BAB II ANALISIS TOKOH DAN PENOKOHAN, ALUR, LATAR,
2.1.3 Olivia Purnakasih
Olivia datang ke Yogyakarta dan tinggal untuk sementara di kamar kos
milik Ananda. Olivia adalah tokoh utama protagonis sekaligus tokoh bulat. Secara
penokohan, Olivia digambarkan sebagai seorang mahasiswi dari Jakarta. Dia
beragama Katolik.
(32) “Kos ini akan menerima sesorang mahasiswa putri dari Jakarta,”
katanya dengan suara tenang.
“Um…agamanya apa Bude?” tanya Tarjo.
“Katolik,” kata Ananda. “Setidaknya itu yang dikatakannya.”
(Yogyakarta, 2010:7-8).
Olivia adalah seorang gadis yang cerdas, cantik, bertubuh langsing, dan
berkulit putih. Ia keturunan Cina, Jerman, dan Jawa. Penampilannya menunjukkan
bahwa ia gadis metropolitan dengan dandanan khas anak muda. Tinggi badannya
sekitar 164 cm.
(33) Sesosok perempuan bertubuh langsing melangkah masuk ke dalam. Tubuhnya menebarkan wangi buah, dibalut celana pendek putih dan
tank-top kuning cerah dengan bahunya berselimutkan scarf panjang warna peach tua. Sepasang kacamata hitam disampirkan ke rambutnya dan sepatu putih yang memahkotai sepasang kaki jenjang dan mulus. Kulitnya putih bersih dengan rambut sebahu dipotong berlayer dan mata cokelat tua cerah. Peranakan Cina-Jerman-Jawa. (Yogyakarta, 2010:9).
Olivia Purnakasih adalah mahasiswi sosiologi Universitas Negeri Jakarta.
Usianya 21 tahun. Dia anak bungsu dari tiga bersaudara. Kakak pertamanya
bekerja di pabrik dan sudah menikah, sedangkan kakak keduanya pergi ke
Amerika bekerja disana dan menikah. Olivia adalah anak dari keluarga kaya raya.
Hal ini terlihat dalam kutipan berikut.
(34) Kirana Kunibert Purnakasih adalah model tahun 1980-an, seorang peranakan Cina-Jerman yang masih selalu berdandan seperti model—
juga ia menikah dengan pengusaha kaya pemilik pabrik furnitur, Swastika Purnakasih. (Yogyakarta, 2010:66).
(35) Dan sekarang, laki-laki itu menatap wajah putri bungsunya. Putra sulungnya telah menikah dan bekerja di pabrik.
Putra keduanya pergi ke Amerika, menikah dan bekerja di sana. Tinggal putri terakhir. (Yogyakarta, 2010:72).
Olivia adalah gadis yang lugu, yang belum pernah jatuh cinta. Pada usia 21
tahun dia tidak punya pacar walaupun banyak laki-laki yang menyukai dirinya.
Akan tetapi, Olivia hanya menganggap mereka teman biasa.
(36) Ia mungkin saja sudah cukup dewasa dan banyak laki-laki yang meneleponnya atau mengajaknya pergi, tapi ia belum merasa siap untuk menikah. Dengan siapa pun.
Tidak ada cowok yang disukainya. Tidak ada mereka yang berjenis kelamin laki-laki, atau pun perempuan, yang pernah benar-benar menarik hatinya.
Ia tidak tahu apa artinya jatuh cinta. Ia tidak pernah mengalaminya. (Yogyakarta, 2010:67-67).
Olivia adalah wanita yang keras kepala. Meskipun dia keras kepala, dia
sangat menyayangi kedua orang tuanya. Hal ini terlihat waktu orang tuanya
mempertemukan dia dengan Bernard Wibowo. Dia tidak menolak, tetapi setelah
pulang Olivia mengungkapkan perasaannya pada ayah dan ibunya. Olivia tidak
(37) “Pa, Ma, aku nggak suka sama dia,” kata Olivia langsung dalam
perjalanan pulang.
Ayahnya melirik spion dengan agak keheranan. ”Kamu nggak suka?
Jadi, laki-laki seperti apa yang kamu suka” tanyanya. ”Papa nggak pernah ngeliat kamu ngajak satu pun temen kencan ke rumah—
sekadar untuk referensi.”
Olivia mendesah keras. ”Pa, aku nggak pernah bawa karena aku juga
belom tahu aku suka cowok yang gimana dan seperti apa.”
(Yogyakarta, 2010:73).
Olivia akan dijodohkan dengan anak rekan kerja ayahnya, bernama Bernard
Wibowo. Bernard Wibowo adalah anak seorang pengusaha gula. Untuk
menghindari perjodohan yang dilakukan ayahnya, Olivia mempunyai ide untuk
membuat proposal penelitian tentang keraton.
