• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji efek antiinflamasi analgesik jus buah belimbing (Averrhoa carambola L.) pada mencit putih betina galur Swiss - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Uji efek antiinflamasi analgesik jus buah belimbing (Averrhoa carambola L.) pada mencit putih betina galur Swiss - USD Repository"

Copied!
158
0
0

Teks penuh

(1)

(Averrhoa carambolaL.) PADA MENCIT PUTIH BETINA GALUR SWISS

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh: Dewi Susanti NIM: 068114126

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

ii

UJI EFEK ANTIINFLAMASI DAN ANALGESIK JUS BUAH BELIMBING (Averrhoa carambolaL.) PADA MENCIT PUTIH BETINA GALUR SWISS

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh: Dewi Susanti

NIM: 068114126

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(3)
(4)
(5)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN Tuhanku,,

Engkau yang selalu berbicara padaku ketika aku kesepian Memberikanku dukungan ketika aku dirundung kecemasan

Mendengarkan suaraku saat aku jatuh

Engkau yang sudi menjadi penghiburan bagiku dalam perjalanan, Tempat berteduh di waktu hujan,

Tempat bernaung di kala panas, Tongkat penuntun dalam kelelahan,

Dan penolong dalam bahaya Engkau yang membuatku berhasil

Mencapai tujuanku, Sekarang, dan juga nanti

Pada akhir hidupku

Tulisan ini saya persembahkan untuk:

Tuhan Yesus,

walaupun karya ini terlalu kecil untuk sebuah ungkapan syukur,

Mama dan Papa, yang telah melahirkan, mendidik, dan mengasihi saya

selalu,

Kakak saya tercinta Yuli Suprihatini, yang tidak pernah berhenti menyayangi

dan mengajari saya arti berjuang yang sesungguhnya,

Ayis Suti Wibowo dan Anjar Murtiningsih, kakak kandung sekaligus pengganti

orangtua bagi saya

(6)
(7)

vii PRAKATA

Rasa syukur dan terima kasih penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus, sebab

atas segala anugerah dan penyertaanNya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul “Uji Efek Antiinflamasi dan Analgesik Jus Buah Belimbing (Averhoa

carambolaL.) Pada Mencit Putih Betina Galur Swiss”, dengan baik.

Dari awal proses penyusunan proposal skripsi, pelaksanaan penelitian sampai

pada tahap penulisan skripsi, banyak hambatan dan kedala yang terjadi. Namun,

berkat adanya dukungan, doa, bantuan, bimbingan, dan kerjasama dari berbagai

pihak, semua bisa terselaikan dengan baik. Sehingga pada kesempatan ini, dengan

segenap hati penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Rita Suhadi, MSi., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata

Dharma.

2. Bapak Yosef Wijoyo, M.Si., Apt., selaku dosen pembimbing yang telah

memberikan arahan, masukkan, dan saran selama penyusunan skripsi ini.

3. Bapak Drs. Mulyono, Apt., selaku dosen penguji yang telah memberikan

masukkan, saran, dan kritik yang membangun, serta berbagai referensi buku

dan jurnal.

4. Ibu Phebe Hendra, Ph.D., Apt., selaku dosen penguji yang telah memberikan

masukkan, saran, dan kritik yang membangun.

5. Bapak Ipang Djunarko, M.Sc., Apt., yang banyak memberikan bimbingan dan

(8)

viii

6. Mama, Papa, dan Ci Yuli di Surga, yang selalu menjadi motivasi penulis

untuk memberikan yang terbaik.

7. Kakak saya, Ayis Suti Wibowo, atas kasih sayang, pengorbanan, motivasi

yang selalu menguatkan, dan selalu ada baik dalam keadaan bahagia maupun

di saat paling buruk dalam hidup penulis.

8. Seluruh dosen dan karyawan Fakultas Farmasi yang telah berbagi

pengetahuan.

9. Fakultas Teknik Mekatronika Universitas Sanata Dharma yang telah bersedia

memberikan pinjaman alat berupa Jangka Sorong untuk penelitian ini.

10. Mas Parjiman, Mas Heru, dan Mas Kayat, selaku laboran yang banyak

membantu proses penelitian.

11. Keluarga saya terkasih di Purworejo, Bulek Sutarni, Lek Madi, Budhe

Legiem, Bayu, Bela, Erlin, Mas Ripto. Juga seluruh keluarga di Jakarta,

Bogor, Bandung,love you all!

12. Keluarga Purnomo, Om Cipto, Tante Yana, Ci Yoana, Kak Ino, Ezer, Edo.

Serta keluarga Meilina D. Pattikawa dan Patrick Gunawan Hartono, atas

segala ketulusan hati menjadikan penulis selayaknya keluarga.

13. Rekan penelitian ini, Tanti, Jeffry, dan Ricky, Gun, Felix, untuk tenaga,

waktu, dan pikiran yang secara tulus diberikan.

14. Sahabat saya, Regina Citra Dewanti, untuk setiap penghiburan dan uluran

(9)

ix

In, Dek Adrian, Mbak Indira, Dek Ardo, Mbak Nunung, Bu Yeti untuk

kehangatan sebuah keluarga.

15. Keluarga Su (baik), Cita, Krisna, Ginji, dan Fea, atas persahabatan yang unik

dan indah.

16. Para sahabat, Della, Esti, Helen, Mike, Devita, Rere, Lita, Grace, Wiwit,

Ciput, Henny, Riri, Jati, Sammy, atas dukungan dan semangat yang diberikan.

Ryan, atas pinjamanblender-nya. Dan seluruh teman-teman angkatan 2006.

17. Reynold Steve McWhiter and all his family there,thanks for the love and care

you gave to me.

18. Semua teman dan pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.

Semoga Tuhan selalu melimpahkan berkat dan karunia-Nya, atas segala

kebaikan dan jasa yang telah diberikan.

Penulis menyadari adanya kekurangan dalam skripsi ini, untuk itu penulis

selalu terbuka untuk saran, masukkan, dan kritik yang membangun. Akhir kata,

semoga karya ini bisa bermanfaat bagi perkembangan ilmu dan pengetahuan serta

(10)
(11)

xi INTISARI

Buah belimbing (Arverrhoa carambola L.) dikenal karena bentuk bintangya yang unik dan dapat digunakan sebagai obat tradisional. Penelitian ini dilakukan untuk membuktikan kebenaran khasiat jus buah belimbing sebagai obat antiinflamasi dan analgesik. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola searah. Subyek uji yang digunakan adalah mencit putih betina galurSwiss, berumur 2-3 bulan dengan berat badan 20-30 gram.

Obyek uji dalam penelitian ini adalah jus buah belimbing yang terbagi dalam 3 peringkat dosis, yaitu 1,67; 3,34; dan 6,67 g/kg BB. Penelitian pertama merupakan penelitian daya antiinflamasi dengan menggunakan karagenin sebagai penginduksi edema pada telapak kaki mencit dan diklofenak 4,48 mg/kg BB sebagai kontol positifnya. Penelitian kedua merupakan penelitian daya analgesik mengunakan metode geliat, dengan asam asetat sebagai pengiduksi geliat dan parasetamol 91 mg/kg BB sebagai kontrol positif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jus buah belimbing dosis 3,34 dan 6,67 g/kg BB terbukti memiliki efek antiinflamasi dan analgesik. Daya antiinflamasi jus buah belimbing dosis 1,67; 3,34; dan 6,67 g/kg BB berturut-turut adalah 22,91%; 54,58%; dan 36,06%; sedangkan daya analgetikanya sebesar 3,24%; 70,27%; dan 56,76%. Dosis optimal jus buah belimbing yang berkhasiat sebagai antiinflamasi maupun analgesik yaitu dosis 3,34 g/kg BB.

(12)

xii ABSTRACT

Starfruit (Averrhoa carambola L.) is known for its uniqueness star shape and can be used as traditional medicine. This study aims to prove that starfruit juice really has anti-inflammatory and analgesic effect. This is a pure experimental research with one-way pattern, random and complete research design. The subject of this study was Swiss white female mice which ranging age are 2-3 months and its weight between 20-30 g.

The object of this study was star fruit juice which doses are divided into 3 groups, 1,67; 3,34; and 6,67 g/kg BW. The anti-inflammatory test using carrageenin-induced edema in hind paw of the mice assay and diclofenac 4,48 mg/kg BW as positive control was performed first. Then the study continued with analgesic assay using writhing test, acetic acid as the writhing inducer and acetaminophen 91 mg/kg BW as the positive control.

The result shows that the star fruit juice at the dose 3,34 and 6,67 g/kg BW has anti-inflammatory and analgesic effect. The anti-inflammatory potency of the star fruit juice at the dose 1,67; 3,34; and 6,67 g/kg BW were 22,91%; 54,58% and 36,06%; the analgesic potency were 3,24%; 70,27%; and 56,76%, respectively. The optimal dose of star fruit juice to get both anti-inflammatory and analgesic effect is 3,34 g/kg BW.

