Obstructive Sleep Apnea (OSA) adalah hilangnya napas yang spontan saat tidur. Normalnya, apnea dapat terjadi pada semua individu saat tidur, namun pada orang dengan sleep apnea terjadi lebih sering dengan frekuensi 300-500 kali per malam dan durasinya berlangsung sekitar 10 detik atau lebih. Penyebab terjadinya obstructive sleep apnea adalah adanya obstruksi pada saluran napas atas terutama faring.16,17
Otot-otot faring secara normal tetap terbuka untuk menjaga aliran udara tetap masuk ke dalam paru saat inspirasi. Walaupun saat tidur otot-otot faring akan mengalami relaksasi, tetapi saluran napas tetap dalam keadaan terbuka untuk memungkinkan pengaliran udara ke dalam paru. Pada beberapa individu yang mengalami penyempitan saluran napas akan terjadi penutupan saluran ini secara lengkap akibat relaksasi otot-otot tersebut sehingga udara tidak dapat mengalir ke dalam paru dan terjadi apnea. Jika terjadi apnea, tubuh akan memberi sinyal
singkat ke otak untuk mengembalikan tonus otot-otot faring sehingga memungkinkan udara masuk.16,17
Penderita OSA sering mengalami gejala berupa mendengkur dan kesulitan dalam bernapas segera setelah tidur. Dengkuran yang terjadi biasanya diikuti dengan periode tidak bernapas yang cukup lama (apnea). Penderita sleep apnea biasanya akan mengalami kekurangan fase slow wave sleep dibandingkan dengan fase pertama dari tidur NREM.16,17
Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS) adalah bentuk gangguan napas saat tidur yang berat dan sering menimbulkan gejala tidak nyaman. OSAS ini ditandai dengan hipoventilasi alveolar kronik, obesitas, hiperapnea (PaCO2 > 45 mmHg) dan sering berkaitan dengan hipertensi pulmonal dan gagal jantung kanan.11
Dilaporkan oleh Young dkk, bahwa prevalensi OSAS terjadi sebesar 4% pada laki-laki dewasa dan 2% pada perempuan. Prevalensi meningkat sebanyak 30-40% pada pasien yang memiliki keluhan mendengkur, obesitas, akromegali, asma, diabetes dan kelainan kraniofasial.1
Gejala dan Tanda OSA
Gejala yang timbul pada siang hari seperti rasa mengantuk terus menerus (hipersomnolensi) yang berat menunjukkan adanya gangguan tidur seperti tidur tersedak (sleep choking), mendengkur keras (snoring), gerakan abnormal saat tidur, nokturia, dan henti napas saat tidur yang mengakibatkan terjadinya hipoksemia berulang. Aliran udara yang berkurang akan menyebabkan saturasi O2 dalam darah mengalami penurunan hingga 68% jika obstruksi berulang dalam 3 menit. 4,10,14
Selain timbulnya hipersomnolensi pada penderita OSA, akan timbul juga gangguan konsentrasi, sakit kepala pagi hari, enuresis, gangguan intelektual, gangguan personalitas, depresi serta penurunan libido. Keadaan OSA yang kronik akan menyebabkan hipertensi, kecelakaan saat menyetir, penyakit jantung iskemik, aritmia dan stroke. Insidensi gejala yang terjadi pada OSA dapat dilihat pada tabel 2.2.6,10,11
Tabel 2.2. Gejala Klinis OSA (6)
Gejala Klinis Insidensi (%) Nokturnal (N)/ Daytime (D)
Restless sleep 99 D Mental abnormal 58 Perubahan kepribadian 48 D Impotensi 40 Sakit kepala 35 D Nokturia 30 N
Enuresis Tidak diketahui N/D
Nocturnal Choking Tidak diketahui N
Mendengkur 95 D
Mengantuk 75 D
Gambar 2.5. obstructive apnea berulang dalam 3 menit dengan saturasi oksigen menurun hingga 68%(14)
Aliran udara dari oro-nasal Saturasi O2 (%)
Patogenesis dan patofisiologi OSA
Patogenesis dari OSA bersifat multifaktorial yang berawal dari mendengkur saat tidur dan berakhir dengan sindrom obesitas hiperventilasi seperti halnya pada sleep-disordered breathing yang lain. OSA merupakan suatu keadaan yang timbul akibat penyempitan saluran napas bagian atas selama tidur.10,11
Bagan 2.1. Patofisiologi OSA (11)