(38) Hei! Bagaimana kalau di Yogyakarta? Ia selalu ingin ke sana. Tidak mungkin seorang mahasiswi sosiologi tidak pernah mengunjungi Yogyakarta, kota budaya! Ia segera browsing di internet tentang Yogyakarta, keraton, dan tempat-tempat yang mungkin didatanginya di sana.
Tentang keraton! Ya. Ia akan membuat makalah dengan tema Keraton Yogyakarta. (Yogyakarta, 2010:74-75).
Olivia adalah gadis cantik. Anak-anak kos di Yogyakarta menyukainya.
Mereka adalah Tarjo, Gerson, Yahya, dan Karta. Mereka mencoba mendekati
Olivia dengan mengajak jalan-jalan keliling kota Yogyakarta. Tarjo mencoba
mendekati Olivia. Ia mengajak Olivia makan gudeg di pinggir jalan dekat
Malioboro.
(39) Mereka memasuki sebuah restoran kecil. Meja-meja pendek dari bambu ditebar secara rapi. Olivia melepas sepatunya, kemudian duduk
bersila dan mempelajari menu. ”Kamu harus pesen kreceknya. Enak banget. Itu khas Jogja,” kata Tarjo.
“Oh, ya, aku tahu. Oke. Aku pesen satu nasi gudeg komplet,” kata
Olivia pada seorang ibu–ibu muda yang memakai kain panjang dan kebaya bermotif kembang, kemudian ia memesan teh dalam poci. (Yogyakarta, 2010:103).
Yahya juga mencoba mendekati Olivia. Yahya mengajak Olivia ke mal dan
mengajaknya makan di restoran yang ada di mal.
(40) “Apa aja,” kata Olivia sambil mengedarkan pandangannya ke dalam mal. Berbagai toko menyajikan berbagai makanan-mulai dari
franchise yang berbau kentang dan burger sampai santapan asli
Yogyakarta. ”Aku mau makanan tradisional aja. Gimana kalau makan ayam goreng?” tanya Olivia. (Yogyakarta, 2010:119).
Karta mencoba mendekati Olivia. Dia mengajak Olivia pergi ke Malioboro
dengan alasan merayakan keberhasilannya menjadi penyanyi.
(41) “Kau dengar kata Bude, kan? Kita tidak akan merayakan apa pun. Belum.”
“Oke. Kalau begitu kita makan di pinggir Malioboro aja, gimana?” “Oh, makan lesehan itu, ya?” tanya Olivia, membayangkan kehidupan Yogyakarta di waktu malam. ”Oke.” Ia menyerah, berjalan keluar.
(Yogyakarta, 2010:124).
Gerson menyukai Olivia dan mencoba melakukan pendekatan pada Olivia.
Gerson mengajak Olivia pergi ke klub malam. Olivia menerima ajakan Gerson.
Sesampainya di sana, Olivia sempat digoda oleh laki-laki karena kecantikannya.
(42) Klub itu ramai dan terletak di tengah kota. Klub itu khusus bagi orang dewasa karena minuman keras diedarkan di sana. Ia melihat Gerson berkenalan dengan beberapa anak kafe yang ada dan beberapa perempuan. Beberapa laki-laki mendekati Olivia. ”Kamu keren banget
deh. Jadi cewek gue, ya?”
“Sori. Gue dateng sama Gerson,” kata Olivia, menatap laki-laki yang terlihat menikmati suasana itu. (Yogyakarta, 2010:188).
Pendekatan Yudhistira terhadap Olivia dimulai saat mereka pergi bersama
untuk melakukan penelitian tentang keraton. Olivia mulai merasakan bahwa ia
mencintai Yudhistira. Hati Olivia jadi tidak menentu saat duduk berdekatan di
dalam becak.
(43) Saat itu Yudhistira memampatkan diri di sampingnya, Olivia segera merasa bahwa tubuhnya memberikan respons positif, seakan-akan
Dan entah mengapa, duduk berdampingan, menempel pada sisi laki-laki itu membuat jantung Olivia berdebar lebih cepat. (Yogyakarta, 2010:134).
Olivia digambarkan sebagai seorang wanita yang belum pernah jatuh cinta
pada siapa pun. Akan tetapi, di Yogyakarta dia mulai tertarik pada laki-laki
bernama Yudhistira. Yudhistira adalah putra ibu kosnya.
