatory agent to the back skin of female mice strains Swiss.
This study included purely experimental with completely randomized design direction. Mice were divided into 6 groups: negative control group carrageenin 1.5%; positive control group calacort ®; biocream control group; ethanol extract treatment group 1.67% better herbs; ethanol extract treatment group 2.5% bitter herbs; and ethanol extract treatment group 3.75% bitter herbs. Application of the test compound is given after the injection and measurement carrageenin thick mouse back skin edema done every hour for 6 hours of observation. Data were analyzed with a thick edema Shapiro-Wilk test followed by one-way ANOVA analysis with a level of 95% and Scheffe test.
The results of this study showed that the ethanol extract of bitter herbs (Andrographis paniculata Nees.) have anti-inflammatory effects. Anti-inflammatory effect is expressed by the percentage inhibition of inflammation ethanol extract of bitter 1.67; 2.5 and 3.75% respectively was 24.40%; 52.31% and 66.69%. Effective concentration (EC50) of ethanol extract of bitter herbs of
2.57%.
1
BAB 1 PENGANTAR
A. Latar Belakang
Inflamasi atau biasa disebut dengan peradangan merupakan suatu respon
terhadap jejas (gangguan pada tubuh yang disebabkan oleh faktor luar) pada
jaringan hidup yang memiliki vaskularisasi. Respon ini dapat ditimbulkan oleh
infeksi mikroba, agen fisik, zat kimia, jaringan nekrotik atau juga oleh reaksi
imun (Mitchell, Kumar, Abbas, dan Fausto, 2006). Tujuan dari adanya respon
inflamasi adalah untuk melindungi, mengisolasi, menon-aktifkan, dan
mengeluarkan agen penyebab serta jaringan yang rusak sehingga dapat terjadi
pemulihan. Tanda-tanda utama dari inflamasi yaitu kemerahan, panas, nyeri,
bengkak, dan kehilangan fungsi. Inflamasi ini sering kita alami dalam kehidupan
sehari-hari sehingga menimbulkan rasa tidak nyaman bagi penderitanya. Rasa
tidak nyaman ini membuat penderita bergegas untuk segera mengatasi peradangan
yang terjadi (Brooker, 2005).
Upaya utama yang dapat dilakukan untuk mengurangi rasa sakit atau tidak
nyaman yang timbul akibat inflamasi adalah dengan pemberian obat antiinflamasi
secara lokal yang dapat dioleskan pada daerah yang terkena inflamasi. Hal ini
merupakan cara yang termudah dan cepat yang dapat dilakukan sebagai
pertolongan pertama. Dibandingkan dengan pemberian oral, terutama untuk
obat-obatan golongan Antiinflamasi Non Steroid (AINS) yang dapat menimbulkan
aman karena bekerja secara lokal yaitu didaerah yang terkena inflamasi saja
(mengurangi efek samping obat). Mekanisme kerja obat secara topikal akan
melewati 3 kompartemen, yaitu: permukaan kulit, stratum korneum dan jaringan
sehat. Stratum korneum dapat berperan sebagai reservoir bagi vehikulum tempat
sejumlah unsur pada obat masih berkontak dengan permukaan kulit namun belum
berpeneterasi tetapi tidak dapat dihilangkan dengan cara digosok atau terhapus
oleh pakaian. Unsur vehikulum sediaan topikal dapat mengalami evaporasi,
selanjutnya zat aktif berikatan pada lapisan yang dilewati seperti pada epidermis,
dermis. Pada kondisi tertentu sediaan obat dapat membawa bahan aktif menembus
hipodermis. Sementara itu, zat aktif pada sediaan topikal akan diserap oleh
vaskular kulit pada dermis dan hipodermis kemudian memberikan efek.
Umumnya, sediaan topikal memiliki dosis yang kecil namun apabila diharapkan
obatnya masuk kedalam aliran darah sistemik maka dibutuhkan dosis yang lebih
besar (Hendri dan Yenny, 2012).
Umumnya, pengatasan peradangan dilakukan dengan menghambat asam
arakidonat menjadi prostaglandin, suatu mediator pada inflamasi yang
diperantarai oleh enzim siklooksigenase (COX). Biosintesis prostaglandin
berlangsung dengan bantuan radikal bebas sehingga tidak menutup kemungkinan
bahwa pada daerah peradangan dihasilkan oksidan reaktif seperti radikal bebas.
Untuk menangani hal ini dapat digunakan antioksidan dalam tanaman (seperti
flavonoid dan karotenoid) karena memiliki kemampuan untuk menangkap radikal
Sambiloto dapat digunakan sebagai salah satu pengobatan alternatif
antiradang. Berdasarkan hasil penelitian Evacuasiani dan Soebiantoro (2000),
tanaman sambiloto mengandung berbagai macam zat aktif yang sangat berguna
bagi tubuh diantaranya berupa zat pahit; andrographolide, andrografin, panikulin,
kalmegin dan minyak atsiri.. Berdasarkan berbagai kandungan zat aktif tersebut
dapat diketahui salah satu efek farmakologis dari sambiloto yaitu sebagai
antiradang atau antiinflamasi. Kandungan zat aktif yang memiliki peranan sebagai
antiinflamasi yang terdapat dalam tanaman sambiloto adalah flavonoid. Pada
penelitian ini akan digunakan ekstrak sambiloto yang akan diberikan secara
topikal pada edema kulit punggung mencit untuk melihat efektivitas antiinflamasi
dari tanaman sambiloto.
1. Perumusan masalah
a. Apakah ekstrak etanol herba sambiloto memiliki efektivitas antiinflamasi
secara topikal terhadap edema kulit punggung mencit betina galur Swiss?
b. Berapa persen penghambatan inflamasi ekstrak etanol herba sambiloto
sebagai agen antiinflamasi terhadap edema kulit punggung mencit betina
galur Swiss ?
c. Berapa konsentrasi efektif (EC50) ekstrak etanol sambiloto sebagai agen
2. Keaslian penelitian
Penelitian Evacuasiani dan Soebiantoro (2000) serta Rhadika, Rajendra,
Sastri dan Lakshmi (2009) menyatakan bahwa ekstrak sambiloto memberikan
efek antiinflamasi. Penelitian Evacuasiani (2000) menyatakan bahwa ekstrak
etanol herba sambiloto mampu memberikan efek antiinflamasi pada tikus putih
galur Wistar yang diinduksi karagenin. Pada penelitian Rhadika (2009) juga
menyatakan bahwa ekstrak kloroform sambiloto mampu memberikan efek
antiinflamasi pada tikus yang diinduksi karagenin. Perbedaan penelitian
Evacuasiani (2000) serta Rhadika (2009) dengan penelitian yang dilakukan
terletak pada cara pemberian zat uji serta zat penginduksi inflamasi. Pada
penelitian Evacuasiani (2000) serta Rhadika (2009) zat uji diberikan secara
peroral dengan injeksi subkutan dikaki hewan uji sedangkan pada penelitian ini
zat uji akan diberikan secara topikal serta injeksi subkutan pada kulit punggung
mencit. Sepanjang penelusuran penulis, penelitian tentang efektivitas
antiinflamasi ekstrak etanol herba sambiloto secara topikal pada mencit betina
belum pernah dilakukan.
