• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tujuan terapi adalah untuk mengurangi morbiditas dan meningkatkan kualitas hidup bagi pasien dan keluarga. Perawatan yang tepat memiliki potensi mengurangi morbiditas terkait insomnia, termasuk risiko depresi, cacat, dan gangguan kualitas hidup (Nabil dan Julie, 2006).

1. Pendekatan Non Farmakologi

a. Pendekatan hubungan antara pasien dan dokter, tujuannya:

1) Untuk mencari penyebab dasarnya dan pengobatan yang adekuat.

2) Sangat efektif untuk pasien gangguan tidur kronik.

3) Untuk mencegah komplikasi sekunder yang diakibatkan oleh penggunaan obat hipnotik,alkohol, gangguan mental.

4) Untuk mengubah kebiasaan tidur yang jelek.

b. Konseling dan Psikoterapi

Psikoterapi sangat membantu pada pasien dengan gangguan psikiatri seperti (depresi, obsesi, kompulsi), gangguan tidur kronik. Dengan psikoterapi ini kita dapat membantu mengatasi masalah-masalah gangguan tidur yang dihadapi oleh penderita tanpa penggunaan obat hipnotik (Japardi, 2002).

c. Tindakan higiene tidur

1) Hindari dan meminimalkan penggunaan kafein, rokok, stimulan, alkohol, dan obat lainnya.

2) Meningkatkan tingkat aktivitas pada sore atau awal malam (tidak dekat dengan waktu tidur) dengan berjalan atau berolahraga di luar ruangan.

3) Meningkatkan pajanan cahaya alami dan cahaya terang selama siang hari dan awal malam.

4) Hindari tidur siang, terutama setelah pukul 2 siang; batasi tidur siang, batas untuk 1 tidur kurang dari 30 menit.

5) Periksa pengaruh obat terhadap tidur.

6) Pergi ke tempat tidur hanya bila mengantuk.

7) Mempertahankan suhu yang nyaman di kamar tidur.

8) Minimalkan paparan kebisingan.

9) Makan makanan ringan kalau lapar.

10) Hindari makanan berat pada waktu tidur.

11) Batasi cairan pada malam hari.

12) Buatlah jadwal teratur.

a) Istirahat pada saat yang sama setiap hari.

b) Makan dan olahraga pada jadwal rutin.

c) Manajemen stress :

Toleransi sulit tidur sesekali.

Diskusikan kejadian yang mengkhawatirkan dalam waktu yang cukup sebelum tidur.

Gunakan teknik relaksasi (Nabil dan Julie, 2006).

d. Terapi pengontrolan stimulus

Terapi ini bertujuan untuk memutus siklus masalah yang sering dikaitkan dengan kesulitan memulai atau jatuh tidur. Terapi ini membantu mengurangi faktor primer dan reaktif yang sering ditemukan pada insomnia.

Ada beberapa instruksi yang harus diikuti oleh penderita insomnia:

1) Ke tempat tidur hanya ketika telah mengantuk.

2) Menggunakan tempat tidur hanya untuk tidur.

3) Jangan menonton TV, membaca, makan, dan menelpon di tempat tidur.

4) Jangan berbaring-baring di tempat tidur karena bisa bertambah frustrasi jika tidak bisa tidur.

5) Jika tidak bisa tidur (setelah beberapa menit) harus bangun, pergi ke ruang lain, kerjakan sesuatu yang tidak membuat terjaga, masuk kamar tidur setelah kantuk datang kembali.

6) Bangun pada saat yang sama setiap hari tanpa menghiraukan waktu tidur, total tidur, atau hari (misalnya hari Minggu).

7) Menghindari tidur di siang hari.

8) Jangan menggunakan stimulansia (kopi, rokok, dll) dalam 4-6 jam sebelum tidur

Hasil terapi ini jarang terlihat pada beberapa bulan pertama. Bila kebiasaan ini terus dipraktikkan, gangguan tidur akan berkurang baik frekuensinya maupun beratnya.

e. Sleep Restriction Therapy

Membatasi waktu di tempat tidur dapat membantu mengkonsolidasikan tidur . Terapi ini

bermanfaat untuk pasien yang berbaring di tempat tidur tanpa bisa tertidur. Misalnya, bila pasien mengatakan bahwa ia hanya tertidur lima jam dari delapan jam waktu yang dihabiskannya di tempat tidur, waktu di tempat tidurnya harus dikurangi. Tidur di siang hari harus dihindari. Lansia dibolehkan tidur sejenak di siang hari yaitu sekitar 30 menit. Bila efisiensi tidur pasien mencapai 85% (rata-rata setelah lima hari), waktu di tempat tidurnya boleh ditambah 15 menit. Terapi pembatasan tidur, secara berangsur-angsur, dapat mengurangi frekuensi dan durasi terbangun di malam hari.

f. Terapi relaksasi dan biofeedback

Terapi ini harus dilakukan dan dipelajari dengan baik. Menghipnotis diri sendiri, relaksasi progresif, dan latihan nafas dalam sehingga terjadi keadaan relaks cukup efektif untuk memperbaiki tidur. Pasien membutuhkan latihan yang cukup dan serius.

