• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penggolongan obat anti-insomnia

1. Benzodiazepine, contoh : Nitrazepam, Triazolam, Estazolam 2. Non-Benzodiazepine, contoh : Chloral-hydrate, Phenobarbital Sediaan Obat Anti-Insomnia dan Dosis Anjuran

(yang beredar di Indonesia menurut MIMS Vol. 30-2001) No

Nama Generik Nama Dagang Sediaan Dosis Anjuran

1. Nitrazepam MAGADON

(Roche)

Indikasi penggunaan obat anti-insomnia terutama pada kasus transient insomnia dan short term insomnia, sangat berhati-hati pada kasus long term insomnia. Selalu diupayakan mencari penyebab dasar dari gangguan tidur dan pengobatan ditujukan pada penyebab dasar tersebut.

Mekanisme Kerja

Obat golongan benzodiazepine tidak menyebabkan REM suppression and rebound. Pada kasus depresi terjadi pengurangan delta sleep (gelombang delta < 20%), sehingga tidak pulas tidurnya dan mudah terbangun. Pada awal depresi terjadi defisit REM sleep (0-10%, dimana pada orang normal sekitar 20%) yang menyebabkan tidur sering terbangun akibat mimpi buruk (REM sleep bertambah untuk mengatasi defisit), sehingga siklus tidur menjadi tidak teratur (disorganized).

Obat anti-depresi (trisiklik dan tetrasiklik) menekan dan menghilangkan REM sleep dan

meningkatkan delta sleep, sehingga pasien tidur nyaman tidak diganggu mimpi buruk. Bila obat

mendadak dihentikan terjadi REM rebound dimana pasien akan mengalami mimpi-mimpi buruk lagi.

Efek Samping

Obat-obatan ini dapat menimbulkan supresi susunan saraf pusat (SSP) pada saat tidur. Hati-hati pada pasien dengan insufisiensi pernapasan , uremia, dan gangguan fungsi hati, oleh karena keadaan tersebut terjadi penurunan fungsi SSP dan dapat memudahkan timbulnya koma. Pada pasien usia lanjut dapat terjadi oversedation sehingga risiko jatuh dan trauma menjadi besar, yang sering terjadi adalah hip fracture.

Pemilihan Obat

Ditinjau dari sifat gangguan tidur, dikenal dengan :

1. Initial insomnia : sulit masuk ke dalam proses tidur. Obat yang dibutuhkan dalah bersifat sleep inducing anti-insomnia, yaitu golongan benzodiazepine (short acting). Misalnya pada gangguan anxietas.

2. Delayed insomnia : proses tidur terlalu cepat berakhir dan sulit masuk kembali ke proses tidur selanjutnya. Obat yang dibutuhkan adalah bersifat prolong latent phase anti-insomnia, yaitu golongan heterosiklik antidepresan (trisiklik dan tetrasiklik). Misalnya pada gangguan depresi.

3. Broken insomnia : siklus proses tidur yang normal tidak utuh dan terpecah-pecah menjadi beberapa bagian (multiple awakening). Obat yang dibutuhkan adalah bersifat sleep maintaining anti-insomnia, yaitu golongan phenobarbital atau golongan benzodiazepine (long acting).

Misalnya pada gangguan stress psikososial.

Pengaturan Dosis

Pemberian tunggal dosis anjuran 15-30 menit sebelum pergi tidur. Dosis awal dapat dinaikkan sampai mencapai dosis efektif dan dipertahankan sampai 1-2 minggu, kemudian secepatnya tappering off untuk mencegah timbunya rebound dan toleransi obat. Pada usia lanjut dosis harus lebih kecil dan peningkatan dosis lebih perlahan-lahan, untuk menghindari oversedation dan intoksikasi.

Lama Pemberian

Pemakaian obat anti-insomnia sebaiknya sekitar 1-2 minggu saja, tidak lebih dari 2 minggu, agar risiko ketergantungan kecil. Penggunaan lebih dari 2 minggu dapat menimbulkan perubahan sleep EEG yang menetap sekitar 6 bulan lamanya.

Kesulitan pemberhentian obat seringkali oleh karena psychological dependence (habituasi) sebagai akibat rasa nyaman setelah gangguan tidur dapat ditanggulangi.

Perhatian Khusus

Obat anti-insomnia kontraindikasi pada sleep apnoe syndrome, congestive heart failure, dan chronic respiratory disease. Penggunaan benzodiazepine pada wanita hamil mempunyai risiko menimbulkan teratogenic effect (misalnya cleft plate abnormalities) khususnya pada trimester pertama. Benzodiazepine juga diekskresi melalui ASI, berefek pada bayi, yaitu penekanan fungsi SSP (Maslim R., 2001).

