• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menurut Hamid ( Syaifuddin, 2017) resam, adat, dan agama merupakan tiga sistem nilai yang mendasar dalam kehidupan orang Melayu, khususnya manusia Melayu yang di Sumatera Timur. Ketiga tata nilai ini yang membentuk pandangan dan sikap hidup. Dalam orientasi nilai yang beradat Melayu menyadari Bahasa adalah Lambang Budi Pekerti.Bahasaharus Memperlihatkan yang Batin. Itulah

sebabnya Raja Ali Haji sampai membuat gurindam, “Jika hendak melihat orang berbangsa lihat kepada budi bahasa”; dan Persaudaraan Harus Wujud dalam Kebersamaan dan Sederhana dalam Penampilan Hidup. Umpamanya berusaha

tidak melampaui norna-norma yang berlaku karena para pelampau akan melahirkan sikap serakah, egois, dansombong sehingga merusak pergaulan social;

kemudian, Martabatatau Harga Diri Berada di atas Nilai Kebendaaan.;

Maknanya, kata Raja Ali Haji orang yang memelihara budi pekerti. Maka, sejatinya seorang yang dibesarkan dalam suasana Melayu, memperlakukan alam sebagai suatu realitas spiritual. Artinya, tidak hanya tumbuhan dan tanaman yang merupakan sebuah mukjizat yang mencerminkan keberadaan unsur hayati, tetapi tanah, air, sungai, langit, matahari,bulan dan bintang memancarkan pula kandungan dari kehidupan yang sama.

Selanjutnya, orientasi nilai orang beradat Melayu menyadari bahwa Harta itu yang Utama Berkahnya, Bukan Jumlahnya. Maka, sesungguhnya harta yang diperoleh dengan kekerasan dan merebut serta merampas tidak akan memberi berkah; dan Kejujuran adalah Penampilan Harga Diri yang Utama. Maka,

15

sesungguhnya, sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya; dan Keseimbangan Lahir dan Batin Merupakan Cambuk Mahkota Kehidupan. Maka,

sejatinya kekuasaan terbagi atas beberapa teraju kehidupan. Beraja di hati bersultan di mata hanya akan mendatangkan malapetaka. Selain itu, orintasi nilai orang beradat Melayu ialah Perselisihan Sedapat Mungkin Dihindarkan dan Hidup dan Waktu Tidak Dihubungkan dengan Baik. Maka, sesunggunya hidup

memang berharga, tetapi waktu sering diabaikan. Oleh karena pengertian waktu sering merujuk pada waktu sembahyang, tidak dilengkapi dengan waktu untuk bekerja; dan terakhir, Menonjolkan Diri Dipandang sebagai Akhlak yang Tidak Baik. Artinya, Hukum yang Terkandung di dalam Adat dan Undang-Undang yang

Dibuat oleh Kerajaan (negara) Jangan Dipermainkan.

Lain hal yang diutarakan oleh Tabrani (Syaifuddin, 2014) bahwa orientasi nilai beradat Melayu menjadikan manusia Melayu berkarakter dalam kehidupan sehari-hari. Adapun karakter tersebuat adalah;

Manusia Melayu dan Alam Melayu adalah kesatuan dalam sastra. Alam Melayu adalah sumber inspirasi sastrawan. Manusia Melayu dibatasai adat istiadat dan agama yang keduanya mewujudkan etika. Kehalusan budi bahasa, bertutur dengan adab sopan santun menyebabkan kata-kata yang dirangkai dengan segala kehalusan.

Banyak pandangan negatif pada era kini yang dilontarkan kepada manusia nilai adat Melayu. Dinyatakan bahwa manusia yang tidak terikat kepada waktu.

Mempunyai ambisi yang sangat sederhana. Terbatas dalam tindakan dan keinginan. Manusia Melayu hanya memandang masa silam dan hampir-hampir tidak pernah memandang ke masa depan. Manusia yang beranggapan bahwa dunia hanya tempat lewat dan tempat untuk berbuat baik. Kehidupan abadi hanya di alam barzah. Manusia yang mengganggap dirinya hanya sebagai viator mundi, hanya berziarah ke dunia ini. Bukan sebagai faber mundi, dunia yang harus diolah. Rezeki diturunkan oleh Tuhan. Ada anak-anak rezeki. Mereka pun tidak mempunyai usaha untuk memperbaiki kehidupan. Menggangap dirinya sebagaian dari alam. Manusia yang kadang-kadang memuja kebesaran alam sebagai kelanjutan tradisi animisme. Ketentraman dan kebahagiaan hidup senantiasa menjadi tujuan utama. Menjaga silaturahmi dalam masyarakat dan bukan hidup berkompetisi. Walaupun pada sisi yang lain harus pula diakui rasa iri hati adalah juga merupakan sifat manusia Melayu.