3. Manfaat penelitian
a. Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menambah informasi dan
pengetahuan tentang efektivitas antiinflamasi ekstrak etanol herba sambiloto
b. Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat
mengenai efektivitas, persen penghambatan inflamasi dan konsentrasi efektif
dari ekstrak etanol herba sambiloto sebagai agen antiinflamasi terhadap
edema kulit punggung mencit betina galur Swiss secara topikal.
B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum
Penelitian ini bertujuan untuk menguji dan memberikan informasi bahwa
ekstrak etanol herba sambiloto yang diberikan secara topikal memiliki efek
antiinflamasi.
2. Tujuan khusus
a. Mengetahui ada tidaknya efektivitas antiinflamasi pada ekstrak etanol herba
sambiloto terhadap kulit punggung mencit betina galur Swiss yang diberikan
secara topikal.
b. Mengetahui persen penghambatan inflamasi ekstrak etanol herba sambiloto
sebagai agen antiinflamasi terhadap edema kulit punggung mencit betina
galur Swiss.
c. Mengetahui konsentrasi efektif (EC50) ekstrak etanol herba sambiloto sebagai
agen antiinflamasi topikal terhadap edema kulit punggung mencit betina galur
6
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Inflamasi 1. Definisi
Inflamasi merupakan respon terhadap cedera jaringan dan infeksi. Ketika
proses inflamasi berlangsung, terjadi reaksi vaskular dimana cairan,
elemen-elemen darah, sel darah putih (leukosit) dan mediator kimia berkumpul pada
tempat cedera jaringan atau infeksi. Proses inflamasi merupakan suatu mekanisme
perlindungan dimana tubuh berusaha untuk menetralisir dan membasmi agen-agen
yang berbahaya pada tempat cedera dan untuk mempersiapkan keadaan untuk
perbaikan jaringan (Kee, 1996).
2. Gejala
Menurut Kee (1996) terdapat beberapa gejala pada inflamasi yang dapat
dikenali antara lain rubor (kemerahan), edema (pembengkakan), kolor (panas),
dolor (nyeri) serta functio laesa (hilangnya fungsi).
Rubor (kemerahan) merupakan hal pertama yang terlihat pada daerah yang
mengalami peradangan karena adanya dilatasi pembuluh darah kecil dalam daerah
yang mengalami kerusakan. Adanya vasodilatasi menyebabkan aliran darah yang
menuju kedaerah tersebut menjadi semakin banyak sehingga terlihat warna
kemerahan dan panas yang dirasakan (Karch, 2003).
Edema (pembengkakan) timbul karena adanya migrasi cairan dan sel-sel
didaerah peradangan tersebut akan bercampur dan biasa disebut dengan eksudat
(Price and Wilson, 1995).
Dolor (nyeri) adanya rasa nyeri pada reaksi peradangan dapat disebabkan
oleh adanya perubahan pH lokal atau konsentrasi lokal ion-ion tertentu dapat
merangsang ujung-ujung nosiseptor. Selain itu, edema yang terjadi
mengakibatkan peningkatan tekanan lokal yang menimbulkan rasa sakit (Price
and Wilson, 1995).
Functio laesa (hilangnya fungsi) merupakan konsekuensi dari suatu proses
radang. Gerakan yang terjadi pada daerah radang, baik dilakukan secara langsung
atau refleks akan mengalami hambatan rasa sakit. Pembengkakan yang hebat
secara fisik mengakibatkan kurangnya gerak jaringan (Harijadi, 2009).
3. Mekanisme inflamasi
Mekanisme terjadinya inflamasi dipengaruhi oleh mediator dan senyawa
yang dihasilkan asam arakidonat. Berawal dari membran sel yang rusak oleh
rangsangan kimia, fisik, maupun mekanis yang mengakibatkan enzim fosfolipase
aktif sehingga mengubah fosfolipid yang berada didalam membran sel menjadi
asam arakidonat. Asam arakidonat dapat dimetabolisme dalam dua jalur yaitu
Proses terjadinya inflamasi dapat dilihat pada gambar 1.
Gambar 1. Diagram mediator inflamasi yang terbentuk dari fosfolipid dengan skema aksinya dan tempat bekerja obat
antiinflamasi (Rang, Dale, Ritter and Moore, 2007)
Beberapa sel dan mediator terlibat dalam respon alamiah yang
berhubungan dengan kejadian-kejadian vaskuler. Kejadian-kejadian vaskuler
merupakan dilatasi awal dari artiola-artiola kecil yang meningkatkan terjadinya
peningkatan aliran darah dan diikuti dengan penurunan kemudian aliran darah
akan berhenti. Selanjutnya terjadi peningkatan permeabilitas dari venula post
kapiler disertai dengan eksudasi cairan. Vasodilatasi yang terjadi disebabkan oleh
mediator seperti histamin, prostaglandin E2 dan I2 yang dilepaskan karena adanya
interaksi antara mikroorganisme dan jaringan (Rang, Dale, Ritter and Moore,
Kerusakan sel pada umumnya akan memicu proses pembebasan asam
arakidonat. Asam arakidonat dimetabolisme melalui beberapa jalur, yaitu:
a. Melalui siklooksigenase (COX) yang terdiri dari COX-1 dan COX-2,
dimana enzim ini mengawali biosintesis prostaglandin dan tromboksan.
b. Melalui berbagai macam lipooksigenase yang mengawali sintesis
leukotrien, lipoksin dan komponen lainnya (Rang, Dale, Ritter and Moore,
2007).
B. Anti Inflamasi (Obat Golongan Anti Inflamasi)
Obat Anti-Inflamasi Non Steroid (OAINS) populer dengan menghambat
sistem enzim siklooksigenase maupun lipooksigenase intraseluler, yang nantinya
akan berpengaruh pada respon inflamasi yang terjadi dan menurunkan produksi
berbagai komponen prostaglandin. Penggunaan obat AINS jangka panjang
memiliki efek pada gastrointestinal seperti dispepsia dan rasa nyeri pada
abdomen, tidak jarang terjadi perforasi atau pendarahan pada lambung atau
duodenum (Fizgerald and Patrono, 2001).
Salah satu solusi untuk mencegah terjadinya iritasi lambung adalah dengan
sistem penghantaran secara topikal. Selain mencegah terjadinya iritasi lambung,
sistem penghantaran secara topikal bertujuan untuk menghindari berbagai masalah
absorpsi pada saluran cerna seperti deaktivasi oleh enzim pencernaan. Pemberian
obat melalui transdermal juga dapat meningkatkan bioavailabilitas dan efikasi
Keefektifan dari pengobatan secara topikal bergantung pada kemampuan
penetrasi obat ke dalam kulit serta kemampuan untuk memasuki sirkulasi atau
diabsorpsi kedalam jaringan yang lebih dalam untuk menghambat
siklooksigenase. Hal tersebut dipengaruhi oleh keseimbangan solubilitas lipid dan
aqueous agar permeasi optimal. Sekalipun kadar plasma dari pemberian OAINS
topikal relatif lebih rendah daripada pemberian OAINS secara oral, akan tetapi
studi komparatif yang dilakukan dengan zat aktif diklofenak menunjukkan tidak
terjadi perbedaan yang signifikan dengan rute pemberian oral maupun topikal
dalam terapi osteoartriris (Moore, 2004).
