BAB II : Kajian Pustaka
2.2 Orientasi Religius
2.2.1 Pengertian Orientasi Religius
Dalam kamus psikologi J.P. Chaplin (2006), religion (agama) adalah suatu
sistem yang kompleks dari kepercayaan, keyakinan, sikap-sikap, dan
upacara-upacara yang menghubungkan individu dengan satu keberadaan atau makhluk
Orientasi religius didefinisikan sebagai cara pandang individu mengenai
kedudukan agama dalam hidupnya yang menentukan pola bentuk relasi individu
dengan agamanya (Worthington dalam Priska dan Henny, 2004).
Menurut Allport dan Ross “Religious orientation has been defined as the
extent to which a person lives out his or her religious belief”. Orientasi religius
telah didefinisikan sebagai tingkat dimana individu hidup dengan keyakinan
agamanya (McCormick, Hoekman & Smith, 2000).
Batson dan Ventis (Earnshaw,2000) juga mengemukakan bahwa orientasi
religius adalah istilah yang digunakan oleh para psikolog untuk mengarahkan
kepada bagaimana individu mempraktikkan atau hidup dengan keyakinan dan
nilai-nilai agamanya (religious orientation is the term employed by psychologists
to refer to the way in which a person practices or lives out his or her religious belief and values).
Dari beberapa pengertian yang telah diungkapkan di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa orientasi religius adalah cara pandang individu mengenai
agamanya serta bagaimana individu tersebut menggunakan agama atau
keyakinannya dalam kehidupan sehari-hari.
2.2.2 Ragam Orientasi Religius
Allport dan Ross (Fuad Nashori, 1998) tipe orientasi religius dapat dibagi
menjadi dua, yaitu orientasi religius intrinsik dan orientasi religius ekstrinsik.
a. Orientasi Religius Intrinsik
Menurut Crapss (1993) orientasi religius intrinsik adalah agama yang dihayati
dan dipandang bernilai bagi dirinya sendiri, yang menuntut keterlibatan dan
mengatasi kepentingan sendiri.
Bagi individu tersebut agama sudah menyatu dan tidak terpisahkan dengan
kehidupan. Individu yang berorientasi religius intrinsik menerapkan atau
menjalankan ajaran agama dalam kehidupannya secara konkrit. Allport
menyatakan bahwa agama semacam ini adalah religi yang dewasa atau
mengandung keinginan untuk suatu komitmen yang merupakan penggabungan
yang ideal dari hidup individu. Bagi individu agama sudah menyatu dan tidak
terpisahkan dengan kehidupan (Crapps dalam Priska N. & Henny E.W., 2004).
Menurut Ventis (Ryckman, 2008) individu yang berorientasi religius intrinsik
akan menganggap keyakinan agama sebagai tujuan itu sendiri. Keyakinan
agama mereka membantu mengintegrasikan kepribadian mereka dan
menghasilkan moralitas yang konsisten.
b. Orientasi Religius Ekstrinsik
Allport dan Ross (Fuad Nashori, 1998) menjelaskan bahwa individu yang
menganut orientasi religius ekstrinsik akan memandang agama dalam rangka
kegunaan untuk berbagai hal, antara lain untuk memperoleh rasa aman,
penghiburan, pembenaran diri, memperbaiki status, dan bertahan melawan
kenyataan atau member sanksi pada suatu cara hidup. Bagi mereka, keyakinan
yang dipeluknya cenderung dianut atau dilambangkan secara selektif agar
orientasi ini cenderung memanfaatkan agamanya demi
kepentingan-kepentingan sendiri. Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa individu yang
berorientasi religius ekstrinsik “memanfaatkan agamanya”.
Menurut Hardjana (Toifur, 2003), orientasi religius ekstrinsik adalah iman
yang tidak menyatu dengan pribadi orang yang beragama. Baginya iman
merupakan masalah luar yang tidak mempengaruhi cara berpikir, berkehendak,
dan berperilaku. Orang yang berorientasi religius ekstrinsik bukan mengahayati
tetapi menggunakan iman demi kepentingan pribadi. Agama dianut dengan
pamrih karena kepentingan pribadi, ekonomi, sosial yang ada di luar
kepentingan iman. Bagi individu semacam ini, menganut agama adalah cara
untuk mendapatkan kehangatan, pertolongan dan perlindungan di tengah
kehidupan yang tidak menentu.
