• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kata oranamen berasal dari bahasa Latin ornare, yang artinya hiasan atau perhiasan (Soepratno, 1983: 11) berdasar arti kata tersebut berarti menghiasi. Menurut Gustami dalam Sunaryo (2009: 3) menjelaskan bahwa ornamen adalah komponen produk seni yang ditambahkan atau sengaja dibuat untuk tujuan sebagai hiasan. Jadi, berdasarkan pengertian di atas, ornamen merupakan penerapan hiasan pada suatu produk. Bentuk-bentuk hiasan yang menjadi ornamen fungsi utamanya adalah untuk memperindah benda produk atau barang yang dihias. Benda produk tersebut, tetapi setelah ditambahkan ornamen padanya diharapkan menjadikannya semakin indah.

Ornamen yang ditambahkan pada suatu produk memiliki nilai simbolik sesuai dengan tujuan dan gagasan pembuatnya, sehingga dapat meningkatkan status sosialkepada yang memiliki. Maka sesungguhnya ornamen tidak dapat dipisahkan latar belakang sosial budaya masyarakat bersangkutan. Umunya setiap ornamen memiliki ciri-ciri yang jelas dan berbeda anatar satu dengan yang lain sesuai dengan masyarakat pendukungnya, sebagai manifestasi dari sistem gagasan yang menjadi acuannya.

Menurut Kusmiati (2004: 17), arsitektur adalah bagian dari kebudayaan, dan nilai-nilai budaya diungkapkan melalui relief yang terpasang sebagai ragam hias (ornament) tidak terpisahkan dari bangunan. Kehadiran sebuah ornamen tidak semata sebagai pengisi bagian kosong dan tanpa arti, lebih-lebih karya ornamen masa lalu. Ornamen memiliki beberapa fungsi, yakni: (1) fungsi murni estetis, (2) fungsi simbolis, (3) fungsi teknis konstruktif, (Sunaryo, 2009: 4).

Fungsi murni estetis merupakan fungsi ornamen untuk memperindah penampilan bentuk produk yang dihiasi sehingga menjadi sebuah karya seni. Fungsi ornamen yang demikian itu tampak jelas pada produk-produk benda kerajinan atau seni kriya.

Fungsi simbolis ornamen pada umumnya dijumpai pada produk-produk benda upacara atau benda-benda pusaka dan bersifat keagaman atau kepercayaan. Ornamen yang menggunakan motif kala, biawak, naga, burung, atau garuda misalnya, mmiliki fungsi simbolis. Sebagai contoh pada gerbang Kemagangan di komplek keraton Yogyakarta, terdapat motif hias berbentuk dua ekor naga yang saling berbelitan bagian ekornya. Ornamen itu sebagai tanda titimangsa berdirinya keraton, juga merupakan simbol bersatunya raja dengan rakyat yang selaras dengan konsep manunggaling kawula-gusti dalam kepercayaan Jawa.

Secara struktural ornamen berfungsi teknis untuk menyangga, menopang, menghubungkan atau memperkokoh konstruksi, karena itu ornamen memiliki fungsi konstruktif. Tiang, talang air, dan bumbungan atap ada kalanya didesain dalam bentuk ornamen, yang memperindah penampilan karena fungsi hiasnya sekaligus juga berfungsi konstruktif. Adanya fungsi teknis konstruktif sebuah

ornamen terkait erat dengan produk yang dihiasinya. Artinya, jika ornamen itu dibuang maka berarti pula tak ada produk yang bersangkutan.

Dalam konteks seni rupa, klasifikasi seni ornamen tradisional Hindu-Jawa di bagi menjadi tiga kelompok, yaitu: (1) seni ornamen dari benua atas yang diwujudkan dalam bentuk binatang burung. Burung sebagai simbol roh atau lambang kematian dan kebangkitan kembali, atau dewa dunia atas, khusus burung garuda di Jawa maknanya sebagai kendaraan dewa Wisnu; (2) seni ornamen dari benua bawah yang ditampilkan dalam bentuk binatang ular. Ular merupakan binatang golongan rendah, simbol kemakmuran dan kesejahteraan, atau lambang perempuan; (3) seni ornamen tanaman, sulur-suluran, tumpal, manusia, dan binatang lainnya disebut dengan benua tengah. Biasanya divisualisasikan dalam pohon hayat atau gunungan (kekayon). Kelompok ragam hias ini melambangkan kesatuan, keesaan tertinggi, dan sumber kehidupan manusia, (Marizar, 2013: 124)

Di dalam seni rupa Indonesia tiap-tiap bentuk ornamen mempunyai arti, misal pada seni kerajinan batik, seni ukir, sungging dan sebagainya, dimana ornamen-ornamen tersebut memeiliki arti sebagai berikut.