(13)

xiii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... …iii

HALAMAN PENGESAHAN……….iv

HALAMAN PERSEMBAHAN………...v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI……….vi

PRAKATA………..vii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………..x

INTISARI……….xi

ABSTRACT………....xii

DAFTAR ISI………..xiii

DAFTAR GAMBAR...xviii

DAFTAR LAMPIRAN………...xx

BAB I PENGANTAR………...…1

A. Latar Belakang... 1

1. Perumusan masalah ... 4

2. Keaslian penelitian ... 4

3. Manfaat penelitian ... 7

B. Tujuan Penelitian... 7

(14)

xiv

2. Tujuan khusus... 7

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA………..9

A. Belimbing ... 9

1. Sistematika ... 9

2. Kandungan kimia ... 9

3. Kegunaan... 9

4. Morfologi tanaman ... 10

B. Flavonoid ... 10

C. Peradangan ... 11

1. Pengertian peradangan ... 11

2. Terjadinya radang... 12

3. Tanda-tanda peradangan... 16

D. Nyeri ... 18

1. Pengertian nyeri... 18

2. Terjadinya nyeri ... 19

3. Jenis nyeri... 22

E. Antiinflamasi ... 23

F. Diklofenak ... 24

G. Analgetika... 25

(15)

xv

I. Metode Pengujian Daya Antiinflamasi ... 28

J. Metode Pengujian Daya Analgetika ... 30

K. Landasan Teori ... 37

L. Hipotesis ... 38

BAB III METODE PENELITIAN……….39

A. Jenis dan Rancangan Penelitian... 39

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 39

1. Variabel utama ... 39

2. Variabel Pengacau ... 39

3. Definisi Operasional... 40

C. Bahan Penelitian... 41

D. Alat Penelitian ... 42

E. Tata Cara Penelitian ... 42

1. Penelitian efek antiinflamasi ... 42

2. Penelitian efek analgesik ... 48

F. Tata Cara Analisis Hasil ... 53

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN………...55

A. Determinasi Tanaman... 55

B. Penelitian Efek dan Daya Antiinflamasi ... 55

(16)

xvi

2. Efek dan Daya Antiinflamasi Jus Buah Belimbing... 62

C. Penelitian Efek dan Daya Analgesik Jus Buah Belimbing... 75

1. Uji Pendahuluan ... 75

2. Efek dan Daya Analgesik Jus Buah Belimbing... 81

D. Perbandingan Hasil Uji Daya Antiinflamasi dan Analgesik ... 89

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN………...93

A. Kesimpulan... 93

B. Saran ... 93

DAFTAR PUSTAKA……… 94

LAMPIRAN………... 97

(17)

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel I. Hasil analisis uji Scheffe antar kelompok rentang waktu pengukuran

edema pada kaki mencit setelah injeksi karagenin 1% ... 57

Tabel II. Hasil analisis ujiScheffeantar kelompok dosis diklofenak ... 59

Tabel III. Ringkasan hasil uji Scheffe kelompok antar waktu pemberian dosis

efektif diklofenak ... 61

Tabel IV. Rata-rata diameter edema yang terjadi pada masing-masing kelompok

perlakuan…... 64

Tabel V. Ringkasan hasil ujiScheffe% daya antiinflamasi... 68

Tabel VI. Persentase potensi relatif kelompok perlakuan terhadap diklofenak

sebagai kontrol positif... 70

Tabel VII. Hasil analisis ujiScheffeantar kelompok dosis diklofenak ... 76

Tabel VIII. Hasil analisis ujiScheffeantar kelompok dosis diklofenak ... 79

Tabel IX. Hasil analisis ujiScheffeantar kelompok rentang waktu pemberian asam

asetat ... 81

Tabel X. Rata-rata jumlah geliat dan %proteksi geliat yang terjadi pada kontrol

negatif, kontrol positif, dan kelompok perlakuan ... 83

Tabel XI. Hasil analisis ujiScheffepersentase penghambatan geliat... 85

(18)

xviii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Struktur katekin... 10

Gambar 2. Diagram ringkas dari pembentukkan mediator inflamasi yang berasal

dari fosfolipid dengan garis besar aksinya dan tempat aksi obat

antiinflamasi…... 13

Gambar 3. Terjadinya nyeri; penghantaran impuls; lokalisasi dan rasa nyeri serta

inhibisi nyeri endogen dalam bagan sederhana ... 21

Gambar 4. Struktur diklofenak ... 24

Gambar 5. Bagan kemungkinan pengaruh macam-macam obat terhadap nyeri

(menurut Keldel) ... 26

Gambar 6. Struktur parasetamol ... 27

Gambar 7. Data edema yang terjadi pada kaki mencit pada rentang waktu tertentu

setelah injeksi karagenin 1% subplantar ... 56

Gambar 8. Data hasil orientasi dosis efektif diklofenak ... 58

Gambar 9. Data hasil orientasi wakt efektif diklofenak ... 60

Gambar 10. Diagram batang rata-rata % daya antiinflamasi kelompok perlakuan

terhadap kontrol karagenin ... 66

Gambar 11. Diagram batang % potensi relative kelompok perlakuan terhadap

diklofenak sebagai kontrol positif... 70

(19)

xix

Gambar 13. Pembentukan prostaglandin melalui adisi karbon 9 dan 11 oleh radikal

superoksid ... 72

Gambar 14. Reaksi penangkapan radikal hidroksil oleh katekin... 73

Gambar 15. Hasil penetapan dosis efektif asam asetat ... 76

Gambar 16. Hasil orientasi dosis efektif parasetamol ... 78

Gambar 17. Hasil orientasi selang waktu pemberian asam asetat ... 80

Gambar 18. Diagram rata-rata % perubahan penghambatan geliat terhadap kontrol positif ... 86

Gambar 19. Grafik profil geliat kelompok perlakuan jus buah belimbing dan parasetamol ... 88

(20)

xx

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat keterangan determinasi buah belimbing ... 97

Lampiran 2. Gambar alat blender yang digunakan untuk membuat jusBelimbing,

buah belimbing yang sesuai criteria pemilihan dan jus buah belimbing

konsentrasi 20% ... 98

Lampiran 3. Gambar mencit yang menggeliat sesuai dengan definisi operasional.... 98

Lampiran 4. Gambar cara pengukuran edema dengan jangka sorong ... 99

Lampiran 5. Skema kerja uji efek antiinflamasi ... 100

Lampiran 6. Skema kerja uji efek analgesik ... 101

Lampiran 7. Data penetapan rentang waktu pengukuran edema dan analisis

statistiknya ... 102

Lampiran 8. Data Penetapan Dosis Efektif Diklofenak dan Analisis Statistiknya... 105

Lampiran 9. Data Penetapan Waktu Pemberian Dosis Efektif Diklofenak dan Analisis

Statistiknya... 108

Lampiran 10. Perhitungan penetapan peringkat dosis jus buah belimbing pada

kelompok perlakuan ... 111

Lampiran 11. Data diameter edema pada uji efek antiinflamasi jus buah belimbing112

Lampiran 12. Data % daya antiinflamasi dan analisis statistiknya... 115

Lampiran 13. Rata-rata % daya antiinflamasi dan potensi relatif kelompok perlakuan

(21)

xxi

Lampiran 14. Data penetapan dosis asam asetat dan analisis statistiknya... 119

Lampiran 15. Data penetapan dosis efektif parasetamol dan analisis statistiknya ... 121

Lampiran 16. Data penetapan rentang waktu pemberian rangsang geliat ... 124

Lampiran 17. Data jumlah geliat pada uji efek analgesik beserta analisis

statistiknya………127

Lampiran 18. Data % penghambatan geliat terhadap kontrol negatif pada uji analgesik

dan analisis statistiknya... 130

Lampiran 19. Data % perubahan penghambatan geliat terhadap kontrol positif

(22)

1 BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang

Peradangan merupakan reaksi kompleks dalam jaringan yang melibatkan

respon pembuluh darah dan leukosit. Peradangan mungkin menjadi berbahaya dalam

beberapa situasi. Mekanisme peradangan untuk menghancurkan penginvasi dan

jaringan nekrosis memiliki kemampuan intrinsik untuk merusak jaringan normal.

Ketika peradangan tidak tepat sasaran dan merusak jaringan itu sendiri atau

peradangan tidak terkontrol dengan baik, maka hal ini bisa menjadi penyebab

kerusakan dan penyakit (Kumar, Abbas, Fausto, dan Aster, 2010).

Manifestasi klinis dan patologi dari respon peradangan disebabkan oleh

beberapa reaksi. Fenomena vaskuler pada peradangan akut ditandai dengan adanya

peningkatan aliran darah menuju daerah yang terluka, akibat dari dilatasi arteriola dan

pembukaan kapiler karena induksi mediator seperti histamin. Meningkatnya

permeabilitas vaskuler mengakibatkan akumulasi cairan protein ekstraseluler yang

menimbulkan eksudat. Protein plasma keluar dari pembuluh darah, sebagian besar

melewati cell junctioninterendotelial vena yang melebar. Kemerahan (rubor), panas

(kalor), dan bengkak (tumor) pada peradangan disebabkan karena meningkatnya

aliran darah dan edema. Leukosit yang tersirkulasi, yang didominasi neutrofil,

bermigrasi ke daerah yang terluka. Leukosit yang teraktivasi akan melepaskan

(23)

Ketika terjadi kerusakan jaringan, dan adanya pelepasan prostaglandin, neuropeptida,

dan sitokin, salah satu simpton lokal peradangan adalah nyeri (dolor) (Kumar dkk.,

2010).

Nyeri merupakan pengalaman subyektif, yang sulit untuk dideskripsikan

secara pasti, meskipun kita semua tahu apa yang dimaksud dengan nyeri (Rang, Dale,

Ritter, dan Moore, 2007). Walaupun nyeri sering berfungsi untuk mengingatkan dan

melindungi dan sering memudahkan diagnosis, pasien merasakannya sebagai hal

yang tak mengenakkan, kebanyakan menyiksa dan karena itu berusaha untuk bebas

darinya. Pada beberapa penyakit, misalnya pada tumor ganas dalam fase akhir,

meringankan nyeri kadang-kadang merupakan satu-satunya tindakan yang berharga

(Mutschler, 1986).