Di antara obat anti-insomnia tersebut, benzodiazepin paling sering digunakan dan tetap

merupakan pilihan utama untuk mengatasi insomnia baik primer maupun sekunder. Kloralhidrat dapat pula bermanfaat dan cenderung tidak disalahgunakan. Antihistamin, prekursor protein seperti l-triptofan yang saat ini tersedia dalam bentuk suplemen juga dapat digunakan.

Obat hipnotik hendaklah digunakan dalam waktu terbatas atau untuk mengatasi insomnia jangka pendek. Dosis harus kecil dan durasi pemberian harus singkat. Benzodiazepin dapat

direkomendasikan untuk dua atau tiga hari dan dapat diulang tidak lebih dari tiga kali.

Penggunaan jangka panjang dapat menimbulkan masalah tidur atau dapat menutupi penyakit yang mendasari.

Penggunaan benzodiazepin harus hati-hati pada pasien penyakit paru obstruktif kronik, obesitas, gangguan jantung dengan hipoventilasi. Benzodiazepin dapat mengganggu ventilasi pada apnea tidur. Efek samping berupa penurunan kognitif dan terjatuh akibat gangguan koordinasi motorik

sering ditemukan. Oleh karena itu, penggunaan benzodiazepin pada lansia harus hati-hati dan dosisnya serendah mungkin.

Benzodiazepin dengan waktu paruh pendek (triazolam dan zolpidem) merupakan obat pilihan untuk membantu orang-orang yang sulit masuk tidur. Sebaliknya, obat yang waktu paruhnya panjang (estazolam, temazepam, dan lorazepam) berguna untuk penderita yang mengalami interupsi tidur. Benzodiazepin yang kerjanya lebih panjang dapat memperbaiki anxietas di siang hari dan insomnia di malam hari.

Sebagian obat golongan benzodiazepin dimetabolisme di hepar. Oleh karena itu, pemberian obat-obat yang menghambat oksidasi sitokrom (seperti simetidin, estrogen, INH, eritromisin, dan fluoxetine) dapat menyebabkan sedasi berlebihan di siang hari.

Triazolam tidak menyebabkan gangguan respirasi pada pasien COPD ringan-sedang yang mengalami insomnia. Neuroleptik dapat digunakan untuk insomnia sekunder

terhadap delirium pada lansia. Dosis rendah-sedang benzodiazepin seperti lorazepam digunakan untuk memperkuat efek neuroleptik terhadap tidur.

Antidepresan yang bersifat sedatif seperti trazodone dapat diberikan bersamaan dengan benzodiazepin pada awal malam. Antidepresan kadang-kadang dapat memperburuk gangguan gerakan terkait tidur (RLS).

Mirtazapine merupakan antidepresan baru golongan noradrenergic and specific serotonin antidepressant (NaSSA). Ia dapat memperpendek onset tidur, stadium 1 berkurang, dan meningkatkan dalamnya tidur. Latensi REM, total waktu tidur, kontinuitas tidur, serta efisiensi tidur meningkat pada pemberian mirtazapine. Obat ini efektif untuk penderita depresi dengan insomnia tidur.

Tidak dianjurkan menggunakan imipramin, desipramin, dan monoamin oksidase inhibitor pada lansia karena dapat menstimulasi insomnia. Lithium dapat menganggu kontinuitas tidur akibat efek samping poliuria.

Khloralhidrat dan barbiturat jarang digunakan karena cenderung menekan pernafasan.

Antihistamin dan difenhidramin bermanfaat untuk beberapa pasien tapi penggunaannya harus hati-hati karena dapat menginduksi delirium (Amir N., 2007).

E. Komplikasi

Gangguan tidur atau ketidakmampuan tidur memperngaruhi performa, keamanan, dan kualitas hidup dari seorang individu. Hampir 20% kecelakaan lalu lintas berhubungan dengan pengemudi yang mengantuk atau mabuk minuman beralkhohol.

Penelitian terkini mengemukakan bahwa gangguan memiliki neurobehavioral effect, mulai dari yang paling ringan yakni attensi dan reaksi, dan yang lebih kompleks yakni kesalahan dalam melakukan penilaian terhadap suatu hal, atau membuat keputusan. Orang yang memiliki

gangguan tidur akan memiliki masalah dalam ingatan jangka pendeknya. Dan walaupun individu dengan gangguan tiduk mampu melakukan pekerjaan dengan baik, akan tetapi membutuhkan waktu pengerjaan yang lebih lama (Meadows, 2005).