Tabel 1. Ornamen dan perlambangannya Ornamen Melambangkan Swastika Alam semesta Garuda Dunia atas Burung Merak Kendaraan dewa Pohon Hayat/kehidupan Lidah api kesaktian

Ular Dunia bawah

Tabel 2. Ornamen pada seni sungging wayang Lukisan Melambangkan

Burung Dunia atas

pohon Dunia tengah (madya pada) Ular Dunia bawah

Sumber: Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Depdikbud

Dalam penelitian ini ornamen yang akan dikaji adalah Ornamen Praba dan Tlacapan yang berada pada tiang Bangunan Kraton Yogyakarta khususnya Bangsal Kencana. Agar memahami bentuk dan makna simbolis yang akan dikaji dari ornamen Praba dan Tlacapan maka terlebih dahulu harus memperhatikan pembagian jenis-jenis yang terdapat pada ornamen.

Gambar II: Ornamen Tlacapan dan Praba pada tiang Bangsal Kencana Sumber: Trusti, 2015

a. Ornamen motif Geometris

Motif Geometris merupakan motif tertua dalam ornamen karena sudah dikenal sejak zaman prasejarah. Motif geometris menggunakan unsur-unsur rupa

Ornamen Tlacapan

Ornamen Praba

seperti garis dan bidang yang pada umumnya bersifat abstrak artinya bentuknya tidak dapat dikenali sebagai bentuk-bentuk objek alam. Motif geometris berkembang dari bentuk titik, garis, atau bidang yang berulang, dari yang sederhana sampai dengan pola yang rumit.

Sejumlah ornamen geometris nusantara antara lain adalah meander, pilin lereng, banji, kawung, jlamprang, dan tumpal. Berikut adalah penjelasan mengenai ornamen geometris dengan pola dasar segitiga atau tumpal yang mirip dengan bentuk ornamen Praba dan Tlacapan pada tiang Bangsal Kencana Kraton Yogyakarta.

Tumpal memiliki bentuk dasar bidang segitiga. Bidang-bidang segitiga itu biasanya membentuk pola berderet, sering digunakan sebagai ornamen tepi. Menurut Sunaryo (2009: 30) menjelaskan bahwa motif tumpal banyak dijumpai pada batik, terutama batik pesisir yang banyak mendapat pengarauh dari Cina. Motif tumpal pada kain selain diterapkan sebagai hiasan pinggir, juga dipakai pada bagian kain yang disebut kepala.

Gambar III: Tumpal pada kain batik dari Madura

Sumber : http://batikunik.com/product/detail/20450/kain-sarung-batik-madura-motif-kepala-tumpal.html, 2015

Menurut Sunaryo (2009) menjelaskan bahwa di Jawa khususnya Yogyakarta mengenal motif tumpal pada kain batik dengan sebutan untu walang (gigi belalang).

Gambar IV: Motif untu walang

Sumber: http://4407399_untuwalang2_kpbsmall.com

Dalam berbagai variasi, motif tumpal yang berbentuk dasar segitiga sama kaki diisi oleh aneka tumbuh-tumbuhan, dan ada juga yang diisi dengan penggayaan lidah api. Menurut Van der Hoop (1949) menjelaskan bahwa terdapat juga motif tumpal dari Bali yang dihiasi dengan bentuk pohon hayat (kekayon).

Gambar V: Motif tumpal berisi pohon hayat, Bali Sumber: Van der Hoop, 1949

Ragam hias tumpal juga ditemukan pada benda pakai seperti yang disebut pinggir tumpal adalah deretan segitiga sama kaki. Menurut Van der Hoop (1949) menjelaskan bahwa terdapat jenis hiasan tumpal berselimpat pada meriam perunggu di Manado bentuknya bagian garis tepi segitiga sudah dihilangkan jadi hanya tinggal sulur dan ukel.

Gambar VI: Tumpal pada meriam perunggu Manado Sumber: (Van der Hoop, 1949).

Di beberapa daerah motif berbentuk dasar segitiga ini disebut dengan motif pucuk rebung. Menurut Sunaryo (2009) menjelskan bahwa motif pucuk rebung melambangkan sebuah pesan agar orang hidup hendaknya berguna, sebagaimana pucuk rebung, yakni tunas bambu yang dapat tumbuh menjadi rumpun bambu dan berguna bagi manusia.