2.2.3 Aspek-aspek Orientasi Religius
Menurut interpretasi Hunt dan King (Widyana, 1998) mengenai beberapa
aspek yang berkaitan dengan masing-masing orientasi religius yang
dikembangkan dari definisi Allport adalah sebagai berikut:
a. Personal vs Institusional
Personal yaitu meyakini secara personal nilai-nilai ajaran agama sebagai hal
yang vital dan mengusahakan tingkat penghayatan yang lebih dalam,
sedangkan institusional yaitu penghayatan agama yang bersifat institusional
b. Unselfish vs Selfish
Unselfish maksudnya berusaha mentransendensikan kebutuhan-kebutuhan
yang berpusat pada diri sendiri, sedangkan selfish adalah pemuasan diri sendiri,
pemanfaatan protektif untuk kepentingan pribadi.
c. Relevansi terhadap seluruh kehidupan vs Disiintegrasi
Relevansi maksudnya memenuhi kehidupannya dengan motivasi dan makna
religius, sedangkan disiintegrasi yaitu agama terpilah atau tidak terintegrasikan
ke dalam keseluruhan pandangan hidupnya.
d. Kepenuhan penghayatan keyakinan yaitu beriman dengan sungguh dan
menerima keyakinan agama secara total tanpa syarat vs Keyakinan dan ajaran
agama yang dihayati secara dangkal
e. Pokok vs Instrumental
Keyakinan agama sebagai tujuan akhir, nilai dan motif yang utama dan sangat
signifikan, sedangkan instrumental yaitu keyakinan agama sebagai sarana
mencapai tujuan, memanfaatkan agama untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
lain yang non-religius.
f. Assosiasional vs Komunal
Assosiasional yang dimaksud adalah keterlibatan religius demi pencarian
religius yang lebih dalam, sedangkan komunal maksudnya afiliasi (pertalian
atau hubungan) demi sosiabilitas dan status.
g. Keteraturan penjagaan perkembangan iman yaitu penjagaan perkembangan
iman yang konsisten dan teratur vs Ketidakteraturan penjagaan perkembangan
2.2.4 Beberapa Hal yang Terkait dengan Orientasi Religius
Untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan orientasi religius ada
beberapa penelitian yang telah dilakukan, yaitu:
a. Fisik
Faktor fisik ini terdiri dari usia, jenis kelamin, dan tingkat pendidikan.
Strickland & Shaffer mengemukakan bahwa orang yang lebih tua cenderung
memiliki orientasi religius internal lebih kuat dari pada orang yang lebih muda,
dan orang yang pendidikan formalnya lebih tinggi biasanya memiliki orientasi
religius yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang pendidikannya lebih
rendah (McCormick, Hoekman & Smith, 2000).
b. Kesehatan mental dan psikis
Batson & Ventis menjelaskan bahwa orientasi religius berhubungan secara
positif dengan kesehatan mental yang baik dan kebebasan dari perasaan
bersalah atau khawatir (Earnshaw, 2005).
Penelitian Beit-Hallahmi & Argyle (1997) menyatakan bahwa individu yang
sering datang ke gereja jarang meninggal cepat karena gagal jantung atau
penyakit serius lainnya. Penelitian lain yang dilakukan oleh Genia & Shaw
(1991) menyatakan bahwa orientasi religius intrinsik juga terprediksi untuk
rendahnya tingkat depresi. Dalam dua penelitian lebih lanjut oleh McFarland &
Warren (1992) ditemukan bahwa orientasi religius intrinsik berhubungan
negatif dengan depresi, sedangkan orientasi religius ekstrinsik berhubungan
berhubungan dengan kesehatan dan kesejahteraan psikologis (Earnshaw,
2005).
c. Perilaku sosial
Orientasi religius juga dapat meramalkan perilaku sosial. Berbagai perilaku
yang telah diuji dalam penelitian utama termasuk prasangka yang dilakukan
oleh Beit-Hallahmi & Argyle (1997), hasilnya adalah individu dengan orientasi
religius intrinsik umumnya tidak memiliki prasangka (prejudice) sebesar
individu dengan orientasi religius ekstrinsik (Earnshaw, 2005).
2.3 Kerangka Berpikir
Kecerdasan emosional memerlukan pengembangan yang sebaik-baiknya
melalui pola bimbingan holistik, berpusat pada kehidupan keluarga yang
berdasarkan nilai-nilai religi dan bernuansa pendidikan dalam suasana harmoni
budaya bangsa (Netty Hartati, 2006).
Menurut Darajat (2003) agama mempunyai peran penting dalam
pengendalian moral individu. Kualitas pemahaman keagamaan individu akan
menentukan semua perilaku yang dilakukannya. Semakin baik pemahaman
nilai-nilai agama individu semakin baik yang ditampilkan, tetapi sebaliknya
pemahaman nilai-nilai agama yang kurang baik akan membawa individu pada
sikap yang bertentangan dengan nilai-nilai agama dan norma masyarakat.
Pemahaman serta cara pandang individu terhadap agamanya akan
memberikan pengaruh penting dalam kehidupannya, baik kehidupan pribadi
agamanya akan membawa individu hidup dalam kedamaian, penuh kasih sayang,
dan tanpa kekerasan. Individu akan mampu mengendalikan emosi terhadap
dirinya sendiri dan orang lain. Individu juga akan mampu mengenal dan
memahami perasaan orang lain serta mampu membina hubungan baik dengan
orang-orang yang ada di sekitarnya.