C. Kulit
Kulit merupakan organ terbesar dari tubuh, yang terhitung lebih dari 10%
massa tubuh, dan juga memungkinkan tubuh untuk berinteraksi dengan
lingkungan luar. Pada dasarnya, kulit terdiri dari empat lapisan yakni stratum
korneum (epidermis nonviable), stratum granulosum; stratum spinosum; dan
stratum basal (epidermis viable), dermis, dan jaringan subkutan. Ada juga
pelengkap lainnya seperti folikel rambut, saluran keringat, kelenjar apokrin dan
kuku. Secara umum, kulit dapat berfungsi sebagai pelindung, mempertahankan
homeostasis dan sebagai alat perasa (Swarbrick, 2002). Berikut adalah gambaran
Gambar 2. Komponen epidermis dan dermis kulit manusia (Swarbrick, 2002).
Kulit merupakan jalur pemaparan yang umum dari suatu zat. Iritasi kulit
dan alergi kulit merupakan kondisi yang paling lazim ditemui akibat paparan
terhadap kulit. Iritasi adalah suatu kondisi pada kulit yang muncul akibat kontak
yang berkepanjangan dengan zat kimia tertentu. Setelah beberapa waktu, kulit
akan mengering, terasa nyeri, mengalami perdarahan, dan pecah-pecah. Secara
umum kulit akan kembali normal dengan sendirinya, namun hal ini akan
memakan waktu yang cukup lama (Ester, 2005).
Mekanisme kerja obat secara topikal akan melewati 3 kompartemen, yaitu:
permukaan kulit, stratum korneum dan jaringan sehat. Stratum korneum dapat
berperan sebagai reservoir bagi vehikulum tempat sejumlah unsur pada obat
masih berkontak dengan permukaan kulit namun belum berpeneterasi tetapi tidak
dapat dihilangkan dengan cara digosok atau terhapus oleh pakaian. Unsur
vehikulum sediaan topikal dapat mengalamai evaporasi, selanjutnya zat aktif
tertentu sediaan obat dapat membawa bahan aktif menembus hipodermis.
Sementara itu, zat aktif pada sediaan topikal akan diserap oleh vaskular kulit pada
dermis dan hipodermis kemudian memberikan efek (Hendri dan Yenny, 2012).
D. Sambiloto
Sambiloto yang juga dikenal sebagai King of Bitters bukanlah tumbuhan
asli Indonesia, tetapi diduga berasal dari India. Menurut data spesimen yang ada
di Herbarium Bogoriense di Bogor, sambiloto sudah ada di Indonesia sejak 1893.
Di India, sambiloto adalah tumbuhan liar yang digunakan untuk mengobati
penyakit disentri, diare, atau malaria. Hal ini ditemukan dalam Indian
Pharmacopeia dan telah disusun paling sedikit dalam 26 formula Ayurvedic.
Dalam Traditional Chinese Medicine (TCM), sambiloto diketahui penting
sebagai tanaman ”cold property” dan digunakan sebagai penurun panas serta
membersihkan racun-racun di dalam tubuh. Tanaman ini kemudian menyebar ke
daerah tropis Asia hingga sampai di Indonesia. Sambiloto dapat tumbuh di
semua jenis tanah sehingga tidak heran jika tanaman ini terdistribusi luas di
belahan bumi. Habitat aslinya adalah tempat-tempat terbuka yang teduh dan
agak lembab, seperti kebun, tepi sungai, pekarangan, semak, atau rumpun bambu
(Prapanza dan Marianto, 2003).
Sambiloto memiliki batang berkayu berbentuk bulat dan segi empat serta
memiliki banyak cabang (monopodial). Daun tunggal saling berhadapan,
berben-tuk pedang (lanset) dengan tepi rata (integer) dan permukaannya halus, berwarna
dan ujungnya yang lancip. Di India, bunga dan buah bisa dijumpai pada bulan
Oktober atau antara Maret sampai Juli. Di Australia bunga dan buah antara bulan
November sampai bulan Juni tahun berikutnya, sedang di Indonesia bunga dan
buah dapat ditemukan sepanjang tahun (Yusron, Januwati dan Rini, 2012).
1. Taksonomi
Secara taksonomi (Prapanza dan Marianto, 2003), sambiloto dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
Divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Subkelas : Gamopetalae
Ordo : Personales
Famili : Acanthaceae
Subfamili : Acanthoidae
Genus : Andrographis
Spesies : Andrographis paniculata Nees.
2. Kimia dan kandungan bahan aktif
Secara kimia mengandung flavonoid dan lakton. Pada lakton, komponen
utamanya adalah andrographolide, yang juga merupakan zat aktif utama dari
tanaman ini. Andrographolide sudah diisolasi dalam bentuk murni dan
dengan metode gravimetrik atau dengan high performanc liquid chromatography
[HPLC] (Panossian, Ovhannisyan dan Mamikonyan, 2000).
Berdasarkan penelitian lain yang telah dilakukan, kandungan yang di
jumpai pada tanaman sambiloto diantaranya diterpene lakton dan glikosidanya,
seperti andrographolide, deoxyandrographolide,
11,12-didehydro-14-eoxyandro-grapholide, dan neoandrographolide. Flavonoid juga dilaporkan ada terdapat pada
tanaman ini. Daun dan percabangannya lebih banyak mengandung lakton
sedangkan komponen flavonoid dapat diisolasi dari akarnya, yaitu
polimetok-siflavon, androrafin, panikulin, mono-0-metilwithin dan apigenin-7,4 dimetileter.
Selain komponen lakton dan flavonoid, pada tanaman sambiloto ini juga terdapat
komponen alkane, keton, aldehid, mineral (kalsium, natrium, kalium), asam kersik
dan damar. Di dalam daun, kadar senyawa andrographolide sebesar 2,5-4,8 %
dari berat keringnya. Ada juga yang mengatakan biasanya sambiloto
distandarisasi dengan kandungan andrographolide sebesar 4-6%. Senyawa kimia
lain yang sudah diisolasi dari daun yang juga pahit yaitu diterpenoid viz.
deoxyandro-grapholide-19β-D-glucoside, dan neo-andrographolide (Prapanza dan
Marianto, 2003).
E. Etanol
Etanol atau etil alkohol adalah alkohol yang paling sering digunakan
dalam kehidupan sehari-hari karena sifatnya yang tidak beracun. Etanol adalah
cairan jernih yang mudah terbakar dengan titik didih pada 78,040C dan titik beku
yang khas. Rumus molekul etanol adalah C2H5OH. Etanol memiliki sifat fisika
dan kimia. Sifat-sifat fisika etanol antara lain: memiliki berat molekul 46,07
gr/grmol, titik didih pada 78,040C dan titik beku pada -1120C, memiliki densitas
0,7893 gr/ml, Indeks bias 1,36143 cP, viskositas 200C adalah 1,17 cP, panas
penguapan 200,6 kal/gr, merupakan cairan tidak berwarna, dapat larut dalam air
dan eter dan memiliki bau yang khas. Sedangkan sifat-sifat kimianya antara lain:
merupakan pelarut yang baik untuk senyawa organik, mudah menguap dan mudah
terbakar, bila direaksikan dengan asam halida akan membentuk alkyl halida dan
air, bila direaksikan dengan asam karboksilat akan membentuk ester dan air,
dehidrogenasi etanol menghasilkan asetaldehid dan mudah terbakar diudara
sehingga menghasilkan lidah api (flame) yang berwarna biru muda yang
transparan serta membentuk H2O dan CO2 (Hambali dan Mujdalipah, 2007).