Secara umum, pengatasan peradangan dan nyeri dapat dijelaskan sebagai

berikut: penghambatan pembentukkan prostaglandin, yaitu suatu mediator

peradangan dan nyeri. Penghambatan bisa dilakukan dengan berbagai cara: (i)

penghambatan pembentukan asam arakidonat oleh obat-obat steroid, (ii)

penghambatan enzim siklooksigenase (COX) oleh obat-obat antiinflamasi non steroid

(AINS), dan (iii) penghambatan radikal bebas oleh senyawa antioksidan (Rang dkk.,

2007). Dengan dihambatnya prostaglandin, maka perdangan dapat diatasi. Sedangkan

rasa nyeri juga berkurang karena reseptor nyeri tidak tersensibilitasi oleh

(24)

Beberapa senyawa alam yang terdapat dalam tumbuhan memiliki aktivitas

sebagai penghambat radikal bebas atau secara luas dikenal sebagai senyawa

antioksidan. Salah satu tanaman yang memiliki kandungan senyawa antioksidan

adalah belimbing(Averrhoa carambolaL.) yang merupakan suku oksalidaceae. Buah

belimbing, memiliki kandungan polifenol dan asam askorbat yang diketahui sebagai

antioksidan (Wakte, Patil, Patil, dan Phatak, 2007). Hal ini dikuatkan dengan hasil

penelitian (Sari, 2008) yang menyatakan bahwa ekstrak etanol 96% buah belimbing

(Averrhoa carambola L.) memiliki aktivitas antioksidan yang ditunjukkan oleh nilai

IC50 sebesar 28,82 ± 0,04 µg/mL, sehingga digolongkan sebagai antioksidan kuat,

karena nilai IC50 kurang dari 200 µg/mL. Selain itu, sebelumnya juga pernah

dilakukan pengujian beberapa efek farmakologi buah Averrhoa carambolaLinn pada

hewan percobaan, yang salah satunya menunjukkan adanya efek analgesik sari buah

pada dosis 2,5; 5; dan 10 ml/kg BB (Rianti, Padmawinata, dan Andreanus, 1978).

Berdasarkan pada uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian mengenai ada tidaknya efek antiinflamasi dan analgesik pada jus buah

belimbing manis. Dalam penelitian ini digunakan jus, bukan sari, karena di

masyarakat jus lebih terjangkau dibandingkan sari, karena dalam pembuatan sari

dibutuhkan alatjuice extractor, yang cukup mahal.

Untuk menguji efek antiinflamasi digunakan metode rangsang edema, karena

metode ini telah digunakan oleh banyak peneliti dan telah terbukti cocok untuk

(25)

digunakan metode geliat, karena metode ini dapat mendeteksi baik analgesik sentral

maupun perifer. Metode ini juga telah banyak digunakan dan direkomendasikan

sebagai suatu metode skrining yang cukup sederhana (Vogel, 2002).

1. Perumusan masalah

Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang muncul dalam penelitian ini

dapat dirumuskan sebagai berikut:

a. Apakah jus buah belimbing (Averrhoa carambola L.) mempunyai efek

antiinflamasi dan atau analgesik?

b. Seberapa besar daya antiinflamasi dan atau analgesik jus buah belimbing

(Averrhoa carambolaL.)?

2. Keaslian penelitian

Berdasarkan studi pustaka yang dilakukan oleh peneliti dan sejauh

pengetahuan peneliti, penelitian tentang efek antiinflamasi dan analgesik jus buah

belimbing (Averrhoa carambola L.) belum pernah dilakukan. Penelitian yang pernah

dilakukan yaitu:

a. Pengujian Beberapa Efek Farmakologi Buah Averrhoa carambola Linn pada

hewan percobaan (Rianti dkk., 1978), dan disimpulkan bahwa sari buah

Averrhoa carambola Linn memiliki efek analgesik pada dosis 5, 10, dan 20

ml/kg BB, efek diuretik dan hipoglikemik pada dosis 5 dan 10 ml/kg BB. Sari

buah 2,5; 5; dan 10 ml/kg BB tidak menunjukkan efek antipiretik pada tikus,

(26)

buah segar) hanya menunjukkan efek hipoglikemik. Perbedaan penelitian ini

dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis adalah pada penelitian ini

digunakan sari buah belimbing, sedangkan penulis menggunakan jus buah.

Selain itu, dosis yang digunakan penulis juga tidak sama dengan penelitian

sebelumnya.

b. Daya Antioksidan Ekstrak Etanol 96% Buah Belimbing(Averrhoa carambola

L.) dengan metode 2,2-diphenyl-1-picrylhydrazyl (DPPH) (Sari, 2008), dan

disimpulkan bahwa ekstrak etanol 96% buah belimbing memiliki aktivitas

antioksidan yang ditunjukkan oleh nilai IC50 sebesar 28,82 ± 0,04 µg/mL,

sehingga digolongkan sebagai antioksidan kuat, karena nilai IC50kurang dari

200 µg/mL. Kandungan senyawa yang bertanggung jawab sebagai

antioksidan adalah polifenol dan vitamin C.

c. Antioxidant and Antimicrobial Activities of Averrhoa carrambola L. Fruit

(Wakte dkk., 2007), dan disimpulkan bahwa daya antioksidan ekstrak

Averrhoa carambola L. bergantung pada konsentrasi dan tingkat kematangan

buah. Nilai IC50muda, setengah masak, dan masak secara berurutan 300, 250,

dan 250 µg/mL.

d. Senyawa Antibakteri Golongan Flavonoid dari Buah Belimbing Manis

(Averrhoa carambola Linn) (Sukadana, 2009), dan disimpulkan bahwa isolat

flavonoid fraksi FB dari ekstrak kental air buah belimbing manis diduga

(27)

dan C-4’. Identifikasi dengan spektrofotometer inframerah diduga bahwa

isolat flavonoid mengandung gugus OH, C-H aromatik, C-H alifatik, C=C

aromatik, C-O alkohol dan tidak adanya gugus C=O. Dan fraksi tersebut

diduga dapat menghambat bakteri gram positif dan gram negatif mulai dari

konsentrasi 500 ppm dan 100 ppm.

e. Anti-inflammatory and Bactericidal Properties of Selected Indigenous

Medical plants Used for Dysuria (Sripanidkulchai, Tattawasart,

Laupattarakasem and Wongpanich, 2002), dan disimpulkan bahwa pemberian

secara intraperitoneal ekstrak air akar Carica papaya (10 g/kg BB, p.o.),

Ananas comosus (20 g/kg BB, i.p.), dan tangkai pohonAverrhoa carambola

(20 g/kg BB, i.p.) pada jam pertama setelah induksi karagenin, memberikan

efek antiinflamasi yang setara dengan asam asetilsalisilat (ASA) 300 mg/kg

BB sebagai kontrol positif. Namun, setelah jam kedua dan ketiga,

ekstrak-ekstrak tersebut menunjukkan aktivitas anti-inflamasi yang lebih kuat

daripada ASA. Untuk aktivitas antibakteri, Staphylococcus aureus paling

sensitif terhadap ekstrak A. caramboladengan kadar bunuh minimum (KBM)

15,62 mg/ml atau kurang, ekstrakC. rotundus dan I. cylindrica menghambat

E. coli, Ps. aeruginosa, dan S. aureus dengan KBM 62,5 mg/mL. C. papaya

(28)

3. Manfaat penelitian

Dengan adanya penelitian tentang daya antiinflamasi dan analgesik jus buah

belimbing (Averrhoa carambola L.) diharapkan akan diperoleh manfaat sebagai

berikut:

a. Secara teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi terutama dalam

bidang ilmu kefarmasian mengenai khasiat buah belimbing (Averrhoa

carambolaL.) sebagai antiinflamasi dan analgesik.

b. Secara praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu masyarakat dalam

penyediaan obat tradisional sebagai alternatif dalam mengurangi peradangan

dan rasa nyeri.

B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum

Penelitian ini bertujuan untuk menambah informasi mengenai khasiat jus

buah belimbing terutama yang digunakan sebagai antiinflamasi dan pengurang

rasa nyeri.

2. Tujuan khusus

a. Mengetahui ada tidaknya efek antiinflamasi dengan metode Langford,

Holmes, dan Emele (1972) dan atau analgesik dengan metode geliat pada jus

(29)

b. Mengetahui besarnya daya antiinflamasi dan atau analgesik pada

masing-masing dosis jus buah belimbing (Averrhoa carambola L.) yang digunakan

(30)

9 BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA A. Belimbing

1. Sistematika

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Gymnospermae

Kelas : Dicotyledonae

Ordo : Geranilases

Famili : Oxalidaceae

Genus : Averrhoa

Spesies :Averrhoa carambolaL. (Lawrence, 1951)

2. Kandungan kimia

Buah belimbing mengandung asam oksalat (0,03% dari berat buah segar),

vitamin C (0,05% dari berat buah segar), monopolisakarida, karotenoid (Heber,

2007), serta katekin (Sukadana, 2009).

3. Kegunaan

Buah belimbing digunakan untuk mengobati diare, mual, dehidrasi, hemoroid,

demam, dan nyeri hati (Heber, 2007). Efek analgesik ditunjukkan pada sari buah

belimbing pada dosis 5, 10, dan 20 ml/kg BB, efek diuretik dan hipoglikemik pada

dosis 5 dan 10 ml/kg BB (Rianti dkk., 1978). Selain itu, Sari (2008) menyatakan

(31)

4. Morfologi tanaman

Merupakan tanaman berbatang kayu yang dapat tumbuh hingga mencapai

tinggi 5 meter. Bentuk daunnya berubah-ubah dan memiliki panjang 10-12 cm.

bunganya berwarna keunguan, yang tumbuh pada cabang tanaman. Bentuk bunga

radial dan strukturnya bersusun lima. Buahnya merupakan buah berair, panjangnya

mendekati 10 cm, dan tersusun dari lima sisi dan bentuknya menyerupai bintang jika

diiris secara melintang. Jika masak akan berwarna kuning tua (Heber, 2007).

