• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.6 Faktor Fisik dan Kimia Perairan

4.6.5 Oksigen Terlarut (mg/liter)

Dari hasil pengamatan, diketahui bahwa kandungan oksigen terlarut pada stasiun 1 (3,5 mg/l), stasiun 2 (3,5 mg/l), dan stasiun 3 (3,4 mg/l). Nilai tersebut bila dibandingkan dengan nilai baku mutu jauh lebih rendah. Diduga kelarutan oksigen yang rendah ini, karena saat pengambilan sampel air dilakukan pada musim kemarau sehingga proses oksidasi oleh bakteri pengurai meningkat.

Mikroorganisme akan mengoksidasi Amonium menjadi Nitrat. Proses ini

dikenal sebagai proses nitrifikasi. (Borneff (1982); Schoerbel (1987); Hὒtter (1990)

dalam Barus (2004)). Proses oksidasi amonium menjadi nitrit oleh aktivitas kelompok bakteri Nitrosomonas dapat dilihat di bawah ini:

NH4 + O2 ---› NO2 (Amonium) Nitrosomonas (Nitrit)

Selanjutnya proses oksidasi nitrit menjadi nitrat oleh aktivitas kelompok bakteri Nitrobacter dapat dilihat di bawah ini:

NO2 + O2 ---› NO3 (Nitrit) Nitrosomonas (Nitrat)

Barus (2004) berpendapat proses oksidasi akan menyebabkan konsentrasi oksigen terlarut menjadi rendah, terutama pada musim kemarau saat curah hujan sangat sedikit dimana volume aliran air sungai menjadi rendah. Dibarengi dengan tingginya suhu dan apabila volume air limbah tidak berkurang akan menyebabkan laju oksidasi tersebut meningkat tajam. Ikan bulan-bulan termasuk ikan dapat hidup pada kondisi oksigen terlarut yang rendah. Berdasarkan hasil penelitian Wells et al.

(2007) yang melakukan pengamatan terhadap ikan bulan-bulan tentang hubungan kecepatan renang dan kebutuhan oksigen terlarut yakni dengan kisaran 0,8 – 5 mmol/liter. Kelarutan oksigen mempengaruhi kehidupan organisme di suatu perairan, karena oksigen terlarut disuatu perairan merupakan faktor pembatas. Jika kadar oksigen terlarut terlalu rendah bisa mengakibatkan biota air akan mati (Fardiaz, 1992).

Menurut Udi Putra (2008) kebutuhan oksigen terlarut yang diperlukan oleh ikan atau organisme air lainnya sangat bergantung pada faktor-faktor suhu, pH, CO2 dan kecepatan metabolik ikannya. Kebutuhan oksigen meningkat dengan meningkatnya suhu air.

4.6.6. BOD (mg/liter)

Hasil uji laboraorium diperoleh nilai BOD pada stasiun 1 (6,3 mg/liter), stasiun 2 (0,5 mg/liter) dan stasiun 3 (0,7 mg/liter). Berdasarkan KepMen KLH No. 5 nilai baku mutu air untuk BOD maksimum 20 mg/liter, jika dibandingkan dengan nilai hasil uji dari masing-masing stasiun pengamatan sangat jauh berbeda, namun masih layak. Nilai BOD yang tinggi dinilai merupakan pencemaran di suatu perairan. Perbedaan nilai ini diduga karena dipengaruhi adanya perbedaan buangan limbah bahan organik telah terakumulasi muara sungai, dan aktivitas perombakan bahan organik oleh bakteri pengurai. Nilai BOD rendah mengindikasikan perairan ini belum tercemar.

Ali et al (2013) menyatakan BOD adalah jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh bakteri pengurai untuk menguraikan bahan organik di dalam air. Rahayu dan Tantowi (2009) menyatakan bahwa semakin besar kadar BOD di perairan sungai menandakan bahwa perairan tersebut telah tercemar yang diakibatkan oleh buangan limbah domestik dan pertanian. Selanjutnya menurut Yudo (2010) semakin besar konsentrasi BOD suatu perairan, menunjukan konsentrasi bahan organik juga tinggi. Lee, et al. (1978) menerangkan bahwa tingkat pencemaran suatu perairan dapat dinilai berdasarkan kandungan nilai BOD5 dimana kandungan ≤ 2,9 mg/l merupakan perairan yang tidak tercemar, kandungan 3,0 - 5,0 mg/l merupakan perairan yang tercemar ringan, kandungan 5,1 – 14,9 mg/l merupakan perairan yang