Individu dengan orientasi religius intrinsik akan menekankan hidupnya pada
kepentingan agama. Agama dijadikan motivasi utama untuk mengatur seluruh
hidupnya. Segala kebutuhan hidupnya sebisa mungkin selalu selaras dengan
ajaran agamanya. Ketaatan beragama semacam ini adalah motif utama dalam
kehidupan sehingga dianggap menunjang kesehatan mental dan kedamaian
masyarakat. Dengan cara itu individu mampu menciptakan keyakinan yang penuh
kasih sayang serta hubungan baik dengan sesama.
Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Ventis dkk (dalam Ryckman,
2008), menunjukkkan bahwa individu dengan orientasi religius intrinsik
cenderung menjadi individu yang aman secara emosional, lebih fleksibel dalam
menghadapi masa-masa genting serta mampu menghadapinya. Individu ini juga
akan termotivasi untuk membantu orang lain yang membutuhkan. Dari California
Psychological Inventory (Bergin dalam Rahma Widyana, 1998), menemukan
bahwa bahwa orientasi religius intrinsik berhubungan secara positif dengan
beberapa aspek kepribadian seperti kematangan sosial, bertanggung jawab,
memiliki perasaan senang, dan efisiensi intelektual.
Orientasi religius intrinsik dapat memberikan pengaruh bagi individu dalam
dirasakannya dengan baik. Mampu melepaskan diri dari kecemasan, kemurungan,
atau ketersinggungan. Individu ini juga memiliki kemampuan untuk membina
hubungan baik dengan orang lain melalui kebiasaannya untuk menolong orang
lain yang membutuhkan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa individu
dengan orientasi religius intrinsik akan mampu meningkatkan kecerdasan
emosional yang ada pada dirinya secara sempurna karena individu ini memiliki
kemampuan-kemampuan yang merupakan aspek dari kecerdasan emosional.
Menurut Allport, individu dengan orientasi religius ekstrinsik akan
cenderung menggunakan agama terutama untuk kepentingan diri sendiri, motif
tersembunyi seperti rasa aman, kesenangan, status, atau dukungan sosial. Ventis
dkk (Ryckman, 2008), dalam penelitiannya menyebutkan bahwa individu dengan
orientasi religius ekstrinsik akan berbanding terbalik dengan individu yang
berorientasi religius intrinsik. Kemudian Bergin (dalam Rahma Widyana,1998)
mengemukakan bahwa orientasi religius ektrinsik berkorelasi negatif dengan
kemampuan sosial, sikap tenang dan spontan, bertanggung jawab, toleransi,
perasaan senang, keberhasilan menyesuaikan diri, keberhasilan untuk mandiri,
efisiensi intelektual dan kualitas yang mendasari munculnya status diri.
Individu dengan orientasi religius ekstrinsik tidak akan termotivasi untuk
memperhatikan keadaan orang lain karena mereka hanya ingin memenuhi
kepentingan pribadinya. Mereka tidak memiliki kemampuan sosial yang baik.
Individu ini hanya mau membina hubungan dengan orang-orang yang dapat
memberikan keuntungan bagi dirinya dalam mewujudkan keinginan pribadinya.
empati dan perilaku sosial yang baik. Mereka akan mudah merasa cemas, takut,
mudah murung, dan sulit menghadapi masa-masa sulit dalam hidupnya sehingga
mereka akan kesulitan untuk meningkatkan kecerdasan emosional.
Dengan demikian, diduga bahwa individu yang cenderung berorientasi
religius intrinsik akan mampu meningkatkan kecerdasan emosionalnya.
Sedangkan individu yang cenderung berorientasi religius ekstrinsik tidak akan
mampu meningkatkan kecerdasan emosionalnya.
2.4 Hipotesis
Ha1: Ada pengaruh positif yang signifikan orientasi religius terhadap kecerdasan
emosional guru Pondok Pesantren Daar el-Qalam Tangerang
Ha2 : Ada pengaruh positif yang signifikan orientasi religius intrinsik terhadap
kecerdasan emosional guru Pondok Pesantren Daar el-Qalam Tangerang
Ha3 : Ada pengaruh negatif yang signifikan orientasi religius ekstrinsik terhadap
BAB III
METODE PENELITIAN
Untuk menguji hipotesis yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, pada
bab ini akan diuraikan beberapa hal yang berkaitan dengan penelitian tentang
hubungan antara orientasi religius dengan kecerdasan emosional pada guru
Pondok Pesantren Daar el-Qalam, Gintung, Jayanti, Tangerang. Bab tiga ini
terdiri dari jenis dan metode penelitian, variabel penelitian, populasi dan sampel,
metode pengumpulan data, uji instrument, prosedur penelitian, dan teknik analisa
data.