F. Maserasi
Salah satu metode penyarian yang sederhana adalah maserasi. Maserasi
merupakan proses penyarian yang dilakukan dengan cara merendam serbuk
simplisia dalam pelarut atau penyari yang sesuai. Cairan pelarut atau penyari akan
menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel. Adanya perbedaan
konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam dan di luar sel, larutan akan terdesak
keluar menuju larutan yang lebih pekat. Proses tersebut terus berulang sampai
terjadi keseimbangan konsentrasi antara di dalam dan di luar sel (Departemen
G. Flavonoid
Senyawa flavonoid biasanya terdapat di dalam tumbuhan. Pada tumbuhan
tinggi, flavonoid terdapat dalam bagian vegetatif maupun pada bagian bunga.
Senyawa flavonoid ini memiliki banyak manfaat. Manfaat flavonoid antara lain
sebagai inhibitor lipooksigenase yang merupakan langkah pertama pada jalur
yang menuju hormon eikosanoid seperti prostaglandin dan tromboksan. Flavonoid
merupakan senyawa pereduksi yang baik. Tidak hanya jalur lipooksigenase yang
dapat dihambat oleh senyawa flavonoid, melainkan jalur siklooksigenase juga
dapat dihambat aktivitas enzimnya oleh flavonoid. Penghambatan jalur
lipooksigenase dan jalur siklooksigenase dilakukan dengan cara menghambat
pelepasan asam arakidonat yang merupakan komponen kemotaktik (Winarsi,
2007).
H. Landasan Teori
Inflamasi merupakan respon terhadap cedera jaringan dan infeksi. Ketika
proses inflamasi berlangsung, terjadi reaksi vaskular dimana cairan,
elemen-elemen darah, sel darah putih (leukosit) dan mediator kimia berkumpul pada
tempat cedera jaringan atau infeksi. Proses inflamasi merupakan suatu mekanisme
perlindungan dimana tubuh berusaha untuk menetralisir dan membasmi agen-agen
yang berbahaya pada tempat cedera dan untuk mempersiapkan keadaan untuk
Sambiloto mengandung flavonoid dan lakton. Pada lakton, komponen
utamanya adalah andrographolide, yang juga merupakan zat aktif utama dari
tanaman ini. Andrographolid sudah diisolasi dalam bentuk murni dan
menunjukkan berbagai aktivitas farmakologi. Berdasarkan penelitian lain yang
telah dilakukan, kandungan yang di jumpai pada tanaman sambiloto diantaranya
diterpene lakton dan glikosidanya, seperti andrographolide,
deoxyandrographolide, 11,12-didehydro-14-eoxyandro-grapholide, dan
neoandrographolide. Flavonoid juga dilaporkan ada terdapat pada tanaman
ini (Prapanza dan Marianto, 2003).
Etanol atau etil alkohol adalah alkohol yang paling sering digunakan
dalam kehidupan sehari-hari karena sifatnya yang tidak beracun. Etanol adalah
cairan jernih yang mudah terbakar dengan titik didih pada 78,040C dan titik beku
pada -1120C. Etanol tidak berwarna dan juga tidak berasa tetapi memiliki bau
yang khas. Rumus molekul etanol adalah C2H5OH. Etanol merupakan pelarut
yang baik untuk senyawa organik (Hambali dan Mujdalipah, 2007).
Flavonoid terdapat dalam bagian vegetatif maupun pada bagian bunga.
Senyawa flavonoid ini memiliki banyak manfaat. Manfaat flavonoid antara lain
sebagai inhibitor lipooksigenase yang merupakan langkah pertama pada jalur
yang menuju hormon eikosanoid seperti prostaglandindan tromboksan. Flavonoid
merupakan senyawa pereduksi yang baik. Tidak hanya jalur lipooksigenase yang
dapat dihambat oleh senyawa flavonoid, melainkan jalur siklooksigenase juga
dapat dihambat aktivitas enzimnya oleh flavonoid. Penghambatan jalur
pelepasan asam arakidonat yang merupakan komponen kemotaktik (Winarsi,
2007).
I. Hipotesis
Pemberian secara topikal ekstrak etanol sambiloto memiliki efek
antiinflamasi terhadap edema kulit punggung mencit yang diinduksi karagenin
dengan penghambatan inflamasi yang meningkat seiring dengan meningkatnya
19
BAB III
METODE PENELITIAN
A.Jenis Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimental murni dengan
rancangan acak lengkap pola searah.
B.Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 1. Variabel penelitian
a. Variabel utama
1) Variabel bebas : konsentrasi ekstrak etanol herba Sambiloto
2) Variabel tergantung : tebal edema kulit punggung mencit
b. Variabel pengacau
1) Variabel pengacau terkendali
Variabel pengacau terkendali pada penelitian ini adalah berat badan
dan umur dari hewan uji. Hewan uji yang digunakan adalah mencit
putih betina galur Swiss dengan berat-badannya 20-30 g dan umurnya
2-3 bulan.
2) Variabel pengacau tak terkendali
Variabel pengacau tak terkendali pada penelitian ini adalah keadaan
patologis dari hewan uji yang digunakan, kemampuan tubuh hewan uji
untuk mengabsorpsi ekstrak sambiloto, serta kemampuan hewan untuk
2. Definisi operasional
a. Inflamasi merupakan respon tubuh terhadap adanya benda asing. Respon
inflamasi berupa merah, nyeri, bengkak, perubahan fungsi, dan panas.
Dalam hal ini, yang diamati berupa edema (bengkak).
b. Ekstrak etanol herba sambiloto merupakan ekstrak yang didapatkan dengan
cara mengekstraksi serbuk kering herba sambiloto seberat 10 gram
dilarutkan dalam 100 ml pelarut etanol 95% secara maserasi selama 5 hari.
Kemudian dilakukan remaserasi dengan jumlah pelarut yang sama selama 2
hari, disaring dengan kertas saring dan diuapkan menggunakan oven
hingga didapatkan bobot tetap.
c. Konsentrasi ekstrak etanol herba sambiloto berupa sejumlah berat ekstrak
kental etanol sambiloto (g) tiap bobot basis (g) yang digunakan (b/b).