B. Flavonoid

O

OH OH

HO

OH OH

Gambar 1. Struktur katekin

(Strobel, Allard, Perez-Acle, Calderon, Aldunate, dan Leighton, 2005) Flavonoid adalah grup komponen polifenol yang terdapat di dalam buah dan

sayuran. Familinya terbagi menjadi monomerik flavanol, flavanon, antosianindin,

flavon, dan flavonol (Watson, 2001). Lebih dari 4000 flavonoid telah teridentifikasi

di dalam berbagai buah, sayuran, dan minuman. Flavonoid menjadi menarik

akhir-akhir ini karena berbagai potensi efeknya yang menguntungkan bagi kesehatan

manusia. Flavonoid telah dilaporkan memiliki aktivitas antiviral, anti alergi,

(32)

Flavonoid dikenal sebagai kelator transisi logam; sebagian besar uji inhibisi

lipid peroksidasi mengukur kombinasi aktivitas pengkelat transisi logam (biasanya

besi) dan penangkapan radikal bebas. Flavonoid memiliki elemen struktur kimia yang

mungkin bertanggung jawab atas aktivitas antioksidan. Penelitian terkini oleh Dr.

Van Acker dan koleganya di Belanda menunjukkan bahwa flavonoid dapat

menggantikan vitamin E sebagai chain-breaking anti-oxidant di dalam membran

mikrosomal liver. Peran flavonoid sebagai antioksidan dalam sistem pertahanan

tubuh bisa didapatkan dengan komsumsi flavonoid 50-800 mg perhari. Kapasitas

flavonoid sebagai antioksidan bergantung pada struktur molekulnya. Posisi dari

gugus hidroksil dan rantai lain dalam stuktur kimia flavonoid penting untuk aktivitas

antioksidan dan penangkapan radikal bebas (Watson, 2001; Buhler and Miranda,

2000).

C. Peradangan 1. Pengertian peradangan

Peradangan merupakan suatu mekanisme respon pertahanan tubuh yang

fundamental, dirancang untuk membebaskan diri dari penyebab awal kerusakan pada

sel (misalnya mikrobia, racun) dan akibatnya (seperti nekrosis sel dan jaringan).

Tanpa peradangan, infeksi akan berlangsung tanpa terdeteksi, kerusakan tidak akan

sembuh, dan kerusakan jaringan mungkin akan bertahan sehingga sangat

(33)

2. Terjadinya radang

Inflamasi akut merupakan respon cepat tubuh dengan mengirim leukosit dan

protein plasma, seperti antibodi, menuju ke daerah infeksi atau kerusakan jaringan.

Inflamasi akut memiliki 3 komponen utama: (1) perubahan dalam kemampuan

vaskuler yang menyebabkan meningkatnya kecepatan alir darah, (2) perubahan

struktural dalam mikrovaskuler yang memungkinkan protein plasma dan leukosit dari

sirkulasi mikro, terakumulasi di daerah yang rusak, dan terkaktivasinya kedua

komponen tersebut berfungsi untuk mengeliminiasi agen penyebab kerusakan

(Kumar dkk., 2010).

Beberapa sel dan mediator-mediator terlibat dalam respon alami (merupakan

variasi sistem pertahanan tubuh) yang interaksinya sangat kompleks. Lebih detailnya

berhubungan dengan kejadian vaskuler dan peran sel serta mediator-mediator dalam

tubuh. Kejadian vaskuler merupakan awal dilatasi pada arteriola kecil yang

mengakibatkan peningkatan aliran darah, yang diikuti dengan penurunan kemudian

berhentinya aliran darah dan peningkatan permeabilitas vena pos kapiler, dengan

eksudasi cairan. Vasodilatasi disebabkan oleh adanya beberapa mediator (histamin,

prostaglandin (PG) E2 dan I2, dan sebagainya) yang dilepaskan karena adanya

interaksi antara jaringan dan mikroorganisme. Beberapa pelepasan dari mediator

tersebut (seperti histamin, platelet-activating factor (PAF) dan sitokin oleh interaksi

(TRL-PAMP) juga bertanggung jawab atas fase alami peningkatan permeabilitas

(34)

produksi beberapa mediator inflamasi, pada umumnya bradikinin, yang berhubungan

dengan kejadian seluler. Sel yang terkait dengan inflamasi, beberapa (sel endotelial

vaskuler, sel mast, dan makrofag jaringan) normalnya berada di jaringan ketika

platelet dan leukosit meningkatkan akses ke area inflamasi (Rang dkk., 2007).

Gambar 2. Diagram ringkas dari pembentukkan mediator inflamasi yang berasal dari fosfolipid dengan garis besar aksinya dan tempat aksi obat

antiinflamasi (Rang dkk., 2007).

Eicosanoid merupakan senyawa de novo dari fosfolipid. Eicosanoid yang

utama adalah asam arakidonat, yang terbentuk dari proses esterifikasi fosfolipid.

Eicosanoid berperan dalam pengontrolan berbagai proses fisiologis dan sebagian

(35)

Langkah awal dan batas kecepatan sintesis eicosanoid bergantung pada pembebasan

asam arakidonat, baik dengan satu tahap (dengan bantuan fosfolipase A2) maupun

dua tahap (dengan bantuan IP, inositol, fosfat, DAG, diasilgliserol). Tetapi,

fosfolipase A2 (PLA2) memiliki pengaruh yang besar dalam pembentukan asam

arakidonat intraseluler (gambar 2). Berbagai stimulan dapat membebaskan asam

arakidonat, tergantung pada tipe sel. Kerusakan sel umumnya juga memicu proses

pembebasan asam arakidonat.

Asam arakidonat dimetabolisme melalui beberapa cara (gambar 2), yaitu:

1. oleh enzim siklooksigenase (COX) yang terdiri dari dari dua bentuk, COX-1dan

COX-2. Enzim ini mengawali biosintesis prostaglandin dan tromboksan.

2. oleh lipoksigenase yang mengawali sintesis leukotrien, lipoksin dan komponen

lain (Rang dkk., 2007).

Radikal bebas oksigen akan terlepas secara ekstraseluler dari leukosit setelah

adanya pemaparan mikrobia, kemotaksin, dan kompleks imun, atau mengikuti

tantangan fagositik. Produksi radikal bebas oksigen bergantung pada aktivasi sistem

oksidasi NADPH. Anion superoksida, hidrogen peroksida (H2O2), dan radikal

hidroksil, merupakan spesies utama yang diproduksi oleh sel, dan anion superoksida

dapat berinteraksi dengan NO untuk membentuk spesies nitrogen reaktif (Kumar

dkk., 2010).

Seperti yang telah diketahui bahwa aktivasi fagosit melepaskan berbagai

(36)

penelitian oleh Babior pada tahun 1987, menunjukkan bahwa neutrofil yang

teraktivasi juga memproduksi radikal oksigen superoksida (O. ).Superoksida dapat

menghasilkan hidrogen peroksida dengan serangkaian reaksi (1):

2O. + 2H+→H2O2+ O2 (1)

Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwaO. dan H2O2juga dihasilkan pada

aktivasi sel fagosit lain, meliputi monosit, makrofag, dan eusinofil. H2O2 dapat

dengan mudah terpenetrasi ke membran sel, sedangkan O. tidak bisa. Kemudian

dengan adanya keberadaan ion dari transisi logam yang sesuai (biasanya besi), H2O2

dapat berinteraksi dengan reduksi ion besi sehingga membentuk spesies oksidasi

tinggi, yang paling penting adalah radikal hidroksil (.OH) yang menuju peroksidasi

lipid.

Fe2++ H2O2→ kompleks intermediet → Fe3++.OH + OH- (2)

Reaksi (2) dapat terjadi secara ekstraseluler jika medium di sekitar fagosit

yang teraktivasi mengandung ion besi. Derivat fagosit O. dimungkinkan berperan

dalam mengatur ion besi ke dalam bentuk reduksi:

Fe3++O. → kompleks intermediet → Fe2++ O2 (3)

Ion besi dihasilkan dari pendesakan hem pada hemoglobin oleh H2O2

kemudian O. akan mereduksi ferritin menjadi besi. Karena itulah pendarahan di

daerah inflamasi akan meningkatkan produksi radikal bebas dan memperparah

(37)

terpenetrasi ke dalam sel dan bereaksi dengan ion besi untuk membentuk .OH

(Halliwell, Hoult, and Blake, 1988).

3. Tanda-tanda peradangan

Peradangan akut adalah respon langsung dari tubuh terhadap cidera atau

kematian sel. Tanda-tanda pokok peradangan menurut Price dan Wilson (1995),

mencakup rubor (kemerahan), kalor (panas), tumor (pembengkakan), dolor (nyeri),

danfungsio laesa(perubahan fungsi).

a. Rubor

Rubor atau kemerahan, biasanya merupakan hal pertama yang terlihat di

daerah yang mengalami peradangan. Pada waktu reaksi peradangan mulai timbul,

maka arteriol yang mensuplai darah pada daerah tersebut melebar, dengan

demikian lebih banyak darah mengalir ke dalam mikrosirkulasi lokal.

Kapiler-kapiler yang sebelumnya kosong atau terisi sebagian saja, meregang dengan cepat

sehingga menjadi terisi penuh dengan darah. Keadaan tersebut dinamakan

hyperimia atau kongesti, menyebabkan warna merah lokal karena peradangan

akut. Timbulnya hyperemia pada permulaan reaksi peradangan diatur oleh tubuh

baik secara neurogenik maupun secara kimia, melalui pengeluaran zat seperti

histamin.

b. Kalor

Kalor atau panas, terjadi bersamaan dengan kemerahan dari reaksi

(38)

hanya terjadi pada permukaan tubuh, yang dalam keadaan normal lebih dingin

dari 37oC, yaitu suhu di dalam tubuh. Daerah peradangan pada kulit menjadi lebih

panas dari sekelilingnya, sebab darah (pada suhu 37oC) yang disalurkan tubuh ke

permukaan daerah yang mengalami peradangan, lebih banyak daripada yang

disalurkan ke daerah normal. Fenomena panas lokal ini tidak terlihat pada

daerah-daerah perdangan yang terjadi pada organ dalam, karena jaringan-jaringan

tersebut sudah mempunyai suhu 37oC, dan hyperemia lokal tidak menimbulkan

perubahan.

c. Tumor

Segi paling mencolok dari peradangan akut mungkin adalah

pembengkakan lokal. Pembengkakan ditimbulkan oleh adanya migrasi cairan dan

sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan-jaringan interstial. Campuran dari cairan

dan sel yang tertimbun di daerah peradangan disebut eksudat. Pada awal

peradangan, sebagian besar isi dari eksudat adalah cairan plasma, tetapi kemudian

sel-sel darah putih akan meninggalkan aliran darah kemudian tertimbun sebagai

bagian dari eksudat.

d. Dolor

Doloratau rasa sakit dari reaksi peradangan disebabkan oleh beberapa hal.