Bagian saluran napas atas yang sering menjadi penyebab dari OSA adalah antara lain hipertrofi konka, rinitis, polip nasalis, deviasi septum, kelainan panjang uvula dan palatum molle serta orofaring. Patensi saluran napas atas dapat diatur oleh otot-otot faring yang dibagi menjadi dua: 1. Otot fase inspirasi, misalnya m.genioglossus yang mengatur dan menyesuaikan gerakan pernapasan. Tonus otot inspirasi ini akan diatur selama tidur; 2. Otot yang memiliki tonus ritmik yang konstan, misalnya m.palatinus tensi yang tonusnya bersifat konstan dan dapat menurun pada keadaan tidur.10
Resistensi pada saluran napas atas akan meningkat secara bermakna selama periode tidur dan akan lebih meningkat bila terdapat faktor-faktor predisposisi yang mendukung terjadinya penutupan saluran napas atas. Bila tekanan negatif dari otot-otot pernapasan lebih besar dari kemampuan otot-otot
Mendengkur Resistensi saluran napas atas Hipopnea Obstructive sleep apnea Sindrom obesitasitas hiperventilasi
yang berfungsi untuk memperluas saluran napas atas, maka akan terjadi kolaps pada saluran ini.10
Periode apnea yang terjadi biasanya berakhir dengan bentuk terbangun secara mendadak dari tidur (arousal) sehingga otot-otot ini dapat berfungsi lagi dengan cara berdilatasi dan aliran udara kembali normal. Proses arousal ini yang akan menyebabkan periode tidur mengalami fragmentasi sehingga pasien kadang terbangun secara mendadak. Akibat obstruksi yang terjadi, maka saturasi O2 dalam tubuh akan mengalami penurunan hingga 4-3% atau lebih. Kebanyakan pasien akan mengalami keadaan apnea ini 20-30 kali per jam dan dapat terjadi lebih dari 200 kali per malam. Kondisi ini yang mengakibatkan hipersomnolensi pada pasien-pasien OSA.10
Faktor predisposisi OSA
Faktor predisposisi OSA adalah: obesitas, jenis kelamin laki-laki, usia lanjut, pemakaian obat depresan sistem saraf pusat seperti alkohol dan sedatif, diameter saluran napas yang kecil seperti mikrognathia dan retrognathia, hipotiroidisme atau akromegali, serta genetik dan familial.6,10
Selain faktor predisposisi yang telah disebut diatas, OSA dapat terjadi karena adanya beberapa kelainan pada struktur saluran napas atas dan leher; antara lain: polip nasi, hipertrofi konka, hipertrofi tonsil, hipertrofi adenoid, deviasi septum nasalis, lingkar leher yang besar, kelainan sendi temporomandibular, makrognatia, makroglosi, dan kelainan palatum. Faktor-faktor predisposisi ini dapat dilihat pada tabel 2.3.6
Akibat beberapa faktor predisposisi yang mungkin dapat memperberat atau mempercepat kondisi OSA, maka diperlukan perhatian pasien dan dokter untuk menegakkan diagnosis OSA yang tepat dan cepat. Jika diagnosis telah ditetapkan, maka kualitas hidup pasien dan aktifitas sehari-hari juga meningkat.
Tabel 2.3. Faktor predisposisi OSA(6)
Faktor-faktor predisposisi yang berperan pada OSA
Umum - Obesitas (IMT >30 kg/m2)
- Jenis kelamin (pria > wanita) - Riwayat OSA pada keluarga - Pasca menopause
Genetik atau kongenital - Sindrom Down
- Sindrom Pierre Robin - Sindrom Marfan Abnormalitas hidung/faring - Rinitis
- Polip nasi
- Hipertrofi tonsil atau adenoid - Deviasi septum nasi
Penyakit lain - Akromegali
- Hipertiroidisme Kelainan struktur saluran napas atas - Lingkar leher > 40 cm
- Abnormalitas sendi temporomandibular - Abnormalitas Palatum - Mikrognatia - Retrognatia - Makroglosia - Kraniosinostosis Diagnosis OSA
OSA dapat didiagnosis dengan adanya gejala OSA pada individu. Gejala yang sering timbul adalah mendengkur keras (loud snoring), tidur yang kurang efektif (restless sleep) dan hipersomnolen pada siang hari. Selain ketiga gejala yang telah disebut, terdapat beberapa gejala lain seperti rasa tersedak (choking), Excessive daytime sleepness (EDS), kelelahan pagi hari, gangguan memori, penurunan fungsi kognitif, depresi, perubahan mood dan kepribadian, impotensi, pusing pagi hari (nocturnal headache), nocturnal sweating dan nocturnal enuresis.18
Pemeriksaan fisik
Selain keluhan dan gejala pasien, pemeriksaan fisik merupakan hal yang penting dalam penegakan diagnosis OSA yaitu:
1. Evaluasi sistemik : Obesitas dan hipertensi merupakan hal yang paling sering ditemukan pada penderita OSA dan keduanya berkaitan dengan tingkat keparahan dari OSA. Studi telah membuktikan bahwa terdapatnya hubungan antara OSA dan individu dengan IMT > 27,8 kg/m2 pada laki-laki dan IMT > 27,3 kg/m2 pada perempuan. Begitupun individu dengan lingkar leher > 17 inci (43.18 cm) pada laki-laki dan > 15 inci (38.1 cm) pada perempuan, maka oleh karena itu, diperlukan pengukuran lingkar leher dan IMT pada individu untuk mengetahui faktor predisposisi.11,18
Prevalensi OSA meningkat pada penderita hipertensi, penyakit jantung koroner, gagal jantung kongestif, penyakit serebrovaskular dan diabetes melitus. Demikian, sangat diperlukan pengukuran tekanan darah dan kadar gula untuk menentukan adanya salah satu dari penyakit yang merupakan faktor risiko OSA.18
Selain itu, dapat dilihat tanda-tanda tiromegali atau tanda kulit kering, coarse rambut, atau miksedema yang menunjukkan diagnosis hipotiroid atau adanya gejala depresi. Kedua diagnosis tersebut akan menyebabkan individu mengalami hipersomnolensi terus menerus dan kelelahan, maka diperlukan penyingkiran diagnosis tersebut terlebih dahulu. 11
2. Pemeriksaan kepala dan leher : dapat dilakukan pemeriksaan posisi dan ukuran mandibula serta maksila. Pada leher dievaluasi ukuran leher, posisi hioid, dan posisi rahang. 11,18
3. Pemeriksaan hidung : perlu dievaluasi deformitas hidung, tipptosis, nostril asimetris dan obstruksi katup internal. Pemeriksa dapat melakukan Cottle maneuver untuk dilatasi katup nasal dan mengetahui tingkat pernapasan. Dapat dilihat pada rongga nasal: ukuran konka, tanda-tanda polip, massa,
rinitis, purulensi dan posisi septum nasal. Nasofaringoskopi dapat digunakan untuk evaluasi konka posterior, orifisium tuba eustachius, katup velofaringeal dan adenoid. Selain itu, velofaring dapat di observasi langsung melalui Muller maneuver. 11,18
4. Pemeriksaan rongga mulut : pada rongga mulut dilakukan observasi ukuran dan posisi lidah, panjang palatum dan uvula, ukuran tonsil, modified Mallmapati score, dan orofaring.18
5. Pemeriksaan hipofaring : hipofaring dapat di evaluasi dengan nasofaringoskopi untuk melihat dasar lidah, tonsil lingua, masa obstruksi di supraglottis, glotis, subglottis laring. Kelainan vallecula, epiglottis, dinding lateral faring dan obstruksi umum akibat lidah dapat juga mengakibatkan kolaps hipofaringeal saat tidur. 11,18
6. Obstructive Sleep Apnea/Hypopnea Syndrome Score (OSAHS score) : sistem skoring ini telah diciptakan untuk mempermudah staging dari OSA pada individu. Skoring mengandung 3 komponen penilaian; yaitu: a) ukuran tonsil, b) rongga mulut, dan c) BMI. 11
Tabel 2.4. Sistem staging Friedman(11)
Stage Friedman Palate
Position
Ukuran Tonsil BMI
I 1 2 3,4 <40 <40 II 1,2 3,4 1,2 3,4 <40 <40 III 3 4 0,1,2 0,1,2 <40 <40 IV 1,2,3,4 0,1,2,3,4 >40
Tabel 2.5. Pemeriksaan fisik pada OSA.(18)
Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Fisik
Obstruksi nasal
- Deviasi septum - Hipertrofi konka - Kolaps katup nasal - Hipertrofi adenoid - Polip atau tumor nasal Obstruksi Orofaringeal
- Palatum molle yang besar - Hipertrofi tonsil palatina
- Posterior pharyngeal wall banding
- Makroglosia
- Large mandibular tori
- Narrow skeletal arch
Obstruksi hipofaringeal
- Kolaps dinding lateral faring - Omega-shaped epiglottis - Tumor hipofaringeal - Hipertrofi tonsil lingual - Retrognathia dan mikrognathia
Obstruksi laring
- Paralisis true vocal cord
- Tumor laring Obstruksi leher umum
- Lingkar leher yang besar
- Redundant cervical
adipose tissue
Habitus tubuh umum - Obesitas
- Achondroplasia
- Chest wall deformity
- Marfan’s syndrome Tanda kardiovaskular
- Hipertensi arterial terutama hipertensi pagi hari
- Edema perifer
Pemeriksaan radiologi
Fiberoptic nasopharyngoscopy merupakan salah satu teknik yang dapat digunakan untuk evaluasi jalan napas dan menentukan tingkat obstruksi: nasal, retropalatal atau retrolingual. Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan berbagai posisi saat bangun dan tidur.18