Konsentrasi ekstrak kental sambiloto yang digunakan adalah 1,67; 2,5 dan
3,75%.
d. Pemberian senyawa antiinflamasi diberikan langsung setelah pemberian
agen penginduksi inflamasi.
e. Pemberian secara topikal dilakukan dengan cara mengoleskan secara
merata pada punggung mencit yang telah dicukur bulunya terlebih dahulu.
f. Inflammation-associated oedema merupakan tebal lipat kulit punggung
mencit yang meningkat dibandingkan kulit punggung normal. Diukur
menggunakan jangka sorong digital setiap 1 jam selama 6 jam setelah
diinjeksikan karagenin (Tanko, Kamba, Saleh, Musa and Mohammed,
C. Bahan Penelitian
1. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut :
a. Hewan uji yang digunakan yaitu mencit betina galur Swiss, dengan
umur 2-3 bulan, berat badan 20-30 g yang diperoleh dari
Laboratorium Imonologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang
telah mendapatkan kelayakan Ethic dari Ministry of National
Education Faculty of Medicine Gadjah Mada University and Medical
Health Research Ethic Commite (MHREC) dengan no ref:
KE/FK/908/EC.
b. Bahan uji yang digunakan adalah herba Sambiloto yang dipanen pada
bulan Juni dan diperoleh dari kebun rumah di Klumutan RT. 16,
RW.08. Srikayangan, Sentolo, Kulon Progo, Yogyakarta.
c. Zat inflamatogen yang digunakan adalah karagenin tipe I (Sigma
Chemical Co.) yang diperoleh dari Laboratorium Farmakologi dan
Toksikologi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
d. Etanol sebagai pelarut pengekstrak herba yang diperoleh dari PT.
Brataco Yogyakarta.
e. Aquadest diperoleh dari Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi
Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
f. NaCl fisiologis digunakan sebagai pelarut karagenin diperoleh dari
Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi Fakultas Farmasi
g. Formalin digunakan untuk mengawetkan kulit punggung mencit
diperoleh dari Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi Fakultas
Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
h. Calacort® yang digunakan sebagai kontrol positif diperoleh dari
Apotek K24 Jl. Seturan Raya No. 101A Catur Tunggal Depok Sleman
Yogyakarta.
i. Biocream® yang digunakan sebagai basis ekstrak etanol sambiloto
diperoleh dari Apotek K24 Jl. Seturan Raya No. 101A Catur Tunggal
Depok Sleman Yogyakarta
j. Veet® cream yang digunakan untuk merontokkan bulu mencit setelah
pencukuran diperoleh dari Alfa Mart Yogyakarta
D. Alat atau Instrumen Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari :
1. Alat pembuatan ekstrak kental
a. Oven
b. Mesin penyerbuk
c. Ayakan
d. Alat-alat gelas seperti gelas beker, erlenmeyer, gelas ukur, cawan
porselin, pipet tetes, batang pengaduk
2. Alat pencukur bulu pada punggung mencit
a. Gunting
3. Alat utama yang digunakan
a. Jangka sorong digital merk Mitutoyo
b. Stopwatch merk Baby-G
4. Lain- lain
c. Kamera digital
d. Neraca analitik merk Wipro
e. Timbangan merk Ohaus
f. Gelas arloji
g. Pinset
h. Toples plastik (tempat menyimpat kulit)
i. Stamper & mortir
E. Tata Cara Penelitian 1. Determinasi tanaman
Determinasi herba sambiloto dilakukan di Laboratorium Farmakognosi-Fitokimia
Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.Determinasi telah
2. Pengumpulan bahan
Herba sambiloto diperoleh dari kebun rumah di Klumutan RT. 16, RW.08.
Srikayangan, Sentolo, Kulon Progo, Yogyakarta yang dipanen pada bulan Juni.
Herba yang diambil berupa herba segar yang sedang berbunga.
3. Pembuatan simplisia
Herba sambiloto yang telah dikumpulkan dicuci dengan air mengalir
kemudian ditiriskan. Kemudian tanaman tersebut di jemur dibawah sinar matahari
dengan ditutup kain hitam sampai kering, untuk meniadakan air pada daun.
Selanjutnya tanaman tersebut diserbuk menggunakan mesin penyerbuk di
Laboratorium Farmakognosi-Fitokimia Fakultas Farmasi Universitas Sanata
Dharma. Kemudian serbuk simplisia diayak dengan menggunakan ayakan ukuran
40 mesh.
4. Pembuatan ekstrak herba sambiloto
Sepuluh gram serbuk kering herba sambiloto direndam dalam 100 ml
etanol 95% pada erlenmeyer bersumbat. Kemudian didiamkan selama 3 hari
sambil sesekali digojog tiap harinya. Setelah 3 hari saring larutan hasil maserasi
tadi pada cawan porselen menggunakan kertas saring. Ekstrak yang didapat
disimpan, sisa serbuk setelah penyaringan direndam kembali dalam 100 ml etanol
dan didiamkan selama 3 hari dengan sesekali digojog tiap harinya. Tiga hari
dengan larutan ekstrak yang telah direndam sebelumnya. Kemudian ekstrak
diuapkan dengan menggunakan evaporator.
5. Penyiapan hewan uji
Hewan uji yang dibutuhkan sebanyak 34 ekor mencit betina galur Swiss,
umur 2-3 bulan, berat badan 20-30 g. Hewan uji dibagi secara acak menjadi 2
kelompok. Kelompok untuk pra-studi sebanyak 4 ekor dan kelompok perlakuan
sebanyak 30 ekor mencit. Kelompok perlakuan terdiri dari 4 kelompok yang
masing-masing kelompok terdiri dari 5 ekor mencit.
6. Pembuatan larutan karagenin
Larutan karagenin yang digunakan sebagai zat peradang dibuat dengan
cara melarutkan 1,5 g karagenin dalam larutan NaCl fisiologis (0,9%) hingga
volume 100 mL, sehingga diperoleh larutan karagenin 1,5% (b/v).
7. Orientasi pemberian karagenin
Mencit yang digunakan sebanyak 6 ekor. Mencit dibagi menjadi 3
kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari 2 ekor mencit, dan tiap
kelompok diberi injeksi subkutan karagenin dengan konsentrasi berturut-turut 0,5;
a. Orientasi pemberian karagenin sebagai penginduksi edema
Mencit sebanyak 6 ekor dicukur bulu pada punggungnya kemudian
dioleskan Veet® untuk merontokkan bulu yang belum tercukur sempurna,
dibiarkan selama 2 hari untuk menghindari adanya inflamasi yang disebabkan
karena pencukuran dan pemberian Veet®. Kemudian diberikan karagenin dengan
konsentrasi 0,5;1 dan 1,5% secara subkutan sebanyak 0,1 ml. Kulit punggung
mencit diukur sebelum pemberian karagenin dan setelah pemberian karagenin
setiap 1 jam selama 6 jam. Edema pada kulit dari pemberian karagenin yang
menunjukkan penebalan sebesar 2-3 kali dari tebal awal dipilih sebagai
konsentrasi penginduksi inflamasi.
b. Orientasi waktu pengolesan senyawa terhadap edema punggung mencit
Hewan uji dibagi menjadi 2 kelompok (masing-masing kelompok terdiri
dair 3 ekor mencit) dimana kelompok I adalah kontrol (tidak diinjeksi karagenin)
dan kelompok II adalah kelompok perlakuan (diinjeksi dengan karagenin). Setiap
1 jam selama 6 jam tebal kulit punggung mencit di ukur dan dihitung selisihnya
kemudian dianalisis menggunakan ANOVA. Waktu yang menunjukkan nilai
p<0,05 merupakan waktu optimum pengolesan.
