• Tidak ada hasil yang ditemukan

Organisasi Pembelajar

Dalam dokumen Oleh ARDINI RARAS H (Halaman 36-43)

II. TINJAUAN PUSTAKA

3. Kualitas proses pengelolaan pengetahuan

2.5. Organisasi Pembelajar

Organisasi pembelajar adalah organisasi yang mampu memfasilitasi pembelajaran bagi seluruh anggota organisasinya dan mengubah tindakan (transform) dan menyempurnakan dirinya berdasarkan hasil belajar anggotanya (Pedler dan Burgoyne, 1995 dan Garvin, 2000 dalam Munir, 2008).

Menurut Tjakraatmadja dan Lantu (2006), organisasi pembelajar didefinisikan sebagai organisasi yang memiliki kemampuan untuk selalu memperbaiki kinerjanya secara berkelanjutan dalam siklikal, karena anggota-anggotanya memiliki komitmen dan kompetensi individual yang mampu belajar dan berbagi pengetahuan pada tingkat superfisial maupun substansial. Dilihat dari prosesnya, pembelajaran organisasi merupakan suatu proses akumulasi pengetahuan (human capital) organisasi akibat adanya proses interaksi antara individu belajar dengan organisasi pembelajar, atau karena dorongan lingkungan kerja yang memiliki karakteristik yang kondusif untuk terjadinya proses pembelajaran organisasi (berbagi pengetahuan antara para anggota organisasi), sehingga meningkatkan kualitas kehidupan kerja organisasi.

Definisi organisasi pembelajar yang secara khusus digunakan untuk NGO (Non Goverment Organization) adalah suatu organisasi yang secara aktif menggabungkan pengalaman dan pengetahuan dari anggota dan mitra melalui pengembangan program, kebijakan, prosedur dan sistem dengan cara-cara yang

secara kontinyu meningkatkan kemampuan untuk menetapkan dan mencapai tujuan, memuaskan stakeholder, pengembangan program, nilai, pengembangan masyarakat dan pencapaian misi dengan konstituen (Aike dan Britton, 1997) Senge dalam Tjakraatmadja dan Lantu (2006) mengatakan bahwa untuk

menjadi organisasi pembelajar perlu menerapkan lima disiplin belajar yaitu: (1) Disiplin keahlian pribadi (personal mastery). Disiplin yang akan mendorong

sebuah organisasi untuk terus-menerus belajar bagaimana menciptakan masa depannya, yang hanya akan terbentuk jika individu-individu anggota organisasi mau dan mampu terus belajar menjadikan dirinya sebagai seorang

master di bidang ilmunya. Disiplin personal mastery terbentuk dicirikan oleh

tumbuhnya keterampilan-keterampilan individual para anggota organisasi untuk melakukan kontemplasi (refleksi) diri; keterampilan untuk memahami akan kelebihan dan kelemahan kompetensi intelektual; emosional maupun sosial dirinya; serta keterampilan untuk melakukan revisi atas visi pribadinya, dan kemudian keterampilan untuk membangun kondisi kerja yang sesuai dengan keadaan organisasinya.

(2) Disiplin visi bersama (shared vision). Organisasi pembelajar membutuhkan visi bersama, visi yang disepakati oleh seluruh anggota organisasinya. Visi bersama ini akan menjadi kompas dan sekaligus pemicu semangat dan komitmen untuk selalu bersama sehingga menumbuhkan motivasi kepada para karyawan untuk belajar dan terus belajar meningkatkan kompetensinya.

(3) Disiplin model mental (mental model). Organisasi akan mengalami kesulitan untuk secara akurat mampu melihat berbagai realitas yang ada, jika para anggota organisasi tidak mampu merumuskan asumsi serta nilai-nilai yang tepat untuk digunakan sebagai basis cara berpikir maupun cara memandang berbagai permasalahan organisasi. Keterampilan untuk menemukan prinsip dan nilai-nilai bersama, serta tumbuhnya semangat berbagi nilai untuk menumbuhkan keyakinan bersama sehingga menguatkan semangat dan komitmen kebersamaan, merupakan disiplin yang dibutuhkan untuk membangun disiplin model mental organisasi.

(4) Disiplin pembelajaran tim (team learning). Disiplin pembelajaran tim akan efektif jika para anggota kelompok memiliki rasa saling membutuhkan satu

dengan yang lainnya untuk dapat bertindak sesuai dengan rencana bersama. Kemampuan untuk bertindak merupakan prasyarat untuk menciptakan nilai tambah organisai, karena rencana tanpa diikuti tindakan nyata, merupakan ilusi belaka. Kemampuan untuk membangun ikatan emosional, semangat berdialog, keterampilan bekerja sama secara tim, kemampuan belajar dan beradaptasi, serta usaha untuk meningkatkan partisipasi merupakan disiplin yang dibutuhkan untuk membangun disiplin pembelajaran tim.