Orang Melayu lebih mementingkan tamu dari pada diri sendiri, lebih-lebih terhadap orang asing. Mereka memanggil “Tuan” pada orang kulit putih dan sekaligus mengungkapkan inferioritas manusia Melayu. Kecenderungan untuk menghindari konflik adalah merupakan ciri khasnya pula, apalagi untuk berdebat secara argumentatif dan secara berhadap hadapan. Mereka lebih cenderung meninggalkan tempat dari pada menentang oleh karena dapat menimbulkan tekanan batin.

17

Orang melayu cenderung untuk selalu menjaga persahabatan. Yang paling ditakuti oleh orang Melayu adalah terasing dalam masyarakat. Mereka sangat berat untuk menyatakan tidak.suatu penolakan secara terus terang lebih cenderung diganti dengan alasan-alasan. Dari sisi di atas dapatlah disimpulkan bahwa manusia Melayu sangatlah perasa.

Kecenderungan untuk menghindari konflik menyebabkan manusia Melayu sering lari ke dalam dirinya sendiri yang disebut dengan “merajuk”. Sambil merajuk ia mencari keseimbangan-keseimbangan emosi dengan membuat imajinasi-imajinasi kompensasi. Apabila amarah telah sampai ke titik didihnya maka emosi demikian tingginya menyebabkan adat istiadat, agama dan faktor lingkungan akan hilang sehingga kehilangan kemanusiaannya. Hanya terdapat satu tujuan hewani yakni membinasakan lawan. Tidak lagi memperhitungkan akibat sehingga kehilangan kontrol terhadap diri yang sering disebut dengan

“amuk”. Di dalam amuk ini hilanglah perhitungan-perhitungan terhadap masa depan.

Dalam kehidupan sehari-hari emosi orang Melayu adalah emosi yang low profile. Menghindari cara-cara yang kasar, menyatakan sesuatu secara simbolik bahkan tampak kekakuan motorik bila mereka berkomunikasi. Artinya sesudah bersalam kedua tangan dibawa ke dalam. Samalah dengan menerima hikmah persahabatan secara terbuka.

Melihat latar belakang kehidupan orang Melayu, maka unsur yang menentukan kehidupan orang Melayu adalah adat-istiadat dan agama yang

membentuk etika. Kedua unsur ini membawa kehalusan budi Melayu untuk mengungkapkan fikirannya, sehingga mereka mengekspresikan bahasa dalam simbol-simbol. Mereka berkomunikasi dalam bahasa ekspresif. Untuk menyampaikan argumentasi mereka menggunakan bahasa ekspresif dalam kiasan-kiasan yang bersikap baik.

Beberapa kajian tentang Melayu yang dilakukan oleh para sarjana Barat kerap mengenepikan nilai budi dalam falsafah sosial budaya Melayu yang menjunjung nilai kehalusan, kemuliaan, dan berdaulat tersebut. Oleh karena itu, hasil kajian mereka sering menyuarakan bahwa Melayu adalah pemalas, suka bercinta, tak bisa dipercayai atau suka menghianat serta pemboros, sebagaian kecil saja hasil kajian merekamengungkapkan bahwa orang Melayu sebagai bangsa yang bermarwah.

Swettenham dalam bukunya “The Real Malay” beliau lah yang diantara yang mengatakan tentang Melayu, tetapi memahami budi dalam falsafah sosial budaya Melayu. Ia menyatakan bahwa : “Seorang Melayu itu biasanya konservatif, begitu patuh, mencintai tanah airnya, dan memandang tinggi adat serta tradisinya, patuh kepada raja-rajanya, dan orang Melayu menghormati kelembagaan, orang Melayu juga senantiasa mencurigai segala bentuk perubahan yang coba dilaksanakan.

Satu orang lagi bernama Wheeler mengatakan pula bahwa orang Melayu itu :

“memiliki watak suka berjenaka biasanya mudah dikenali, jujur, dan berada, berani, tekun jika sekiranya mereka pikir patut dibuat. Walaupun kadang kala

19

orang Melayu agak lembab karena bersifat penyabar dan penyayan serta terdiri dari orang-orang yang cerdik dan berperibadi mulia atau berbudi”

Berdasarkan pengetahuan dari sarjana Barat di atas memberi pemahaman tentang keberagaman kajian dan menunjukan minat terhadap sosial budaya Melayu. Disamping itu kita dapat memahami apabila saat ini ada seseorang yang masih mengatakan Melayu, seperti kata-kata pemalas dan penghianat tersebut, ia seorang yang tidak memahami budaya orang Melayu atau katakanlah orang yang lebih berorientasi kepada mentalitas kolonial dan peodalistik.

Pendekatan yang digunakan untuk memahami makna konteks sosial sastra Melayu tradisi mengejawantahkan bahwa; memasuki akal budi, mengikuti alur perasaan, dan rasa keindahan serta simbolik juga kosmos masyarakatnya.

Memasuki arena ini kerap menimbulkan pemikiran yang terasa “maha luas”

karena estetika sastra Melayu berawal, bermuatan, dan terbentuk dari fenomena alam, kepercayaan, dan keyakinan serta perilaku adat resam masyarakatnya.

Oleh karena itu, sejatinya karya sastra Melayu tradisi adalah akar tunggangdan citra jati diri bangsa.

Dokumen terkait