Perubahan pH lokal atau konsentrasi lokal ion-ion tertentu dapat merangsang

ujung-ujung nosiseptor. Hal yang sama, yaitu pengeluaran zat kimia tertentu

(39)

Selain itu, pembengkakan jaringan yang meradang mengakibatkan peningkatan

tekanan lokal yang tanpa diragukan lagi dapat menimbulkan rasa sakit.

e. Fungsio laesa

Fungsio laesa adalah salah satu reaksi peradangan yang terlihat mudah

untuk dimengerti, mengapa bagian yang bengkak terasa nyeri dan berfungsi

secara abnormal. Namun, sebetulnya tidak diketahui secara mendalam bagaimana

mekanisme terganggunya fungsi jaringan oleh adanya peradangan (Price dan

Wilson, 1995).

D. Nyeri 1. Pengertian nyeri

Nyeri merupakan pengalaman subyektif, yang sulit untuk dideskripsikan

secara pasti, meskipun kita semua tahu apa yang dimaksud dengan nyeri. Secara

khusus, nyeri merujuk pada sebuah respon yang ditujukan pada kejadian yang

berhubungan dengan kerusakan jaringan, seperti luka, inflamasi atau kanker, tetapi

nyeri yang hebat dapat muncul tersendiri oleh sebab yang tidak pasti (misal: neuralgia

trigeminal), atau tetap bertahan lama setelah sembuhnya luka. Nyeri juga dapat

muncul sebagai akibat dari adanya kerusakan otak atau saraf (misal: pasca stroke atau

infeksi herpes) (Rang dkk., 2007).

Macam-macam kondisi nyeri belakangan ini, tidak secara langsung

(40)

kecacatan dan stress; secara umum hal itu memiliki respon yang kurang baik terhadap

obat analgesik konvensional dibanding dengan menghilangkan penyebab langsung.

Pada kasus ini, kita perlu memikirkan itilah nyeri dalam konteks kelainan fungsi

saraf, dibandingkan pada schizophrenia atau epilepsi, lebih dari sekedar respon

normal terhadap luka pada jaringan. Namun demikian, diperlukan pembedaan dua

komponen, salah satu atau keduanya yang terlibat dalam keadaan nyeri patologis: (i)

saraf aferen nosiseptot perifer, yang teraktivasi oleh rangsang noksius; (ii)

mekanisme sentral oleh adanya input aferen yang menghasilkan sensasi nyeri (Rang

dkk., 2007).

2. Terjadinya nyeri

Menurut Raja dkk., 1999; Cesare & McNaughton, 1997; Julius & Basbaum,

2001 (cit., Rang dkk., 2007), pada kondisi normal, nyeri dihubungkan pada aktivitas

elektrik dalam diameter kecil pada serat utama aferen saraf perifer. Saraf ini memiliki

sensor ujung di jaringan perifer dan dapat teraktivasi oleh berbagai macam rangsang

(mekanik, termal, kimia).

Nyeri timbul jika rangsang mekanik, termal, kimia atau listrik melampaui

suatu nilai ambang tertentu (nilai ambang nyeri) dan karena itu menyebabkan

kerusakan jaringan dengan pembebasan zat nyeri (mediator nyeri). Yang termasuk

‘zat nyeri’ yang potensinya kecil adalah ion hidrogen. Pada penurunan nilai pH di

bawah 6 selalu terjadi nyeri yang meningkat pada kenaikan konsentrasi ion H+ lebih

(41)

kerusakan jaringan. Histamin pada konsentrasi relatif tinggi (10-8g/L) terbukti sebagai

zat nyeri. Asetilkolin pada konsentrasi rendah mensensibilisasi reseptor nyeri

terhadap zat nyeri lain, sehingga senyawa ini bersama-sama dengan senyawa yang

dalam konsentrasi yang sesuai secara sendiri tidak berkhasiat, dapat menimbulkan

nyeri. Pada konsentrasi tinggi, asetilkolin bekerja sebagai zat nyeri yang berdiri

sendiri. Serotonin merupakan senyawa yang menimbulkan nyeri yang paling efektif

dari kelompok transmitter. Sebagai kelompok senyawa penting lain dalam hubungan

ini adalah kinin, khususnya bradikinin, yang termasuk senyawa penyebab nyeri

terkuat. Prostaglandin, yang dibentuk lebih banyak dalam peristiwa nyeri,

mensensibilisasi reseptor nyeri dan di samping itu menjadi penentu dalam nyeri yang

lama (Mutschler, 1986). Selain prostaglandin, ada juga substantsi P yang bekerja

meningkatkan sensitivitas ujung-ujung serabut saraf nyeri tetapi tidak secara langung

merangsangnya (Guyton, 1986). Pembentukan prostaglandin dapat dilihat pada

gambar 2.

Reseptor rasa nyeri yang terdapat di kulit dan jaringan lain semuanya

merupakan ujung saraf bebas. Reseptor ini tersebar luas pada permukaan superfisial

kulit dan juga di jaringan dalam tertentu, misalnya poriosteum, dinding arteri,

permukaan sendi, dan falks serta tentorium tempurung kepala. Rasa nyeri dapat

dirasakan melalui berbagai jenis rangsangan (Guyton, 1986).

Penghantaran nyeri dimulai dari adanya potensial aksi (impuls nosiseptif)

(42)

dorsal sumsum tulang belakang. Pada tempat kontak awal ini bertemu tidak hanya

serabut aferen, yang impulsnya tumpang tindih, tetapi di sini juga terjadi refleks

somatik dan vegetatif awal (misalnya menarik tangan pada waktu tangan tersentuh

benda panas, terbentuknya eritema lokal) melalui interneuron. Disamping itu pada

tempat ini juga terjadi pengaruh terhadap serabut aferen melaui sistem penghambatan

nyeri menurun. Di bawah ini merupakan bagan proses terjadinya nyeri (gambar 3):

Rasa nyeri Lokalisasi nyeri

Reaksi

Impuls penghantaran nyeri yang meningkat Reaksi nyeri

Inhibisi nyeri endogen

Gambar 3.Terjadinya nyeri; penghantaran impuls; lokalisasi dan rasa nyeri serta inhibisi nyeri endogen dalam bagan sederhana

(43)

3. Jenis nyeri a. Nyeri somatik

Nyeri somatik dibagi menjadi nyeri permukaan dan nyeri dalam:

1) Nyeri permukaan

Disebut nyeri permukaan apabila rangsang bertempat dalam kulit.

Mempunyai karakter ringan, dapat dilokalisasi dengan baik dan hilang

cepat setelah berakhirnya rangsang.

2) Nyeri dalam

Disebut nyeri dalam apabila rasa nyeri berasal dari kulit, otot,

persendian, tulang atau dari jaringan ikat. Nyeri dalam juga dirasakan

sebagai tekanan, sukar dilokalisasi dan kebanyakan menyebar ke

sekitarnya. Nyeri dalam seringkali diikuti oleh reaksi vegetatif seperti

tidak bergairah, mual, berkeringat, dan penurunan tekanan darah.

b. Nyeri viseral (dalaman)

Nyeri ini disebut juga nyeri perut karena sifat menekannya dan reaksi

vegetatif yang menyertainya. Nyeri ini terjadi antara lain pada tegangan organ

perut, kejang otot polos, aliran darah kurang dan penyakit yang disertai

(44)

E. Antiinflamasi

Obat-obat AINS merupakan obat modern yang paling luas penggunaannya.

Obat AINS meliputi berbagai kelas terapi yang berbeda. Sebagian besar obat-obat

tersebut memiliki tiga efek, yaitu:

1. efek antiinflamasi: memodifikasi reaksi inflamasi

2. efek analgesik: mengurangi nyeri berat jangka pendek

3. efek antipiretik: menurunkan kenaikan temperatur

Secara umum, berbagai efek tersebut berhubungan dengan aksi primer dari obat,

yaitu menghambat siklooksigenase arakidonat sehingga produksi prostaglandin dan

tromboksan juga terhambat. Meskipun demikian masing-masing obat memiliki

mekanisme aksi yang berbeda-beda (Rang dkk., 2007).

Aksi utama dari AINS adalah menghambat metabolisme asam arakidonat oleh

COX, seperti yang dikemukanan oleh Vine pada 1971. Baik inhibitorCOX-1maupun

COX-2 hanya menghambat reaksi utama siklooksigenase. Penghambatan COX-1

bersifat instan dan reversibel, sedangkan penghambatanCOX-2 time dependent, efek

meningkat seiring dengan bertambahnya waktu. AINS juga memiliki aksi lain selain

penghambatan COX, yaitu menghambat radikal oksigen reaktif, yang dimungkinkan

berperan dalam aktivitasnya sebagai antiinflamasi. Radikal oksigen reaktif yang

diproduksi oleh neutrofil dan makrofag, pada beberapa kondisi mengakibatkan

kerusakan jaringan, dan AINS yang mempunyai aktivitas penghambatan radikal

(45)

penghambatan COX (misalnya sulindac), dalam mengurangi kerusakan jaringan

(Rang dkk., 2007).