Pemeriksaan radiologi dapat juga dilakukan untuk identifikasi letak dan keparahan dari obstruksi saluran napas bagian atas atau kolaps pada OSA. Teknik-teknik radiologi ini hanya dapat dilakukan pada individu yang sadar, maka obstruksi jalan napas selama tidur tidak dapat di identifikasi. Cephalometric radiograph adalah pemeriksaan radiologi yang sering digunakan untuk evaluasi penderita OSA. Pencitraan ini dapat memberikan informasi mengenai tulang dan
jaringan lunak. Pada beberapa penelitian telah membuktikan dengan cephalometry bahwa penderita OSA mengalami inferior displacement pada tulang hioid, ruang posterior jalan napas yang sempit dan palatum molle yang panjang namun cephalometry tidak dapat membedakan anatara OSA dan non-OSA secara signifikan.18
Computed tomograph (CT) memberi detail anatomi tulang dan jaringan lunak yang sangat baik namun sensitifitasnya untuk diagnosis OSA rendah. Magnetic resonance imaging (MRI) dapat membedakan antara berbagai jaringan lunak namun MRI ini mahal dan penggunaannya terbatas. Kedua pencitraan ini walaupun sangat baik untuk mendeteksi kelainan anatomi, tetapi tidak dapat membedakan anatara OSA dan non-OSA.17
Fluoroscopy merupakan alat pemeriksaan jalan napas yang dinamik untuk mengevaluasi letak obstruksi. Somnofluoroscopy adalah pemeriksaan yang dilakukan saat tidur yang mendukung keadaan uvulopalatopharyngoplasty sehingga dapat mengidentifikasi letak dari obstruksi awal namun pemeriksaan ini memerlukan waktu yang lama dan radiasi yang tinggi.18
Pemeriksaan khusus
Selain pemeriksaan penunjang dengan pencitraan, terdapat beberapa pemeriksaan khusus untuk diagnosis OSA, diantaranya:
1. Multiple sleep latency testing : tes ini merupakan tes yang objektif dalam evaluasi tidur saat beraktifitas dan berapa kali tertidur yang diulang setiap 2 jam. Normal sleep latency adalah 10-20 menit, sedangkan pasien dengan EDS biasanya memiliki sleep latency 5 menit atau kurang. 11,18
2. Polisomnografi (PSG) : alat ini merupakan alat ukur yang definitif untuk evaluasi OSA sepanjang malam karena melakukan perekaman langsung aktifitas otak pasien selama tidur. PSG merekam durasi tidur dan gejala yang terjadi saat tidur (mendengkur, hipopnea, apnea, thoracoabdominal excursion, pergerakan ekstremitas dll). Selain dapat mendiagnosis OSA, PSG juga dapat menentukan tingkat keparahan OSA dan membedakan
antara OSA, central sleep apnea dan gangguan lain yang menyebabkan hipersomnolensi.11,18
3. Drug-induced sleep endoscopy : pemeriksaan ini dilakukan dengan pemberian sedatif untuk mengetahui obstruksi dinamik selama tidur. 11,18 4. Tes subjektif : tes-tes subjektif dapat dilakukan oleh pasien sendiri untuk
menilai keadaan hipersomnolensi yang terjadi pada individu saat beraktifitas. Uji yang digunakan adalah : Functional Outcomes of Sleep Questionnaire (FOSQ) dan Stanford Sleepness Scale (SSS). FOSQ menilai kecukupan tidur untuk melakukan aktifitas sehari-hari dan SSS menanyakan seberapa pasien saat ini merasa mengantuk. Selain itu, kuesioner Epworth Sleepiness Scale (ESS) yang merupakan skala internasional dalam penentuan daytime sleepiness. OSA kemungkinan terjadi pada individu dengan nilai ESS lebih dari 10.11,18
Tabel 2.6. Epworth sleepness scale(6)
Komplikasi
Sekitar 20% penderita OSA sering tertidur saat mengendarai mobil dan hal ini meningkatkan risiko terjadinya kecelakaan. Telah dilaporkan dari beberapa studi korelasi antara OSA dan penyakit kardiovaskular seperti hipertensi. Studi mengatakan bahwa penderita OSA yang berat memiliki faktor risiko penyakit hipertensi sebanyak 1,5 pada laki-laki dan 1,17 pada perempuan.11
Talaksana OSA (Obstructive sleep apnea)
Tatalaksana pada OSA dapat dibagi menjadi dua yaitu: tatalaksana non bedah dan tatalaksana bedah.