(44) Yudhistira menatap ke depan kembali. Ia tidak berkata apa-apa lagi, dan Olivia berkutat dengan debar jantungnya sendiri sementara semilir angin memabukkan jiwa, sampai mereka tiba di depan rumah. Yudhistira melompat turun dan mengulurkan tangan untuk membantu Olivia yang menerima bantuannya. (Yogyakarta, 2010:135)
Olivia digambarkan sebagai gadis yang mempunyai sikap yang tegas dan
tidak pendendam. Sikap itu terlihat waktu Yudhistira mencoba meminta maaf
pada Olivia karena memarahi Olivia tanpa alasan yang jelas. Akan tetapi, Olivia
tidak langsung menjawab permintaan Yudhistira yang mengajaknya ke Taman
Sari.
(45) Olivia dapat memilih. Ia dapat menghempaskan harga diri laki-laki yang sedang ringkih itu, atau menerima tawarannya. Ia akan mengambil pilihan pertama kalau masih marah. Kemarahannya belum surut dengan sempurna, namun ia mendengar dirinya berkata pendek,
”Oke.” (Yogyakarta, 2010:149).
Olivia gadis yang pencemburu. Hal itu terlihat pada saat Yudhistira
menyebut nama Antonia dan Olivia marah. Yudhistira pernah menyebut nama
Antonia pada saat leher Olivia dilukai laki-laki tak dikenal menggunakan pisau.
(46) Olivia menggelengkan kepala. “Waktu kamu nolongin aku.” Tiba-tiba Olivia sadar. ”Kamu nggak nolongin aku, ya? Kamu nolongin Antonia. Iya, kan?” Olivia berkata dengan dengan nada yang semakin tajam. (Yogyakarta, 2010:230).
Olivia sempat ragu dan marah pada Yudhistira karena tidak mau
menceritakan Antonia kepadanya. Olivia benci dengan perasaan cintanya pada
Yudhistira. Ia merasa dibohongi oleh Yudhistira.
(47) Olivia benci keadaan ini. Ia benci akan dirinya, akan perasaannya yang terasa mudah dipermainkan.
Cinta itu payah! pikirnya. Aku nggak mau lagi jatuh cinta. Ia tahu ia sedang berbohong.
Ia ingin selamanya berada dalam ayunan cinta dan tidak ingin sendirian. (Yogyakarta, 2010:232).
Olivia sangat menyanyangi Yudhistira. Terlihat waktu Yudhistira
membantu Olivia saat terluka di Candi Boko. Olivia masih penasaran dengan
Antonia mencoba mencari tahu tentang Antonia dengan cara merayu Yudhistira.
(48) Olivia menatap wajah Yudhistira yang menatapnya dengan sangat
sedih, dan di tengah dera sakitnya, ia bertanya. ”Siapa sih Antonia itu
Yud? Ceritain dong. Aku mau sayang kamu. Aku mau sayang kamu. Tapi kamu mesti jujur sama aku, Yud. Bilang dong, cerita sama aku,“
bisik Olivia mengernyit. (Yogyakarta, 2010:233-234)
Olivia sangat disayang oleh kedua orang tuanya. Orang tuanya tahu bahwa
Olivia mencintai Yudhistira. Mereka merestui hubungan Olivia dengan Yudhistira
dan membatalkan perjodohan dengan Bernard Wibowo. Olivia ditanya oleh orang
tuanya tentang keputusannya membuat jalinan cintanya dengan Yudhistira yang
berbeda agama. Akhirnya orang tua Olivia setuju pun dan Olivia memutuskan
untuk kembali lagi ke Yogyakarta. Olivia dan Yudhistira berjanji tidak akan
berpisah lagi.
(49) Dan Olivia berlari ke arahnya, memeluk lehernya, kemudian mencium
pipinya dengan keras, ”Pa, makasih, ya. Papa ngebatalin perjodohannya, ya?”
Ayahnya menepuk–nepuk tangan Olivia. ”Papa sayang kamu. Papa nggak mau lihat kamu sengsara karena ngelaksanain kemauan Papa
Mama.”
“Gentleman harus berani membuat janji dan menghadapinya kembali, bahkan kalau dia salah. Tidak ada yang mustahil di dunia ini,
Sayang.” (Yogyakarta, 2010:247-248).
Olivia sudah memastikan bahwa dia telah memilih Yudhistira sebagai
pendampingnya. Olivia kembali ke Yogyakarta untuk menemui Yudhistira dan
berjanji untuk tidak berpisah lagi.
(50) Olivia terdiam, dan Yudhistira menarik gadis itu ke tempat tidur, membuatnya terpekik, kemudian memeluknya dengan sangat erat.
“Jangan pernah pergi-pergi lagi kayak gitu,” katanya.
Olivia menggeleng dalam pelukan laki-laki itu. ”Aku nggak akan pergi, kecuali sama kamu,” katanya menatap Yudhistira. (Yogyakarta, 2010:253).