Gambar VII: Motif pucuk rebung

Sumber: http://agungrmdhn.wordpress.com/arab-melayu

Ragam hias tumpal selain terdapat pada benda peralatan juga terdapat pada seni bangunan arsitektur. Menurut Van der Hoop (1949: 26) menjelaskan bahwa sekitar abad ke-14 hiasan tumpal terdapat pada candi Naga di Blitar Jawa Timur. Ragam hias tumpal tersebut terdapat pada bagian pintu masuk candi dan diisi dengan motif sulur-sulur.

Gambar VIII: Tumpal pada Candi Naga, Blitar- Jawa Timur Sumber : http://arsiparis.blogspot.com/2014/05/batik-jawa-timur.html, 2015

Ragam hias berbentuk segitiga pada candi juga disebut Antevik. Hiasan antevik biasanya dijumpai pada bagian tubuh, pagar langkan, hingga atap candi. Dalam buku Balai Konservasi Peninggalan Borobudur (2010) menjelaskan bahwa umumnya anteviks pada candi berbentu segitiga, namun ada juga yang berpola

dasar segitiga yang terdiri dari bentuk segitiga berjajar dimana segitiga pada bagian tengah lebih besar daripada dua segitiga lainnya. Hiasan antevik sebagai simbol dari gunung Mahameru yang merupakan tempat bersemayamnya para dewa.

Gambar IX: Anteviks Candi

Sumber: http://nyariwatu.blogspot.com/2010/12/candi-pendem-sengi.html

b. Ornamen Non-geometris

Selain ornamen geometris juga terdapat ornamen non-geometris yaitu ornamen yang memiliki bentuk-bentuk bebas atau bentuk alam seperti motif binatang, tumbuh-tumbuhan, benda-benda alam manusia benda-benda teknologi dan kaligrafi. Menurut Van Der Hoop dalam bukunya IndonesischeSiermotieven, Ragam-Ragam Perhisan Indonesia, Indonesia Ornamental Design (1949:274-285) menjelaskan beberapa ornamen non-geometris adalah Pohon Hayat dan beberapa turunan bentuknya yang memiliki bentuk dasar segitiga, yang kemudian akan dijelaskan untuk melihat kedekatan bentuk dengan ornamen Praba dan Tlacapan.

1) Pohon Hayat

Pohon Hayat sebagai lambang keesaan tertinggi, jumlah-kesatuan yang dapat disamakan dengan Brahman dalam agama Hindu dan Tao dalam filsafat Tionghoa, (Van der Hoop, 1949). Pohon hayat adalah sumber semua hidup kekayaan dan kemakmuran dan oleh karena itu sering dihiasi dengan permata, kain-kain dan sebagainya.

Di Indonesia khususnya Sumatera Utara, pohon hayat masih dapat dijumpai sebagai pohon keramat ditanam di tengah-tengah desa di atas sebuah panggung kecil yang diberi batu. Di atas panggung tersebut dirauh tengkorak-tengkorak kerbau yang dikorbankan. Pada waktu ada peralatan-peralatan sering juga didirikan pohon hayat, dihiasi dengan kain dan disinilah kerap kali tanduk kerbau diikatkan.

Pada beberapa suku orang Dayak dijumpai pembagian serba dua : benua atas (burung enggang), benua bawah (ular air), serta keesaan Tuhan digambarkan dengan pohon hayat (Van der Hoop, 1949:274). Sebuah ukiran kayu dari Cirebon, hampir sama yaitu konsep dunia atas digambarkan dengan burung, dunia bawah dengan ular, dan keesaan Tuhan dengan pohon hayat, yang berbeda adalah pohon hayat digambarkan sudah hampir menyerupai daun, hampir mirip dengan gunungan. Di sini digambarkan bahwa pohon hayat keluar dari sebuah bunga teratai yang berdiri di atas gunung.

Pohon Hayat atau Kalpadruma atau Kalpawreksa atau The Life Tree atau The Wishing Tree atau Pohon Surga atau Kekayon Gunungan, menunjukkan suatu elemen tentang adanya hubungan antara Indonesia dengan kebudayaan lama Asia.

Pohon Hayat dalam Islam mungkin dikenal pula dengan sebutan Syajaratul Khuldi (Tjandrasasmita, 2009).