(5) Disiplin berpikir sistemik (system thinking). Disiplin ini berfungsi untuk melengkapi disiplin bagaimana kita belajar, yaitu disiplin untuk memahami apa sebenarnya yang kita pelajari. Faktor utama dari konteks pembelajaran dalam organisasi kontemporer adalah bagaimana kita dapat memahami kompleksitas permasalahan yang terjadi di sekitar kita, serta kita mampu berperan serta dan menciptakan perubahan yang berarti dan bermanfaat untuk mempertahankan kemampuan hidup organisasi kontemporer. Disiplin ini merupakan keterampilan untuk memahami struktur hubungan antara berbagai faktor internal maupun eksternal yang mempengaruhi eksistensi organisasi, keterampilan untuk berpikir integratif dan tuntas, keterampilan untuk berpikir komprehensif, serta keterampilan untuk membangun organisasi yang adaptif.

Organisasi pembelajar memiliki tiga karakteristik menurut Garrat (1990)

dalam Munir (2008). Tiga karakteristik tersebut, yaitu:

ƒ Pertama, organisasi pembelajar mendorong orang-orang di semua level untuk belajar secara reguler dan bekerja keras dari pekerjaannya.

ƒ Kedua, organisasi pembelajar memiliki sistem untuk menangkap pembelajaran dan memanfaatkannya pada hal atau tempat yang membutuhkannya.

ƒ Ketiga, organisasi pembelajar menghargai pembelajaran dan mampu secara terus-menerus melakukan transformasi dirinya sebagai hasil pembelajaran. Bangunan organisasi pembelajar dapat dilihat pada gambar di bawah ini

Gambar 5. Bangunan Organisasi Pembelajar

(1) Fondasi “bangunan organisasi pembelajar” berdiri di atas fondasi rasa saling percaya dan budaya belajar.

(2) Struktur pilar pertama “bangunan organisasi pembelajar” dibangun oleh keterampilan belajar yang minimal terdiri dari:

a. Keterampilan memecahkan permasalahan secara sistematik.

b. Keterampilan bereksperimen dengan menggunakan pendekatan baru c. Kemampuan belajar dari pengalaman dan/atau sejarah masa lalu d. Kemampuan belajar dari praktisi yang berhasil

e. Kemampuan mentransfer pengetahuan dengan cepat dan efisien

(3) Struktur pilar kedua “bangunan organisasi pembelajar” dibangun oleh fasilitas belajar yang terdiri dari:

a. Informasi sistemik b. Struktur organisasi c. Sistem penghargaan

(4) Atap “bangunan organisasi pembelajar” dibangun oleh disipilin belajar yang terdiri dari:

a. Disiplin keahlian pribadi b. Disiplin berbagi visi c. Disiplin model mental d. Disiplin berpikir sistemik e. Disiplin tim pembelajar

(5) Enabler organisasi pembelajar dipengaruhi oleh kualitas kepemimpinan

Literatur tentang organisasi pembelajar dan NGO efektif mengusulkan delapan fungsi kunci yang harus dilakukan untuk belajar secara efektif, yaitu: 1. Menciptakan budaya yang mendukung

Hal ini berkaitan dengan pemberian penghargaan terhadap kontribusi staf, penciptaan iklim belajar, sumber daya dan fasilitas untuk pengembangan individu serta kebebasan untuk berdiskusi tentang isu yang berkembang.

2. Mengumpulkan pengalaman internal

Fungsi ini berkaitan dengan prosedur-prosedur sistematis untuk mengumpulkan pengetahuan yang ada di organisasi dan peningkatan kapasitas individu.

3. Mengakses Pembelajaran Eksternal

Mengakses pembelajaran eksternal berkaitan dengan mengumpulkan pengetahuan dan informasi yang didapatkan di luar organisasi sebagai bahan pembelajaran di dalam organisasi.

4. Sistem Komunikasi

Komunikasi mengalir bebas di seluruh organisasi antar divisi serta dapat diakses informasinya dengan mekanisme yang baik.

5. Mekanisme untuk menarik kesimpulan

Pembelajaran yang didapatkan disadari sebagai kebutuhan semua anggota organisasi serta pangawasan dan evaluasi yang dilakukan di masing-masing program secara rutin dianalisis untuk mengidentifikasi apa yang telah dipelajari dan apa yang dapat diterapkan di masa yang akan dating.

6. Mengembangkan Memori Organisasi

Faktor ini berkaitan dengan mekanisme penyimpanan pengetahuan melalui pengembangan database yang mudah diakses oleh anggota organisasi dan penyimpanan pengetahuan ketika anggota organisasi meninggalkan organisasinya.

7. Mengintegrasi Pembelajaran ke dalam strategi dan kebijakan

Pembelajaran yang diperoleh diintegrasikan ke dalam strategi organisasi dan kebiijakan organisasi dengan melibatkan anggota organisasi.