Obat antiinflamasi dapat mempengaruhi kerusakan oksidan dengan berbagai

cara, yaitu: (1) menghambat langsung oksidan reaktif seperti radikal hidroksil (.OH)

dan asam hipoklorid (HOCl), (2) menghambat produksi oksidan (O.) oleh neutrofil,

monosit, dan makrofag sehingga mengurangi pembentukan H2O2yang mengakibatka

.

OH ikut terhambat (Halliwell dkk., 1988).

Obat AINS juga efektif melawan nyeri yang berhubungan dengan inflamasi

atau kerusakan jaringan karena dapat mengurangi produksi prostaglandin yang

berfungsi mensensitisasi nosiseptor inflamasi seperti bradikinin (Rang dkk., 2007).

F. Diklofenak

CH2CO2H Cl

Cl

Gambar 4. Struktur diklofenak (Dollery, 1999)

Diklofenak merupakan derivat asam fenilasetat yang menyerupai flurbiprofen

dan meclofenamate. Obat ini (gambar 4) adalah penghambat siklooksigenase yang

relatif nonselektif dan kuat, juga mengurangi bioavailabitas asam arakidonat. Obat ini

memiliki sifat-sifat antiiflamasi, analgesik, dan antipiretik yang biasa. Obat-obat itu

(46)

antara 30-70% karena metabolisme lintas pertama. Obat ini memiliki waktu-paruh

1-2 jam. Seperti flurbiprofen, ia menumpuk di dalam cairan sinovial, dengan

waktu-paruh 2-6 jam dalam kompartemen ini. Metabolisme berlangsung dengan CYP3A4

dan CYP2C9 menjadi metabolit tidak aktif. Klirens empedu bisa mencapai 30% dari

klirens total (Shearn, 2002).

Diklofenak merupakan obat AINS yang poten. Diklofenak menghambat

aktivitas siklooksigenase sehingga produksi prostaglandin di jaringan berkurang.

Diklofenak digunakan secara luas untuk pengobatan rheumatoid arthritis dan

ostheoarthritis. Pada mencit, kadar diklofenak tertinggi ditemukan pada hati,

empedu, dan ginjal (Dollery, 1999).

G. Analgetika

Analgetika adalah senyawa yang dalam dosis terapeutik meringankan atau

menekan rasa nyeri, tanpa memiliki kerja anestesi umum. Berdasarkan potensi kerja,

mekanisme kerja dan efek samping, analgetika dibedakan dalam dua kelompok,

yaitu: analgetika yang berkhasiat kuat, bekerja pada pusat (hipoanalgetika,

‘Kelompok Opiat’) dan analgetika yang berkhasiat lemah (sampai sedang), bekerja

terutama pada perifer dengan sifat antipiretika dan kebanyakan juga mempunyai sifat

antiinflamasi dan antireumatik. Berikut ini merupakan kemungkinan-kemungkinan

(47)

1. mencegah sensibilasi reseptor nyeri dengan cara penghambatan sintesis

prostagladin dengan analgetika yang bekerja di perifer,

2. mencegah pembentukan rangsang dalam reseptor nyeri dengan memakai

anestetika permukaan atau anestetika infiltrasi,

3. menghambat penerusan rangsang dalam serabut sensorik dengan anestetika

konduksi,

4. meringankan nyeri atau meniadakan nyeri melalui kerja dalam sistem saraf pusat

dengan analgetika yang bekerja pada pusat atau obat narkosis,

5. mempengaruhi pengalaman nyeri dengan psikofarmaka (trankuilansia,

neuroleptika, antidepresiva) (Mutschler, 1986).

Psikofarmaka Anestetika,

Analgetika yang bekerja sentral

Saraf Anestetika konduksi

Reseptor nyeri Anestetika permukaan

Analgesik yang bekerja perifer Gambar 5. Bagan kemungkinan pengaruh macam-macam obat terhadap nyeri

(menurut Keldel) (Mutschler, 1986).

Otak

(48)

H. Parasetamol

NHCOCH3

HO

Gambar 6. Struktur parasetamol (Anonim, 1995)

Parasetamol memiliki pemerian berupa serbuk hablur berwarna putih, tidak

berbau dan berasa sedikit pahit. Parasetamol larut dalam air mendidih, dalam natrium

hidroksida 1 N, dan mudah larut dalam etanol (Anonim, 1995).

Asetaminofen atau parasetamol adalah metabolit aktif dari fenasetin yang

bertanggung jawab akan efek analgesiknya. Parasetamol diberikan secara oral dan

penyerapannya dipengaruhi oleh tingkat pengosongan perut (Shearn, 2002).

Parasetamol tidak memiliki efek antiinflamasi yang signifikan, tetapi

digunakan secara luas sebagai analgesik ringan untuk nyeri yang tidak disertai

peradangan. Parasetamol diabsorbsi dengan baik secara peroral dan tidak

menyebabkan iritasi lambung (Neal, 1997).

Mekanisme kerja parasetamol sebagai analgseik yaitu menghambat sintesis

prostaglandin. Keunggulan parasetamol yaitu memiliki selektivitas jaringan yang

lebih tinggi dibanding aspirin dan AINS, namun penyebabnya belum diketahui

(49)

I. Metode Pengujian Daya Antiinflamasi

Efek antiinflamasi dapat diukur dengan menggunakan carain vitromaupunin

vivo. Secara umum, metode pengujian obat antiinflamasi terbagi menurut lama

terjadinya edema yaitu inflamasi akut, subakut, dan kronik. Beberapa metode yang

dapat digunakan untuk mengukur daya antiinflamasi adalah sebagai berikut:

1. Metodein vitro

Metode ini digunakan untuk mengetahui peran dan pengaruh

substansi-substansi fisiologis yang terlibat dalam proses inflamasi. Substansi-substansi-substansi

tersebut antara lain: histamin, serotonin, bradikinin, substansi P, dan lain-lain.

Beberapa contoh percobaan in vitro adalah: pengikatan reseptor 3H-Bradikinin,

substansi P dan golongan takikinin, karakterisasi agonis dan antagonis

neurokinin, pengukuran kemotaksis leukosit polimorfonuklear (Vogel, 2002).

2. Metodein vivo

a. Uji permeabilitas vaskuler

Uji ini digunakan untuk mengevaluasi aktivitas penghambatan obat

melawan peningkatan permeabilitas vaskuler yang diinduksi oleh subtansi

flogistik. Mediator-mediator inflamasi dilepaskan setelah sel mast

terstimulasi. Kejadian tersebut memicu dilatasi arteriola dan vena serta

peningkatan permeabilitas vaskuler, sehingga terjadi edema. Obat yang dapat

menstabilkan membran dapat mengurangi permeabilitas kapiler. Permeabilitas

(50)

intrakutan. Kenaikan permeabilitas dapat diamati dengan menginjeksikan

pewarnaEvan’s bluepada kulit yang diinduksi (Vogel, 2002).

b. Uji granuloma

Hewan uji yang berupa tikus putih betina galur Wistar diinjeksi

dengan 10-25 mL udara secara subkutan pada bagian punggungnya, kemudian

0,50 mL minyak Croton dan karagenin sebagai iritan ditambahkan untuk

mencegah udara keluar. Obat yang akan diuji mulai diberikan setiap hari

secara peroral setelah pembentukan kantong edema. Pada hari kedua setelah

pembentukan kantung edema, udara dikeluarkan. Untuk uji aktivitas lokal,

obat yang diuji diinjeksikan pada kantong udara pada saat bersamaan dengan

iritan. Pada hari keempat, kantung dibuka dan cairan eksudat disedot,

selanjutnya diukur volume cairannya. Uji ini lebih responsif untuk uji obat

antiinflamasi steroid daripada nonsteroid (Vogel, 2002). Persen inhibisi

granuloma dihitung dengan membandingkan volume cairan eksudat kelompok

perlakuan dengan kelompok kontrol (Khanna dan Sharma, 2001).

c. Edema pada kaki

Prinsip utama dalam metode edema pada kaki ini berdasarkan pada

kemampuan senyawa uji dalam menghambat peradangan pada kaki hewan uji

yang telah diinjeksi dengan agen flogistik. Tikus jantan dengan berat badan

antara 100-150 g dipuasakan semalam, dan untuk menghindari dehidrasi,

(51)

tikus diinjeksi dengan 0,05 ml larutan karagenin 1% secara subkutan pada

telapak kaki kirinya. Besar edema diukur sesaat setelah injeksi, dan pada jam

ke 3, 6 dan 24 jam setelah injeksi.

d. Uji eritema UV

Hewan uji marmot, 16 jam sebelum perlakuan dicukur pada bagian

punggungnya, kemudian diolesi barium sulfida. Dua puluh menit kemudian

dibersihkan dengan air hangat. Pada hari berikutnya, zat uji mulai diberikan

secara peroral (10 mL/kg), 30 menit sebelum pemaparan UV. Setelah

dilakukan pemaparan UV selama 30 menit, dilakukan pengamatan terjadinya

eritema. Kelemahan metode ini adalah subyektivitas dalam menghitung

jumlah eritema, administrasi zat uji kortikosteroid secara sistemik kurang

efektif dibandingkan secara topikal, dan uji ini tidak dapat digunakan untuk

mengukur durasi efek antiinflamasi (Vogel, 2002).

J. Metode Pengujian Daya Analgetika

Metode-metode pengujian aktivitas analgetika dilakukan dengan menilai

kemampuan zat uji untuk menekan atau menghilangkan rasa nyeri yang diinduksi

pada hewan percobaan (mencit, tikus, marmot), yang meliputi induksi secara

mekanik, termik, elektrik dan secara kimia. Pada umumnya daya kerja analgetika

(52)

harus diberikan sampai ada respon nyeri atau jangka waktu ketahanan hewan

terhadap stimulus nyeri atau juga peranan frekuensi respon nyeri (Anonim, 1991).