c. Pencampuran ekstrak etanol sambiloto dengan biocream
Pada penelitian ini digunakan 3 tingkatan konsentrasi yaitu konsentrasi
pencampuran antara ekstrak etanol sambiloto dengan biocream yaitu dengan
perbandingan:
i. Konsentrasi 1,67% : mencampur ekstrak etanol sambiloto sebanyak
0,167 g dengan 10 g biocream. Pencampuran dilakukan dengan
menggunakan mortir dan stamper, ekstrak tersebut dicampur
hingga warna merata.
ii. Konsentrasi 2,5% : mencampur ekstrak etanol sambiloto sebanyak
0,25 g dengan 10 g biocream. Pencampuran dilakukan dengan
menggunakan mortir dan stamper, ekstrak tersebut dicampur
hingga warna merata.
iii. Konsentrasi 3,75% : mencampur ekstrak etanol sambiloto sebanyak
0,375 g dengan 10 g biocream. Pencampuran dilakukan dengan
menggunakan mortir dan stamper, ekstrak tersebut dicampur
hingga warna merata.
d. Pengujian dengan ekstrak herba sambiloto
Sebanyak 30 ekor mencit dibagi secara acak menjadi 6 kelompok
perlakuan dimana tiap kelompoknya terdiri dari 5 ekor mencit. Perlakuan 1:
kelompok perlakuan kontrol negatif, perlakuan 2: kelompok perlakuan kontrol
positif (calacort®), perlakuan 3: kelompok perlakuan kontrol biocream, perlakuan
4: kelompok ekstrak etanol herba sambiloto konsentrasi 1,67% b/b, perlakuan 5:
kelompok ekstrak etanol herba sambiloto konsentrasi 2,5% b/b, perlakuan 6:
i. Perlakuan 1 (kontrol negatif) : mencit dicukur bulu pada
punggungnya kemudian dioleskan Veet® dan dibiarkan selama 2
hari kemudian diberikan karagenin 1,5% secara subkutan sebanyak
0,1 ml dan diukur edema yang muncul dengan jangka sorong setiap
1 jam selama 6 jam.
ii. Perlakuan 2, 3, 4, 5 dan 6 : mencit dicukur bulu pada punggungnya
kemudian dioleskan Veet® dan dibiarkan selama 2 hari kemudian
diberikan karagenin 1,5% secara subkutan sebanyak 0,1 ml
kemudian dioleskan Calacort®, biocream, ekstrak etanol herba
sambiloto konsentrasi 1,67% b/b, ekstrak etanol herba sambiloto
konsentrasi 2,5% b/b, dan ekstrak etanol herba sambiloto
konsentrasi 3,75% b/b yang sebelumnya telah ditimbang (0,1 g
untuk mengcover seluas 2,25 cm2 area kulit punggung mencit)
disekitar area suntikan dan diukur edema yang muncul dengan
jangka sorong setiap 1 jam selama 6 jam.
e. Pengambilan kulit punggung mencit untuk histopatologi
Pengambilan kulit punggung mencit dilakukan dengan cara memotong
kulit punggung mencit disekitar area suntikan dengan ukuran 1,5 x 1,5 cm. Kulit
punggung mencit tersebut diletakkan pada kertas karton dan dimasukkan dalam
larutan formalin agar kulit punggung mencit tidak rusak pada saat pengamatan
F. Tata Cara Analisis Hasil
1. Analisis hasil dilakukan dengan mengukur ketebalan edema kulit punggung
mencit menggunakan jangka sorong.
2. Nilai selisih edema tiap jam diukur dan dihitung nilai AUC total
masing-masing perlakuan dengan rumus
∑ [( )( )]
Keterangan :
= area di bawah kurva dari jam ke-o sampai jam ke-6 (cm2.jam)
= luas area pigmentase pada jam ke-(n-1) (cm2)
= luas area pigmentase pada jam ke-n (cm2)
= jam ke-(n-1) (jam)
(Ikawati, Supardjan, dan Asmara, 2007)
3. Nilai % penghambatan inflamasi dihitung dengan rumus:
( ) ( ( ) ( ) )
Keterangan :
( ) = rata-rata AUC total kontrol negatif (cm.jam)
( ) = nilai AUC total pada kelompok perlakuan replikasi ke- (cm.jam).
4. Nilai AUC total masing-masing perlakuan dianalisis menggunakan uji
Shapiro-Wilk, dilanjutkan analisis ANOVA satu arah taraf kepercayaan 95% dan uji
scheffe.
5. Jika terdapat nilai p< 0,05 yang menandakan adanya perbedaan yang bermakna
31
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian yang dilakukan ini berjudul Uji Efektivitas Antiinflamasi
Ekstrak Herba Sambiloto secara Topikal pada Mencit Betina Galur Swiss yang
Diinduksi Karagenin merupakan salah satu bagian dari suatu rangkaian penelitian
besar yang bertujuan untuk mengetahui apakah ekstrak sambiloto yang diberikan
secara topikal mampu memberikan efek antiinflamasi. Determinasi tanaman
sambiloto dilakukan dilaboratorium Farmakognosi-Fitokimia Fakultas Farmasi
Universitas Sanata Dharma. Hasil determinasi (Lampiran 1) menyatakan
kebenaranan tanaman yaitu Andrographis paniculata Nees. Tujuan dilakukannya
determinasi tanaman adalah untuk mengetahui kebenaran tanaman yang
digunakan, pada penelitian ini dapat dinyatakan kebenarannya bahwa tanaman
yang digunakan adalah herba sambiloto (Andrographis paniculata Nees. ). Hewan
uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit galur Swiss dengan bobot
20-30 gram. Perlakuan pada mencit yang digunakan telah mendapatkan kelayakan
Ethic dari Ministry of National Education Faculty of Medicine Gadjah Mada
University Medical and Health Research Ethic Commite (MHREC) dengan no
ref: KE/FK/908/EC (Lampiran 2).
A. Ekstraksi Herba Sambiloto
Pembuatan ekstrak herba sambiloto dilakukan dengan menggunakan metode
cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari selama beberapa hari pada
temperatur kamar dan terlindung dari cahaya. Prinsip kerja maserasi yakni cairan
penyari akan masuk ke dalam sel melalui dinding sel, kemudian isi sel akan
terlarut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dan di
luar sel. Larutan yang konsentrasinya tinggi akan terdesak keluar dan diganti oleh
cairan penyari dengan konsentrasi rendah (proses difusi). Peristiwa tersebut terus
berulang sampai terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel
dengan di dalam sel. Pada metode maserasi ini juga dilakukan beberapakali
pengadukan dimana pengadukan ini berfungsi untuk meratakan konsentrasi
larutan di luar butir serbuk simplisia sehingga tetap terjaga adanya derajat
konsentrasi yang sekecil-kecilnya antara larutan di dalam sel dengan larutan di
luar sel. Pada penelitian ini cairan penyari yang digunakan adalah etanol 95%
dimana etanol 95% ini merupakan pelarut yang memiliki kepolaran tinggi, dengan
menggunakan etanol 95% ini diharapkan flavonoid yang terdapat pada herba
sambiloto mampu terambil semua.