8. Menerapkan Pembelajaran

Peningkatan kapasitas individu untuk mendukung kegiatan organisasi serta konversi pengetahuan tacit menjadi pengetahuan eksplisit yang dapat dibagi untuk meningkatkan kapasitas organisasi dalam menjalankan programnya.

2.6. NGO (Non Government Organization)

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) semula dikenal sebagai Organisasi Non Pemerintah atau Ornop. Istilah Ornop adalah terjemahan dari

Non-Government Organization atau NGO. Sebagian masyarakat menganggap bahwa

LSM adalah suatu lembaga swadaya yang bekerja untuk pembangunan masyarakat kecil yang tertindas, masyarakat miskin atau mereka yang terpinggirkan.

Chambers dalam Mudgal (2006) mengenalkan konsep ‘additionality’

untuk menggambarkan sumbangan potensial dari Ornop bagi proses pembangunan. Konsep ‘additionality’ itu dimaksudkan sebagai upaya membuat sesuatu lebih baik daripada yang sebelumnya, yang memberi kemungkinan baik maupun buruk. Upaya mencari ‘additionality’ yang tinggi memerlukan empat unsur yaitu mengidentifikasikan dan mempertemukan kebutuhan dan peluang; menilai manfaat terbandingkan (comparative advantage) yaitu melihat apa yang dikerjakan oleh satu Ornop dibandingkan dengan yang dikerjakan Ornop lain; belajar dan menerima lewat aksi; dan mencapai dampak yang luas. Satu Ornop dapat mencapai teknologi hingga semakin luas; mengembangkan dan menggunakan pendekatan yang kemudian diadopsi oleh Ornop lain ataupun oleh pemerintah; mempengaruhi perubahan kebijakan dan tindakan donor; mengambil manfaat dan menebarkan pemahaman tentang pembangunan.

Pada mulanya Ornop dilihat sebagai organisasi yang bergerak secara eksklusif pada tingkat lokal dengan tujuan memenuhi kebutuhan kelompok miskin tanpa mempertimbangkan dampak yang luas, akan tetapi kemudian terjadi pergeseran yang mendasar yakni bahwa Ornop tidak lagi hanya berupaya ‘memenuhi kebutuhan kelompok miskin’ melainkan juga membantu mereka mengartikulasikan kebutuhan mereka dan memberikan kemampuan kepada

mereka untuk mengontrol proses pengambilan keputusan yang dapat mempengaruhi kehidupan mereka (Drabek dalam Mudgal, 2006).

Menurut Riker (1995) NGO merupakan organisasi yang dibentuk oleh kalangan yang bersifat mandiri. Organisasi seperti ini tidak menggantungkan diri pada pemerintah, negara terutama dalam dukungan keuangan dan sarana atau prasarana. Sekalipun mendapat dukungan dana dari lembaga-lembaga internasional, tidak berarti kalangan NGO sama sekali terlepas dari pemerintah, karena tidak jarang pemerintah memberikan fasilitas penopang, seperti pemberian bebas pajak untuk aktivitas dan asset yang dimiliki oleh NGO (Gaffar, 2002). Pembeda NGO dengan organisasi-non pemerintah lainnya terletak pada visi, misi dan orientasi yang melintasi kepentingan staf dan anggotanya serta cara-cara yang ditempuh dalam rangka mencapai tujuan. Cara yang ditempuh NGO adalah melibatkan masyarakat atau kelompok sasaran dalam setiap kegiatan yang dilakukan serta tidak berorientasi pada kepentingan (non-profit oriented), tetapi sebaliknya bertujuan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam proses pembangunan. Riker (1995) mengkategorikan NGO ke dalam empat kelompok, yaitu:

1. Government organized NGOs atau Gongos, yaitu NGO yang muncul karena mendapat dukungan dari pemerintah, baik berupa dana maupun fasilitas. Biasanya NGO seperti ini berperan menyukseskan program-program pemerintah. Di Indonesia NGO seperti ini dikenal dengan sebutan NGO “plat merah”.

2. Donor organized NGOs or Dongos, yaitu NGO yang dibentuk oleh kalangan lembaga donor, baik yang bersifat multirateral maupun unilateral. NGO seperti ini biasanya dibentuk untuk mewujudkan program lembaga donor tersebut.

3. Autonomous or Independent NGOs, yaitu NGO yang dibentuk, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. NGO seperti ini sifatnya independen secara finansial dan memiliki kepedulian yang sangat luas tentang berbagai hal dalam kehidupan sehari-hari.

4. Foreign NGOs yaitu NGO yang muncul sebagai perwakilan dari NGO yang ada diluar negeri. Kehadirannya, tentu saja harus selalu setahu atau mendapat izin dari negara tempat NGO tersebut beroperasi.

Dalam dokumen Oleh ARDINI RARAS H (Halaman 36-43)

Dokumen terkait