Pengujian daya analgesik dapat menggunakan berbagi metode. Metode

pengujian daya analgesik berdasarkan pada jenis analgesik yang terbagi menjadi dua

golongan, yaitu golongan analgesik narkotika dan analgesik non narkotika. Pengujian

daya analgesik menurut Turner (1965) tersebut, yaitu:

1. Golongan analgesik narkotika

a. metode jepit ekor

Sekelompok tikus diinjeksi dengan senyawa uji pada dosis tertentu

secara subkutan atau intravena. Tiga puluh menit kemudian, jepit dipasang

pada pangkal ekor mencit yang dilapisi karet tipis selama 30 detik. Tikus yang

tidak diberi analgesik akan berusaha terus untuk melepaskan diri dari

kekangan tersebut dengan cara menggigit jepitan, tetapi tikus yang diberi

analgesik akan mengabaikan kekangan tersebut (karena rasa sakit tidak begitu

dirasakannya). Respon positif adanya daya analgesik dapat dicatat jika tidak

ada usaha dari tikus untuk melepaskan diri dari jepitan (selama 15 detik).

Metode ini lebih baik daripada uji dengan menggunakan lempeng panas,

karena rangsang yang diberikan tidak bersifat merusak (pada lempeng panas,

(53)

b. metode rangsang panas

Sebagian besar uji respon dari rangsang panas dilakukan dengan

penempatan hewan uji di atas permukaan panas atau pencelupan ekor hewan

uji ke dalam air panas. Metode lempeng panas menggunakan hewan uji

mencit yang sudah diberi larutan uji secara subkutan atau peroral, yang

dijatuhkan perlahan-lahan ke atas lempeng panas yang terdiri dari silinder

penahan. Kisaran suhu lempeng panas berkisar antara 50oC sampai 55oC,

dilengkapi dengan penangas tembaga yang berisi campuran yang sebanding

dengan campuran aseton dan etil format yang mendidih.

Waktu reaksi diambil sebagai perpanjangan jarak waktu dari saat

mencit menyentuh lempeng panas sampai ketika mencit menjilati kaki

belakangnya atau melompat-lompat keluar dari silinder. Semua tanda

kegelisahan lain seperti menendang-nendang atau berputar-putar selanjutnya

diabaikan. Metode ini hanya berguna untuk mendeteksi analgesik golongan

narkotika dan tidak sesuai untuk menguji analgesik golongan non-narkotik.

c. metode pengukuran tekanan

Alat yang digunakan dalam metode ini adalah sebuah alat untuk

mengukur tekanan yang diberikan pada tikus secara seragam. Alat tersebut

terdiri dari duasyringeyang dihubungkan antar ujung-ujungnya yang rata-rata

bersifat elastis, fleksibel, dan terdapat pipa plastik yang diisi dengan sebuah

(54)

diletakkan pada posisi vertikal dengan ujung menghadap ke atas. Ekor tikus

diletakkan di bawah penghisap syringe. Ketika tekanan diberikan pada

penghisap dari syringe yang kedua, tekanan ini akan berhubungan dengan

sistem hidrolik pada syringeyang pertama lalu dengan ekor tkus. Penurunan

tekanan yang sama pada syringe yang kedua selanjutnya akan meningkatkan

tekanan pada ekor tikus. Manometer dibaca ketika tikus memberikan respon

yaitu respon tikus yang pertama yaitu meronta-ronta kemudian akan

mengeluarkan suara (mencicit) tanda kesakitan.

d. metode potensi petidin

Metode ini tidak selalu sesuai untuk uji penapisan analgesik karena

membutuhkan jumlah hewan uji yang relatif banyak, akan tetapi metode ini

dapat digunakan untuk memperluas hasil dari uji penapisan. Semua substansi

yang diperkirakan memiliki aktivitas analgesik maupun sedatif dapat diuji

dengan metode ini. Tiap kelompok mencit yang terdiri dari 20 ekor mencit,

setengah kelompok dibagi menjadi 3 bagian dan diberikan petidin dengan

dosis 2, 4, dan 8 mg/kg BB. Setengah yang lain diberi petidin dengan senyawa

uji dengan dosis 25% dari LD50. Persen analgesik dihitung dengan bantuan

metode rangsang panas.

e. metode antagonis nalorfin

Uji analgesik dengan metode ini dibuat untuk menunjukan aksi dari

(55)

sebagian besar aksi morfin. Hewan uji yang biasa digunakan dalam metode ini

adalah mencit, tikus, dan anjing. Hewan uji diberi obat dengan dosis toksik

(pirinitramida) kemudian segera diikuti dengan pemberian morfin (5-10

mg/kg BB) secara intravena. Efek toksik dapat dilawan dalam waktu satu

menit dengan pemberian injeksi nalorfin 1,25 mg/kg BB secara intravena.

Berdasarkan teori, nalorfin dapat menggeser ikatan morfin dengan

reseptornya sehingga akan meniadakan efek dari morfin. Nalorfin pada dosis

5 mg/kg mampu membalikkan 10 mg/kg morfin. Pada kenyataannya, seluruh

obat yang berpotensi sebagai analgesik narkotik dapat dilawan dengan

nalorfin.

f. metode kejang oksitosin

Oksitosin merupakan hormon yang dihasilkan oleh kelenjar pituitari

posterior yang dapat menyebabkan kontraksi uterin, sehingga menimbulkan

kejang pada tikus. Respon kejang meliputi kontraksi abdominal, peregangan

tubuh dan tungkai serta lengan bagian belakang, dan puntiran badan pada

pinggang dengan putaran kaki belakang ke arah dalam. Respon ini dapat

dicegah dengan terlebih dahulu diberikan morfin dan senyawa uji, sehingga

ED 50 lebih kecil daripada yang dihasilkan dari prosedur yang menggunakan

panas pancaran. Selain, morfin senyawa analgesik yang bisa diuji dengan

metode ini adalah heroin, metadon, kodein, dan meperidina. Uji ini kemudian

(56)

g. metode pencelupan pada air panas

Pada metode ini tikus disuntik secara intraperitoneal dengan senyawa

uji, kemudian ekor tikus dicelupkan ke dalam air panas (suhu 58oC). Respon

tikus terlihat dari hentakan ekornya yang menghindari air panas. Munculnya

reaksi yang khas yaitu sentakan ekor yang keras, dicatat waktunya. Uji ini

diulang kembali setiap 30 menit setelah menit ke 15 penyuntikan. Jika mencit

tetap tidak beraksi dalam waktu 6 detik, mencit diangkat dari penangas.

2. Golongan analgesik non narkotika

a. metode geliat

Dalam variasi lain metode geliat menurut Witkin dkk., 1961 (cit.,

Turner, 1965), mencit jantan dengan berat badan 18-22 g, diberi rangsang

secara intraperitoneal dengan injeksi 300 mg/kg larutan asam asetat 3%.

Senyawa yang diuji diberikan secara peroral kepada 6 mencit, 15 menit

sebelum pemberian asam asetat. Setiap hewan uji kemudian ditempatkan pada

kotak kaca dan diamati jumlah geliat yang terjadi selama waktu pengamatan

20 menit. Kelompok kontrol diberi larutan salin. Untuk hasil yang akurat, 5

hewan uji dalam satu kelompok digunakan untuk tiap titik dalam kurva

peringkat dosis vs respon. Dua puluh lima menit setelah pemberian asam

(57)

Daya analgesik dihitung dengan persamaan menurut Handershot dan

Forsaith (1959) sebagai berikut:

% daya analgesik= 100-(P/K x 100%)

Keterangan:

P: jumlah geliat mencit pada kelompok perlakuan K: rata-rata jumlah geliat mencit pada kelompok kontrol

b. meotode rektodolorimetri

Pada metode ini tikus diletakkan dalam sebuah kandang yang dibuat

khusus dengan alas tembaga yang dihubungkan dengan sebuah penginduksi

yang berupa gulungan. Ujung lain dari gulungan tersebut kemudian

dihubungkan dengan silinder elektroda tembaga. Ujung yang lainnya lagi

dihubungkan pada ekor hewan uji. Sebuah amperemeter yang peka terhadap

adanya perubahan tengangan sebesar 0,1 volt selanjutnya dihubungkan

dengan konduktor yang berada di gulungan bagian atas. Tegangan yang sering

digunakan untuk menimbulkan terikan tikus adalah 1-2 volt.

c. metode podolorimeter

Metode ini menggunanakan aliran listrik untuk mengukur besarnya

daya analgesik. Alas kandang mencit yang terbuat dari kepingan metal yang

dapat mengalirkan listrik. Seekor mencit diletakkan pada kandang tersebut

yang kemudian dialiri listrik. Respon yang terjadi ditandai dengan teriakan

(58)

K. Landasan Teori

Neutrofil dan makrofag jika terlepas dari endotelium, maka akan segera

bermigrasi ke daerah kemotaksin. Di sana neutrofil dan makrofag akan memproduksi

eicosanoid, enzim proteolitik, radikal oksigen superoksida dan H2O2. H2O2 lebih

lanjut dapat berinteraksi dengan ion besi (Fe2+), menghasilkan radikal hidroksil (.OH)

yang reaktif sekali menuju peroksidasi lipid (Halliwell dkk., 1988). .OH dapat

menyerang asam arakidonat sehingga terbentuk senyawa baru yang kemudian dapat

diserang oleh O. , sehingga terbentuklah prostaglandin yang menyebabkan

peradangan (Fessenden dan Fessenden, 1982). Selain menyebabkan peradangan,

prostaglandin yang terlepas dapat mensensitisasi reseptor nyeri (nosiseptor) sehingga

akan timbul rasa nyeri.