Meskipun data yang ada sangat terbatas, efek dari gangguan tidur, kehilangan tidur kronis, dan tidur yang kurang akan mempengaruhi perekonomian Amerika secara signifikan. Apabila gangguan tidur tidak diobati dengan baik, maka akan menimbulkan kerugian yang jauh lebih besar daripada biaya yang akan dikeluarkan untuk mengobati gangguan tidur itu sendiri (colten, 2006).

Lebih dari 10 tahun yang lalu, terdapat suatu paradigm yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara gangguan tidur dengan kesehatan. Akan tetapi, penelitian terkini menyatakan bahwa sleep loss (kurang dari 7 jam per malam) memiliki efek pada ssystem kardiovaskuler, endokrin, imun, dan system saraf, yakni :

1. Obesitas pada dewasa maupun anak-anak

Pada suatu studi kohort yang dilakukan selama hampir 13 tahun pada 500 individu dewasa muda, didapatkan hasil bahwa pada usia 27 tahun, individu dengan durasi tidur yang lebih pendek (<6

jam), 7,5 kali lebih berisiko memiliki BMI tinggi. Penelitian tersebut sudah melalui kontroling terhadap faktor riwayat keluarga, tingkat aktivitas fisik, serta faktor demografik. Penelitian tersebut juga mencoba menganalisa, adakah relasi antara insufisiensi tidur terhadap hormone-hormon yang berperan dalam peningkatan nafsu makan. Hasilnya, insufisiensi tidur diketahui dapat menurunkan leptin, yakni hormone yang diproduksi oleh jaringan adipose dan dapat menghambat nafsu makan. Selain itu, insufisiensi tidur meningkatkan pengeluaran ghrelin, peptide yang mampu menstimulus nafsu makan (Taheri, 2004).

Grafik 2.1. Hubungan antara Durasi Tidur dengan BMI (body mass index) 2. Diabetes dan gangguan toleransi glukosa

Pada studi kohort berbasis komunitas yang dilakukan oleh sleep heart health study, dilaporkan bahwa individu yang tidur kurang dari 5 jam semalam memiliki risiko memiliki diabetes 2,5 kali lipat lebih tinggi dibandingkan individu yang tidur 7-8 jam semalam (Gottlieb, 2005). Selain itu, clearance glucose pada orang dengan gangguan tidur, 40% lebih rendah daripada individu tanpa gangguan tidur (Turk, 2005).

Grafik 2.2. Hubungan Durasi Tidur dengan Odds Ratio Diabetes dan Gangguan Toleransi Glukosa

3. Penyakit kardiovaskuler dan hipertensi

Kesulitan tidur atau keluhan tidur lainnya berasosiasi dengan timbulnya serangan jantung (myocardial infarction). Penjelasannya, gangguan tidur akan menimbulkan peningkatan tekanan darah, hiperaktivitas simpatis, dan gangguan toleransi glukosa.

4. Sindroma kecemasan, gangguan mood, dan penggunaan alcohol.

Sleep loss berhubungan dengan adverse effect pada mood dan perilaku. Individu dengan gangguan tidur kronis rentan terhadap distress, sindroma depresif, anxietas, dan penggunaan alcohol (Baldwin and Daugherty, 2004; Strine and Chapman, 2005; Hasler, 2005).

Gangguan tidur mempengaruhi kewaspadaan, kemampuan dalam memperhatikan, dan fungsi-fungsi kognitif lain dari seorang individu, akan tetapi, mengkorelasikan antara gangguan tidur dengan prestasi akademis masih susah untuk dilakukan.

The institute of medicine melaporkan bahwa sekitar 98.000 kematian-yang berhubungan dengan medical eror-terjadi dari tahun-ke tahun di berbagai Rumah Sakit di Amerika Serikat. Setelah laporan tersebut diterbitkan, dilakukan berbagai studi yang menyimpulkan bahwa terdapat relasi yang kuat antara kurangnya waktu tidur, gangguan seseorang dalam memulai dan

mempertahankan tidur dengan medical eror terutama yang dilakukan oleh residen. Residen bekerja dengan durasi yang lebih lama dibanding profesi yang lain (streinbrook, 2002).

Insomnia berat mempengaruhi delapan domain quality of life, yakni : 1. Kemampuan fisik

2. Perlindungan terhadap penyakit fisik 3. Persepsi nyeri

4. Kesehatan umum 5. Vitalitas

6. Fungsi sosial

7. Perllindungan terhadap instabilitas emosi 8. Kesehatan mental (moore, 2007)

Grafik 2.3. Insomnia Berat Mempengaruhi Kualitas Hidup

BAB III Kesimpulan

Referensi

Dokumen terkait