2) Pohon hayat, Gunungan

Gunungan dalam permainan wayang kulit ditaruh di depan kelir sebelum dan sesudah permainan, juga diantara babakan-babakan. Menururt Van der Hoop (1949) menjelakan bahwa gunungan menyerupai bentuk kipas. Gunungan (pegunungan) yang disebut juga kekayon yang berasal dari kata kayu. Gunungan ini melambangkan kesatuan, keesaan, sama denga pohon hayat. Di dalam gunungan terlihat digambarkan berbagai ragam hias, tetapi ragam hias yang utama yaitu pohon yang berada di tengah-tengah.

3) Gunung

Pemujaan gunung adalah umum pada orang-orang Indonesia kuno, dan sekarang juga masih terdapat sisa-sisanya, seperti pemujaan Gunung Agung di Bali, Gunung Tengger di Jawa Timur, Gunung Merapi di Jawa Tengah, dsb. Dalam agama Hindu gunung-agung tempat kediaman dewata itu disebut Mehru. Mehru biasanya diwujudkan sebagai puncak yang tinggi dikelilingi oleh beberapa puncak yang lebih rendah. Sebagai contoh kain dodot di Yogyakarta dengan memakai gunung sebagai ragam hias utama.

Gambar X: Gunung sebagai ide bentuk segitiga

Sumber : http://zariyat.blogspot.com/sejarah-letusan-gunung-merapi.html, 2015 4) Mahameru

Van der Hoop (1949) menjelaskan bahwa Mahameru pada sebuah kain yang berasal dari Yogyakarta yang disebut dodot. Polanya terdiri dari berbagai ragam-ragam hias. Di bagian atas dan bawah, ragam hias garuda yang memiliki dua sayap dan dua ekor. Di kanan dan kiri terdapat lar, di tengah-tengahnya terdapat gunung. Pola batik majemuk yang seperti demikian disebut semen.

D.Simbol

Menurut Poespoprodjo (2004: 117), menjelaskan bahwa kata simbol berasal dari bahasa Yunani yaitu sumballo yang berarti menghubungkan menggabungkan. Simbol dapat berupa gambar, bentuk, atau benda yang mewakili suatu gagasan, benda, ataupun jumlah sesuatu. Meskipun simbol bukanlah nilai itu sendiri, namun simbol sangatlah dibutuhkan untuk kepentingan penghayatan akan nilai-nilai yang diwakilinya. Manusia dalam hidupnya selalu berkaitan

dengan simbol-simbol yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Herusatoto (1991: 12) menerangkan mengenai simbol.

Terdapat juga simbol-simbol yang terbina selama berabad-abad. Lambang-lambang purba seperti api, air, matahari, ikan dan sebagainya mempunyai fungsi yang kadang religius, kadang-kadang seni dan kadang-kadang-kadang-kadang teknis semata-mata sebagai alat komunikasi. Sebetulnya aspek-aspek tersebut tak dapat dipisahkan dan dalam lingkungan kebudayaan kuno memang berjalan bersama-sama. Contoh: huruf hiroglif di Mesir kuno. Huruf-huruf tersebut menggambarkan sesuatu, jadi menggandung berita, tetapi tidak lewat huruh-huruf biasa, satu huruf satu bunyi misalnya, melainkan lewat lambang-lambang keagamaan kuno yang sekaligus merupakan ekspresi seni yang indah sekali.

Jadi simbol digunakan untuk menjelaskan makna, menyampaikan berita, juga sebagai peninggalan bukti sejarah. Untuk memperjelas pengertian mengenai simbol akan dijelaskan perbedaan tentang isyarat, tanda-tanda, lambang atau simbol yang selama ini masih sering bertukar pengertian. Menurut Herusatoto (1991) adapun perbedaan dari ketiganya adalah.

1) Isyarat dapat berupa bentuk-bentuk

Gerak tubuh/anggota badan, suara-suara/bunyi, sinar, asap, misalnya isyarat-isyarat morse, kibaran-kibaran bendera.

2) Tanda-tanda dapat berupa benda-benda atau bentuk-bentuk

Contoh: tugu-tugu jarak jalan (kilometer, tanda lalu lintas, tanda-tanda pangkat/jabatan). Tanda bisa berupa hal atau keadaan seperti, ada awan tanda akan hujan, ada asap tanda ada api.

3) Lambang atau simbol dapat berupa benda-benda atau bentuk

berupa hal atau keadaan seperti misalnya: seloka, pepatah, candra sengkala, kisah/dongeng.