Pendekatan dari penelitian ini adalah adanya kandungan antioksidan dalam

buah belimbing, yaitu katekin (Sukadana, 2009) pada buah belimbing mampu

menangkap radikal O. dan.OH, sehingga kedua radikal tersebut tidak menyerang

asam arakidonat. Dengan begitu maka pembentukkan prostaglandin menjadi

terhambat

Terhambatnya prostagladin membuat peradangan dapat diatasi. Rasa nyeri

yang merupakan manifestasi klinis dari peradangan juga akan berkurang. Hal itulah

yang mendasari dugaan sementara bahwa jus buah belimbing dapat berkhasiat

(59)

Untuk menguji efek antiinflamasi digunakan metode edema pada kaki, karena

metode ini telah digunakan oleh banyak peneliti dan telah terbukti cocok untuk

skrining sebaik untuk evaluasi mendalam (Vogel, 2002). Sedang untuk menguji ada

tidaknya efek analgesik, dalam penelitian ini digunakan metode geliat. Metode ini

digunakan karena sensitif, sederhana, dan repsodusibel untuk skrining analgesik

lemah (Turner, 1965). Selain itu, metode ini dapat mendeteksi baik analgesik sentral

maupun perifer. Metode ini telah digunakan oleh banyak peneliti dan bisa

dierkomendasikan sebagai metode skrining yang sederhana (Vogel, 2002).

L. Hipotesis

Jus buah belimbing (Averrrhoa carambola L.) memiliki efek antiinflamasi

(60)

39 BAB III

METODE PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian uji efek analgesik dan antiinflamasi jus buah belimbing ini

termasuk jenis penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola

searah.

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 1. Variabel utama

Variabel utama dalam penelitian ini yaitu:

a. Variabel bebas

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah dosis jus buah belimbing.

b. Variabel tergantung

Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah besar edema pada kaki

hewan uji dan jumlah geliat yang dihasilkan setelah perlakuan dengan jus

buah belimbing.

2. Variabel Pengacau

a. Variabel pengacau terkendali

Pada penelitian ini terdapat variabel pengacau yang harus

dikendalikan, yaitu: hewan uji mencit putih betina galur Swiss, umur 2-3

bulan, berat badan 20-30 gram, kondisi subyek uji sehat, asal buah belimbing

(61)

seperti yang terurai pada pengumpulan bahan, jalur pemberian jus dilakukan

secara peroral, jalur pemberian rangsang nyeri secara intraperitoneal, jalur

pemberian rangsang inflamasi secara subplantar.

b. Variabel pengacau tidak terkendali

Pada penelitian ini, variabel pengacau yang tidak dapat dikendalikan

adalah keadaan patologis dari mencit, kemampuan tubuh mencit untuk

mengabsorbsi jus buah belimbing, dan kemampuan mencit untuk beradaptasi

dengan peradangan maupun rasa nyeri.

3. Definisi Operasional

a. Jus buah belimbing adalah jus dengan konsentrasi 20% yang diperoleh dengan

cara mencampurkan 50 ml aquadest dan 10 gram buah belimbing segar yang

dipotong melintang dengan ketebalan ± 1 cm kemudian dijus dengan

menggunakan blender merk Philips.

b. Uji daya antiinflamasi adalah uji dengan menggunakan mencit galur Swiss

sebagai hewan uji yang dibuat radang telapak kaki kirinya, sedangkan telapak

kaki kanan hanya ditusuk dengan jarum injeksi. Pengukuran diameter kedua

kaki belakang mencit dilakukan dengan menggunakan jangka sorong (Digital

Caliper Mitutoyo), kemudian dibandingkan dengan perlakuan peroral jus buah

belimbing.

c. Uji daya analgesik adalah uji dengan menggunakan mencit galur Swiss

(62)

diamati jumlah geliat mencit dan dibandingkan dengan perlakuan peroral jus

buah belimbing.

d. Geliat didefinisikan sebagai sebuah perenggangan, tarikan ke satu sisi,

penarikan satu kaki belakang ke arah belakang, peregangan abdomen, dan

penarikan kepala dan kaki secara ekstrim ke arah belakang (opistotonus),

seingga dengan begitu bagian perut mencit menyentuh alas (Turner, 1965)

C. Bahan Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini:

1. Untuk uji efek antiinflamasi

a. Buah belimbing (Averrhoa carambola L.) yang diperoleh dari supermarket

Superindo (Belimbing Bali) yang dibeli pada periode September 2009

-Februari 2010.

b. Larutan kalium diklofenak 3% sebagai kontrol positif

c. Larutan karagenin 1% sebagai zat penginduksi edema

d. Aquadest sebagai kontrol negatif

2. Untuk uji efek analgesik

a. Buah belimbing (Averrhoa carambola L.) yang diperoleh dari supermarket

Superindo (Belimbing Bali)

b. Suspensi parasetamol dalam CMC Na 1% sebagai kontrol positif uji

(63)

d. Larutan CMC Na 1%, sebagai kontrol negatif

D. Alat Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:

1. Neraca analitik (Mettler Toledo)

2. Spuit peroral dan injeksi 1 mL (Terumo)

3. Stopwatch

4. Alat-alat gelas: gelas beker, gelas ukur, pengaduk, pipet tetes

5. Jangka sorong (Digital Caliper) Mitutoyo 0-2 mm grad. 0,01 mm

6. Kotak kaca tempat pengamatan

7. Blender merk Phillips

E. Tata Cara Penelitian 1. Penelitian efek antiinflamasi a. Pengumpulan bahan penelitian

Bahan uji yang berupa buah belimbing yang diperoleh dari

supermarket Superindo (Belimbing Bali), dengan kriteria pemilihan

sebagai berikut: (1) berwarna kuning kecoklatan; (2) berdiameter tengah ±

5,5 cm; (3) memiliki panjang ± 14 cm; dan (4) memiliki berat ± 250 gram.

Bahan kimia yang digunakan, yaitu: Karagenin tipe I (Sigma

(64)

Farmakologi dan Toksikologi, Fakultas Farmasi, Universitas Sanata

Dharma Yogyakarta; NaCl 0,9% (Otsuka) dan tablet Cataflam D50

(Novartis Indonesia) yang mengandung kalium diklofenak 50 mg.

b. Pembuatan larutan kaium diklofenak 0,2%

Larutan diklofenak dibuat dengan cara menimbang dengan

seksama bahan yang setara dengan 200 mg serbuk diklofenak kemudian

dilarutkan dalam sedikit aquadest. Setelah itu, larutan dimasukkan ke

dalam labu ukur 100 mL, ditambah aquadest hingga tanda batas 100 mL,

kemudian digojog.

c. Pembuatan larutan karagenin 1%

Larutan karagenin 1% dibuat dengan cara menimbang dengan

seksama 0,10 gram serbuk karagenin kemudian dilarutkan dalam sedikit

aquadest. Setelah itu, larutan dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL,

ditambah aquadest hingga tanda batas 10 mL, kemudian digojog.

d. Seleksi hewan uji

Hewan uji yang digunakan adalah mencit putih betina galur Swiss,

yang berumur 2-3 bulan, dengan berat badan 20-30 gram. Semua hewan

uji sebelum diberi perlakuan, diadaptasikan terlebih dahulu selama satu

minggu dengan kondisi yang sama, yaitu dipelihara dengan kondisi dan

perlakuan yang sama meliputi kandang, pakan dan minum. Sehari

(65)

jam dengan cara tidak diberi makan, tetapi tetap diberikan minum. Hal

tersebut bertujuan untuk mengurangi variasi akibat adanya asupan

makanan.

e. Penetapan kriteria peradangan

Respon yang diamati pada uji efek antiinflamasi ini berupa besar

peradangan. Kriteria peradangan perlu ditetapkan untuk mendapatkan

keterulangan hasil. Peradangan pada kaki hewan uji diukur menggunakan

jangka sorong (Digital Caliper) Mitutoyo 0-2 mm grad. 0,01 mm; dengan

cara mengukur diameter peradangan pada telapak kaki hewan uji.

f. Penetapan rentang waktu pengukuran edema setelah injeksi subplantar karagenin 1%

Pada penetapan ini digunakan 12 ekor mencit betina, yang terbagi

dalam 4 kelompok. Masing-masing mencit diinjeksi dengan karagenin 1%

dengan dosis 25 mg/kg BB pada kaki belakang sebelah kiri secara

subplantar, sedangkan kaki belakang sebelah kanan hanya ditusuk

menggunakan jarum injeksi sebagai pembanding. Kemudian mencit

dikorbankan pada jam ke 1, 2, 3, dan 4 setelah injeksi karagenin 1%.

Berdasarkan hasil yang diperoleh akan dipilih rentang waktu yang

menghasilkan edema maksimal.

g. Penetapan dosis efektif diklofenak

Dosis kalium diklofenak dipilih berdasarkan penelitian yang

Gambar

Gambar 14. Reaksi penangkapan radikal hidroksil oleh katekin...............................
Gambar 1. Struktur katekin
Gambar 2. Diagram ringkas dari pembentukkan mediator inflamasi yang
gambar 2.Reseptor rasa nyeri yang terdapat di kulit dan jaringan lain semuanya
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pengelolaan air tanah di Jawa Barat mengacu pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air yang telah diimplementasikan dalam Peraturan Daerah Nomor 5

Saat ini bermunculan aplikasi lain yang dapat digunakan untuk melakukan chatting dengan id YM, seperti misalnya: YM dengan teks pada Meebo ( www.meebo.com ), aplikasi Gaim,

Karya Tulis Ilmiah adalah tulisan hasil pokok pikiran, pengembangan dan hasil kajian/penelitian yang disusun oleh perorangan atau kelompok, yang membahas suatu

Tujuan penelitian ini dirancang untuk: (1) mengetahui proses mengembangkan comstruct sebagai software pembelajaran mandiri pada topik struktur komposit; (2) mengetahui

(2) Pengelolaan koleksi perpustakaan SMA Negeri 1 Surakarta meliputi : (a) kegiatan pengadaan koleksi perpustakaan sekolah meliputi : ((1)) perencanaan (planning) pengadaan

[r]

This final project report is written based on the job training that the writer did in SDN 1 Ampel Boyolali, entitled “Effectiveness of using Pictures in teaching

[r]