Talaksana non-bedah
- Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) merupakan terapi yang sering digunakan pada OSA. CPAP dapat menurunkan terjadinya dengkuran yang keras dan apnea serta dapat mengatasi EDS. Terapi dengan CPAP sangat efektif dalam menurunkan gejala OSA hingga 90-95% dengan penggunaan 4-5 jam/malam. Penelitian belum mempelajari durasi reguler penggunaan CPAP untuk menurunkan dan mengeliminasi gejala sisa (sequelae) jangka panjang. Penderita OSA yang menggunakan CPAP biasanya mengalami claustrophobia, pusing, rinitis, iritasi wajah dan hidung, aerophagia. 11
- Oral appliances dapat digunakan pada pasien dengan dengkuran yang primer, OSA ringan sampai sedang dan pasien yang tidak ingin menggunakan CPAP. Titratable mandibular repositioning devices adalah alat yang paling sering digunakan. Alat ini dapat menurunkan gejala OSA dan efektifitasnya sama seperti CPAP. Kerugian dari penggunaan alat ini adalah nyeri pada sendi temporomandibular, sakit kepala dan salivasi berlebihan. 11
- Penurunan berat badan : pasien overweight harus didukung untuk melakukan penurunan berat badan sehingga dapat menjadikan diameter saluran napas lebih luas dan meningkatkan fungsinya. 11
- Modifikasi gaya hidup : pasien di edukasi agar tidak menggunakan obat-obat sedatif, alkohol, nikotin dan kafein pada sore hari karena zat tersebut akan mempengaruhi tonus otot-otot saluran napas dan mekanisme sentral pernapasan. 11
- Terapi posisi : beberapa pasien mengalami OSA pada posisi tertentu seperti pada pasien dengan primery supine-dependent obstructive, biasanya di beritahukan agar tidur dalam posisi lateral dekubitus untuk mencegah terjadinya obstruksi. Terapi lain adalah eksternal nasal dilator
dan obat efedra-efedrin merupakan pengobatan yang populer untuk mengatasi dengkuran dan OSA. Walaupun beberapa obat ini dapat mengurangi gejala mendengkur pada pasien dengan rinitis kronik atau obstruksi nasal, namun produk ini belum terbukti memberikan keuntungan yang signifikan dalam mengatasi primary snoring atau OSA.11
Talaksana bedah
- Persiapan pre-operasi : penatalaksanaan operatif dilakukan tergantung dari letak kelainan individu yang menyebabkan terjadinya OSA dengan tujuan mengoptimalkan efektifitas dari operasi dan meminimalkan morbiditas. Evaluasi ulang dilakukan 4-6 bulan setelah operasi untuk mengetahui efek dari terapi bedah tersebut pada pasien OSA. Prosedur-prosedur pembedahan akan dilakukan setelah pemeriksaan fisik, endoskopi dengan maneuver Muller, sefalometri dan PSG. Pembedahan ini memiliki dua fase yaitu fase 1 dan fase 2 operasi. 11,18
- Operasi fase 1: operasi ini dilakukan pada pasien OSA tipe 1 anatomi saluran napas atas seperti obstruksi orofaringeal dengan uvulopalatopharyngoplasty (UPPP), tipe 2 anatomi saluran napas atas seperti obstruksi orofaringeal dan hipofaringeal dengan UPPP dan genioglossus advancement dengan atau tanpa hyoid myotomy, dan tipe 3 anatomi saluran napas atas seperti obstruksi hipofaringeal dengan genioglossus advancement tanpa operasi palatum. Semua pasien yang akan menjalani fase 1 pembedahan akan dilakukan anastesi umum dan harus diberitahukan kemungkinan risiko dari anastesi, nyeri postoperasi, infeksi, perdarahan, dan insufisiensi velopharyngeal jangka panjang dan pendek pada pasien UPPP. 11,18
- Pembedahan fase 2 (maxillary-mandibulae osteotomy) : dilakukan pada pasien yang tidak membaik dengan operasi fase 1 setelah di evaluasi 6 bulan kemudian. 11,18
- Selain yang telah disebut, terdapat beberapa tindakan bedah dalam penatalaksanaan OSA tergantung pada letak kelainannya seperti:
laser-assisted uvuloplasty (LAUP), ablasi radiofrekuensi, operasi basis lidah, trakeostomi, implant palatal. 11,18