Ekstrak etanol sambiloto cair yang didapat selanjutnya akan diuapkan
penyarinya dengan menggunakan rotary evaporator. Menurut Pangestu (2011)
prinsip kerja dari rotary evaporator terletak pada penurunan tekanan pada labu
alas bulat dan pemutaran pada labu alas bulat agar pelarut dapat menguap lebih
cepat dibawah titik didihnya sehingga didapatkanlah ekstrak pekat. Pemanasan
dibawah titik didih inilah yang membuat senyawa flavonoid herba sambiloto
Ekstrak etanol kental hasil penguapan dari rotary evaporator selanjutnya
akan dilakukan kontrol kualitas dengan menetapkan susut pengeringan (bobot
tetap). Penetapan bobot tetap dilakukan dengan cara menimbang ekstrak etanol
sambiloto yang telah dimasukkan dalam oven dengan suhu 600C tiap jamnya
hingga didapatkan bobot yang konstan (Widiastuti dan Yuli, 2004). Pada
penelitian ini, dari 10 gram serbuk sambiloto dalam 100 ml etanol 95%
didapatkan bobot tetap sebanyak 2 gram.
B. Hasil Orientasi Penyuntikan Karagenin
Sebelumnya, dilakukan terlebih dahulu orientasi pemberian karagenin
dengan berbagai konsentrasi (gambar 3). Hal ini bertujuan untuk mengetahui
edema (bengkak) yang optimal setelah pemberian karagenin. Diharapkan edema
yang timbul tidak pecah.
Pada penelitian ini digunakan karagenin dengan konsentrasi 1,5%
(Gambar 3.), hal ini dikarenakan pada konsentrasi karagenin 1,5% mampu
memberikan tebal lipat kulit 2-3 kali dari kulit normal (Harijadi, 2009) yang
ditunjukkan dengan peningkatan tebal lipat kulit punggung mencit.
C. Hasil Efek Antiinflamasi Ekstrak Etanol Sambiloto secara Topikal terhadap Edema Kulit Punggung Mencit
Menurut Prapanza dan Marianto (2003), tanaman sambiloto memiliki
kandungan berupa lakton terdiri dari neoandrographolid, andrographolid,
deoksiandrographolid, 14-deoksi-11, dan 12-didehidroandrographolid yang
berfungsi sebagai antiradang dan antipiretik. Selain itu, sambiloto juga
mengandung kalium yang berfungsi untuk meningkatkan jumlah urine dan juga
membantu mengeluarkannya, minyak atsiri (essential oil) yang bermanfaat
sebagai antiradang, serta flavonoid yang berfungsi untuk mencegah dan
menghancurkan penggumpalan darah serta sebagai antiradang. Secara umum,
sambiloto digunakan sebagai jamu oleh orang awam untuk mengobati penyakit
radang.
Evacuasiani dan Soebiantoro (2000) menyebutkan bahwa ekstrak etanol
sambiloto memiliki efek antiinflamasi terhadap kaki tikus yang diinduksi
karagenin. Ekstrak etanol sambiloto ini diberikan secara peroral pada tikus. Hasil
penelitian menyatakan bahwa ekstrak etanol sambiloto mampu memberikan efek
edema kaki tikus sebanyak 46,46% dari edema kaki tikus setelah diinduksi
karagenin.
Gambar 4. Grafik penurunan edema kulit punggung mencit yang diinduksi karagenin dan diberi berbagai konsentrasi dari ekstrak etanol herba sambiloto.
Pada gambar 4 dapat dilihat bahwa, setelah diinduksi karagenin terdapat
peningkatan tebal lipat kulit di jam 1 pada semua kelompok perlakuan. Dari
gambar tersebut, kontrol karagenin dan juga kontrol biocream+karagenin
memiliki tingkat tebal yang paling tinggi dibandingkan dengan kelompok
perlakuan yang lainnya. Hal ini dapat disimpulkan bahwa kontrol karagenin dan
kontrol biocream+karagenin tidak memiliki efektivitas antiinflamasi. Sedangkan
pada kelompok perlakuan kontrol calacort® dan juga kelompok perlakuan ekstrak
dengan berbagai konsentrasi memiliki tingkat tebal edema yang cenderung lebih
rendah dibandingkan dengan kelompok perlakuan kontrol karagenin dan
kelompok perlakuan berbagai konsentrasi ekstrak etanol sambiloto dan kelompok
perlakuan kontrol calacort® sudah mulai memberikan efeknya sebagai agen
antiinflamasi pada jam 1. Mengikuti jam berikutnya, terjadi penurunan tebal lipat
kulit pada semua kelompok perlakuan sampai jam ke 6. Gambar 4 tersebut dapat
dilihat bahwa kelompok perlakuan kontrol calacort® memiliki perbedaan yang
tidak bermakna dengan kelompok perlakuan ekstrak etanol sambiloto konsentrasi
3,75%. Hal ini terlihat pada gambar bahwa garis pada kelompok perlakuan
kontrol calacort® dengan garis pada kelompok perlakuan ekstrak etanol sambiloto
konsentrasi 3,75% sangatlah berdekatan, dapat disimpulkan bahwa ekstrak etanol
herba sambiloto memiliki efek antiinflamasi yang sebanding dengan kontrol
calacort®. Sedangkan kelompok perlakuan kontrol calacort® dan perlakuan
ekstrak etanol sambiloto konsentrasi 3,75% memiliki perbedaan yang bermakna
terhadap kontrol karagenin, kontrol biocream+karagenin, dan kelompok perlakuan
ekstrak etanol sambiloto konsentrasi 1,67%. Hal ini dapat dilihat pada gambar
tersebut garis pada grafik antara kelompok perlakuan kontrol calacort® dan
kelompok perlakuan ekstrak etanol sambiloto konsentrasi 3,75% memiliki jarak
yang berjauhan dengan kelompok perlakuan kontrol karagenin, kontrol
biocream+karagenin dan juga kelompok perlakuan ekstrak etanol sambiloto
konsentrasi 1,67%. Menurut Tanko, Kamba, Saleh, Musa and Mohammed (2008),
pada jam ke 6 inilah terjadi penghambatan inflamasi yang signifikan setelah
pemberian ekstrak sambiloto. Hewan uji dipertahankan selama 24 jam kemudian
diambil kulitnya dan dibuat preparat untuk mengamati reaksi radang pada sel
D. Rata-rata Nilai AUC Total dan Rata-rata Persen Penghambatan Inflamasi (%PI) Mencit yang di Induksi Karagenin pada Penelitian
Efek Antiinflamasi Ekstrak Etanol Sambiloto secara Topikal terhadap Edema Kulit Punggung Mencit
Penelitian uji efektivitas antiinflamasi ekstrak etanol herba sambiloto
secara topikal pada mencit betina galur Swiss yang diinduksi karagenin ini
bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya efek antiinflamasi ekstrak etanol herba
sambiloto yang diaplikasikan secara topikal. Efek antiinflamasi dari ekstrak etanol
herba sambiloto ini dilihat dari ada tidaknya kemampuan ekstrak menurunkan
tingkat tebal edema yang terjadi pada kulit punggung mencit setelah pemberian
karagenin.