Simbol dapat menjadi bagian terkecil dari sebuah isyarat dan tanda, sementara isyarat dan tanda bisa jadi mengandung makna simbolis di dalamnya. Warna dapat juga digunakan sebagai simbol. Pada tradisi masyarakat Yogyakarta warna sesuatu benda dapat dipakai untuk mengungkapkan isi hatinya, seperti di Kraton Yogyakarta. Warna digunakan sebagai simbol suatu yang ingin diungkapkan, makna dibalik suatu benda. Dalam buku yang berjudul Adat Istiadat Daerah Istimewa Yogyakarta terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1976/1977: 253) menerangkan bahwa terdapat beberapa warna yang digunakan sebagai simbol oleh Kraton Yogyakarta.

1) Warna kuning adalah simbol segala sesuatu yang mengandung makna ketuhanan. Pada upacara-upacara adat sering dipakai cengkir gading. Di kraton Yogyakarta terdapat bangunan yang disebut Gedong Kuning.

2) Warna merah melambangkan keberanian. Bendera negara RI merah putih, dapat pula warna merah diartikan marah misalnya pada waktu seseorang sedang marah ia lalu berkirim surat dengan tinta merah.arti lain lagi merah sebagai tanda bergembira.

3) Warna gelap tanda berkabung. Bunga tanda bela sungkawa biasanya berwarna gelap.

4) Warna hijau gadung Mlati menurut kepercayaan masyarakat Jawa Tengah adalah warna kesukaan Nyai Roro Kidul.

6) Warna hijau lambang ramah tamah, tentrem 7) Warna hitam tanda keabadian

Menurut Sanyoto (2010: 46-51) mendeskripsikan karakter dan simbolisasi warna adalah sebagai berikut.

Tabel 3. Karakter dan Simbolisasi Warna

Warna Karakter Simbol

Kuning Terang, gembira, ramah, supel, riang, cerah, hangat

Kecerahan, kehidupan, kegembiraan, kemenangan, kemeriahan, peringatan

Kuning Emas agung Keagungan, kemewahan,

kejayaan, kemegahan, kemuliaan, dan kekuatan Jingga/ Orange Dorongan, semangat, merdeka,

anugrah, bahaya

Kemerdekaan, penganugerahan,

kehangatan, keseimbangan, Merah Menaklukkan, ekspansif,

dominan (berkuasa)

Nafsu primitif, marah, berani, perselisihan, bahaya, perang, seks, kekejaman, kesadisan

Ungu Keangkuhan, kebesaran, kekayaan

Kebesaran, kejayaan, keningratan,

kebangsawanan,

kebijaksaan, pencerahan Biru Dingin, pasif, melankoli, sayu,

sendu, sedih, tenang, berkesan jauh, mendalam, tak terhingga, cerah

Keagungan, keyakinan, keteguhan iman, kesetiaan, kebenaran, kemurahan hati, kecerdasan, perdamaian, stabilitas, keharmonian, kesatuan, kepercayaan, keamanan

Hijau Segar, muda, hidup, tumbuh Kesuburan, kesetiaan, keabadian, kebangkitan, kesegaran, kemudaan, keremajaan, keyakinan, kepercayaan, keimanan, pengharapan, kealamian, lingkungan, keseimbangan, dll

ketulusan, kedamaian, kebenaran, kesopanan, kehalusan, kelembutan, kewanitaan, kebersihan, simpel, kehormatan

Hitam Menekan, tegas, mendalam, depresive

Kesedihan, malapetaka, kesuraman, kemurungan, kegelapan, kematian, teror, kejahatan, kesalahan, rahasia, ketakutan, seksualitas, penyesalan, amarah, duka cita

Abu-abu menyenangkan Ketenangan, kebijaksanaan, keredahhatian, turun tahta, suasana kelabu, keragu-raguan

Coklat Kedekatan hati, sopan, arif bijaksana, hemat, hormat

Kesopanan, kearifan, kebijasanaan, kehormatan Sumber: Sanyoto, 2010

E.Segitiga

Bentuk segitiga yang meruncing dapat menjadi suatu penunjuk arah, untuk itu kesan yang timbul adalah pencapaian tujuan. Bentuk ini dapat menyimbolkan stabilitas namun dapat pula sebaliknya. Dalam spiritualitas bentuk ini digunakan untuk mewakili pengenalan diri, dan pencerahan, (Santoso, 2012).

Bentuk dasar segitiga pada standar rambu-rambu K3 digunakan sebagai simbol peringatan yang didukung dengan warna kuning dan garis tepi (outline) hitam. Menurut Hornung dalam Santoso (2012) menjelaskan bahwa segitiga merupakan lambang dari konsep Trinitas. Sebuah konsep religius yang mendasarkan pada tiga unsur alam semesta, yaitu Tuhan, manusia dan alam.

Dokumen terkait