4.6.7. Salinitas (‰)

Hasil rata-rata pengukuran salinitas pada stasiun 1 (15,7‰), stasiun 2 (9,9‰), dan stasiun 3 (5,4‰). Perbedaan ini diduga disebabkan karena stasiun pengamatan merupakan beberapa muara sungai, karena salinitas menjadi berbeda karena salinitas dipengaruhi oleh pasang surut dan jumlah partikel di perairan dan jarak antara sungai ke laut. Selain itu diduga pengambilan sampel air pada saat musim kemarau, sebab musim juga mempengaruhi salinitas.

Hal ini sesuai dengan pendapat Effendi (2003) bahwa perairan estuaria memiliki gradien salinitas yang bervariasi, bergantung pada suplai air tawar dari sungai dan air laut melalui pasang surut. Lebih lanjut menurut Nybakken (1992) perbedaan lainnya adalah tergantung musim dan topografi. Boeuf & Payan (2001) menyatakan bahwa ikan yang hidup pada salinitas yang lebih rendah menghabiskan lebih sedikit energi untuk osmoregulasi. Keadaan salinitas akan mempengaruhi penyebaran organisme, baik secara vertikal maupun horizontal (Effendi,2003; Fadil (2011).

Ikan bulan-bulan merupakan jenis ikan euryhaline. Ikan ini beruaya mencari habitat yang sesuai siklus hidupnya. Menurut Chacόn- Chaverri dan McLarney (1992) juvenil tarpon dapat hidup pada salinitas 5- 40 ppt.

4.6.8. Nitrat (NH3) dan Fosfat (PO4)

Hasil pengukuran kadar nitrat pada stasiun 1 (3,9 mg/l), stasiun 2 (13.1 mg/l), dan stasiun 3 (10,6 mg/l). Kadar fosfat pada stasiun 1 (0,3 mg/l), stasiun 2 (0,44 mg/l) , dan stasiun 3 (0,53 mg/l). Jika dibandingkan nilai nitrat dan posfat pada stasiun pengamatan sangat berbeda jauh dan nilainya di bawah nilai baku mutu air berdasarkan KepMen LH No.5 tahun 2004.

Hal ini diduga aliran sungai menjadi sumber pembawa limbah buangan untuk unsur nitrat dan fosfat ke badan sungai yang kemudian tertimbun di muara sungai, karena sumber nitrat dan fospat berasal dari limpasan lahan pertanian dan limbah rumah tangga. Jika nilainya tinggi nitrat dan fosfat berarti mendapat mendapat sumber pasokan limpasan yang tinggi yang terbawa aliran sungai dan begitu pula sebaliknya yang pada akhirnya semua sumber limpasan nitrat dan fosfat tersebut terakumulasi di daerah muara sungai.

Menurut Effendi (2003) sumber utama peningkatan kadar nitrat diperairan berasal dari limpasan pupuk pertanian. Risamasu dan Hanif (2011) menyatakan konsentrasi nitrat di lapisan permukaan yang lebih rendah dibandingkan di lapisan dekat dasar disebabkan karena nitrat di lapisan permukaan lebih banyak dimanfaatkan atau dikonsumsi oleh fitoplankton. Selain itu, konsentrasi nitrat yang sedikit lebih tinggi di dekat dasar perairan juga dipengaruhi oleh sedimen. Di dalam sedimen nitrat diproduksi dari biodegradasi bahan-bahan organik menjadi ammonia yang selanjutnya dioksidasi menjadi nitrat (Seitzinger, 1988)

Boyd (1982) menyatakan bahwa fosfat terbentuk sebagai hasil perombakan bahan organik dalam kondisi aerobik. Keberadaan orthophosphate di perairan, dengan segera dapat diserap oleh bakteri, fitoplankton dan makrofita. Fitoplankton dapat menyerap orthophosphate lebih cepat dibandingkan dengan makrofita, tetapi makrofita mempunyai kemampuan menyimpan fosfor lebih besar dari pada fitoplankton.

Dokumen terkait