Pengukuran tebal edema yang digunakan pada penelitian ini menggunakan
metode jangka jorong. Jangka sorong yang digunakan merupakan jangka sorong
digital merk Mitutoyo. Keuntungan dari pemakaian jangka sorong ini adalah tidak
perlu mengorbankan hewan uji yang digunakan, sederhana dalam penggunaan,
mengurangi kesalahan pengukuran dibandingkan dengan metode potong kaki.
Dalam penelitian ini digunakan selisih tebal edema kulit punggung mencit.
Selisih tebal edema masing-masing hewan uji dihitung nilai AUC total (lampiran
4.a.) kemudian dianalisis menggunakan ANOVA taraf kepercayaan 95%. Untuk
mengetahui besarnya efektivitas antiinflamasi dari masing-masing kelompok
perlakuan pada penelitian ini maka perlu pengolahan data lebih lanjut. Nilai AUC
total yang sudah didapatkan diolah menjadi persentase penghambatan inflamasi
efektivitas antiinflamasi dari ekstrak etanol herba sambiloto dapat dilihat pada
gambar 5 dan tabel I.
Tabel 1. Rata-rata AUC tebal lipatan kulit punggung mencit dan rata-rata persen penghambatan inflamasi pada kelompok perlakuan uji antiinflamasi
Perlakuan Rata-rata AUC selisih tebal lipat kulit dalam
Perlakuan 1 : kelompok kontrol negatif (karagenin 1,5%) Perlakuan 2 : kelompok kontrol biocream+karagenin Perlakuan 3 : kelompok kontrol positif (calacort® cream)
Perlakuan 4 : kelompok perlakuan ekstrak sambiloto konsentrasi 1,67%+karagenin Perlakuan 5 : kelompok perlakuan ekstrak sambiloto konsentrasi 2,5%+karagenin Perlakuan 6 : kelompok perlakuan ekstrak sambiloto konsentrasi 3,75%+karagenin SE : Standard Error (SD/√ )
X : rata-rata AUC total
Dari tabel I dan gambar 5 menunjukkan nilai rata-rata AUC selisih tebal
lipat kulit dan persentase penghambatan inflamasi. Persen penghambatan
inflamasi yang dimiliki oleh ekstrak etanol herba sambiloto 1,67; 2,5 dan 3,75%
secara berturut-turut adalah 24,40; 52,31 dan 66,69%. Uji statistik (uji Scheffe)
terhadap rata-rata AUC tebal lipatan kulit punggung mencit dan rata-rata persen
penghambatan inflamasi memberikan hasil sama. Pada kelompok perlakuan
karagenin dan kelompok perlakuan biocream+karagenin memiliki nilai AUC yang
tinggi serta berdasarkan uji statistik, kelompok perlakuan kontrol karagenin dan
kelompok perlakuan biocream+karagenin memiliki perbedaan yang tidak
bermakna (p<0,05) (Tabel I dan Gambar 5.), hal ini menunjukkan bahwa
kelompok perlakuan karagenin dan kelompok perlakuan biocream+karagenin
tidak memiliki efek antiinflamasi. Sedangkan pada kelompok perlakuan kontrol
positif (calacort®) memiliki nilai AUC rendah dan berdasarkan uji statistik,
kelompok perlakuan calacort® memiliki perbedaan yang bermakna (p>0,05)
terhadap kelompok perlakuan kontrol karagenin dan kelompok perlakuan kontrol
biocream+karagenin (Tabel I dan Gambar 5.) yang berarti bahwa kelompok
perlakuan kontrol positif memiliki efek sebagai antiinflamasi dengan %PI sebesar
72,58%.
Kelompok perlakuan ekstrak etanol herba sambiloto konsentrasi 3,75%
dengan kelompok perlakuan kontrol calacort memiliki nilai AUC yang kecil.
Berdasarkan hasil uji statistik, kelompok perlakuan ekstrak etanol herba sambiloto
konsentrasi 3,75% memiliki perbedaan yang tidak bermakna terhadap kelompok
ekstrak etanol herba sambiloto konsentrasi 3,75% mampu memberikan efek
antiinflamasi yang sebanding dengan kelompok calacort dengan %PI sebesar
66,69%. Tabel I menggambarkan bahwa kelompok perlakuan ekstrak sambiloto
konsentrasi 3,75% memiliki perbedaan yang bermakna terhadap kelompok
perlakuan kontrol karagenin (p<0,05) namun memiliki perbedaan yang tidak
bermakna dengan kelompok perlakuan kontrol biocream (p>0,05) hal ini
dikarenakan nilai Standard Error yang diperoleh terlalu tinggi yakni 12,36.
Melalui data tabel ini, dapat dilihat bahwa konsentrasi ekstrak etanol herba
sambiloto 1,67 dan 2,5% belum memberikan efek sebagai antiinflamasi. Hal ini
dapat dilihat pada tabel Ibahwa kelompok perlakuan ekstrak etanol herba
sambiloto konsentrasi 1,67 dan 2,5% memiliki perbedaan yang tidak bermakna
terhadap kontrol karagenin maupun juga kontrol biocream (p>0,05).
E. Hasil Uji Hubungan Linearitas Ekstrak Etanol Herba Sambiloto terhadap Daya Antiinflamasi yang Ditimbulkan
Uji ini bertujuan untuk mengetahui hubungan linearitas antara konsentrasi
ekstrak etanol herba sambiloto terhadap persen penghambatan inflamasi yang
ditimbulkan. Caranya adalah dengan membuat grafik regresi linear antara log
konsentrasi ekstrak etanol herba sambiloto vs % penghambatan inflamasi
sehingga didapatkan grafik hubungan linearitas antara log konsentrasi ekstrak
etanol herba sambiloto dengan % penghambatan inflamasi. Dari grafik hubungan
linearitas tersebut dapat ditentukan nilai EC50 dari ekstrak etanol herba sambiloto.
menimbulkan efek sebesar 50% dari efek maksimal dari suatu senyawa. Dengan
demikian nilai EC50 antiinflamasi ekstrak etanol herba sambiloto berarti
konsentrasi ekstrak etanol herba sambiloto yang dibutuhkan untuk menimbulkan
efek antiinflamasi sebesar 50% dari efek maksimal.
Gambar 6. Grafik hubungan linearitas konsentrasi ekstrak etanol herba sambiloto 1,67; 2,5 dan 3,75% terhadap persen penghambatan inflamasi
Pada gambar 6 menunjukkan hubungan antara peringkat konsentrasi
ekstrak etanol herba sambiloto terhadap persen penghambatan inflamasi dengan
persamaan y = 120,42764x + 0,43179 dengan nilai r = 0,9802. Nilai r ini
menunjukkan hubungan antara peringkat konsentrasi ekstrak etanol herba
sambiloto dengan persentase penghambatan inflamasi. Dari ketiga peringkat
konsentrasi ekstrak etanol herba sambiloto, ekstrak yang mampu mencapai efek
antiinflamasi hingga 50% yakni ekstrak etanol herba sambiloto konsentrasi 2,5
dan 3,75% dengan persen penghambatan inflamasi sebesar 52,31 dan 66,69%.
Selain dari grafik, nilai EC50 dapat dihitung melalui persamaan regresi linear yang