Biofeedback yaitu memberikan umpan-balik perubahan fisiologik yang terjadi setelah relaksasi.

Umpan balik ini dapat meningkatkan kesadaran diri pasien tentang perbaikan yang didapat.

Teknik ini dapat dikombinasi dengan higene tidur dan terapi pengontrolon tidur.

g. Terapi apnea tidur obstruktif

Apnea tidur obstruktif dapat diatasi dengan menghindari tidur telentang, menggunakan perangkat gigi (dental appliance), menurunkan berat badan, menghindari obat-obat yang menekan jalan nafas, menggunakan stimulansia pernafasan seperti acetazolamide, nasal continuous positive airway pressure (NCPAP), upper airway surgery (UAS). Nasal continuous positive airway pressure ditoleransi baik oleh sebagian besar pasien. Metode ini dapat memperbaiki tidur pasien di malam hari, rasa mengantuk di siang hari, dan keletihan serta perbaikan fungsi kognitif.

Uvulopalatopharyngeoplasty (UPP) merupakan salah satu teknik pembedahan yang digunakan untuk terapi apnea tidur. Efikasi metode ini kurang. Trakeostomi juga merupakan pilihan terapi untuk apnea tidur berat. Penggunaan kedua bentuk terapi bedah ini sangat terbatas karena risiko morbiditas dan mortalitas.

Keputusan untuk mengobati apnea tidur didasarkan atas frekuensi dan beratnya gangguan tidur, beratnya derajat kantuk di siang hari, dan akibat medik yang ditimbulkannya (Amir N., 2007).

2. Pendekatan Farmakologi

Dalam mengobati gejala gangguan tidur, selain dilakukan pengobatan secara kausal, juga dapat diberikan obat golongan sedatif hipnotik. Pada dasarnya semua obat yang mempunyai

kemampuan hipnotik merupakan penekanan aktifitas dari reticular activating system (ARAS) di otak. Hal tersebut didapatkan pada berbagai obat yang menekan susunan saraf pusat, mulai dari obat anti anxietas dan beberapa obat anti depresan.

Obat hipnotik selain penekanan aktivitas susunan saraf pusat yangdipaksakan dari proses fisiologis, juga mempunyai efek kelemahan yang dirasakan efeknya pada hari berikutnya (long acting) sehingga mengganggu aktifitas sehari-hari. Begitu pula bila pemakaian obat jangka panjang dapat menimbulkan over dosis dan ketergantungan obat. Sebelum mempergunakan obat hipnotik, harus terlebih dahulu ditentukan jenis gangguan tidur misalnya, apakah gangguan pada fase latensi panjang (NREM) gangguan pendek, bangun terlalu dini, cemas sepanjang hari, kurang tidur pada malam hari, adanya perubahan jadwal kerja/kegiatan atau akibat gangguan penyakit primernya. Walaupun obat hipnotik tidak ditunjukkan dalam penggunaan gangguan tidur kronik, tapi dapat dipergunakan hanya untuk sementara, sambil dicari penyebab yang mendasari.

Dengan pemakaian obat yang rasional, obat hipnotik hanya untuk mengkoreksi dari problema gangguan tidur sedini mungkin tanpa menilai kondisi primernya dan harus berhati-hati pada

pemakaian obat hipnotik untuk jangka panjang karena akan menyebabkan terselubungnya kondisi yang mendasarinya serta akan berlanjut tanpa penyelesaian yang memuaskan.

Jadi yang terpenting dalam penggunaan obat hipnotik adalah mengidentifikasi penyebab yang mendasarinya atau obat hipnotik adalah sebagai pengobatan tambahan. Pemilihan obat hipnotik sebaiknya diberikan jenis obat yang bereaksi cepat (short action) dgn membatasi penggunaannya sependek mungkin yang dapat mengembalikan pola tidur yang normal. Lamanya pengobatan harus dibatasi 1-3 hari untuk transient insomnia, dan tidak lebih dari 2 minggu untuk short term insomnia. Untuk long term insomnia dapat dilakukan evaluasi kembali untuk mencari latar belakang penyebab gangguan tidur yang sebenarnya. Bila penggunaan jangka panjang sebaiknya obat tersebut dihentikan secara berlahan-lahan untuk menghindarkan withdrawl terapi (Japardi I., 2002).

Dokumen terkait