• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoristis

2.1.2 Obligasi Syariah

2.1.2.1 Pengertian Obligasi Syariah

Obligasi Syariah di dunia internasional dikenal dengan Sukuk. Sukuk berasal dari bahasa Arab “sak” (tunggal) dan “sukuk” (jamak) yang memilliki arti mirip dengan sertifikat atau note. Sukuk merupakan bukti (claim) kepemilikan (Nathif, 2004:54). Sebuah sakk atau sukuk mewakili kepentingan (interest), baik penuh ataupun proporsional dalam sebuah ataukumpulan aset. Ketentuan yang mengatur tentang penerbitan sukuk, terutama dari sisi syariah telah ditetapkan oleh Accounting and Auditing Standard for Islamic Financial Institutions (AAOIFI), yaitu Sharia Standard No. 17 – Investment Sukuk. AAOIFI sendiri mendefinisikan sukuk sebagai sertifikat bernilai sama yang merupakan bukti kepemilikan yang tidak dibagikan atas suatu aset, hak manfaat, dan jasa-jasa atau kepemilikan atas proyek atau kegiatan investasi tertentu.

Berdasarkan Fatwa Dewan Syariah Nasional No.32/DSN-MUI/IX/2002, “Obligasi Syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsipsyariah yang dikeluarkan Emiten kepada

pemegang Obligasi Syariah berupa bagihasil/margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo”.

Menurut Undang-Undang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), “Surat berharga yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap asset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing”.

Definisi obligasi syariah (sukuk) menurut Pontjowinoto (2003) adalah “suatu kontrak perjanjian tertulis yang bersifat jangka panjang untuk membayar kembali pada waktu tertentu seluruh kewajiban yang timbul akibat pembiayaan untuk kegiatan tertentu menurut syarat dan ketentuan tertentu serta membayar sejumlah manfaat secara periodik menurut akad”.

Dari pengertian di atas, jelas bahwa hal yang harus dihindari dari penerbitan obligasi syariah adalah bunga (riba/interest) yang diharamkan oleh ajaran Islam.

2.1.2.2 Karakteristik Obligasi Syariah

Obigasi Syariah mempunyai beberapa karakteristik :

1. Obligasi syariah menekankan pendapatan investasi bukan berdasarkan kepada tingkat bunga (kupon) yang telah ditentukan sebelumnya. Tingkat pendapatan dalam obligasi syariah berdasar kepada tingkat rasio bagi hasil (nisbah) yang besarnya telah disepakati oleh pihak emiten dan investor.

2. Dalam sistem pengawasannya selain diawasi oleh pihak wali amanat maka mekanisme obligasi syariah juga diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah (di bawah Majelis Ulama Indonesia) sejak dari penerbitan obligasi sampai akhir dari masa penerbitan obligasi tersebut. Dengan adanya sistem ini maka prinsip kehati-hatian dan perlindungan kepada investor obligasi syariah diharapkan bisa lebih terjamin.

3. Jenis industri yang dikelola oleh emiten serta hasil pendapatan perusahaan penerbit obligasi harus terhindar dari unsur non halal. Sebuah obligasi dapat disebut sebagai obligasi syariah (sukuk) apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut :

1. Akad yang digunakan dalam penerbitan obligasi syariah tersebut dapat berupa mudharabah/qiradh, musyarakah, murabahah, salam, istishna’, dan ijarah.

2. Jenis usaha yang dilakukan oleh emiten tidak boleh bertentangan dengan syariah.

3. Pendapatan investasi yang dibagikan emiten kepada pemegang obligasi syariah harus bersih dari unsur non halal.

4. Pendapatan yang diperoleh pemegang obligasi syariah sesuai akad yang digunakan.

5. Pemindahan kepemilikan obligasi syariah mengikuti akad-akad yang digunakan.

6. Pengawasan aspek syariah dilakukan Dewan Pengawas Syariah atau Tim Ahli Syariah yang ditunjuk oleh Dewan Syariah Nasional MUI, sejak proses emisi obligasi syariah.

2.1.2.3 Jenis-Jenis Obligasi Syariah

Merujuk pada fatwa Dewan Syariah Nasional tentang Obligasi Syariah, akad yang dapat digunakan dalam penerbitan Obligasi Syariah antara lain:

1. Akad Mudharabah

Mudharabah adalah perjanjian kerjasama usaha antara dua pihak dengan pihak pertama menyediakan modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Dalam fatwa Dewan Syariah Nasional tentang Obligasi Syariah Mudharabah disebutkan bahwa Obligasi Syariah Mudharabah adalah Obligasi Syariah yang berdasarkan akad mudharabah dengan memperhatikan substansi Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI No.7/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan Mudharabah.

2. Akad Musyarakah

Surat Berharga Musyarakah dibuat berdasarkan kontrak musyarakah yang hampir menyerupai Surat Berharga Mudharabah. Perbedaan utamanya adalah pihak perantara akan menjadi pasangan dari grup pemilik yang menjadi pemegang obligasi Musyarakah didalam suatu perusahaan gabungan, yang pada mudharabah, sumber modal hanya berasal dari satu pihak. Dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional No.08/DSN-MUI/IV/2000

tentang pembiayaan musyarakah disebutkan bahwa pembiayaan musyarakah yaitu pembiayaan berdasarkan akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, yang masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.

3. Akad Ijarah

Ijarah adalah sebuah kontrak yang didasarkan pada adanya pihak yang membeli dan menyewa peralatan yang dibutuhkan klien dengan uang sewa tertentu. Pemegang Surat Berharga Ijarah sebagai pemilik yang bertanggungjawab penuh untuk segala sesuatu yang terjadi pada milik mereka. Dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional No.41/DSN-MUI/III/2004 tentang Obligasi Syariah Ijarah disebutkan bahwa Obligasi Syariah Ijarah adalah Obligasi Syariah berdasarkan akad ijarah yaitu akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah), tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri. Ditambah dengan memperhatikan substansi FatwaDewan Syariah Nasional MUI No.09/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan ijarah.

4. Akad Istisna

Istisna adalah suatu kontrak yang digunakan untuk menjual barang manufaktur dengan usaha yang dilakukan penjual dalam menyediakan barang tersebut dari material, deskripsi dan harga tertentu. Dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional No.06/DSN-MUI/IV/2000 tentang jual beli istisna disebutkan bahwa jual beli istisna yaitu akad jual beli dalam bentuk

pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli, mustashni) dan penjual (pembuat, shani).

5. Akad Salam

Salama dalah penjualan suatu komoditi, yang telah ditentukan kualitas dan kuantitasnya yang akan diberikan kepada pembeli pada waktu yang telah ditentukan di masa depan pada harga sekarang. Dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional No.05/DSN-MUI/IV/2000 tentang jual beli salam disebutkan bahwa jual beli barang dengan cara pemesanan dan pembayaran harga lebih dahulu dengan syarat-syarat tertentu disebut dengan salam. 6. Akad Murabahah

Murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional No.04/DSN- MUI/IV/2000 tentang murabahah disebutkan bahwa pihak pertama membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama pihak pertama sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba. Kemudian nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati.

Dokumen terkait